abiquinsa: Pemikiran Muhammadiyah (Teologi, Fiqih, Tasawuf, Sosial)

Pemikiran Muhammadiyah (Teologi, Fiqih, Tasawuf, Sosial)


PEMIKIRAN MUHAMMADIYAH
(TEOLOGI, FIQIH, TASAWUF, SOSIAL)
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I

Keadaan masyarakat Islam menjelang abad ke-20 di Indonesia sangatlah menyedihkan. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai krisis yang telah bercampur antara agama Islam dengan berbagai ajaran yang bukan berasal dari al-Qur’an dan Hadits. Keadaan demikian menyebabkan keadaan umat Islam di Indonesia menjadi beku, jumud, dan mengalami kemunduran. Dimana-mana perbuatan bid’ah, syirik, dan khurafat merajalela, sehingga umat Islam hidup di dalam alam dan suasana yang oenuh diliputi oleh konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.[1]
Download
Hal ini antara lain disebabkan oleh karena masih adanya pengaruh dari ajaran-ajaran mistik yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama, sisa-sisa pengaruh dari ajaran kepercayaan pra-Islam, masih suburnya alam feodalisme dan aristokratisme di kalangan masyarakat, dan ak ibat dari adanya tekanan dari pihak Belanda yang menjalankan kolonialisme dan imperialismenya di Indonesia.[2]
Dalam zaman seperti itu, muncullah gagasan pembaharuan dan modernisasi Islam di Indonesia yang diserukan oleh KH. Ahmad Dahlan. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pendirian organisasi sosial-keagamaan yang bersifat modern dan membawa semangat modernisasi dan gerakan tajdid di Indonesia, yang diberi nama Muhammadiyah.
1.   Sejarah Pendirian Muhammadiyah
Keadaan umat Islam di seluruh penjuru negeri yang hidup dalam suasana taklid buta, kejumudan, dan kemunduran memunculkan gerakan tajdid dan modernisasi Islam. Hal itu  bermula dari cita-cita dan pemikiran yang ditanamkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Ajaran tersebut kemudian dilanjutkan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian dikenal dengan gerakan Wahabi.
Beberapa tahun kemudian, timbul pula gerakan pembaharuan dan moderniasasi Islam di Mesir yang dipelopori oleh Sayid Jamaluddin al-Afghani, Syeikh Muhammad Abduh, dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha yang terkenal dengan gerakan salafiyah. Di samping itu di India juga timbul gerakan modernisasi yang dipelopori oleh Sayid Ahmad Khan yang dikenal dengan gerakan Aligarh.[3]
Ketiga gerakan pembaharuan dan modernisasi Islam tersebut, yakni Wahabi, Salafiyah, dan Aligarh, tidak sedikit pengaruhnya bagi timbulnya gerakan reformasi dan modernisasi Islam di Indonesia. Salah satunya adalah Muhammadiyah.
Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H di Yogyakarta. Ketika sedang menimba ilmu di Makkah kepada Syeikh Ahmad Khatib, KH. Ahmad Dahlan mendapatkan ide-ide dan gagasan reformasi dan tajdid dari Muhammad Abduh. Meski sang guru sendiri mengharapkan agar murid-muridnya tidak terpengaruh oleh gerakan Abduh tersebut, tapi justru Ahmad Dahlan tertarik mempelajarinya. Melalui jurnal Al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar, Ahmad Dahlan mendapatkan gagasan pembaharuan tersebut untuk kemudian disebarkannya di Tanah Air. Salah satu usahanya adalah dengan mendirikan Muhammadiyah.
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern di Indonesia, dengan cabang-cabang yang tersebar ke seluruh tanah air, dan dengan amal usaha yang begitu besar, terutama di bidang pendidikan, di samping rumah-rumah sakit, panti asuhan, tempat-tempat ibadah, penyelenggaraan pengajian dari anak-anak hingga dewasa, dan seterusnya.[4]
Muhammadiyah lahir bukannya tanpa sebab. Beberapa faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah antara lain sebagai berikut[5] :
a.    Kehidupan beragama yang masih terdapat unsur-unsur syirik, bid’ah, dan khurafat, sehingga menyebabkan Islam berada dalam keadaan beku.
b.    Keadaan masyarakat Islam sangat menyedihkan dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial maupun kultur, akibat adanya penjajahan di Indonesia.
c.    Ketiadaan persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia.
d.    Kegagalan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ketinggalan zaman.
e.    Untuk menghadapi gerakan kristenisasi yang dilancarkan Belanda untuk kepentingan politik kolonialnya.
Adapun sasaran pokok yang ingin dicapai dalam perjuangan Muhammadiyah adalah[6] :
a.    Memurnikan ajaran Islam agar sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits.
b.    Mengajak masyarakat untuk memeluk dan mempraktikkan cita-cita dan tujuan ajaran Islam.
c.    Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
d.    Mempraktikkan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
e.    Mempergiat usaha di bidang pendidikan dan pengajaran dengan bernafaskan Islam.
2.   Pemikiran Teologi Muhammadiyah
Penilaian tentang Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran pembaharuan Islam seperti yang digagas oleh Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, ataupun Rasyid Ridha, karena mereka sering dirujuk sebagai penyeru pembaharuan Islam. Bahkan, pendirian Muhammadiyah merupakan “perpanjangan tangan” pembaharuan di Timur Tengah.[7] Jamaluddin al-Afghani dirujuk karena gerakan pan-Islamisme, sementara Muhammad Abduh lebih menonjolkan perlunya pembaharuan dalam bidang “pendidikan”. Adapun Muhammad binAbdul Wahab, lebih sempit lagi, lantaran cuma terkait dengan aspek “aqidah”, dan kemudian menyatu juga dengan gerakan politik.[8]
Muhammadiyah menjadikan teologi sebagai ruh yang menggerakkan amal usahanya, karena wataknya sebagai gerakan Islam yang beramal nyata. Pencitraan bahwa teologi yang dianut Muhammadiyah bersifat teologi modernis, memunculkan pertanyaan, apakah teologi yang dianut oleh Muhammadiyah merupakan teologi modernis atau teologi “tradisional”?[9]
Adalah Azyumardi Azra yang menyebut bahwa Muhammadiyah hanya berpaham modernis pada tingkat praksis, sementara pada tingkat ideologisnya masih menganut aliran Asy’ariyah. Dia mengatakan : “Pada tingkat praksis, Muhammadiyah tampaknya dapat dimasukkan ke dalam tingkat modernis …, sementara pada tingkat ideologis jauh lebih sulit untuk menentukan tipologinya”.[10]
Meski teologi Muhammadiyah terkesan bersifat rasional dan modern, namun menurut Arbiyah Lubis, teologi Muhammadiyah tersebut tidak seluruhnya mengikuti teologinya Muhammad Abduh yang rasional dan lebih dekat kepada sistem teologi Mu’tazilah. Karena teologi Muhammadiyah juga dekat dengan teologi Asy’ariyah yang bersifat “tradisional”.[11]
Antara rasionalisme teologi Abduh dan tradisionalisme teologi Asy’ariyah bukanlah dua hal yang harus dipermasalahkan, karena Muhammadiyah tetap memiliki jatidiri dan konsep sendiri tentang kebenaran kalam yang harus dianutnya. Sungguh pun suatu kalam, misalnya Asy’ariyah, mengandung banyak kebenaran dan sesuai dengan ajaran Islam yang autentik, tetap akan diikuti oleh Muhammadiyah. Sebaliknya, jika suatu kalam atas dasar rasionalisme, tetapi mengandung banyak penyimpangan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni, maka Muhammadiyah pun mengabaikan.[12]
3.   Pemikiran Fiqih Muhammadiyah
Dalam bidang fiqih, Muhammadiyah memandang bahwa semangat untuk kembali pada al-Qur’an dan Hadits berarti umat Islam harus merujuk pada kedua sumber hukum Islam tersebut secara langsung. Ini berarti rumusan-rumusan madzhab fiqih yang ada dalam dunia Islam hanya relevan untuk masanya saja. Sedangkan saat ini, umat Islam harus merujuk langsung pada al-Qur’an dan Hadits dalam menyelesaikan suatu problem hukum.
Jika perbedaan antar-madzhab teologi menimbulkan sikap permusuhan dan perpecahan, saling mengkafirkan dan sebagainya, maka perbedaan madzhab dalam fiqih hampir tidak terdapat bukti kafir-mengkafirkan di antara mereka.[13] Perkembangan keilmuan dan pemikiran yang “mapan” tersebut mengakibatkan wajah Islam kurang dinamis, sehingga mengerucut pada suatu bentuk stagnasi dan kemunduran.
Munculnya madzhab-madzhab fiqih menyebabkan kecenderungan terhadap dua sumber utama (al-Qur’an dan Hadits) kurang mendapatkan perhatian. Hal ini disebabkan oleh karena umat Islam hanya berhenti pada keputusan-keputusan yang diambil para imam madzhab, tanpa menggali sendiri dari al-Qur’an maupun Hadits. Kondisi taklid yang berlarut-larut tersebut menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang.
Dalam kondisi seperti ini, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid memilih untuk tidak bermadzhab. Bagi Muhammadiyah, usaha untuk “kembali kepada al-Qur’an dan Hadits” tidak perlu terkungkung oleh pemilihan madzhab tertentu dalam menentukan metode ijtihadnya. Dengan tanpa madzhab, Muhammadiyah dapat lebih bebas mengembangkan pikiran tanpa ada kendala psikologis untuk menerjang ajaran madzhab. Bahkan Muhammadiyah tidak perlu berobsesi untuk menyatakan diri sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah, sekalipun jelas konstitusi organisasi dan penafsirannya menyebutkan dasar-dasar teologi yang tidak bertentangan dengan inti ajaran Ahlussunnah pada abad pertengahan.[14] Muhammadiyah berusaha untuk merumuskan hukum-hukum Islam yang berorientasi langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tidak bersifat sektarian.
Inilah salah satu bentuk manifestasi dari identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam yang murni, seperti yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadits, bersih dari segala bid’ah dan khurafat. Oleh karenanya, Muhammadiyah sering disebut sebagai gerakan salafiyah, gerakan ishlah, bahkan gerakan tahdits.[15]
Oleh karena itu, Muhammadiyah memandang bahwa orang bebas untuk memilih madzhab mana pun, atau memilih banyak madzhab sekaligus, atau bahkan tidak bermadzhab sama sekali. Muhammadiyah menyerukan pentingnya untuk kembali pada masa ketika belum timbul madzhab-madzhab.
Bentuk pengamalan agama yang murni merupakan ciri dan karakter Muhammadiyah. Posisi Muhammadiyah terletak pada garis yang tegas, yaitu manifestasi konsep “amar ma’ruf nahi munkar”. Konsep “amar ma’ruf” tercermin dari gerakan “kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”, sedangkan “nahi munkar” terlihat pada penentangannya terhadap segala bentuk bid’ah, taklid, khurafat, dan sebagainya. Meski posisi semacam ini telah berakar kuat pada tradisi madzhab Hanbali sebagai aliran fiqih maupun teologi, namun tidak tepat untuk menyebut Muhammadiyah sebagai bermadzhab Hanbali.[16]
4.   Pemikiran Tasawuf Muhammadiyah
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa Rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat Nabi.[17]
Tasawuf dapat pula disebut mistisisme Islam atau asketisme Islam. Dalam dunia tasawuf, manusia belajar bersikap baik dan terbaik dalam pandangan manusia dan Tuhan. Nilai-nilai tasawuf tercermin dari keikhlasan, akhlaq, etika, moral, dan sebagainya. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pengamal tasawuf periode pertama bermula dari sekelompok zahid dan abid di serambi masjid Madinah di zaman Nabi. Inilah bibit awal munculnya sufisme.
Pada masa selanjutnya, asketisme kemudian beralih menjadi sufisme yang ditandai dengan pergantian sebutan zahid menjadi sufi.[18] Dalam masa ini, muncul konsep tentang jenjang (al-maqamat) perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi, ma’rifat, dan perangkat metodenya hingga pada derajat fana’ dan ittihad.
Pada fase selanjutnya, perkembangan tasawuf atau sufisme ditandai dengan mulainya unsur-unsur luar Islam yang berakulturasi bahkan sinkretis dengan ajaran sufisme. Pada masa ini, muncul ketegangan antara penganut sufi ortodoks dengan penganut sufi heterodoks.[19]
Pada tahap selanjutnya, sufisme dimasuki unsur-unsur filsafat, terutama neo-Platonik. Hal ini melatarbelakangi gerakan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah pada abad VIII Hijriah untuk menentang ajaran-ajaran sufisme yang bertentangan dengan syariat.
Dalam posisi ini, Muhammadiyah mengambil sikap untuk membersihkan sufisme Islam dari pengaruh filsafat yang bertentangan dengan syariat. Hal ini segaris dengan apa yang diperjuangkan oleh tokoh pembaharu Islam tersebut, yakni Ibnu Taimiyah dan  Ibnu Qayyim al-Jauziah. Bahkan demikianlah ajaran Muhammadiyah, memurnikan syariat Islam, baik dalam bidang aqidah, fiqih, tasawuf, dan sebagainya dari unsur-unsur kesyirikan, bid’ah, khurafat, dan semisalnya.
Dalam pemahamannya terhadap aspek asketisme dalam Islam,  Muhammadiyah mengambil sikap yang murni dan moderat. Muhammadiyah memandang bahwa segala sesuatu harus disandarkan pada al-Qur’an dan Hadits. Pengamalan nilai-nilai tasawuf tidak harus diwujudkan dalam organisasi tarekat tertentu.[20] Tasawuf adalah pengembangan dari konsep ihsan dalam Islam. Ia berhubungan dengan akhlak, etika, dan moral manusia kepada Tuhan dan sesama. Untuk itu, Muhammadiyah memandang dirinya cukup pengalaman nilai-nilai spiritual dan tasawuf sebagai implementasi ajaran Islam yang hakiki, tanpa harus mengorganisasikan diri ke dalam perkumpulan-perkumpulan tertentu.
Berangkat dari pandangan di atas, dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah cenderung pada pengamalan tasawuf akhlaqi, yakni konsep pembersihan diri melalui takhali, menghiasi dengan sifat-sifat terpuji melalui tahalli, sehingga mendapatkan anugrah Tuhan dengan tajalli.
5.   Pemikiran Sosial Muhammadiyah
Muhammadiyah memandang bahwa suatu masyarakat tidak akan maju jika hanya mengandalkan kerja individu. Suatu aktivitas akan dapat memberikan manfaat secara lebih luas jika dikelola bersama-sama. Dari sini, peranan organisasi menjadi keniscayaan dalam mewujudkan cita-cita bersama memajukan masyarakat. Perubahan mentalitas dan cara bekerja dari yang semula bersifat “individual” ke arah yang bersifat “sosial” akan menjadikan cita-cita dan tujuan bersama lebih mudah diraih.[21]
Pemahaman teologi Muhammadiyah terhadap aspek sosial ayang lain adalah dengan mengawinkan antara normativitas al-Qur’an dengan realitas sosial. Ketika dalam surat al-Maun menegaskan pentingnya memelihara anak yatim dan orang miskin, maka Muhammadiyah kemudian mendirikan PKU (Pembina Kesejahteraan Umat). Hal ini berangkat dari analisas sosial (ijtihad sosial) Muhammadiyah tentang Kesimpulannya adalah selain produk pemikiran, kelahiran amal usaha Muhammadiyah juga terikat dengan misi dan ikatan organisasi Muhammadiyah.[22]
Selain itu, ketika normativitas al-Qur’an menyatakan, “wa idza maridhtu fa huwa yasyfin”, maka Muhammadiyah mengaktualisasikannya menjadi amal konkret dan wujud amal usaha berupa rumah sakit, sekolah perawat, rumah bersalin, dan begitu seterusnya. Hal tersebut merupakan contoh “ijtihad” Muhammadiyah di bidang sosial dalam bentuknya yang lain.[23] Selain itu, ketika mencermati normativitas al-Qur’an tentang pentingnya membaca, kemudian dijabarkan Muhamnmadiyah dalam wilayah perjuangan sosial dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan, sejak TK sampai perguruan tinggi.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah melakukan usaha menjabarkan dan mengamalkan dimensi normativitas al-Qur’an dengan sistem kerja “organisasi” modern. Dengan bahasa lain, dari diskursus teologi Islam yang bercorak rasionalistis-intelektualistis ke arah wilayah yang bersifat historis-empiris praktis. Norma-norma dasarnya berinspirasikan al-Qur’an dan Sunnah (sesuai ajaran untuk kembali pada al-Qur’an dan Sunnah), dan dalam pelaksanaan dan operasionalisasi program organisasinya semata-mata merupakan wilayah historis.
Analisis
Segala bentuk perjuangan membutuhkan kerja keras dan usaha yang nyata dalam mewujudkannya. Muhammadiyah yang bercita-cita memurnikan ajaran Islam dari pengaruh bid’ah, syirik, dan khurafat, juga mendapatkan tantangan yang cukup keras. Hal ini adalah hal yang biasa ditemui dari suatu gerakan “sempalan” yang berbeda dari mayoritas masyarakat yang belum siap menerima pembaharuan dan modernisasi.
Pemikiran Muhammadiyah, baik dalam bidang teologi, fiqih, tasawuf, dan sosial, pada intinya adalah mengembalikan masyarakat pada ajaran tauhid dan implementasi kongkretnya. Bentuk-bentuk aktualisasi dari pemikiran tersebut menjadi amal usaha nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat secara umum. Usaha-usaha pembersihan aqidah dari unsur-unsur syirik dan lainnya menjadikan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan salafiyah, gerakan reformasi, modernisasi, tajdid, dan gerakan ishlah bahkan tahdits.
Sebagai gerakan pembaharuan, Muhammadiyah mengambil bentuk sebagai organisasi dengan tata kerja modern, yang memadukan antara pandangan teologinya dengan realitas di lapangan. Normativitas al-Qur’an dan Hadits sebagai acuan utamanya diaktualisasikan melalui bentuk-bentuk amal usaha nyata yang memberi manfaat langsung pada masyarakat. Hal ini terlihat dari kiprah Muhammadiyah di Indonesia, sejak kelahirannya sampai sekarang, telah memberi andil yang cukup besar bagi pemanfaatan sumber daya dan pembangunan nasional.

Bibliografi :
Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani, Rosdakarya, Bandung, 1999.
Departemen Penerangan, Makin Lama Makin Tjinta; Muhammadijah Setengah Abad 1912 – 1962, Departemen Penerangan, Djakarta, 1963.
http://www.suara-muhammadiyah.or.id/sm/Majalah/SM20-16-31Oktober 
http://nurulwatoni.tripod.com/SEJARAH_PEMIKIRAN_TASAWUF.htm
Jurdi, Syarifuddin, Negara Muhammadiyah; Mendekap Politik dengan Perhitungan, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005.
Kelompok Studi Lingkaran, Intelektualisme Muhammadiyah; Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung, 1995.
Lubis, Arbiyah, Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Studi Perbandingan, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.
M. Rusli Karim (Ed.), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, CV. Rajawali, Cet. I, Jakarta, 1986.
Nurhadiantomo, dkk, (Peny.), Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1989.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Syam, Firdaus, Amin Rais; Politisi yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003.
Syamsuddin, M. Din, (Ed.), Muhammadiyah Kini dan Esok, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990.


 


[1]Departemen Penerangan, Makin Lama Makin Tjinta; Muhammadijah Setengah Abad 1912 – 1962, Departemen Penerangan, Djakarta, 1963, hlm. 155.  
[2]Ibid.
[3]Departemen Penerangan, loc. cit.
[4]Nurhadiantomo, dkk, (Peny.), Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1989, hlm. 53.
[5]Departemen Penerangan, op. cit., hlm. 156.
[6]Solichin Salam, “Muhammadiyah: Lampau, Kini, dan Mendatang”, dalam Drs. M. Rusli Karim (Ed.), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, CV. Rajawali, Cet. I, Jakarta, 1986, hlm. 89.
[7]Firdaus Syam, MA, Amin Rais; Politisi yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003, hlm. 60. 
[8]M. Amin Abdullah, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”, dalam  Kelompok Studi Lingkaran, Intelektualisme Muhammadiyah; Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 27.
[9]Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 112.
[10]Ibid, hlm. 114.
[11]Arbiyah Lubis, Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Studi Perbandingan, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, hlm. 99.
[12]Syarifuddin Jurdi, Negara Muhammadiyah; Mendekap Politik dengan Perhitungan, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005, hlm. 201.
[13]Dr. Syafiq A. Mughni, “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Posisi Teologi Muhammadiyah”, dalam Drs. M. Din Syamsuddin, MA (Ed.), Muhammadiyah Kini dan Esok, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990, hlm. 270.
[14]Ibid, hlm. 274.
[15]Ibid, hlm. 275.
[16]Ibid, hlm. 279.
[18]Prof. H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 231-232.
[19]Ibid, hlm. 237.
[20]Bahkan di lingkungan Muhammadiyah istilah tasawuf kurang disukai. Hal ini karena tasawuf telah tereduksi menjadi tarekat, yang menurut Fazlur Rahman, bersifat eksklusif, baik dari segi gagasan, praktik, maupun organisasi. Lihat M. Amin Abdullah, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”, dalam Drs. M. Din Syamsuddin, MA, op. cit., hlm. 25.
[21]Baca Ibid, hlm. 28.  
[23]M. Amin Abdullah, op. cit., hlm. 30. 

Share This Article


1 komentar:

  1. Assalamkum Bg...
    bagus bangat ni makalahnya...
    saya Punya tugas UAS Pasca Sarjana UIN suska Riau nih,,
    tema nya sulit"
    " Islamisme Pemikiran Islam Keindonesiaan"..sepertinya Muhamadiyah ini salah satunya

    BalasHapus