ZUHUD SOSIAL
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Tasawuf
merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang
berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan
tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah
saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam
sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada
masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu
hanyalah sebutan sahabat nabi.[1]
Munculnya
istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim
al-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah
Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah. [2]
Zuhud
menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut
Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia
dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu
menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi
sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid,
tetapi sebaliknya tidak setiap zahid
merupakan sufi[3].
1. Pengertian Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba
‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya. Zahada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan
gerakan protes[4]. Apabila
tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia
dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan,
maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan”
atau ma’rifat kepada-Nya.
Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap
hal-hal yang bersifat duniawi atau ma
siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan
menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi
kesenangannya dengan semedi (khalwat),
berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[5].
Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari
kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan
berpuasa yang kadang-kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh
agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya
tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat
Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap
hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana
ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah
swt., bukan tujuan hidup, dan disadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat-sifat
mazmumah (tercela). Keadaan seperti
ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[6].
Zuhud
disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada
ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari
tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud
itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi
merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus
terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi
kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat
mereka mengingkari Tuhannya[7].
Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud
adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi
di saat yang sama diapun zahid. Ustman
bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah
para zahid dengan harta yang mereka
miliki.
Zuhud
menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari
hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam
menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman-firman Allah yang
berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan
kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan”. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan)
negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”.
Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah
untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu
seakan kamu akan mati esok hari”[8]
Ali
bin Abi Thalib k.w. menjelaskan bahwa “Zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam
al-Quran, supaya kamu tidak bersedih
karena apa yang terkepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang
diberikan kepadamu. (QS 57:23). Siapa yang tidak bersedih karena apa yang
luput darinya, dan tidak bersuka ria karena apa yang dimiliknya, ia adalah
orang yang zuhud.
2. Karakter Orang Zuhud
Dua karakteristik orang yang zuhud (zahid)
- Zahid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya dengan apa yang dimilikinya. “Para psikolog eksistensialis bercerita tentang dua pola hidup: pola memiliki dan pola menjadi. Bila anda bahagia karena anda memiliki mobil bagus, rumah mewah, kedudukan basah, status sosial yang tinggi; dan anda menderita ketika anda kehilangan itu (sebagaian atau apalagi seluruhnya).
Zuhud
adalah pola hidup menjadi. Zahid tidak memperoleh kebahagiaan dari pemilikan.
Alangkah rendahnya kehidupan bila kebahagiaan bergantung pada benda-benda mati.
Alangkah rentannya kita pada berbagai persoalan, bila hati kita diletakkan pada
benda-benda yang kita miliki. Anda marah ketika mobil anda tergores tukang becak. Anda sakit hati ketika
deposito anda tidak dapat anda tarik. Anda bermuram-durja ketika keluarga
anda menjahui anda. Kebahagiaan anda
sangat ditentukan oleh apa-apa yang di luar anda, bukan oleh anda sendiri. Diri
anda sekarang menjadi robot yang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan anda.
Seorang zahid tidaklah membuang semuanya itu untuk mengembangkan dirinya.
Kebahagiaanya tidak terletak pada benda-benda mati, tetapi pada peningkatan
kualitas hidupnya (psikologis dan spritual). Ia bahagia karena ia berhasil
menjadi apa yang ia dapat menjadi. He is
happy because he becomes what he is capable of becoming.[9]
- “Kebahagian seorang zahid tidak lagi terletak pada hal-hal yang material, tetapi pada dataran spritual”. Bila anda mempelajari psikologi perkembangan, anda akan melihat bahwa manusia menyenangi hal-hal yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan kepribadian. Makin tinggi tingkat perkembangan kepribadian, nonfisikal sifat kesenangannya. Anda makin dewasa bila anda memperoleh kebahagiaan dari hal-hal spritual seperti memperoleh ilmu, beramal untuk hari akhir, atau mendekati Yang Maha Pengasih. Orang zahid menemukan kebahagiaan pada hal-hal yang rohaniah, pada tingkat kepribadian yang tinggi.
Zuhud
bukan meninggalkan dunia, tetapi tidak meletakkan hati padanya. Zuhud bukan
menghindari kenikmatan duniawi, tetapi tidak meletakkan nilai yang tinggi
padanya. Dan inilah definisi zuhud dari Rasulullah Saw. “Bukanlah zuhud itu
mengharamkan yang halal, bukan pula menyia-nyiakan harta, tetapi zuhud dalam
dunia itu ialah engkau tidak memandang apa yang ada di tanganmu itu lebih
diandalkan dari apa yang ada di sisi Allah”.
Apa
yang ada di tanganmu? Rumah, kendaraan,
kebun, atau deposito, istri, anak-anak buah, kawan, atau fans, karir, pangkat,
kedudukan, atau status. Atau mungkin yang lebih abstrak: kekayaan, kekuasaan,
kemasyhuran. Perhatikan keadaan yang ada di tanganmu itu semuanya berubah,
tidak tetap, dan akhirnya harus anda tinggalkan, sukarela atau terpaksa,
semuanya tidak bisa diandalkan. [10]
3. Tanda Orang Zuhud
Tanda orang zuhud itu ada tiga macam:
1. Hendaknya
ia lebih yakin dengan apa yang ada di Tangan Allah daripada yang ada di
tangannya sendiri. Sebab Allah lah yang menjamin rizki segenap hamba-Nya. Allah
berfirman: "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah lah yang memberi rizkinya." (Hud: 6)
2. Kedua,
jika ditimpa suatu musibah duniawiyah, baik berupa hilangnya harta benda,
kematian anak atau lainnya hendaknya ia lebih menyukai pahala yang ia peroleh
karenanya daripada jika nikmat itu masih diberikan untuknya. Dalam hal ini Ali
bin Abi Thalib berkata, siapa yang berlaku zuhud di dunia, maka musibah tiada
arti baginya.
3. Ketiga,
ia memandang sama orang yang memuji atau mencelanya dalam kebenaran. Orang yang
mencintai dunia akan suka sekali terhadap pujian, dan benci terhadap celaan.
Dan mungkin untuk itu, ia berani mengorbankan kebenaran dan melakukan berbagai
kebatilan.
Sikap, mental, nasib dan kondisi kejiwaan pemburu dunia dengan seorang zahid (yang berlaku zuhud) juga sangat bertolak belakang. Nabi SAW bersabda: "Siapa yang keinginannya adalah dunia, niscaya Allah akan menceraiberaikan perkaranya, dan Ia jadikan kefakiran orang itu di pelupuk matanya, serta ia tidak mendapatkan dari (kenikmatan) dunia kecuali apa yang dituliskan untuknya. Dan siapa yang niatnya adalah akhirat, niscaya Allah akan menghimpunkan perkaranya, menjadikan kekayaannya di dalam hatinya serta (kenikmatan) dunia akan mendatanginya, sementara (ia memandangnya sebagai) sesuatu yang rendah ." (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Thabrani serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).[11]
Sikap, mental, nasib dan kondisi kejiwaan pemburu dunia dengan seorang zahid (yang berlaku zuhud) juga sangat bertolak belakang. Nabi SAW bersabda: "Siapa yang keinginannya adalah dunia, niscaya Allah akan menceraiberaikan perkaranya, dan Ia jadikan kefakiran orang itu di pelupuk matanya, serta ia tidak mendapatkan dari (kenikmatan) dunia kecuali apa yang dituliskan untuknya. Dan siapa yang niatnya adalah akhirat, niscaya Allah akan menghimpunkan perkaranya, menjadikan kekayaannya di dalam hatinya serta (kenikmatan) dunia akan mendatanginya, sementara (ia memandangnya sebagai) sesuatu yang rendah ." (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Thabrani serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban).[11]
4. Kesimpulan
Seorang zahid pandai mensyukuri nikmat dan
tak pernah merasa kekurangan. Nabi SAW bersabda: "Barangsiapa dari kalian
pada suatu harinya berada dalam keamanan, sehat jasmaninya dan memiliki makanan
untuk hari itu, maka seakan telah diberikan padanya dunia seisinya." (HR.
Tirmidzi).
Dengan paradigma zuhud, kita akan bisa
menikmati hidup dengan wajar, tidak serakah, berlaku produktif dan penuh
ketaatan kepada Allah. Kita perlu mensosialisasikan paradigma zuhud ini dalam
kehidupan kita, keluarga dan bangsa.
Bibliografi :
Al-Taftazani,
Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi dari Zaman
ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1977.
http://nurulwatoni.tripod.com/SEJARAH_PEMIKIRAN_TASAWUF.htm
http://www.aldakwah.org/modules.php?name=News&file=article&sid=314-26k
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1995.
Rakhmat,
Jalaluddin, Membuka Tirai Kegaiban
Renungan-renungan Sufistik, Penerbit
Mizan, Bandung, 1994.
Syukur, Amin, Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta , 2000.
[1]http://nurulwatoni.tripod.com/SEJARAH_PEMIKIRAN_TASAWUF.htm
[2]Ibid.
[3]Prof.
Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme
dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1995, hlm. 64
[4]Prof.
Dr. Amin Syukur, MA,
Zuhud di Abad Modern, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta , 2000, hlm. 1
[5]Ibid, hlm. 2.
[6]Ibid., hlm. 3
[7]Dr.
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi
dari Zaman ke Zaman, Pustaka, Bandung,
1977, hlm. 54
[8]Ibid., hlm. 55
[9]Jalaluddin
Rakhmat, Membuka Tirai Kegaiban
Renungan-renungan Sufistik, Penerbit
Mizan, Bandung,
1994, hlm114
[10]Ibid. 116
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar