PENDIDIKAN
ISLAM DI ERA TRANSFORMASI GLOBAL
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Pendidikan merupakan kebutuhan dan tanggung jawab semua
elemen masyarakat. Pendidikan selain merupakan kebutuhan lokal juga sebagai
jaringan yang periling dalam menembus dan memasuki proses kompetisi global. Di dunia global, masyarakat akan menghadapi berbagai
persaingan global. Di bidang ideologis akan muncul kekuatan pressure yang
semakin menajam, persaingan di bidang ekonomi makin terbuka, dan persaingan
peradaban semakin kompleks.
Globalisasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan
dan disain kebijakan-kebijakan pendidikan, dengan rekayasa sosial yang kuat dan
memiliki ketangguhan kemampuan untuk bertahan dengan visi, misi, dan tujuan
pendidikan yang khas, sehingga tidak tenggelam dalam arus globalisasi yang
demikian deras.[1]
Tidak luput terhadap pendidikan Islam, tentu akan
memiliki sejumlah globalisasi tantangan dan peluang yang akan tampil dalam
berbagai fenomena. Hal ini tentunya membutuhkan upaya-upaya strategis yang harus
dilakukan agar pendidikan Islam senantiasa siap berpacu di era globaI. Fenomena
globalisasi ini menyebabkan pendidikan Islam akan menghadapi berbagai persoalan
yang serius dan dilematis, yaitu antara komitmen menjaga nilai-nilai dasar
Islam dan adanya kesadaran untuk mengikuti perkembangan zaman.
Realitas ini tentu menggugah para pemikir pendidikan Islam untuk segera menata paradigma baru pembelajaran yang menganut sistem pendidikan modern sesuai dengan tuntutan masyarakat global, akan tetapi tetap konsisten memegang prinsip-prinsip moralitas Islam.
Realitas ini tentu menggugah para pemikir pendidikan Islam untuk segera menata paradigma baru pembelajaran yang menganut sistem pendidikan modern sesuai dengan tuntutan masyarakat global, akan tetapi tetap konsisten memegang prinsip-prinsip moralitas Islam.
1.
Konsep Pendidikan Islam
Rangkaian
kata “pendidikan Islam” bisa dipahami dalam arti berbeda-beda, antara lain: 1)
pendidikan (menurut) Islam, 2) pendidikan (dalam) Islam, dan 3) pendidikan
(agama) Islam.[2]
Istilah yang pertama, pendidikan (menurut) Islam, berdasarkan sudut pandang
bahwa Islam adalah ajaran tentang nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang
ideal, yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam hal ini, pendidikan
(menurut) Islam, dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari sumber
otentik ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, pembahasan mengenai
pendidikan (menurut) Islam lebih bersifat filosofis.[3]
Istilah
yang kedua, pendidikan (dalam) Islam, berdasar atas perspektif bahwa Islam
adalah ajaran-ajaran, sistem budaya dan peradaban yang tumbuh dan berkembang
sepanjang perjalanan sejarah umat Islam, sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai
masa sekarang. Dengan demikian, pendidikan (dalam) Islam ini dapat dipahami
sebagai proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan di kalangan umat Islam,
yang berlangsung secara berkesinambungan dari generasi ke generasi sepanjang
sejarah Islam. Jadi, pendidikan (dalam) Islam lebih bersifat historis, atau
lazim disebut sejarah pendidikan Islam.
Sedangkan
istilah yang ketiga, pendidikan (agama) Islam, muncul dari pandangan bahwa
Islam adalah nama bagi agama yang menjadi anutan dan pandangan hidup (way of
life) umat Islam. Agama Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai ajaran yang
berasal dan Allah, yang memberikan petunjuk ke jalan yang benar menuju
kebahagiaan dl dunia dan keselamatan di akhirat.[4]
Pendidikan (agama) Islam dalam
hal ini dipahami sebagai proses dan upaya serta transformasi ajaran-ajaran
Islam tersebut, agar menjadi rujukan dan pandangan hidup bagi umat Islam. Jadi,
lebih menekankan pada teori pendidikan Islam.
Dalam
pendidikan Islam, yang menjadi pandangan hidup (way of life) yang
mendasari seluruh kegiatan pendidikan adalah pandangan hidup yang Islami, yaitu
suatu nilal yang transenden, universal, dan eternal.[5]
Dalam
menetapkan dasar pendidikan Islam, para pemikir Islam berbeda pendapat. Abdul
Fattah Jalal membagi dasar pendidikan Islam menjadi dua sumber, yaitu (1)
sumber ilahiyah, yang meliputi al-Qur’an, Hadits, dan alam semesta
sebagai ayah kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali; dan (2) sumber insaniyah,
yaitu proses ijtihad manusia dari fenomena yang muncul dan dari kajian
lebih lanjut terhadap sumber ilahi yang masih global.[6]
Berbeda
dan Jalal, Samsul Nizar membagi sumber atau nilai dasar yang dijadikan acuan
dalam pendidikan Islam menjadi tiga sumber: (1) al-Qur’an; (2) sunnah, dan (3)
ijtihad para ilmuwan muslim yang berupaya merumuskan bentuk sistem pendidikan
Islam sesuai dengan tuntutan dinamika zaman, yang tidak dirumuskan oleh
al-Qur’an dan sunnah.[7]
2.
Globalisasi dan Implikasinya
Sejak
dua dasawarsa menjelang milenium baru, proses globalisasi telah memunculkan
wacana baru dalam berbagai lapangan kehidupan, literatur akademik, media massa,
forum-forum seminar, diskusi, dan pembahasan di berbagai lembaga. Penggunaan
istilah globalisasi inipun semakin meluas termasuk di Indonesia; penggunaan
istilah lain seperti “kejagatan” atau termasuk “internasionalisasi” tidak cukup
representatif untuk menampung semua makna dan nuansa yang tercakup dalam
istilah “globalisasi” tersebut.[8]
“Globalisasi”
adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada ‘bersatunya” berbagai negara
dalam globe menjadi satu entitas. Berdasarkan istilah “globalisasi” berarti
“perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang
mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antarmanusia,
organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia”.[9]
Sedangkan menurut Mukti Ali, globalisasi berarti “satu corak kesadaran baru
yang memperhatikan persoalan-persoalan baru, hal-hal yang khusus dan universal,
lokal, regional dan internasional yang saling berhubungan dengan cara yang dulu
belum pemah terjadi.[10]
Secara
umum pergaulan global yang terjadi saat ini dan masa-masa yang akan datang dapat
dirumuskan ciri-cirinya sebagai berikut:
1.
Terjadi pergeseran;
dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi,
dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest).
2.
Hubungan antar
negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency)
ke arah saling tergantung (interdependency);
hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada
posisi tawar menawar (bargaining position)
3.
Batas-batas geografi
hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara dan komunitas
dalam interaksinya dengan negara (komunitas lain) ditentukan oleh kemampuannya
memanfaatkan keungulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan
kompetitif (competitive advantage).
4.
Persaingan
antarnegara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Setiap
negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan.
5.
Terciptanya budaya
dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang
secara ekonomi dianggap tidak efisien.[11]
Pergaulan
global yang terjadi dengan cirinya yang demikian itu telah berimplikasi pada
kehidupan hampir seluruh manusia, termasuk umat Islam Indonesia, baik dalam
bentuknya yang positif maupun yang negatif. Manfaat yang diperoleh umat Islam
dari globalisasi dunia sungguh tak dapat dipungkiri. Namun aspek kemanfaatan
itu tidak harus melalaikan dari dampak negatif yang ditimbulkannya, agar setiap
manusia Indonesia dapat berdaya memasuki dan berkiprah di dalamnya. Dampak
negatif tersebut meliputi:
1.
Pemiskinan nilai
spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai implikasi materi (tidak
produktif) dianggap sebagai tindakan yang tidak rasional.
2.
Sebagian manusia
seakan-akan mengalami kejatuhan dari makhluk spiritual menjadi makhluk
material, yang menyebabkan nafsu hayawaninya menjadi pemandu kehidupan.
3.
Peran agama digeser
menjadi urusan akhirat sedangkan urusan dunia menjadi wewenang sains
(sekularistik).
4.
Tuhan hanya hadir
dalam pikiran, lisan, dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam prilaku dan
tindakan.
5.
Gabungan ikatan
primordial dengan sistem politik modern melahirkan nepotisme birokratisme, dan
otoriterisme.
6.
Individualistik.
Keluarga pada umumnya kehilangan fungsinya sebagai unit terkecil pengambil
keputusan. Seseorang bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, tidak lagi
bertanggungjawab pada keluarga. Ikatan moral dalam keluarga semakin lemah, dan
keluarga dianggap sebagai lembaga yang teramat tradisional.
7.
Terjadinya frustrasi
eksitensial (existential frustration) dengan ciri-cirinya: Pertama, hasrat
yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will
to pleasure) yang biasanya tercermin dalam prilaku yang
berlebihan untuk mengumpul uang (the
will to money), untuk bekerja (the will to work), dan kenikmatan seksual (the will to sex).
Këdua, kehampaan eksistensial berupa perasaan serba hampa, tak berarti hidupnya, dan lain-lain. Ketiga, neurosis
noogenik; perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis, tak mempunyai tujuan, dan sebagainya.[12]
3. Pendidikan Islam di
Era Transformasi Global
Transformasi merupakan suatu istilah yang populer dan menjadi kata kunci dalam membenahi
seluruh tatanan hidup berbangsa
dan bernegara di Indonesia, termasuk
transformasi di bidang pendidikan,
yakni transforrnasi pendidikan. Karena pada era transformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan
dalam semua aspek kehidupan.[13]
Transformasi pendidikan, sama dengan transformasi
sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, pendidikan Islam harus mampu menciptakan suatu pendidikan
yang sistematis dan sesuai
dengan upaya menciptakan keadilan
sosial, kesejahteraan, dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Sebagaimana yang terjadi di bidang lain, transformasi
pendidikan pun tidak akan terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi
ada beberapa tahapan yang harus
dilaluinya, dan tentunya juga
memerlukan ketersediaan dana dan tenaga
agar proyeksi pendidikan dapat lebih mengena pada sasaran yang diinginkan.
Transformasi pendidikan merupakan suatu perubahan
wajah dan
watak pendidikan. Proses transformasi
ini ada kalanya menghasilkan perubahan
yang bersifat positif dan ada kalanya menghasilkan perubahan yang bersifat
negatif. Tentu saja,
perubahan-perubahan positif ini menghasilkan perbaikan, sedangkan
perubahan-perubahan negatif akan bermuara pada kemunduran.[14]
Dengan
demikian, hasil dari suatu proses transformasi
pendidikan tidak pernah bersifat
positif secara keseluruhan, yang
ditandai dengan adanya kemajuan-kemajuan, atau bersifat negatif secara
keseluruhan, yang ditandai dengan adanya kemunduran-kemunduran. Akan tetapi,
dalam proses pendidikan tersebut, yang biasanya terjadi adalah ada perubahan
yang merupakan kemajuan dan perubahan yang merupakan kemunduran. Secara garis
besar dapat dicontohkan bahwa dengan meledaknya jumlah sekolah, mulai dan
tingkat sekolah dasar sarnpai ke perguruan tinggi tentunya dapat dipandang
sebagai suatu kemajuan, akan tetapi dengan meledaknya jumlah sekolah tersebut,
akan terjadi kemerosotan-kemerosotan dalam mewujudkan mutu pendidikan yang
dapat dipandang sebagai suatu kemunduran, yang biasa disebut dampak negatif.
Fazlur
Rahman menyatakan bahwa pangkal pendidikan Islam adalah mengerahkan peserta
didik untuk memiliki etika al-Qur’an. Dengan didasari oleh al-Qur’an, peserta
didik dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya dengan kemampuan
untuk mengatur segala yang ada di alam ini untuk kemaslahatan kehidupan seluruh
umat manusia.[15]
Paradigma
Qur’ani terdiri dan tiga kata kunci: “iman, Islam, dan taqwa”. Ketiga kata
kunci tersebut mengandung maksud yang sama, yaitu percaya, menyerahkan diii,
dengan menaati segala yang dlperintahkan Allah dan meninggalkan segala yang
dilarang-Nya.
Paradigma
Qur’ani ini sangat penting dalam konteks kekinian dimana umat Islam menghadapi
arus globalisasi yang digulirkan oleh Barat. Globalisasi cenderung menjebak
manusia dalam kubangan materialisme dan mengesampingkan moralitas dan keadilan.
Moralitas dan keadilan versi globalisasi ditimbang dengan neraca kapitalisme
yang menjadikan kebebasan pasar sebagai pujaannya. Tidak mengherankan apabila
manusia masa kini lebih bersikap individualistik, acuh tak acuh terhadap
penderitaan orang lain, dan bahkan melupakan kehidupan akhirat sebagai
kehidupan yang abadi.[16]
Dengan
paradigma Qur’ani ini, pendidikan Islam akan mampu melahirkan sosok generasi
Muslim yang kreatif dan berbudi luhur yang menjadikannya bisa memanfaatkan
sumber daya alam dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan umat manusia dan untuk
menciptakan keadilan, kemajuan dan keteraturan dunia.[17]
Tugas
utama yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar proses
transformasi pendidikan dapat menghasilkan kemajuan secara optimal dan
sekaligus meminimalisir kemungkinan timbulnya dampak negatif. Untuk mewujudkan
hal ini tentunya menghendaki adanya suatu pola yang lahir dari suatu grand
design.[18]
Upaya-upaya
yang perlu dilakukan untuk mengupayakan proses transformasi di atas di
antaranya:
1.
Meningkatkan upaya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada perguruan tinggi-perguruan
tinggi, agar umat Islam memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di kancah
global.
2.
Melembagakan studi
masa depan pada institusi-institusi penddikan umat Islam baik formal maupun
informal.
3.
Menghilangkan
pandangan dikomotis mengenai ilmu pengetahuan dan kehidupan.
4.
Mengakses puncak
piramida revolusi informasi, dan jika mungkin memimpin proses penggunaannya.
5.
Perguruan tinggi
Islam hendaknya mampu rneyakinkan umat Islam bahwa kemajuan yang dicapai umat
manusia saat ini adalah milik bersama umat manusia, di mana umat Islam turut
memiliki kontribusi di dalamnya.
6.
Melakukan
revitalisasi dan modernisasi agama dalam berbagai aspeknya, dan menjadikan
aspek paling dinamis dan agama Islam menjadi standar keberagamaan umat Islam.
7.
Menegaskan makna dan
hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia.
8.
Memberikan daya
banding kepada umat Islam agar mereka tidak ‘gugup’ atau kaget berhadapan
dengan kehidupan modern.
9.
Menampilkan
keberagamaan yang lebih sejuk dan ramah, berdasarkan pemahaman terhadap
nilai-nilai universal yang diajarkan Islam dan teologi inklusif yang diperankan
Nabi Muhammad SAW.
10.
Pendidikan dan
dakwah perlu diarahkan bagi penumbuhan kepercayaan diri umat Islam.
11.
Menghidupkan visi
ekonomi dan ‘teologi komersial’ di kalangan umat Islam.
12.
Menghilangkan
teologi kemiskinan dan tubuh umat Islam.
13.
Menumbuhkan ukhuwah
Islamiyah yang lebih universal dan mencakup berbagai segi kehidupan umat Islam.
14.
Mengupayakan
penghapusan kemiskinan dan ketimpangan sosial secara sungguh-sungguh.[19]
4.
Analisis
Setidaknya terdapat dua faktor mendasar yang
melatarbelakangi merosotnya tranmisi keilmuan di dunia Islam. Pertama, Problem Internal, yakni problem tersebut
berasal dari dalam umat Islam sendiri. Bentuk internal ini antara lain berupa:
1) Adanya simtom dikotomik (merujuk istilah Abdurrahman Mas’ud), yakni cara
berpikir serba dikotomis, seperti Islam versus non Islam, Timur versus Barat,
ilmu agama versus ilmu non agama, dan bentuk-bentuk dikotomik lainnya; 2)
Mandegnya semangat penalaran yang telah digantikan dengan tradisi taklid; 3)
Kesalahan memahami ajaran Islam dan salah pula dalam mempraktikkannya.[20]
Dalam konteks Indonesia, problematika simtom
dikotomik di atas dijembatani dengan menggabungkan dua kecenderungan dikotomis.
Di perguruan-perguruan tinggi Islam Indonesia, telah dikembangkan berbagai
langkah integrasi keilmuan. STAIN Kudus, misalnya, dalam rumusan visinya
tercantum: “Membangun dan memberdayakan ilmu-ilmu agama Islam dengan
mengintegrasikan dan menginternalisasikan ketangguhan dan keanggunan karakter
moral, kesalehan nurani/spiritual dan ketajaman nalar/emosional untuk
mewujudkan masyarakat madani.” Tidak jauh berbeda dari itu, UIN Jakarata
juga memiliki istilah “Integrasi Ilmu Islam dan Ilmu Umum”, UIN Malang
dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, sedangkan UIN Yogyakarta dikenal
istilah “Interkoneksitas Ilmu-ilmu Agama dan Umum.”
Kedua, Problem
Eksternal, yakni sebuah kondisi yang berasal dari luar umat Islam dalam
situasi yang merasuk pada lapisan masyarakat pada umumnya, namun langsung atau
tidak langsung umat Islam terjangkiti oleh wabah ini. Bentuk eksternal ini
antara lain berupa tergesernya peradaban Islam yang ditandai lemahnya model
pendidikan, juga disebabkan terjangan virus industrialisasi pendidikan yang
disemangati ideologi kapitalis.[21]
5.
Kesimpulan
Munculnya
era transformasi global harus diakui telah mempengaruhi perilaku umat manusia
Sementara umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah yang
memegang kendali semua teknologi modern. Dari sini beberapa permasalahan,
khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan.
Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap muslim dalam upaya
mengantipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang
diakibatkan oleh hasil transformasi teknologi dan informasi ke seluruh dunia.
Kedua,
bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media
berita, baik media cetak maupun media elektronik. Seperti dimaklumi,
pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada
kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan
teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat. Dengan demikian, setiap muslim
yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang
ditentukan Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami.
Sehingga dalam beberapa kasus sering tenjadi para saintis Muslim, secara sadar
atau tidak tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik
Barat.[22]
Belakangan
ini ada kecenderungan di mana umat Islam mudah tergiur dengan
paradigma-paradigma pendidikan modern yang diluncurkan oleh Barat. Hampir
setiap kali ada paradigma baru dalam dunia pendidikan Barat, umat Islam selalu
mencoba untuk menerapkannya dalam sistem pendidikan Islam, termasuk di
Indonesia. Seakan-akan menganggap bahwa paradigma Barat itu merupakan paradigma
terbaik, dan umat Islam tidak memiliki paradigma sendiri yang berbeda atau
bahkan lebih baik dari Barat.
Oleh
karena itu, muncullah berbagai pemikiran terkait model pendidikan Islam yang
tepat serta upaya yang perlu dilakukan dalam menghadapi era transformasi global
tersebut. Salah satunya adalah dengan paradigma Qur’ani. Dengan paradigma ini,
peserta didik diarahkan untuk dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada
dirinya dengan kemampuan untuk mengatur segala yang ada di alam ini untuk
kemaslahatan kehidupan seluruh umat manusia.
Bibliografi:
Burhanuddin, et. al. (Peny.), Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan
Islam Indonesia, Jakarta:
PPIM UIN Jakarta, 2006, Cet. I.
Departemen Agama RI,
Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Jakarta: Dirjen Pendidikan
Islam, 2006.
Harahap, Syahrin
(Ed.), “Kiprah Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Pemberdayaan Manusia Indonesia di Kancah Globalisasi”, dalam Perguruan Tinggi
Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta:
lAIN Sumatera Utara bekerjasama dengan Tiara Wacana Yogya, 1998, Cet. I.
Jalal, Abdul Fattah,
Azas-azas Pendidikan Islam, Terj.
Hery Noer Aly Bandung: CV. Diponegoro, 1988.
Muhaimin, et. al., Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Abdi Tama,
t.th.
Mukhtar,
“Transformasi Pembelajaran Pendidikan Tinggi Islam di Era Kompetisi Global”,
dalam Jurnal Media Pendidikan, Vol. XVI, No. 2, Desember 2002, Bandung:
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 2002.
Muthohar, Ahmad, AR,
“Islam dan Pendidikan Global” dalam Jurnal
Studi Islam, Vol. 06, No. 01, Pebruari, 2006, Semarang: PPs IAIN Walisongo
Semarang, 2006.
Nizar, Samsul, Pengantar
Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Sonhadji, Khoirul
Umam, “Madrasah Merespons Tantangan Dunia Global”, dalam Jurnal Madrasah, Vol.
7, No. I, Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2006.
Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metodologi, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992.
[1]Mukhtar,
“Transformasi Pembelajaran Pendidikan Tinggi Islam di Era Kompetisi Global”,
dalam Jurnal Media Pendidikan, Vol. XVI, No. 2, Desember 2002, (Bandung:
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 2002), hlm. 129.
[3]Departemen
Agama RI, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Jakarta: Dirjen
Pendidikan Islam, 2006), hlm. 7.
[4]Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya,
1992), hlm. 26.
1992), hlm. 26.
[5]Departemen
Agama RI, op. cit., hlm.
13.
[6]Abdul
Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan
Islam, Terj. Hery Noer Aly (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), hlm.
143-151.
[7]Samsul
Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 95.
[8]Khoirul
Umam Sonhadji, “Madrasah Merespons Tantangan Dunia Global”, dalam Jurnal
Madrasah, Vol. 7, No. I, (Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2006), hlm. 19.
[9]Burhanuddin, et. al. (Peny.), Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan
Islam
Indonesia, (Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2006), Cet. I, hlm. 6.
Indonesia, (Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2006), Cet. I, hlm. 6.
[10]Sebagaimana
dikutip Burhanuddin, Ibid.
[11]Syahrin
Harahap (Ed.), “Kiprah Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Pemberdayaan Manusia Indonesia di Kancah Globalisasi”, dalam Perguruan
Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta: lAIN Sumatera Utara bekerjasama dengan Tiara
Wacana Yogya, 1998), Cet. I, hlm. x-xi.
Pengetahuan dan Pemberdayaan Manusia Indonesia di Kancah Globalisasi”, dalam Perguruan
Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Yogyakarta: lAIN Sumatera Utara bekerjasama dengan Tiara
Wacana Yogya, 1998), Cet. I, hlm. x-xi.
[12]lbid, him. xi-xii.
[15]Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap
Metodologi, Epistemologi dan Sistem Pendidikan,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2006), hlm. 181-182.
[16]Departemen
Agama RI, op. cit., hlm. 89.
[17]lbid.
[18]Mukhtar,
op. cit., hlm. 131.
[20]Ahmad
Muthohar AR, “Islam dan Pendidikan Global” dalam Jurnal Studi Islam, Vol. 06, No. 01, Pebruari, 2006, (Semarang: PPs
IAIN Walisongo Semarang, 2006), hlm. 29-32.
[21]Ibid,
hlm. 32-33.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar