abiquinsa: Pendidikan Islam di Era Transformasi Global

Pendidikan Islam di Era Transformasi Global


PENDIDIKAN ISLAM DI ERA TRANSFORMASI GLOBAL
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I


Pendidikan merupakan kebutuhan dan tanggung jawab semua elemen masyarakat. Pendidikan selain merupakan kebutuhan lokal juga sebagai jaringan yang periling dalam menembus dan memasuki proses kompetisi global. Di dunia global, masyarakat akan menghadapi berbagai persaingan global. Di bidang ideologis akan muncul kekuatan pressure yang semakin menajam, persaingan di bidang ekonomi makin terbuka, dan persaingan peradaban semakin kompleks.


Globalisasi menuntut adanya berbagai upaya pengembangan dan disain kebijakan-kebijakan pendidikan, dengan rekayasa sosial yang kuat dan memiliki ketangguhan kemampuan untuk bertahan dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang khas, sehingga tidak tenggelam dalam arus globalisasi yang demikian deras.[1]
Tidak luput terhadap pendidikan Islam, tentu akan memiliki sejumlah globalisasi tantangan dan peluang yang akan tampil dalam berbagai fenomena. Hal ini tentunya membutuhkan upaya-upaya strategis yang harus dilakukan agar pendidikan Islam senantiasa siap berpacu di era globaI. Fenomena globalisasi ini menyebabkan pendidikan Islam akan menghadapi berbagai persoalan yang serius dan dilematis, yaitu antara komitmen menjaga nilai-nilai dasar Islam dan adanya kesadaran untuk mengikuti perkembangan zaman.
Realitas ini tentu menggugah para pemikir pendidikan Islam untuk segera menata paradigma baru pembelajaran yang menganut sistem pendidikan modern sesuai dengan tuntutan masyarakat global, akan tetapi tetap konsisten memegang prinsip-prinsip moralitas Islam.

1.   Konsep Pendidikan Islam
Rangkaian kata “pendidikan Islam” bisa dipahami dalam arti berbeda-beda, antara lain: 1) pendidikan (menurut) Islam, 2) pendidikan (dalam) Islam, dan 3) pendidikan (agama) Islam.[2] Istilah yang pertama, pendidikan (menurut) Islam, berdasarkan sudut pandang bahwa Islam adalah ajaran tentang nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang ideal, yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam hal ini, pendidikan (menurut) Islam, dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari sumber otentik ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Jadi, pembahasan mengenai pendidikan (menurut) Islam lebih bersifat filosofis.[3]
Istilah yang kedua, pendidikan (dalam) Islam, berdasar atas perspektif bahwa Islam adalah ajaran-ajaran, sistem budaya dan peradaban yang tumbuh dan berkembang sepanjang perjalanan sejarah umat Islam, sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai masa sekarang. Dengan demikian, pendidikan (dalam) Islam ini dapat dipahami sebagai proses dan praktek penyelenggaraan pendidikan di kalangan umat Islam, yang berlangsung secara berkesinambungan dari generasi ke generasi sepanjang sejarah Islam. Jadi, pendidikan (dalam) Islam lebih bersifat historis, atau lazim disebut sejarah pendidikan Islam.
Sedangkan istilah yang ketiga, pendidikan (agama) Islam, muncul dari pandangan bahwa Islam adalah nama bagi agama yang menjadi anutan dan pandangan hidup (way of life) umat Islam. Agama Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai ajaran yang berasal dan Allah, yang memberikan petunjuk ke jalan yang benar menuju kebahagiaan dl dunia dan keselamatan di akhirat.[4] Pendidikan (agama) Islam dalam hal ini dipahami sebagai proses dan upaya serta transformasi ajaran-ajaran Islam tersebut, agar menjadi rujukan dan pandangan hidup bagi umat Islam. Jadi, lebih menekankan pada teori pendidikan Islam.
Dalam pendidikan Islam, yang menjadi pandangan hidup (way of life) yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan adalah pandangan hidup yang Islami, yaitu suatu nilal yang transenden, universal, dan eternal.[5]
Dalam menetapkan dasar pendidikan Islam, para pemikir Islam berbeda pendapat. Abdul Fattah Jalal membagi dasar pendidikan Islam menjadi dua sumber, yaitu (1) sumber ilahiyah, yang meliputi al-Qur’an, Hadits, dan alam semesta sebagai ayah kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali; dan (2) sumber insaniyah, yaitu proses ijtihad manusia dari fenomena yang muncul dan dari kajian lebih lanjut terhadap sumber ilahi yang masih global.[6]
Berbeda dan Jalal, Samsul Nizar membagi sumber atau nilai dasar yang dijadikan acuan dalam pendidikan Islam menjadi tiga sumber: (1) al-Qur’an; (2) sunnah, dan (3) ijtihad para ilmuwan muslim yang berupaya merumuskan bentuk sistem pendidikan Islam sesuai dengan tuntutan dinamika zaman, yang tidak dirumuskan oleh al-Qur’an dan sunnah.[7]
2.   Globalisasi dan Implikasinya
Sejak dua dasawarsa menjelang milenium baru, proses globalisasi telah memunculkan wacana baru dalam berbagai lapangan kehidupan, literatur akademik, media massa, forum-forum seminar, diskusi, dan pembahasan di berbagai lembaga. Penggunaan istilah globalisasi inipun semakin meluas termasuk di Indonesia; penggunaan istilah lain seperti “kejagatan” atau termasuk “internasionalisasi” tidak cukup representatif untuk menampung semua makna dan nuansa yang tercakup dalam istilah “globalisasi” tersebut.[8]
“Globalisasi” adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada ‘bersatunya” berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Berdasarkan istilah “globalisasi” berarti “perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antarmanusia, organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia”.[9] Sedangkan menurut Mukti Ali, globalisasi berarti “satu corak kesadaran baru yang memperhatikan persoalan-persoalan baru, hal-hal yang khusus dan universal, lokal, regional dan internasional yang saling berhubungan dengan cara yang dulu belum pemah terjadi.[10]
Secara umum pergaulan global yang terjadi saat ini dan masa-masa yang akan datang dapat dirumuskan ciri-cirinya sebagai berikut:
1.    Terjadi pergeseran; dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kepentingan (balance of interest).
2.    Hubungan antar negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke arah saling tergantung (interdependency); hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar menawar (bargaining position)
3.    Batas-batas geografi hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara dan komunitas dalam interaksinya dengan negara (komunitas lain) ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keungulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage).
4.    Persaingan antarnegara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Setiap negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan.
5.    Terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi dianggap tidak efisien.[11]
Pergaulan global yang terjadi dengan cirinya yang demikian itu telah berimplikasi pada kehidupan hampir seluruh manusia, termasuk umat Islam Indonesia, baik dalam bentuknya yang positif maupun yang negatif. Manfaat yang diperoleh umat Islam dari globalisasi dunia sungguh tak dapat dipungkiri. Namun aspek kemanfaatan itu tidak harus melalaikan dari dampak negatif yang ditimbulkannya, agar setiap manusia Indonesia dapat berdaya memasuki dan berkiprah di dalamnya. Dampak negatif tersebut meliputi:
1.    Pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai implikasi materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan yang tidak rasional.
2.    Sebagian manusia seakan-akan mengalami kejatuhan dari makhluk spiritual menjadi makhluk material, yang menyebabkan nafsu hayawaninya menjadi pemandu kehidupan.
3.    Peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedangkan urusan dunia menjadi wewenang sains (sekularistik).
4.    Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam prilaku dan tindakan.
5.    Gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern melahirkan nepotisme birokratisme, dan otoriterisme.
6.    Individualistik. Keluarga pada umumnya kehilangan fungsinya sebagai unit terkecil pengambil keputusan. Seseorang bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, tidak lagi bertanggungjawab pada keluarga. Ikatan moral dalam keluarga semakin lemah, dan keluarga dianggap sebagai lembaga yang teramat tradisional.
7.    Terjadinya frustrasi eksitensial (existential frustration) dengan ciri-cirinya: Pertama, hasrat yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) yang biasanya tercermin dalam prilaku yang berlebihan untuk mengumpul uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan kenikmatan seksual (the will to sex). Këdua, kehampaan eksistensial berupa perasaan serba hampa, tak berarti hidupnya, dan lain-lain. Ketiga, neurosis noogenik; perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis, tak mempunyai tujuan, dan sebagainya.[12]
3.   Pendidikan Islam di Era Transformasi Global
Transformasi merupakan suatu istilah yang populer dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia, termasuk transformasi di bidang pendidikan, yakni transforrnasi pendidikan. Karena pada era transformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupan.[13]
Transformasi pendidikan, sama dengan transformasi sosial dan ekonomi. Dalam hal ini, pendidikan Islam harus mampu menciptakan suatu pendidikan yang sistematis dan sesuai dengan upaya menciptakan keadilan sosial, kesejahteraan, dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Sebagaimana yang terjadi di bidang lain, transformasi pendidikan pun tidak akan terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi ada beberapa tahapan yang harus dilaluinya, dan tentunya juga memerlukan ketersediaan dana dan tenaga agar proyeksi pendidikan dapat lebih mengena pada sasaran yang diinginkan.
Transformasi pendidikan merupakan suatu perubahan wajah dan watak pendidikan. Proses transformasi ini ada kalanya menghasilkan perubahan yang bersifat positif dan ada kalanya menghasilkan perubahan yang bersifat negatif. Tentu saja, perubahan-perubahan positif ini menghasilkan perbaikan, sedangkan perubahan-perubahan negatif akan bermuara pada kemunduran.[14]
Dengan demikian, hasil dari suatu proses transformasi pendidikan tidak pernah bersifat positif secara keseluruhan, yang ditandai dengan adanya kemajuan-kemajuan, atau bersifat negatif secara keseluruhan, yang ditandai dengan adanya kemunduran-kemunduran. Akan tetapi, dalam proses pendidikan tersebut, yang biasanya terjadi adalah ada perubahan yang merupakan kemajuan dan perubahan yang merupakan kemunduran. Secara garis besar dapat dicontohkan bahwa dengan meledaknya jumlah sekolah, mulai dan tingkat sekolah dasar sarnpai ke perguruan tinggi tentunya dapat dipandang sebagai suatu kemajuan, akan tetapi dengan meledaknya jumlah sekolah tersebut, akan terjadi kemerosotan-kemerosotan dalam mewujudkan mutu pendidikan yang dapat dipandang sebagai suatu kemunduran, yang biasa disebut dampak negatif.
Fazlur Rahman menyatakan bahwa pangkal pendidikan Islam adalah mengerahkan peserta didik untuk memiliki etika al-Qur’an. Dengan didasari oleh al-Qur’an, peserta didik dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya dengan kemampuan untuk mengatur segala yang ada di alam ini untuk kemaslahatan kehidupan seluruh umat manusia.[15]
Paradigma Qur’ani terdiri dan tiga kata kunci: “iman, Islam, dan taqwa”. Ketiga kata kunci tersebut mengandung maksud yang sama, yaitu percaya, menyerahkan diii, dengan menaati segala yang dlperintahkan Allah dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya.
Paradigma Qur’ani ini sangat penting dalam konteks kekinian dimana umat Islam menghadapi arus globalisasi yang digulirkan oleh Barat. Globalisasi cenderung menjebak manusia dalam kubangan materialisme dan mengesampingkan moralitas dan keadilan. Moralitas dan keadilan versi globalisasi ditimbang dengan neraca kapitalisme yang menjadikan kebebasan pasar sebagai pujaannya. Tidak mengherankan apabila manusia masa kini lebih bersikap individualistik, acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain, dan bahkan melupakan kehidupan akhirat sebagai kehidupan yang abadi.[16]
Dengan paradigma Qur’ani ini, pendidikan Islam akan mampu melahirkan sosok generasi Muslim yang kreatif dan berbudi luhur yang menjadikannya bisa memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan dan keteraturan dunia.[17]
Tugas utama yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar proses transformasi pendidikan dapat menghasilkan kemajuan secara optimal dan sekaligus meminimalisir kemungkinan timbulnya dampak negatif. Untuk mewujudkan hal ini tentunya menghendaki adanya suatu pola yang lahir dari suatu grand design.[18]
Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk mengupayakan proses transformasi di atas di antaranya:
1.    Meningkatkan upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada perguruan tinggi-perguruan tinggi, agar umat Islam memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif di kancah global.
2.    Melembagakan studi masa depan pada institusi-institusi penddikan umat Islam baik formal maupun informal.
3.    Menghilangkan pandangan dikomotis mengenai ilmu pengetahuan dan kehidupan.
4.    Mengakses puncak piramida revolusi informasi, dan jika mungkin memimpin proses penggunaannya.
5.    Perguruan tinggi Islam hendaknya mampu rneyakinkan umat Islam bahwa kemajuan yang dicapai umat manusia saat ini adalah milik bersama umat manusia, di mana umat Islam turut memiliki kontribusi di dalamnya.
6.    Melakukan revitalisasi dan modernisasi agama dalam berbagai aspeknya, dan menjadikan aspek paling dinamis dan agama Islam menjadi standar keberagamaan umat Islam.
7.    Menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia.
8.    Memberikan daya banding kepada umat Islam agar mereka tidak ‘gugup’ atau kaget berhadapan dengan kehidupan modern.
9.    Menampilkan keberagamaan yang lebih sejuk dan ramah, berdasarkan pemahaman terhadap nilai-nilai universal yang diajarkan Islam dan teologi inklusif yang diperankan Nabi Muhammad SAW.
10. Pendidikan dan dakwah perlu diarahkan bagi penumbuhan kepercayaan diri umat Islam.
11. Menghidupkan visi ekonomi dan ‘teologi komersial’ di kalangan umat Islam.
12. Menghilangkan teologi kemiskinan dan tubuh umat Islam.
13. Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah yang lebih universal dan mencakup berbagai segi kehidupan umat Islam.
14. Mengupayakan penghapusan kemiskinan dan ketimpangan sosial secara sungguh-sungguh.[19]
4.   Analisis
Setidaknya terdapat dua faktor mendasar yang melatarbelakangi merosotnya tranmisi keilmuan di dunia Islam. Pertama, Problem Internal, yakni problem tersebut berasal dari dalam umat Islam sendiri. Bentuk internal ini antara lain berupa: 1) Adanya simtom dikotomik (merujuk istilah Abdurrahman Mas’ud), yakni cara berpikir serba dikotomis, seperti Islam versus non Islam, Timur versus Barat, ilmu agama versus ilmu non agama, dan bentuk-bentuk dikotomik lainnya; 2) Mandegnya semangat penalaran yang telah digantikan dengan tradisi taklid; 3) Kesalahan memahami ajaran Islam dan salah pula dalam mempraktikkannya.[20]
Dalam konteks Indonesia, problematika simtom dikotomik di atas dijembatani dengan menggabungkan dua kecenderungan dikotomis. Di perguruan-perguruan tinggi Islam Indonesia, telah dikembangkan berbagai langkah integrasi keilmuan. STAIN Kudus, misalnya, dalam rumusan visinya tercantum: “Membangun dan memberdayakan ilmu-ilmu agama Islam dengan mengintegrasikan dan menginternalisasikan ketangguhan dan keanggunan karakter moral, kesalehan nurani/spiritual dan ketajaman nalar/emosional untuk mewujudkan masyarakat madani.” Tidak jauh berbeda dari itu, UIN Jakarata juga memiliki istilah “Integrasi Ilmu Islam dan Ilmu Umum”, UIN Malang dengan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, sedangkan UIN Yogyakarta dikenal istilah “Interkoneksitas Ilmu-ilmu Agama dan Umum.”
Kedua, Problem Eksternal, yakni sebuah kondisi yang berasal dari luar umat Islam dalam situasi yang merasuk pada lapisan masyarakat pada umumnya, namun langsung atau tidak langsung umat Islam terjangkiti oleh wabah ini. Bentuk eksternal ini antara lain berupa tergesernya peradaban Islam yang ditandai lemahnya model pendidikan, juga disebabkan terjangan virus industrialisasi pendidikan yang disemangati ideologi kapitalis.[21]
5.   Kesimpulan
Munculnya era transformasi global harus diakui telah mempengaruhi perilaku umat manusia Sementara umat Islam hanya berperan sebagai konsumen, orang Barat-lah yang memegang kendali semua teknologi modern. Dari sini beberapa permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan Islam, mencuat ke permukaan. Pertama, apa langkah yang harus ditempuh oleh setiap muslim dalam upaya mengantipasi dan merespon sejak dini gejala-gejala distorsi moral yang diakibatkan oleh hasil transformasi teknologi dan informasi ke seluruh dunia.
Kedua, bahwa Barat merupakan satu-satunya pemegang peran kunci dari seluruh media berita, baik media cetak maupun media elektronik. Seperti dimaklumi, pemberitaan-pemberitaan tersebut banyak mengandung bias, khususnya bila ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan dunia Islam. Ketiga, sains dan teknologi menjadi dominasi khusus dunia Barat. Dengan demikian, setiap muslim yang berminat mendalami bidang-bidang ini harus mengikuti term-term yang ditentukan Barat, yang tidak jarang bertentangan dengan nilai-nilai Islami. Sehingga dalam beberapa kasus sering tenjadi para saintis Muslim, secara sadar atau tidak tercerabut dari akar-akar keislaman, dan menjadi pembela fanatik Barat.[22]
Belakangan ini ada kecenderungan di mana umat Islam mudah tergiur dengan paradigma-paradigma pendidikan modern yang diluncurkan oleh Barat. Hampir setiap kali ada paradigma baru dalam dunia pendidikan Barat, umat Islam selalu mencoba untuk menerapkannya dalam sistem pendidikan Islam, termasuk di Indonesia. Seakan-akan menganggap bahwa paradigma Barat itu merupakan paradigma terbaik, dan umat Islam tidak memiliki paradigma sendiri yang berbeda atau bahkan lebih baik dari Barat.
Oleh karena itu, muncullah berbagai pemikiran terkait model pendidikan Islam yang tepat serta upaya yang perlu dilakukan dalam menghadapi era transformasi global tersebut. Salah satunya adalah dengan paradigma Qur’ani. Dengan paradigma ini, peserta didik diarahkan untuk dapat mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya dengan kemampuan untuk mengatur segala yang ada di alam ini untuk kemaslahatan kehidupan seluruh umat manusia.

Bibliografi:

Burhanuddin, et. al. (Peny.), Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2006, Cet. I.
Departemen Agama RI, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, 2006.
Harahap, Syahrin (Ed.), “Kiprah Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Pemberdayaan Manusia Indonesia di Kancah Globalisasi”, dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta: lAIN Sumatera Utara bekerjasama dengan Tiara Wacana Yogya, 1998, Cet. I.
Jalal, Abdul Fattah, Azas-azas Pendidikan Islam, Terj. Hery Noer Aly Bandung: CV. Diponegoro, 1988.
Muhaimin, et. al., Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Abdi Tama, t.th.
Mukhtar, “Transformasi Pembelajaran Pendidikan Tinggi Islam di Era Kompetisi Global”, dalam Jurnal Media Pendidikan, Vol. XVI, No. 2, Desember 2002, Bandung: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 2002.
Muthohar, Ahmad, AR, “Islam dan Pendidikan Global” dalam Jurnal Studi Islam, Vol. 06, No. 01, Pebruari, 2006, Semarang: PPs IAIN Walisongo Semarang, 2006.
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Sonhadji, Khoirul Umam, “Madrasah Merespons Tantangan Dunia Global”, dalam Jurnal Madrasah, Vol. 7, No. I, Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2006.
Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metodologi, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006. 
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992.
 


[1]Mukhtar, “Transformasi Pembelajaran Pendidikan Tinggi Islam di Era Kompetisi Global”, dalam Jurnal Media Pendidikan, Vol. XVI, No. 2, Desember 2002, (Bandung: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 2002), hlm. 129. 
[2]Muhaimin, et. al., Ilmu Pendidikan Islam, (Surabaya: Karya Abdi Tama, t.th.), hlm. 1-2.
[3]Departemen Agama RI, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam, 2006), hlm. 7.
[4]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), hlm. 26. 
[5]Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 13.
[6]Abdul Fattah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Terj. Hery Noer Aly (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), hlm. 143-151.
[7]Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 95.
[8]Khoirul Umam Sonhadji, “Madrasah Merespons Tantangan Dunia Global”, dalam Jurnal Madrasah, Vol. 7, No. I, (Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2006), hlm. 19.
[9]Burhanuddin, et. al. (Peny.), Mencetak Muslim Modern; Peta Pendidikan Islam
Indonesia,
(Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2006), Cet. I, hlm. 6.
[10]Sebagaimana dikutip Burhanuddin, Ibid.
[11]Syahrin Harahap (Ed.), “Kiprah Perguruan Tinggi Islam dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Pemberdayaan Manusia Indonesia di Kancah Globalisasi”, dalam Perguruan
Tinggi Islam di Era Globalisasi,
(Yogyakarta: lAIN Sumatera Utara bekerjasama dengan Tiara
Wacana Yogya, 1998), Cet. I, hlm. x-xi. 
[12]lbid, him. xi-xii.
[13]Mukhtar, op. cit, hlm. 130.  
[14]Ibid.   
[15]Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metodologi, Epistemologi dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181-182.  
[16]Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 89.
[17]lbid.
[18]Mukhtar, op. cit., hlm. 131.
[19]Syahrin Harahap (Ed.), loc. cit.  
[20]Ahmad Muthohar AR, “Islam dan Pendidikan Global” dalam Jurnal Studi Islam, Vol. 06, No. 01, Pebruari, 2006, (Semarang: PPs IAIN Walisongo Semarang, 2006), hlm. 29-32.
[21]Ibid, hlm. 32-33.
[22]Departemen Agama RI, op. cit., hlm. iii. 

Share This Article


Tidak ada komentar:

Posting Komentar