Resume Buku
KONTROVERSI HADIS DI MESIR (1890 – 1960)
Oleh: Rofi'udin, S.Th.I, M.Pd.I
Oleh: Rofi'udin, S.Th.I, M.Pd.I
BAB 1 : SURVEY MENGENAI ISU-ISU UTAMA DALAM DISKUSI
TEOLOGIS
Sejak masa Muhammad Abduh (1890) sampai sekarang (1960),
otentisitas literatur hadis telah menjadi isu utama dalam pembahasan teologis
di Mesir. Isu ini didekati dari dua sudut yang berbeda :
Download
Download
Pertama,
hadis mendapatkan penekanan sebagai catatan resmi tentang sunnah Nabi:
keragu-raguan tentang otentisitas hadis, dari sudut ini, membahayakan kedudukan
sunnah. Jika dinyatakan bahwa sebuah hadis tidak otentik, maka secara otomatis
hadis tersebut kehilangan hujjiyyah-nya.
Kedua,
hadis yang tidak berhubungan dengan aturan-aturan hukum, namun hanya memberikan
informasi historis tentang Nabi, telah dicampakkan oleh sebagian orang yang
mempersoalkannya, karena informasinya secara historis tidak benar atau
bertentangan dengan persepsi inderawi. Karena
itu, hadis-hadis ini tidak dapat dijadikan sumber penelitian historis.
Pembagian hadis berdasarkan isnad dikelompokkan
ke dalam dua kelompok utama, yakni 1) hadis mutawatir yang secara umum
diakui otentisitasnya karena memiliki sekian banyak jalur periwayatan , 2)
hadis ahad yang hanya memiliki satu atau beberapa isnad yang
berbeda sehingga tingkat otentisitasnya berbeda. Selain itu, ada pula yang
membedakan lagi dengan hadis masyhur, yakni hadis ahad yang terkenal.
Pembagian yang lain terhadap literatur hadis :
hadis-hadis yang mencatat sunnah amaliyyah Nabi dan sunnah qawliyyah
Nabi.
BAB 2 : KRITERIA SAHIH MENURUT PANDANGAN MUHAMMAD
ABDUH
Ketika membicarakan hadis tentang terpecahnya umat ke
dalam 73 golongan, Abduh mengaku mengalami kesulitan golongan mana yang selamat
satu-satunya itu. Menurut Abduh, tidak dapat diketahui golongan mana yang masuk
neraka sebab tiap golongan sama-sama meyakini tentang kebenaran pemahamannya
terhadap tiga hal, 1) bahwa alam ini memiliki satu Pencipta, 2) adanya akhirat,
3) kebenaran risalah Nabi.
Menurut Sulaiman Dunya, metode Abduh dalam memahami matan
hadis tersebut merupakan metode yang lebih banyak dipraktikkan oleh para
filosof ketimbang ahli-ahli teologi, yaitu mendahulukan ’aql dari naql.
Meski begitu, Abduh mengatakan bahwa penerapan akal terhadap teks-teks wahyu
tidak akan pernah dapat digunakan untuk menolak wahyu.
BAB 3 : KESAHIHAN YANG DIBAHAS DALAM AL-MANAR
Muhammad Abduh tidak menguraikan pandangan-pandangannya
tentang literatur hadis. Namun justru murid-muridnya sangat memperhatikan
hadis. Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Rasyid
Ridha. Ridha dipengaruhi gagasan-gagasan Abduh yang diterbitkan dalam bentuk Al-Urwatul
Al-Wutsqa. Ridha menerbitkan pula gagasan-gagasan gurunya itu dalam Al-Manar
yang menanamkan pengaruh luas di dunia Islam.
Abduh memperlihatkan kenyataan bahwa orang harus
mentahkikkan (memeriksa, menguji) kesahihan setiap hadis, sebelum berpikir untuk
mengamalkan hadis tersebut. Ridha dan Abduh sama-sama menjunjung tinggi sunnah
dan kodifikasinya dalam literatur hadis, tetapi mereka tidak bersandar pada
kritik hadis dari masa-masa klasik.
Dalam Al-Manar XXVI, Ridha menulis :
“Tiang iman adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi yang diriwayatkan melalui
hadis-hadis mutawatir; sunnah ini merupakan sunnah ‘amaliyyah seperti
shalat dan upacara haji (manasik), dan sebagian sabda Nabi (ahadits
qawliyyah), yang telah diterima oleh sebagian leluhur yang mulia. Ijtihad
dapat dilakukan atas hadis-hadis yang memiliki satu atau hanya beberapa isnad
(ahad), yang periwayatannya meragukan, atau yang tidak secara khusus
menunjukkan sesuatu. Kita melihat bahwa beberapa imam (madzhab), dengan
menggunakan pemikiran mereka sendiri, telah menolak banyak hadis sahih, di
antaranya bahkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Telah terbukti bahwa Al-Manar menyulut diskusi
yang menyeret banyak tokoh untuk ikut berbincang tentang segala hal di
dalamnya. Pembahasan pertama literatur hadis adalah sebuah artikel yang
berjudul Al-Islam Huwa al-Qur’an Wahdahu yang ditulis oleh Muhammad
Tawfiq Shidqi. Dalam artikelnya tersebut, Shidqi menulis bahwa sumber hukum
Islam hanyalah al-Qur’an. Menurutnya, semua orang Islam tidak meragukan
keandalan al-Qur’an, sedangkan terhadap hadis, ada orang Islam yang
meragukannya. Al-Qur’an ditulis pada saat Nabi masih hidup, sedangkan hadis
ditulis beberapa abad kemudian. Al-Qur’an adalah kriteria dan petunjuk abadi
bagi generasi segenap zaman; bagi masyarakat zaman sekarang, sunnah Nabi telah
kehilangan nilainya, dan hanya memiliki arti bagi generasi-generasi pertama
muslim saja. Shidqi mengutip surat 6 ayat 38 : “Kami tidak mengabaikan apa
pun dalam Kitab”, dan surat 16 ayat 89 : “Dan telah Kami turunkan
kepadamu, kitab yang menjelaskan segalanya”.
Pendapat Shidqi ditolak keras oleh Ahmad Manshur
al-Baz dan Syaikh Thaha al-Bisyri. Keduanya menunjukkan bahwa sunnah sangat
diperlukan dalam Islam, karena sunnah menjelaskan secara terinci apa yang disinggung
oleh al-Qur’an secara umum. Selain itu, As-Siba’i juga menyangkal pendapat
Shidqi di atas. Mengutip Asy-Syafi’i, As-Siba’i menjelaskan bahwa istilah bayan
(tibyan) bermaksud menerangkan prinsip-prinsip dan juga cabang-cabang. Dan
untuk memahaminya diperlukan penjelas dan perinci yang ditemukan dalam sunnah,
karena ketaatan pada Nabi dalam segala hal yang diperintahkannya mendapatkan
penekanan dalam al-Qur’an.
Pada akhirnya, Ridha membahas berbagai argumentasi
yang diajukan di atas. Dalam banyak hal, dia tidak sependapat dengan Shidqi.
Menurutnya, sunnah Nabi tidak dibatasi hanya berlaku pada generasi Nabi saja,
tapi untuk semua masyarakat di seluruh dunia, dari zaman Nabi sampai kiamat.
Ini pula yang gagasan Abduh tentang universalitas kenabian Muhammad. Akhirnya
Shidqi menyerah pula pada argumen Ridha, yang kemudian menyusun kembali
pendapatnya sesuai pandangan Ridha.Demikianlah Al-Manar telah
menciptakan iklim dialogis bagi para pemikir.
BAB 4 : DISKUSI-DISKUSI LAIN TENTANG KESAHIHAN
Ketika membicakan persoalan otentisitas hadis, Ahmad Amin
menyulut kontroversi. Menurutnya, hadis-hadis mutawatir memuat pengetahuan.
Sebagian orang berpendapat bahwa hadis mutawatir itu tidak ada, atau
satu, atau tak lebih dari tujuh. Sedangkan hadis ahad tidak mutawatir,
yang menurut sebagian besar ahli hukum, tidak mengandung pengetahuan. Namun
dibolehkan juga (yajuzu) mengamalkan hadis ahad, bila ada
kemungkinan sahih.
Pendapat tersebut dibantah oleh As-Siba’i. Menurutnya,
jumlah hadis mutawatir tidak sekedar satu atau tak lebih dari tujuh, bahkan
jumlahnya jauh lebih banyak. Selain itu, mayoritas ulama menempatkan
hadis-hadis ahad sebagai kewajiban jika terbukti sahih, tidak sekedar
“dibolehkan” (jaiz).
Selain Ahmad Amin, pendapat Muhammad Husain Haikal
tentang hadis juga menuai kritik. Haikal menulis biografi Nabi semanusiawi
mungkin. Dia melepaskan mukijizat-mukjizat Nabi dengan pendekatan disiplin ilmu
modern seperti psikologi. Dia berusaha menerapkan metode kritis dalam studinya.
Menurut Haikal, histroriografi kritis tidak boleh dilakukan terhadap
sumber-sumber klasik; kebanyakan buku lama ditulis untuk maksud-maksud
keagamaan dan kebaktian.
Pendapat tersebut ditolak oleh kalangan ortodoks.
Abdullah bin Ali An-Najdi Al-Qashimi melakukan studi ulang terhadap mukjizat-mukjizat
dan memberikan penilaian tentangnya; dia menyatakan bahwa mukjizat tersebut
otentik secara historis.
Selain kontroversi-kontroversi di atas, buku Mahmud Abu
Rayyah berjudul Adhwa’ ’Alas-Sunnah al-Muhammadiyyah merupakan karya
yang telah meradangkan pikiran ulama sedemikian rupa. Dalam buku ini, Abu
Rayyah mengumpulkan sumber ortodoks dan heterodoks untuk menopang teorinya
bahwa beberapa hadis yang disusun menjadi enam kitab hadis dan
himpunan-himpunan lain, tidak menyampaikan kata-kata dan perbuatan-perbuatan
Nabi, namun merupakan suatu rekayasa yang dilakukan orang-orang yang sezaman
dengan Nabi dan generasi sesudahnya. Berbagai bantahan itu antara lain berasal
dari Muhammad Abu Syuhbah, Muhammad As-Samahi, Musthafa As-Siba’i, Sulaiman
An-Nadari, Muhibuddin Al-Khatib, Abdur Razaq Hamzah, Abdurrahman bin Yahya,
Muhammad Ajjaj al-Khatib, dan Muhammad Abu Zahrah.
Abu Rayyah menilai para ahli hadis tidak terlalu
memperhatikan kritik tekstual (matn). Mereka terlalu memperhatikan
kritik isnad. Salah satu contohnya adalah hadis yang berbunyi : “Bila
setan mendengar seruan untuk shalat (adzan), maka dia lari seraya
terkentut-kentut“. Menurut Abu Rayyah, tak mungkin Nabi mengucapkan kata-kata
remeh dan kasar seperti itu. Oleh karenanya, kritik terhadap hadis tidak boleh
berhenti pada kritik isnad saja, namun juga kritik matn-nya
sekaligus.
BAB 5 : DISKUSI TENTANG TADWIN
Mengenai persoalan tadwin, Rafiq al-Azhm menegaskan bahwa
daya ingat yang luar biasa adalah watak inheren orang Arab. Meski begitu,
tradisi penulisan telah lama dipraktikkan di Jazirah Arab bahkan sebelum
kedatangan Islam. Demikian juga al-Qur’an ditulis di atas apa pun bahan yang
mungkin untuk ditulis. Tak hanya itu, beberapa sahabat juga membuat daftar
sejumlah besar sabda Nabi yang disebut shaha’if.
Beberapa riwayat menyebutkan tentang kebolehan menulis
hadis, di antaranya : 1) “Tulislah ilmu pengetahuan“ (Anas bin Malik); 2)
Abdullah bin Amr bertanya pada Nabi: Apa saya tulis saja semua yang saya dengar
dari Anda?, Nabi bersabda : “Ya, semua ... Tidaklah aku berkata kecuali
kebenaran“; 3) Ketika Makkah
ditaklukkan, Nabi menyampaikan sebuah khutbah. Seseorang dari Yaman bangkit
berdiri dan bertanya apakah khutbah tersebut ditulis saja. Nabi berkata :
“Tulislah untuk Abu Syah“ (Abu Hurairah). Selain itu, Rafiq al-Azhm
menambah lagi enam hadis mengenai kebolehan menulis hadis. Atas dasar ini dia
berpendapat bahwa penulisan hadis telah dilakukan sejak zaman Nabi masih hidup.
Rasyid Ridha mengkritik Rafiq al-Azhm karena hanya
mengutip hadis-hadis yang membolehkan penulisan hadis. Menurut Ridha, semua
hadis yang menyebutkan dibolehkannya melakukan pencatatan, kalau tidak lemah,
dirujukkan ke satu kasus khusus di mana Nabi telah membolehkannya bagi
seseorang. Hadis pertama, sebagaimana dikutip Rafiq di atas, menurut Ridha,
adalah lemah. Sedangkan hadis kedua tidak dapat dijadikan hujjah. Untuk hadis
ketiga sahih, namun hanya berlaku untuk kasus khusus Abu Syah saja.
Adapun hadis tentang larangan penulisan hadis yang paling
sahih adalah riwayat Abu Sa’id al-Khudri: “Jangan menulis apa pun dariku,
kecuali al-Qur’an. Orang yang telah menulis apa pun dariku yang bukan
al-Qur’an, maka dia harus menghapusnya“.
Dengan menelaah kontradiksi hadis di atas dengan hadis “tulislah
untuk Abu Syah“, Ridha mengusulkan metode naskh. Dia berpendapat
bahwa hadis yang melarang penulisan datang belakangan, sehingga pada masa Nabi
masih hidup, tidak terdapat catatan atas sabda Nabi.
Berbeda dari gurunya, Rasyid Ridha, Muhammad Abdul Aziz
al-Khuli, justru berpendapat sebaliknya. Dia menilai bahwa hadis yang
mengizinkan pencatatan datang lebih akhir dari hadis yang melarang. Pendapat
senada dilontarkan oleh Muhammad Abu Zahw. Dia beralasan bahwa pada awalnya
Nabi melarang penulisan hadis sebab kekhawatiran atas percampurannya dengan
al-Qur’an. Namun terkadang Nabi mengizinkan menuliskannya ketika wahyu
al-Qur’an tidak turun. Bahkan As-Siba’i mengatakan bahwa gagasan Ridha tersebut
dapat ditolak dengan mudah hanya dengan menunjukkan sabda Nabi menjelang
wafatnya: “Bawakan untukku sesuatu untuk menulis agar aku dapat menulis
sebuah catatan, sehingga kamu tidak akan tersesat sepeninggalku“.
BAB 6 : DISKUSI TENTANG ’ADALAH
Adil dan dhabit
merupakan dua syarat bagi seorang rawi yang dikatakan tsiqat. Dalam pada
ini, ilmu jarh wat-ta’dil berfungsi untuk menguji kriteria kesahihan
sebuah hadis. Namun, bagi Ridha, kritik isnad klasik semacam ini tidak
memadai. Jika keyakinan klasik mengatakan bahwa semua sahabat adalah adil,
maka kaum modernis kurang bisa menerima akan hal tersebut.
Abduh beralasan bahwa Nabi sepenuhnya sadar jika
orang-orang sibuk menisbahkan kejadian-kejadian luar biasa terhadap beliau.
Sehingga Nabi bersabda : “Wahai manusia, kebohongan tentang diriku telah
terjadi di mana-mana ...“ Kaum ortodoks memahami kebiasaan berbohong itu
datang dari setiap manusia kecuali sahabat. Sedangkan kaum modernis memahaminya
sebagai setiap orang termasuk sahabat.
As-Siba’i memahami ucapan Nabi man kadzaba alayya sebagai
peringatan agar para sahabat tidak berdusta tentang Nabi. Jika ada sahabat yang
berdusta, pasti akan menimbulkan badai protes dari sahabat yang lain dan tentu
akan terekam dalam sumber historis. Namun kenyataannya, tak ada sahabat yang
melakukan kedustaan itu.
BAB 7 : DISKUSI TENTANG ’ADALAH ABU HURAIRAH
Menurut ahli-ahli sejarah muslim, tak ada sahabat yang
meriwayatkan hadis Nabi lebih banyak dari Abu Hurairah. Hal demikian
menimbulkan pertanyaan tentang sejauhmana keandalan Abu Hurairah sehingga dapat
melakukan pekerjaan demikian besarnya. Maka tidak mengherankan jika
serangan-serangan terhadapnya pun dilancarkan baik oleh ulama ortodoks maupun
kontemporer.
Penulis kontemporer Syiah dari Libanon, A. Syarafuddin
misalnya, menulis buku berjudul Abu Hurairah. Serangan murni Syiah ini
hanya menerima hadis-hadis dari jalur Ali dan imam-imam mereka. Serangan kaum
Syiah terhadap beberapa sahabat banyak jumlahnya, dan Abu Hurairah termasuk
salah satu yang paling banyak mendapat serangan. Namun kemudian As-Sibai tampil untuk menjembatani jurang antara Syiah
dan Sunni, hingga gagasan A. Syarafuddin tersebut ditinggalkan.
Penulis kedua yang melancarkan serangan terhadap Abu
Hurairah adalah Mahmud Abu Rayyah. Dalam bukunya Adhwa’ ‘Alas Sunnah
al-Muhammadiyyah, dia mengkhususkan satu bab untuk membahas Abu Hurairah.
Kemudian dia mengembangkan bab ini menjadi satu buku tersendiri yang berjudul Syaikh
al-Madhirah, Abu Hurairah Ad-Dawsi.
1
Kelahiran Abu Hurairah
Abu Hurairah berasal
dari suku Daws di Arabia Selatan. Tidak jelas kapan dia lahir. Jadi, menurut
Abu Rayyah, Abu Hurairah bukan tokoh terkenal. Namun As-Sibai menyatakan bahwa
banyak sahabat penting yang dikenal cukup melalui julukan (kuniyah)-nya
saja, seperti Abu Bakar.
2
Masuk Islamnya Abu Hurairah
Muncul dua pendapat
tentang kapan waktunya Abu Hurairah masuk Islam. Pendapat pertama mengatakan Abu Hurairah masuk Islam pada tahun 7 Hijri.
Abu Rayyah menunjukkan bahwa banyak sumber tentang hal ini. Dengan ini, dia
ingin menekankan bahwa Abu Hurairah bukanlah tokoh penting.
Pendapat kedua mengatakan Abu
Hurairah masuk Islam pada masa-masa awal Islam. As-Sibai mengutip riwayat
tentang perselisihan dua sahabat mengenai rampasan perang empat tahun setelah
Perang Uhud. Bahwa Abu Hurairah mengetahui peristiwa itu kiranya menunjukkan
bahwa Abu Hurairah masuk Islam jauh sebelum 7 Hijri.
3
Dugaan bahwa Abu Hurairah itu Rakus
Abu Rayyah melanjutkan
serangannya bahwa Abu Hurairah bergabung dengan Nabi karena kerakusannya. Sebab
Abu Hurairah pernah berkata: “Aku ini orang miskin; aku bergabung (ashhabu)
bersama Nabi ‘ala mil bathni”. Abu Rayyah menafsirkan ‘ala mil bathni
dengan “… untuk mengisi perut”.
Namun konotasi ini ditolak oleh
As-Sibai. Menurutnya, ‘ala mil bathni bisa dimaknai dengan konotasi
lain. Perkataan Abu Hurairah tersebut, tegasnya, bisa bermakna: “Aku tinggal
bersama (mengabdi) Nabi hanya untuk mendapatkan sedikit makanan”.
4
Syaikh al-Madhirah
Madhirah adalah hidangan yang berupa susu dan daging. Dalam
buku Tsimar al-Qulub fil-Mudhaf wal-Manshub karya Abu Rayyah, Abu
Hurairah termasuk rakus kalau makan madhirah. Sehingga karena hal ini dia mendapat julukan Syaikh
al-Madhirah. Abu Hurairah sendiri pernah berkata: “Madhirah
Muawiyah lebih berminyak dan lebih lezat, sedangkan shalat di belakang Ali
lebih baik“. Bagi Abu Rayyah, gurauan Abu Hurairah semacam ini menunjukkan
bahwa dia tidak serius (tidak sungguh-sungguh).
As-Sibai dan As-Samahi menolak
upaya menyalahkan dan mempertalikan seperti itu. Menurut keduanya, kelakar atau
gurauan Abu Hurairah semacam itu tidak mengurangi karakternya atau
keandalannya.
5
Berapa Lama Abu Hurairah Tinggal Bersama Nabi?
Masa Abu Hurairah
sampai wafatnya Nabi berlalu waktu lima (puluh, --pen.) bulan. Namun dari
beberapa catatan historis, Abu Hurairah sendiri pernah berkata “Aku bersama
Nabi selama tiga tahun“. Al-Mu’allimi mencoba memahami ketidakcocokan ini
dengan menyatakan bahwa Abu Hurairah hanya tinggal bersama Nabi secara terus
menerus hanya selama tiga tahun.
Hal tersebut karena
pada akhir 8 Hijri, Nabi mengutus Abu Hurairah bersama Al-A’la bin Al-Hadhrami
ke Bahrain untuk menjalankan misi. Menurut Abu Rayyah, Abu Hurairah tidak
pernah kembali dari Bahrain sampai ketika disuruh pulang Umar ketika menjabat
khalifah. Sehingga, menurutnya, Abu Hurairah hanya tinggal bersama Nabi selama
satu tahun sembilan bulan, bukan tiga tahun.
Namun beberapa bulan
kemudian, pada tahun 9 Hijri, Abu Hurairah diduga keras telah menunaikan ibadah
haji bersama Abu Bakar. Riwayat ini umumnya diterima para ulama. Tetapi Abu
Rayyah menolak hal tersebut.
6
Banyaknya Jumlah Hadis yang Diriwayatkan oleh Abu
Hurairah
Mengenai banyaknya
jumlah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, padahal dia bersama Nabi hanya
tiga tahun atau 21 bulan, Ahmad Amin dan Abu Rayyah mengutip perkataan Abu
Hurairah sendiri yang menyatakan bahwa dia bersama Nabi hanya untuk mendapatkan
makanan, sedangkan orang Muhajirin sibuk di pasar, dan orang Anshar sibuk
menggarap tanah. Abu Hurairah hadir
di majlis Nabi, sedangkan yang lain tidak hadir.
Amin menduga riwayat di atas
menunjukkan adanya kritik terhadap iktsar Abu Hurairah. Sebaliknya,
As-Sibai menafsirkannya sebagai anugrah pada Abu Hurairah, yang tidak ditemukan
tanda-tanda kedustaan. Sementara As-Samahi berpendapat bahwa tiga tahun
menjelang Nabi wafat, terjadi begitu banyak peristiwa sehingga dapat menjadi
penyebab sedemikian banyak hadis yang mengalir dari Abu Hurairah, di samping
dia meriwayatkan juga peristiwa-peristiwa sebelum Khaibar dari sahabat-sahabat
yang lebih senior.
7
Pendapat Ridha tentang Iktsar Abu Hurairah
1. Abu Hurairah tidak malu untuk bertanya dan
mengemukakan persoalan yang dihadapinya kepada Nabi.
2. Abu Hurairah terus menerus berada dekat dengan
Nabi. Bahkan selama Nabi mengunjungi istri-istri dan sahabat-sahabatnya.
3. Abu Hurairah termasuk orang yang memiliki daya
ingat yang bagus, sebagaimana sering terdapat pada orang-orang Badui yang buta
huruf.
4. Nabi telah melindungi Abu Hurairah dari lupa.
Ini terlihat dari “hadis membentangkan jubah“ yang masyhur itu.
5. Abu Hurairah pernah berdoa untuk mendapatkan
ilmu yang tidak akan dilupakannya dan Nabi mengamininya.
6. Abu Hurairah mengumpulkan hadis untuk
disebarkan, sementara sahabat lain hanya untuk memperbincangkannya ketika ada
keperluan saja.
7. Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis Nabi dari
sahabat-sahabat lain.
8
Umar dan Abu Hurairah
Abu Rayyah mengutip Syarh
Nahj al-Balaghah karya Ibn Abil Hadid dari seseorang yang bernama Abu
Ja’far al-Iskafi sebuah pernyataan yang disebut-sebut berasal dari Umar bin
Khattab. Umar menyerang Abu Hurairah dengan cambuknya seraya berkata: “Engkau
telah meriwayatkan sedemikian banyak hadis, mana mungkin engkau berkata dusta
tentang Nabi!“ As-Sibai dan Al-Mu’allimi dengan tegas menolak riwayat tersebut
karena Ibn Abil Hadid dan Abu Ja’far al-Iskafi diduga keras bersimpati kepada
kaum Syiah dan Mu’tazilah.
Selain itu, terdapat
riwayat yang mengatakan Umar mengancam Abu Hurairah dengan kata-kata:
“Janganlah meriwayatkan dari Rasul Allah, kalau tidak, aku akan memulangkanmu
ke tanah Daws“. As-Samahi menafsirkan bahwa perkataan Umar itu memperlihatkan
kekhawatiran umum atas percampuran al-Qur’an dan hadis dan tidak membatasi
larangannya pada Abu Hurairah saja. Sementara Al-Mu’allimi mengatakan bahwa isnad
dalam riwayat itu tidak sahih. Argumen lain, mana mungkin Umar melarang Abu
Hurairah meriwayatkan hadis dan mengancam akan memulangkan Abu Hurairah,
padahal Nabi melarang para sahabatnya untuk kembali ke kampung halamannya.
9
Masalah Pengasingan
Nabi bersabda: “Tidak
ada hijrah setelah pembukaan (Penaklukan Makkah). Oleh karena itu, jika riwayat
tentang ancaman pemulangan Abu Hurairah oleh Umar dianggap benar adanya, tentu
saja hal itu diucapkan setelah Fath Makkah tersebut. Maka, Umar murka ketika
menjumpai Abu Hurairah masih saja meriwayatkan hadis sedemikian banyak, padahal
Nabi telah wafat. Sementara tidak mungkin bagi Umar melarang Abu Hurairah
sementara Nabi masih hidup. Padahal terdapat riwayat lain yang justru
menunjukkan bahwa Umar mengizinkan Abu Hurairah untuk meriwayatkan hadis.
10
Kebijaksanaan Umar
Kehati-hatian Umar
terhadap hadis memunculkan dua pendapat. Kaum modernis melihatnya sebagai
tanda-tanda kecurigaan Umar atas adanya kebiasaan berdusta tentang Nabi.
Sementara kaum ortodoks menilainya sebagai semangat Umar terhadap agama serta
kerinduannya atas penyusunan teks kitab suci Islam dengan cermat.
Rasyid Ridha tiba pada
satu kesimpulan, sebagaimana dikutip Abu Rayyah: “Jika Umar memiliki usia yang
cukup panjang sehingga dapat menyaksikan kematian Abu Hurairah, maka Abu Hurairah
tentu tidak akan meriwayatkan hadis yang jumlahnya sedemikian banyak ini“.
Ridha melihat perhatian Umar terhadap Abu Hurairah agar mengendalikan
periwayatannya adalah tidak bermaksud mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak dapat
dipercaya, apalagi pembohong.
11
Abu Hurairah di Mata Ibn Qutaibah
Ibn Qutaibah, seorang
ortodoks Sunni, membantah pendapat An-Nazhzham, seorang Mu’tazilah, yang
menyatakan bahwa Umar, Utsman, Ali, dan Aisyah menyebut Abu Hurairah sebagai
pembohong.
Namun tampaknya Ibn
Qutaibah sebenarnya hanya mengurangi kata-kata keras An-Nazhzham. Ibn Qutaibah
bahkan menyatakan bahwa meskipun Abu Hurairah tinggal sangat dekat dengan Nabi,
menghafal yang tidak sahabat lain hafal, para sahabat lain tetap menjauhkan
diri darinya.
Namun tidak lantas dikatakan
bahwa kekhawatiran para sahabat terhadap hadis-hadis Abu Hurairah disamakan
dengan tuduhan bahwa Abu Hurairah biasa berbohong. Hamzah menyatakan bahwa
satu-satunya orang yang menuduh Abu Hurairah berbohong hanyalah An-Nazhzham.
12
Abu Hurairah dan Ali
An-Nazhzham,
sebagaimana dikutip Ibn Qutaibah, mengatakan: Abu Hurairah sering berkata:
“sahabat karibku (khalili)“. Kemudian Ali berkata padanya: “Sejak kapan
Nabi menjadi sahabat karibmu, wahai Abu Hurairah?“
Ibn Qutaibah kemudian
membantah pendapat An-Nazhzham bahwa Ali tidak suka Abu Hurairah mengatakan
demikian. Ibn Qutaibah menyodorkan dua konotasi untuk kata khilla (atau khulla)
tersebut. Pertama, barangkali Ali menduga bahwa kata khalil yang
digunakan Abu Hurairah tersebut berkonotasi sama dengan persahabatan karib
sebagaimana Allah menjadikan Ibrahim sebagai khalil. Kedua, konotasi
sahabat karib yang lebih rendah, seperti yang tertuang dalam surat 43 ayat 67: “Sahabat
karib (akhilla’) pada hari itu akan menjadi musuh bagi satu sama lain,
kecuali orang yang takwa“. Menurut Ibn Qutaibah, konotasi kedualah yang
dimaksudkan Abu Hurairah.
13
Abu Hurairah dan Aisyah
Menurut Abu Rayyah,
mengutip Ibn Qutaibah, di antara yang menuduh Abu Hurairah berbohong adalah
Aisyah. Meski Ibn Qutaibah hanya mengatakan bahwa Aisyah menolak (inkar)
Abu Hurairah. Para pengkritik Abu Rayyah tidak membela Abu Hurairah, karena
mungkin menganggapnya sekedar inkar, dan tidak merusak (kadzib,
bohong).
Azh-Zhahabi, misalnya,
mengutip riwayat bahwa Abu Hurairah mengunjungi Aisyah. Aisyah mengatakan
padanya bahwa dia sedemikian banyak meriwayatkan hadis. Abu Hurairah menjawa
bahwa cermin. guci, maupun botol minyak tidak ada yang dapat mengalihkannya
dari perhatiannya. Aisyah kemudian berkata: “Barangkali begitu“. Ucapan Aisyah
ini, bagi Abu Rayyah, menunjukkan kekurangajaran dan ketidaksopanan. Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk kecuriagaan
Aisyah atas Abu Hurairah. Sementara bagi As-Sibai, hal tersebut justru
menunjukkan bahwa Aisyah mengakui pengetahuan luas Abu Hurairah.
14
Abu Hurairah dan Az-Zubair
Dari Urwah, dia
berkata: “Ayahku, Az-Zubair berkata padaku: Hadapkan orang Yaman ini – yaitu
Abu Hurairah – kepadaku, karena dia meriwayatkan sedemikian banyak hadis dari
Rasul Allah. Lalu aku bawa Abu Hurairah kepada ayah. Sementara Abu Hurairah
meriwayakan hadis-hadis, Az-Zubair berkata: “Dia berkata benar, dia dusta, dia
berkata benar, dia dusta“.
Abu Rayyah mengutip
kalimat terakhir saja bahwa Abu Hurairah dusta. Padahal, menurut pengkritik Abu
Rayyah, Abu Rayyah bohong karena mengabaikan bunyi kalimat lainnya, yakni :
“Aku (Urwah) berkata, Ayah, apa arti kata-katamu ’dia berkata benar, dia
dusta?“ Az-Zubair kemudian menjawab bahwa dia tidak meragukan bahwa hadis-hadis
Abu Hurairah dari Rasul Allah, hanya saja dia tidak memahami berbagai
pengertian absah yang tepat dari sebagian hadis-hadis yang diriwayatkannya.
15
Riwayat tentang “Membentangkan Jubah“
Diduga keras Abu
Hurairah berkata: “Ya Rasul Allah, aku mendengar banyak hadis darimu, tapi
setelah itu aku lupa“. Nabi berkata: “Bentangkan jubahmu“. Lalu dengan kedua
tangannya Nabi menyendok (yaitu kemudian Nabi membuat isyarat seolah-olah Nabi
menyendok sesuatu dan dimasukkan ke dalam jubah) seraya berkata: “Satukan
(ujung-ujung) jubah itu“. Aku melakukan hal ini, dan aku tidak lupa sesuatu pun
semenjak itu“.
Menurut Abu Rayyah, hal
tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya daya ingat Abu Hurairah tidak begitu
bagus. Sedangkan bagi pengkritiknya, mereka menuduh bahwa Abu Rayyah kurang
suka terhadap Abu Hurairah sehingga menilai hadisnya secara negatif.
16
Hadis “Wi’a’an“
Abu Hurairah berkata:
“Telah aku hafal dua wadah (wi’a’an); isi dari yang satu macam sudah aku
paparkan. Jika aku harus memaparkan isi dari yang lain, maka orang akan
memotong tenggorokanku“.
Abu Rayyah menilai,
tidak mungkin Nabi mengajarkan pengetahuan khusus terhadap Abu Hurairah,
seorang sahabat yang jelas tidak lebih penting dari as-sabiqunal awwalun.
Sedangkan pengkritiknya menilai Abu Hurairah punya hak untuk masuk sebagai as-sabiqunal
awwalun. Hamzah menilai bahwa wi’a’ tersebut bukan berarti
pengetahuan khusus dan barangkali sahabat lain pun mendapatkannya. Sementara
As-Samahi menganggap bahwa wi’a’ tersebut berkenaan dengan fitnah-fitnah
yang terjadi di masa mendatang dan tidak ada kaitannya dengan agama, sehingga
Nabi tidak menyuruh meriwayatkannya.
17
Abu Hurairah dan Isra’illiyat
Abu Rayyah menuduh Abu
Hurairah telah memasukkan isra’illiyat dari Ka’b Al-Ahbar ke dalam
periwayatannya. Ka’b sendiri pernah berkata: “Aku belum pernah menjumpai orang
yang dapat membaca Taurat yang lebih ahli tentangnya selain Abu Hurairah“.
Pengkritik Abu Rayyah
menyalahkannya karena mengambil sumber yang salah dengan mengutip dari literaur
adab. Tidak hanya Abu Hurairah, sahabat yang lain pun banyak juga yang
meriwayatkan isra’illiyat.
18
Abu Hurairah dan Kaum Hanafiah
Menurut Ahmad Amin dan
Abu Rayyah, Abu Hurairah tidak dapat membedakan hadis hukum, sehingga dia
dinilai sebagai bukan faqih. Oleh karena itu, terkadang (kutip Amin dalam Musallam
Ats-Tsubut), Abu Hanifah tidak memakai hadis Abu Hurairah.
As-Sibai membantah Amin. Dia
berpendapat, justru pengulas Musallam menunjukkan bahwa kebanyakan ulama
Hanafiah memandang Abu Hurairah sebagai faqih besar. Kaum Hanafiah lebih mengutamakan hadis daripada qiyas,
jika keduanya kelihatan bertentangan.
19
Abu Hurairah di Mata Abu Hanifah
Abu Rayyah mengutip
dari Abu Syamah yang, menurut Goldziher, bersimpati terhadap cara berpikir kaum
Zhahiriah. Dari Muhammad bin al-Hasan, Abu Hanifah berkata bahwa dia taqlid
kepada semua sahabat kecuali tiga, yaitu Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan
Samurah bin Jundab. Mengenai Abu Hurairah, Abu Hanifah berkata : “Dia biasa
meriwayatkan segala yang didengarnya tanpa memikirkan artinya dan tanpa
mengetahui mana yang nasikh dan mana yang mansukh.“
As-Sibai menyangkal keotentikan
riwayat di atas. Sebab, sudah umum diterima di kalangan Hanafiah bahwa
hadis-hadis Abu Hurairah sangat diperhatikan dan selalu lebih disukai daripada qiyas.
20
Kefaqihan Abu Hurairah
Mungkin banyak sahabat
yang lain jauh lebih faqih daripada Abu Hurairah. Tetapi ketika timbul sedikit
keraguan terhadap kedudukannya di kalangan sahabat, maka semua segera
menekankan kefaqihannya serta memujinya. Tak mengherankan jika lawan-lawan Abu
Rayyah menekankan bahwa Abu Hurairah mungkin memiliki wawasan yang sempurna
tentang hukum.
21
Riwayat tentang Anjing Penjaga
Ahmad Amin dan Abu
Rayyah menuduh Abu Hurairah telah memberi tambahan anjing-anjing yang
menjaga tanah garapan, ketika Nabi menyuruh membunuh seluruh anjing kecuali
anjing penjaga ternak atau untuk berburu.
Menurut As-Sibai, mengutip
An-Nawawi, sahabat lain tidak meriwayatkan tambahan anjing-anjing yang
menjaga tanah garapan ini. Sementara sesuai yang didengar Abu Hurairah,
terdapat tambahan semacam tersebut. Jika Abu Hurairah berdusta, tentu Bukhari
dan Muslim tidak akan menyebutkan riwayat ini.
22
Abu Hurairah Menjadi Gubernur Bahrain
Abu Rayyah mengutip
riwayat dalam al-Iqd al-Farid karya Ibn Abi Rabbihi (disebut-sebut
bersimpati kepada Syiah), bahwa Umar mencela Abu Hurairah ketika menjabat
gubernur Bahrain karena memperkaya diri dan menerima banyak hadiah. Umar
kemudian memaksanya untuk mengembalikan sebagian besar pendapatannya ke kas
negara dan mencambuk punggungnya hingga berdarah dan berkata: “Wahai musuh
Allah dan kitab-Nya, apa engkau telah mencuri uang Allah?“
Para pengkritik Abu
Rayyah meriwayatkan banyak hadis lainnya dengan kata-kata yang tidak begitu
keras dan tidak ada kata-kata pencambukan atau kata-kata: “Wahai musuh
Allah...“. Bahkan Umar meminta Abu Hurairah untuk kedua kalinya menjabat gubernur
Bahrain.
23
Abu Hurairah dan Bani Umayyah
Mu’awiyyah dan Bani
Umayyah pada umumnya telah digambarkan secara suram oleh ahli-ahli sejarah Arab
(dengan sedikit pengecualian). Abu Rayyah menyebutkan hubungan mesra antara Abu
Hurairah dengan Mu’awiyyah. Mu’awiyyah pernah mengangkat Abu Hurairah sebagai
gubernur Madinah dengan alasan berbeda. Dalam Syarh al-Balaghah, karena
Abu Hurairah telah mereka-reka cerita yang menyudutkan Ali. Sementara kaum
ortodoks berpendapat karena Abu Hurairah mendapat rekomendasi dari penduduk
Madinah.
24
Beberapa Pernyataan Akhir tentang Abu Hurairah
Mahmud Abu Rayyah telah
berupaya keras menggambarkan penolakannya terhadap ’adalah Abu Hurairah,
seperti suka melucu, serakah, rakus, tidak serius, meminta-minta, dan
lain-lain. Meski tujuannya ingin membersihkan sejarah Nabi Muhammad dari segala
takhayul dan cerita konyol dan berlebihan terutama dari Abu Hurairah.
Sedangkan ulama
ortodoks mempertahankan keyakinan mereka tentang ’adalah Abu Hurairah.
Bahkan Rasyid Ridha sendiri termasuk pembela gigih Abu Hurairah ketika Muhammad
Tawfiq Shidqi melancarkan serangannya.
Kaum ortodoks banyak
menyebutkan kesalehan Abu Hurairah. Dia membaca subhanallah 12.000
setiap malam, dan membagi malamnya menjadi tiga: membaca al-Qur’an, tidur, dan
membaca hadis.
BAB 8 : DISKUSI TENTANG WADH’
Ridha membuat daftar
orang-orang yang memasukkan hadis-hadis palsu (wadh’) ke dalam Islam.
Kebanyakan ahli teologi masa kini sepakat atas daftar ini. Mereka adalah: 1)
Kaum zindiq, 2) Kaum fanatik, 3) Kaum yang buruk ingatan, pikiran lemah,
sombong, akhlak buruk, dan sebagainya, 4) Pendongeng yang mencari keuntungan,
dan 5) Penjilat untuk mendapatkan dukungan.
Kebanyakan hadis-hadis
yang dipalsukan adalah mengenai fadha’il (keutamaan). Baik itu tentang
keutamaan seseorang, kelompok, kota atau negeri, dan figur politis atau
teologis. Ulama masa kini menilai hadis-hadis tentang fadha’il yang
tidak terdapat dalam kitab sahih, hampir semuanya hasil rekayasa.
Ridha sendiri yang
hati-hati menyatakan kesahihan sebuah hadis, membenarkan hadis-hadis fadha’il
jika tidak terlihat motif politis atau teologis. Hadis tentang abdal, misalnya,
adalah tidak sahih isnad dan matn-nya karena merupakan rekayasa
kaum Syiah dan sufi.
Selain itu, menurut Amin,
kebanyakan isnad hadis-hadis dalam kitab tafsir termasuk tidak sahih.
Dia mengutip dari Al-Itqan karya As-Suyuthi satu ucapan dari Ahmad bin
Hanbal yang berbunyi: “Tiga kitab tidak ada basis (ashl)-nya: maghazi,
malahim, tafsir.”
As-Sibai menyatakan, jika Ibn
Hanbal tidak menerima hadis tafsir, mana mungkin ia memasukkan
sedemikian banyak hadis tafsir ke dalam Musnad-nya. “Tidak ada basisnya” bukan berarti “direkayasa”, namun
bisa juga “diterima”.
BAB
9 : PERIWAYATAN
HADIS
Prosedur periwayatan hadis (tahammul al-hadis)
dilakukan melalui dua cara: ditulis dan dihafal. Meriwayatkan hadis berdasar
pengertiannya saja (riwayah bil ma’na) diperbolehkan asal tidak
menimbulkan kerusakan pada hadis.
Rasyid Ridha menentang sikap menerima begitu saja
sebagian riwayat yang isinya terkesan aneh. Ini karena kebanyakan perawinya
meriwayatkan hadis tersebut secara bil ma’na. Padahal terkadang
pemahaman mereka tidak memadai.
Abu Rayyah menunjukkan delapan hadis dengan redaksi yang
berbeda tentang tasyahud. Sementara para pengkritiknya menilai bahwa Abu
Rayyah tidak memperhatikan konsep tanawwu’ al-ibadah.
Hadis lain adalah mengenai maskawin yang berupa
pengajaran al-Qur’an, ketika Nabi menikahkan seorang pria miskin dengan wanita.
Redaksi zawwajtukaha, mallaktukaha, amlaktukaha, ankahtukaha, amkannakaha, khudz-ha,
dan seterusnya yang digunakan Nabi, menurut pengkritik Abu Rayyah, tetap
memberikan pengertian yang jelas.
Abu Rayyah berpendapat bahwa riwayah bil ma’na
menyebabkan rusaknya hadis dalam tulisan-tulisan ulama terdahulu. Dia mengutip
secara harfiah pendapat-pendapat yang mendukung teorinya, seperti Thahir bin
Shalih al-Jazairi dan Mushtafa Shadiq ar-Rafi’i.
BAB 10 : DISKUSI TENTANG ISRA’ILLIYAT
Para teolog memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai isra’illiayat.
Shubhi Ash-Shalih menilai kebanyakan isra’illiyat itu lemah. Bukan
karena isra’illiyat itu mauquf, tapi karena materinya ganjil,
cacat, dan tidak konsisten. Meski demikian, jika didapati isra’illiyat
itu berasal dari Nabi dan termaktub dalam himpunan hadis sahih, haruslah
diterima.
Namun Rasyid Ridha merumuskan pendapat yang benar-benar
negatif mengenai isra’illiyat. Dalam Al-Manar, Ridha sering
mengecam keras keterangan-keterangan yang dibuat-buat, yang diambil dari
sumber-sumber legendaris non-Islam, yang dijumpainya dalam karya-karya klasik
tentang tafsir.
Ridha mempersoalkan keotentikan riwayat tentang
berubahnya tongkat Musa menjadi ular. Semua kisah seputar ular tersebut adalah
rekaan dan bagian dari isra’illiyat. Namun kemudian Syaikh Abdurrahman
al-Jamjumuni mengkritik Ridha. Menurutnya, keraguan Ridha atas perawi tsiqat
seperti Ka’b al-Ahbar dan Wahab bin Munabbih dapat mengacaukan pikiran
orang-orang yang belum kuat imannya.
Ridha kemudian mengutip riwayat dari Mu’awiyah yang
menyebutkan dia berkata bahwa Ka’b termasuk perawi yang meriwayatkan dari
kalangan ahlul kitab yang paling dapat dipercaya, namun para sahabat biasa
mengujinya untuk mengetahui pemalsuannya.
BAB 11 : DISKUSI TENTANG BEBERAPA HADIS GANJIL,
BEBERAPA DI ANTARANYA TENTANG PENGOBATAN
Berikut akan diuraikan hadis-hadis yang menimbulkan
keraguan atas otentisitas tekstualnya, yaitu :
Pertama, dua
hadis tentang infeksi: 1) “Tidak ada
infeksi, tidak ada ilmu nujum, tidak ada burung hantu, dan tidak ada ular“; 2)
“Barangsiapa yang untanya sakit, maka unta itu harus dijauhkan dari unta-unta
yang sehat“. Dua hadis itu dapat dikompromikan, yakni bahwa beberapa penyakit
itu bisa menular, namun kemudian jangan menghindari orang yang sedang sakit.
Kedua,
hadis tentang lalat: “Bila lalat jatuh ke dalam kendimu, tenggelamkanlah
sepenuhnya terlebih dulu, baru kemudian buang, karena satu sayapnya membawa
obat, satunya lagi penyakit“. Namun Ridha melihat hadis tersebut ganjil karena
dua alasan, 1) hadis tersebut tidak sesuai prinsip kebersihan, 2) ilmu
pengetahuan modern tidak dapat membedakan perbedaan sayap lalat. Akhirnya Ridha
menyimpulkan, meskipun hadis tersebut sanad-nya sahih, tapi tidak dengan
matn-nya. Bahkan jika hadis
tersebut harus dipahami secara kiasan pun tidak dapat meyakinkan Ridha.
Ketiga,
hadis tentang kelebihan kurma: “Barangsiapa sarapan dengan tujuh kurma ’ajwa,
maka dia akan kebal terhadap racun atau guna-guna sepanjang hari itu sampai
malamnya”. Menurut As-Sibai, hadis tersebut sahih isnad-nya dan matn-nya.
Perawinya tsiqat dan materi hadisnya sesuai kebenaran umum bahwa kurma
adalah makanan bergizi dan sehat.
Keempat,
hadis bahwa cendawan dapat menyembuhkan sakit mata. As-Sibai menyebutkan
sejumlah kasus tentang kemujaraban cendawan sebagai penyembuh sakit mata. Namun
Ahmad Amin menyesalkan karena belum ada penelitian ilmiah yang saksama tentang
cendawan untuk mengetahui kesahihan hadis di atas.
Berikutnya akan diuraikan hadis-hadis ganjil yang
sahih isnad-nya tapi menimbulkan keraguan terhadap matn-nya,
yaitu:
Pertama,
hadis tentang terbelahnya bulan. Ridha melihat banyaknya variasi bacaan yang
tidak konsisten, seperti posisi Nabi ketika terbelahnya bulan. Satu versi mengatakan di Mina, versi lain di Makkah. Dan
mengapa riwayat atas peristiwa luar biasa ini tidak banyak.
Kedua,
hadis tentang Isra’ Mi’raj dan bagaimana ketika masih anak-anak ada
malaikat yang mendatanginya dan membelah dadanya untuk menyucikan hatinya dan
kemudian mengembalikannya ke tempat semula. Muhammad Husain Haikal menilai
naiknya Nabi ke langit sebagai pengalaman spiritual.
Ketiga, hadis
tentang tenggelamnya matahari. Menurut hadis, setelah tenggelam, matahari minta
izin kepada Allah untuk pergi dan izin itu diberikan. Ridha menilai hal itu
sebagai tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Keempat,
hadis mengenai Dajjal. Ridha menolak hadis-hadis
eskatologis semacam itu. Dia
menilai bahwa terdapat sedemikian banyak kontradiksi faktual di dalamnya.
Demikian juga dengan kedatangan Al-Mahdi yang menurutnya memiliki
tendensi-tendensi sektarian dalam hadis-hadis tersebut. Di samping itu, Bukhari
dan Muslim pun tidak memasukkan riwayat-riwayat tersebut ke dalam Shahih-nya.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar