TAKHRIJ AL-HADITS DAN I’TIBAR AL-SANAD
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Dalam struktur hierarki sumber hukum Islam, hadits
(sunnah) bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah al-Qur’an karena,
disamping sebagai ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan
menaati Rasulullah SAW, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi
ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang mujmal, muthlaq, ‘amm dan sebagainya.[1]
Hadits Nabi meskipun dalam hirarki sumber pokok ajaran
Islam menempati urutan kedua, namun dalam praktek pelaksanaan ajaran Islam
sangat urgen, bahkan tidak jarang dianggap sejajar, hadits bukan hanya
berfungsi sebagai penguat dan penjelas tetapi suatu ketika ia secara independen
dapat menjadi pijakan dalam menentukan suatu ketetapan hukum terhadap sesuatu
kasus yang tidak disebut dalam al-Qur’an.
Keberadaan hadits sebagai sumber hukum Islam sangat unik
dan urgen tidak seperti al-Qur’an yang qath’i, Hadits dengan berbagai
dimensinya selalu menjadi fokus kajian yang problematik dan menarik baik bagi
pendukung maupun penentangnya.[2]
Maka tidak mengherankan jika eksistensinya sering menjadi sasaran kritik dari
orang-orang yang anti terhadap Islam. Di kalangan umat Islam sendiri muncul
kelompok yang disebut inkar al-sunnah, yang tidak menjadikan hadits
sebagai sumber ajaran Islam dan hanya mencukupkan diri dengan petunjuk
al-Qur’an.
A.
Pengertian Takhrij al-Hadits dan I’tibar al-Sanad
1.
Pengertian Takhrij al-Hadits
Kata
takhrij berasal dari kata kharaja, yang berarti al-zuhur (tampak)
dan al-buruz (jelas). Takhrij juga bisa berarti Ijtima’ al-amra’aini
al-muttadla diin fi syai’in wahid (berkumpulnya dua persoalan yang
bertentangan dalam suatu hal), al-istimbath (mengeluarkan dari sumbernya),
at-tadrib (latihan), al-taujih (menjelaskan duduk persoalan,
pengarahan).[3]
Sedang
menurut Syekh Manna’ Al- Qaththan, takhrij berasal dari kata kharaja
yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaan, terpisah dan kelihatan. Al-kharaja
artinya menampakan dan memperlihatkannya, dan al-makhraja artinya tempat
keluar, dan akhraja al-khadits wa kharajahu artinya menampakkan dan
memperlihatkan hadits kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.[4]
Adapun
secara terminologi, takhrij adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber-sumber
aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya,
kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.[5]
Adapun
menurut pengertian ahli hadits, takhrij adalah penelusuran atau pencarian
hadits dari berbagai sumbernya yang asli dengan mengemukakan matan
serta sanadnya secara lengkap untuk kemudian diteliti kualitas haditsnya. Atau,
secara singkat dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengeluarkan hadits dari
sumber asli.[6] Maka
takhrij al-hadits merupakan langkah awal untuk mengetahui kuantitas
jalur sanad dan kualitas suatu hadits melalui suatu langkah yang disebut
i’tibar al-sanad.
2. Pengertian
I’tibar al-Sanad
Al-I’tibar menurut bahasa yaitu
memperhatikan perkara-perkara tertentu untuk mengetahui jenis lain yang ada di
dalamnya. Sedangkan menurut istilah adalah penelitian jalan-jalan hadits yang
diriwayatkan oleh satu orang perawi untuk mengetahui apakah ada orang lain
dalam meriwayatkan hadits itu atau tidak.[7]
Kegiatan
i'tibar al-sanad dalam istilah ilmu hadits adalah menyertakan sanad-sanad lain
untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya
terdapat seorang periwayat saja.[8]
B.
Metode dan Proses Takhrij al-Hadits dan I’tibar
al-Sanad
1.
Metode Takhrij al-Hadits
Dalam
kegiatan penelusuran sebuah hadits tidaklah semudah yang dibayangkan, karena
membutuhkan seperangkat kemampuan yang komprehensip terhadap sebuah hadits,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Syuhudi, bahwa kegiatan penelusuran hadits
(takhrij al-hadits) kepada sumber aslinya, tidaklah semudah penelusuran ayat
al-Qur’an. Penelusuran terhadap ayat al-Qur’an cukup dipergunakan sebuah kitab
kamus al-Qur’an, misalnya al-Mu’jam Mufahras Li alfazh al-Qur’an al-Karim,
sedangkan penelusuran terhadap hadits Nabi terhimpun dalam banyak kitab dengan
metode penyusunan yang beragam.
Dengan
dimuatnya hadits Nabi dalam berbagai kitab hadits, maka sampai saat ini, belum
ada sebuah kamus yang mampu memberi petunjuk untuk mencari hadits yang dimuat
oleh seluruh kitab hadits yang ada, tetapi terbatas pada sejumlah hadits saja,
namun tidaklah berarti hadits nabi yang termuat dalam berbagai kitab tidak
dapat ditelusuri. Untuk keperluan itu, lebih lanjut Syuhudi Ismail mengatakan,
para ulama hadits telah menyusun kitab-kitab kamus dengan metode yang beragam.[9]
Muhaimin
membagi beberapa metode yang diperlukan dalam melakukan takhrij yaitu:
a.
Memerhatikan sahabat
yang meriwayatkannya jika disebutkan.
b.
Memerhatikan lafadz
pertama dari matan hadits.
c.
Memerhatikan salah
satu lafadz hadits.
d.
Memerhatikan tema
hadits.
e.
Memerhatikan tentang
sifat khusus sanad atau matan hadits itu.[10]
Sedangkan
Ismail membagi
metode takhrij antara lain:
a. Metode
pertama, dengan cara mengetahui perawi hadits dari sahabat.
b. Metode
kedua, takhrij dengan cara mengetahui permulaaan lafadz dari hadits.
c. Metode
ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh
orang dari bagaian mana saja dari matan hadits,
d. Metode
keempat, takhrij dengan cara mengetahui topik pembahasan hadits. [11]
Dengan
demikian dalam takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan
mengambil pokok-pokoknya sebagai berikut:
a. Metode
pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari sahabat, metode ini
dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, lalu
kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits, yaitu:
·
Kitab al-Masaanid
(musnad-musnad), dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh setiap sahabat secara tersendiri, selama kita telah mengetahui nama
sahabat yang meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab
al-Masaanid, hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dalam kumpulan
musnad tersebut.
·
Kitab al- Ma’aajim
(mu’jam-mu’jam), susunan hadits didalamnya berdasarkan urutan musnad para
sahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus
(hijaiyyah), dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk
haditsnya.
·
Kitab al-Athraf,
kebanyakan kitab-kitab al- Athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para
sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus, jika seorang peneliti
mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan
oleh kitab-kitab al-Athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
b. Metode
kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits, cara ini dapat
dibantu dengan kitab-kitab yang berisi tentang hadits yang dikenal orang
banyak, misalnya Ad-Durarul-Muntasirah Fil-Ahaaditsil Musytaharah, karya
As-Suyuthi. Al-Laali Al-Mantsuurah fil Ahadits Masyhurah, karya Ibnu Hajar. Al-
Maqashidul Hasanah fii Bayaani Katsirin minal-Ahaaditsil Musytahirah ‘alal-
Alsinah, karya As-Sakhawi.
c. Metode
ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh
orang dari bagian mana saja dari matan hadits, metode ini dapat dibantu dengan
kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Faadzil Hadits An-Nabawi, berisi sembilan
kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits yaitu Kutubus-Sittah,
Muwaththa’ karya Imam Malik, Musnad Ahmad, dan Musnad ad-Darimi.
d. Metode
keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits, jika telah
diketahui tema dan obyek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrijnya
dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul,
cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunah, yang berisi daftar
isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun
oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama A.J. Wensink, kitab
ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal yaitu: Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, Sunan
Ibnu Majah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi,
Sunan Ad-Darimi, Musnad Zaid bin ‘Ali, Sirah Ibnu Hisyam, Maghazi Al-Waqidi dan
Thabaqat Ibnu Sa’ad.
2.
Metode I’tibar
al-Sanad
Setelah
dilakukan kegiatan takhrij hadis sebagai langkah awal penelitian maka seluruh
sanad dicatat dan dihimpun untuk kemudian dilakukan kegiatan i’tibar.
Dalam
kegiatan al-i’tibar, diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis
yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu
mendapat perhatian, 1) jalur seluruh sanad, 2) nama-nama periwayat untuk
seluruh sanad, dan 3) metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing
periwayat.
Nama-nama periwayat yang ditulis dalam skema sanad
meliputi seluruh nama, mulai dari periwayat pertama, yakni sahabat Nabi SAW
yang mengemukakan hadis, sampai mukharrij-nya.[12]
C.
Contoh Penerapan Metode Takhrij Al-Hadits dan
I’tibar al-Sanad
Dalam
hal ini akan dikemukakan salah satu contoh penerapan metode takhrij al-hadits
dan i’tibar al-sanad, dengan menggunakan metode penelusuran keberadaan hadits,
membuat bagan sanad hadits dan memeriksa persambungan sanad dan reputasi para
periwayat. Untuk mengenal lebih jauh tentang penerapan metode takhrij, kita
ambil contoh sebuah hadits tentang Talqin al-Maut.
Di masyarakat
muslim ditemukan salah satu upacara keagamaan, talqin al-maut, mengajarkan la
ilaha illallah kepada orang mati, pelaksanaannya ada yang mengajarkan
ketika mayat sudah dikubur, ada pula yang mengajarkannya untuk calon mayat,
persoalannya bagaimana bunyi hadits itu secara lengkap, hadits itu diriwayatkan
oleh siapa, di dalam kitab apa, dan hadits itu mutawatir apa tidak?
Kita
memulai membuka kitab Mu’jam al-Mufahras li alfaadzh al-Hadits, dengan membawa
kosa kata atau redaksi kata talqin, hadits tersebut diriwayatkan oleh imam
al-Turmudzi dan imam Abu Daud, hadits riwayat al-Turmudzi berbunyi;
حدثنا
ابو سلمة يحيى بن خلف حدثنا بشر بن المفضل عن عمارة بن غزية عن يحيى بن عمارة عن
ابى سعيد الخدرى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لقنوا موتكم لا اله الا الله
Artinya: “Telah bercerita kepada saya,
Abu Salamah Yahya ibn Khalaf, katanya telah bercerita kepada saya, Bisyr
al-Mufaddhal dari ‘Ummarah ibn Ghaziyyah dari Yahya ibn ‘Ummarah dari Abu Sa’id
al-Khudri dari Nabi SAW, katanya,”Talqinlah mayitmu dengan la ilaha illallah”.
Adapun
hadits riwayat Abu Daud berbunyi;
حدثنا
مسدد ثنا بشرى ثنا عمارة بن غزية ثنا يحيى بن عمارة قال سمعت ابا سعيد الخدرى
يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لقنوا موتكم لا اله الا الله
Artinya: “Telah bercerita kepada kami,
Mussadad, katanya, bercerita kepada kami Bisyr katanya, telah bercerita kepada
kami ‘Ummarah ibn Ghaziyyah, katanya, telah bercerita kepada kami Yahya ibn
‘Ummarah katanya, saya mendengar Abu Sa’id al-Khudri berkata : Rasulullah SAW
pernah bersabda, “Talqinlah mayitmu dengan la ilahaillallah”.
Setelah
melakukan Takhrij
al-Hadits, dilakukan I’tibar al-Sanad dengan membuat seluruh skema
sanad dari seluruh mukharrij digabung menjadi satu skema sehingga
akan diketahui posisi masing-masing periwayat dan lambang periwayatan yang
digunakan. Dengan membuat bagan hadits sesuai dengan hadits yang telah
dicontohkan diatas, maka kita membuat dua bagan. Karena pada dua jalur sanad
itu ada periwayat yang sama, maka dapat dibuat bagan sebagai berikut:
Langkah
berikutnya menelusuri persambungan sanad dan reputasi masing–masing periwayat.
·
Jalur Al-Turmudzi
a.
Nama al-Turmudzi
sudah sangat terkenal, beliau adalah seorang periwayat hadits yang dhabit dan
tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan, hanya perlu dicantumkan,
beliau hidup antara tahun 209-279 H.
b.
Yahya ibn Khalaf
Ibn
Hajar al-Asqalani di dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib mengungkapkan bahwa nama lengkap
tokoh ini adalah Yahya ibn Khalaf al-Bahili Abu Salamah al-Bishri terkenal
dengan al-Jubari. Kode yang dicantumkan di sebelah nama untuk Yahya ini adalah
mim dal ta kof, dengan huruf ta dan dal berarti ia termasuk rijal Turmudzi dan
Abu Daud, dan karena secara kebetulan tidak ada orang lain yang memiliki nama
ini, maka dapat dipastikan dialah orang yang dimaksud dalam sanad hadits ini,
tidak disebutkan kapan ia lahir, tetapi yang disebutkan ia wafat pada tahun 242
H, melihat tahun wafatnya ini, al-Turmudzi bertemu dengan tokoh ini.
Ibn
Hajar mengatakan bahwa banyak ulama yang ditimba ilmu haditsnya oleh Yahya ibn
Khalaf, banyak juga yang meriwayatkan hadits darinya termasuk Bisyr ibn
al-Mufaddhal, dan al-Turmudzi disebut sebagai seorang penerima hadits darinya.
Ibnu Hibban memasukan Yahya ini kedalam kelompok orang tsiqah, komentar lain
tidak ada, dan al-jarh yang ditunjukkan kepadanya juga tidak ada, karena tidak
ada al-jarh terhadapnya, justru ada penilaian tsiqah, maka ia digolongkan orang
yang ‘adil dan dhabit, haditsnya shahih.[13]
c. Bisyr ibn al-Mufaddhal
Di
dalam kitab Tahdzib ibn Hajar menyebutkan, ada 38 orang bernama Bisyr, hanya
satu yang ibn al-Mufaddhal, ia diberi kode ‘ain, artinya ia seorang rijal
kutubus sittah, ini berarti ia rijal al-Turmudzi dan Abu Daud, nama lengkap
tokoh ini adalah Bisyr ibn al-Mufaddhal ibn Labiq al-Raqasyi, ia menerima
hadits dari banyak ulama, dan meriwayatkan banyak hadits, tidak ada informasi
kapan ia lahir, tetapi diinformasikan ia wafat tahun 187. Kalau sanad hadits
ini menghendaki, Bisyr menerima hadits dari ‘Ummarah ibn Ghaziyyah, dan
menyampaikan hadits kepada Musaddad (2b. jalur Abu Daud ) dan Yahya ibn Khalaf
(2a. jalur al-Turmudzi), maka kitab Tahdzib telah menyebut hubungan itu,
artinya sanad Bisyr dengan Yahya ibn Khalaf dan Musaddad bersambung. Kemudian
dari segi ‘adalah (keadilan), tokoh ini tidak perlu diragukan, karena banyak
tokoh hadits yang memujinya, menurut Ali ibn al-Madinni, Bisyr shalat 400
rakaat dalam sehari, dan sehari berpuasa sehari tidak.
Ibn
Ma’in dan Ahmad ibn Hanbal, mengomentarinya sebagai syuyukh al-Basyiriyyin, Ibn
Hibban dan al-Bazar menilainya tsiqah, kemudian al-‘Ajli menilainya tsiqah,
faqih, tsabat fi al-hadits, shahihu sunnah dan hasanul hadits, tidak ada
seorang ulamapun menilainya majruh. Dengan demikian ia adalah ‘adil dhabitz, haditstnya
shahih.
d. Ummarah
ibn Ghaziyyah
Di dalam
kitab Tahdzib, ada 26 orang bernama Ummarah, yang menguntungkan bagi takhrij
hadits, mereka yang ibn Ghaziyyah hanya satu orang, dengan kode mim, ta’dan
kho, nama aslinya Ummarah ibn Ghaziyyah ibn al-Harits ibn amr ibn Ghaziyyah ibn
amr ibn Tsa’labah ibn Khansa ibn Mabzul ibn Ghanam ibn Mazin ibn al-Najjari
al-Anshari., Banyak ulama yang ditimba ilmu haditsnya dan Bisyr ibn Mufaddhal
disebut oleh ibn Hajar sebagai pemberi hadits kepada tokoh ini, dan penerima
hadits darinya, jadi baik dari kode maupun pertalian sanad, tidak diragukan
bahwa beliaulah yang dimaksud dalam sanad hadits tersebut diatas.
Penilaian
tehadap tokoh ini bervariatif, Ibn Hibban dan al-‘Ajli menilainya tsiqah, ta’dil
ringan dikemukakan oleh beberapa orang, Abu Hatim menilai Ummarah “ma fi
haditsihi ba’as”, komentar An-Nasa’i terhadap tokoh ini, “laisa bihi ba’as”,
sedang Muhammad ibn Sa’ad sungguhpun menilainya tsiqah, tetapi ia menambahi
kata-kata, katsirul hadits, Yahya Muhaimin hanya memberi nilai shahih,
sebaliknya Ibn Hazm menilai Ummarah dha’if, Abdul Haq berkata “Orang mutaakhir
menilai dha’if kepadanya.
Dari
komentator para ulama terhadap ’Ummarah, kita melihat ada ta’arudh antara al-
jarh dengan al- ta’dil. Bila kita cermati, sebenarnya ta’dil yang disampaikan
para ulama pada tingkat yang rendah sebagai bentuk toleransi, tidak ada pujian
yang berupa ta’kit artinya periwayat ini tidak istimewa, sedangkan di sisi lain
ada yang menilai lemah, walau tidak berat seperti tuduhan pendusta. Di sini al-Jarh
tidak disebut rinciannya, mengapa dikatakan dha’if. Melihat berbagai komentator
tadi, kita dapat mengatakan bahwa hadits tersebut bukan shahih dan bukan dha’if
tetapi hasan.
e. Yahya
Ibn ‘Ummarah
Di
dalam kitab Tahdzib, nama Yahya banyak ditemukan, tetapi hanya dua orang yang
mempunyai nama bin Ummarah , yaitu Yahya ibn Ummarah dan Yahya Ummarah ibn
‘Ibat. Yahya Ibn Ummarah Ibn Ibat, disebutkan oleh al-Asqalani bahwa ia hanya
meriwayatkan hadits kepada A’masy, dan menerima hadits dari Ibnu ‘Abbas, itu
hanya tentang kisah wafatnya Ali Ibnu Abi Thalib. Agaknya bukan ini orang yang
dimaksud dalam sanad, yang tepat adalah Yahya Ibn ‘Ummarah Ibn Abi Hasan
al-Anshari. Tidak ada informasi dari al- Asqalani kapan ia lahir dan kapan pula
ia wafat, beberapa sahabat disebut al-Asqalani sebagai penyalur hadits
kepadanya termasuk Abu Sa’id al- Khudri, ‘Ummarah ibn Ghaziyyah juga disebut
sebagai salah seorang penerima hadits dari Yahya dengan demikian persambungan
sanad ke atas dan ke bawah telah terjadi, tidak banyak komentar ulama terhadap
tokoh ini, Ibn Ishaq al- Nasa’i dan Ibn Kharrasy memujinya, meski tidak luar
biasa dengan nilai tsiqah, begitu juga Ibn Hibban, komentar lain tidak ada,
dengan demikian tidak ada pertentangan antara penilaian ‘adil dan cacatnya,
sehingga haditsnya tergolong shahih.
f. Abu
Sa’id al- Khudri
Ia
seorang shahabat Nabi, wafat tahun 75 H. Al-Asqalani memberi informasi bahwa
Abu Sa’id meriwayatkan hadits kepada Yahya ibn ’Ummarah. Bila kita menggunakan
teori bahwa semua shahabat itu adil, maka Abu Sa’id tidak perlu diperiksa,
langsung dikatakan bahwa haditsnya shahih.
·
Jalur Abu Daud
Abu
Daud menerima hadits dari Musaddad (2b). Di dalam Tahdzib, hanya seorang yang
punya nama ini, ia Musaddad ibn Musarhad ibn Musarbal al-Bashri al-Asadi Abu
al-Hasan al-Hafidz. Entah kapan dia lahir, tetapi tahun wafatnya disebut 228 H.
Dapat dipastikan, ini orang yang dimaksud dalam sanad, Apalagi, di sana ada
kode sin, ta’ dal khah, Dengan kode dal dan ta’ maka ia termasuk rijal al-
Turmudzi dan Abu Daud.
Oleh Ibn Hajar al- Asqalani, Bisyr ibn al- Mufaddhal disebut sebagai salah seorang yang menyampaikan hadits kepada Musaddad. Abu Daud disebut sebagai penerima hadits dari tokoh ini. Persambungan sanad ke atas maupun ke bawah sudah jelas.
Oleh Ibn Hajar al- Asqalani, Bisyr ibn al- Mufaddhal disebut sebagai salah seorang yang menyampaikan hadits kepada Musaddad. Abu Daud disebut sebagai penerima hadits dari tokoh ini. Persambungan sanad ke atas maupun ke bawah sudah jelas.
Jawaban
atas pertanyaan tentang Musaddad, menurut Abu Abdillah, “benar, ia syeikh,
semoga Allah mengampuninya”, Imam Ahmad menilainya Shaiduq (dikenal
kejujurannya). Ibn Ma’in menilai Musaddad tsiqah-shaduq. Tidak ada yang
menyacat.[14]
Berbagai
pujian yang telah dilontarkan oleh para ulama, tergambar bahwa Musaddad
tidaklah terlalu hebat. Istilah yang digunakan didalam ta’dil adalah syeikh,
shaduq, malah disertai permohonan ampun, itu artinya, ia ditolerir sebagai penyalur
hadits, untungnya ia tidak dicacat orang, dan hanya dinilai tsiqah shaduq,
seperti Ibn Ma’in. Maka, kalau dikatakan, haditsnya shahih, agaknya shahih
pas-pasan . Tetapi istilah itu tidak ada di dalam Ilmu hadits. Setelah kita
menghadapi kasus semacam ini, maka kita percaya bahwa keshahihan hadits itu
berlapis-lapis. Karenanya, benar kalau di dalam Ilmu Hadits ada konsep ashahhul
asanid (sanad primadona).
Adapun
tokoh lain dari jalur Abu Daud adalah Bisyr dan seterusnya ke atas sampai
dengan Nabi, sudah diuraikan di jalur al-Turmudzi.
Dari
hasil tayangan sanad kedua jalur itu dapat dikatakan, bahwa sanadnya
bersambung. Dari segi kualitas rijal semua periwayat jalur al-Turmudzi
berpredikat dhabit dan tsiqah kecuali Ummarah ibn Ghaziyyah, dinilai kurang tsiqah.
Karena itu hadits jalur al- Turmudzi nilainya hasan. Demikian juga jalur Abu
Daud. Karena hadits ini melalui Ummarah ibn Ghaziyyah, yang sekaligus rijal
al-Turmudzi, maka nilai haditsnya juga hasan. Bahkan pada jalur Abu Daud
terdapat periwayat yang tingkat keadilannya begitu rendah, sampai ada yang
menilai seraya memintakan ampun, yaitu Musaddad (2b pada
jalur Abu Daud).
Dengan
demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam proses takhrij terhadap hadits tentang
talqin mait, baik jalur al-Turmudzi maupun jalur abu Daud tidak dapat saling
membantu mengangkat nilai hadits tersebut, karena “titik lemahnya” terdapat
pada tokoh yang sama, yaitu Ummarah ibn Ghaziyyah. Sehingga hadits yang
berkaitan dengan talqin mait berkedudukan sebagai hadits hasan.
D.
Kesimpulan
Dari
uraian makalah yang penulis sajikan tentang Takhrij Al-Hadits, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Hadits
Nabi dalam hirarki sumber pokok ajaran Islam menempati urutan kedua sesudah
al-Qur’an, namun dalam prakteknya sering bahkan dianggap sejajar dengan
al-Qur’an.
2. Takhrij
al-Hadits dan I’tibar al-Sanad merupakan suatu kegiatan penelusuran atau
pencarian hadits dari berbagai sumbernya yang asli dengan mengemukakan matan
serta sanadnya secara lengkap untuk kemudian diteliti kualitas haditsnya.
3. Kegunaan
Takhrij al-Hadits dan I’tibar al-Sanad untuk mengetahui asal-usul riwayat
hadits, seluruh riwayat hadits dan ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada sanad
hadits yang diteliti.
4. Latar
belakang Takhrij al-Hadits dan I’tibar al-Sanad pada awalnya tidaklah begitu
urgen karena penguasaan para ulama terhadap sumber as-sunnah begitu luas. Namun
dirasa semakin urgen/penting ketika semangat belajar generasi berikutnya
semakin lemah, untuk mengetahui hadits yang dijadikan rujukan ilmu syar’i.
5. Penerapan
metode Takhrij al-Hadits dan I’tibar al-Sanad memerlukan keseriusan agar
memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.
Bibliografi :
Ali,
Nizar, Makalah Studi al-Hadits Program Magister, Yogyakarta,
2008.
Al-Jauzaa,
Abu, “Al-Muttabi’
dan Asy-Syahid, Serta Jalan Mencapai Keduanya (Al-I’tibar)”,
dalam http://azwarti.wordpress.com/2008/01/11/al-muttabi%E2%80
%99-dan-asy-syahid-serta-jalan-mencapai-keduanya-al-i%E2%80%99tibar/
posted by azwarti, 11 Januari 2008 dan diakses pada 8 September 2010.
Al-Qaththan,
Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, Cet.II, 2006.
Dawami,
M. Iqbal, “Proses dan Prosedur Sanad Hadis”, dalam http://penulis
pinggiran.blogspot.com/2008/08/proses-dan-prosedur-penelitian-sanad.html,
diposting pada 21 Agustus 2008 dan diakses pada 8 Oktober 2010.
Hasjim,
Abbas, Kritik Matan Hadits Versi Muhaditsin dan Fuqoha, Yogyakarta: Teras, 2004.
Ismail,
Muhammad Syuhudi, Metode Penelitian Hadits Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 1992.
Muhaimin,
Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta:
Fajar Inter Pratama Offset, 2005.
Mustaqim,
Abdul, Teori Sistem Isnad dan Otensitas Hadits, Menurut Perspektif Muhammad
Mustafa Azami dan Fazlurrahman., Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002.
Zuhri,
Muhammad, Hadits Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: Tiara
Wacana, Cet. II, 2003.
[1]Abbas Hasjim, Kritik Matan Hadits Versi Muhadisin
dan Fuqoha, Yogyakarta: Teras, 2004, hlm.
1.
[2]Abdul Mustaqim, Teori Sistem Isnad dan Otensitas Hadits,
Menurut Perspektif Muhammad Mustafa Azami dan Fazlurrahman., Yogyakarta,
Tiara Wacana, 2002, hlm. 55-56.
[3]Nizar Ali, Makalah Studi al-Hadits Program Magister, Yogyakarta, 2008, hlm. 2
[4]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
terj. Mifdhol Abdurrahman, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, Cet.II, 2006, hlm. 189.
[5]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1992, hlm. 71.
[7]Abu Al-Jauzaa’, “Al-Muttabi’ dan Asy-Syahid, Serta Jalan Mencapai
Keduanya (Al-I’tibar), dalam http://azwarti.wordpress.com/2008/01/11/al-muttabi%E2%80%99-dan-asy-syahid-serta-jalan-mencapai-keduanya-al-i%E2%80%99tibar/
posted by azwarti, 11 Januari 2008 dan diakses pada 8 September
2010.
[8]M. Syuhudi Ismail, op. cit., hlm. 51.
[10]Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Fajar Inter
Pratama Offset, 2005, hlm. 157.
[11]Muhammad Syuhudi Ismail, loc. cit.
[12]M. Iqbal Dawami, “Proses dan Prosedur Sanad Hadis”, dalam http://penulis pinggiran.blogspot.com/2008/08/proses-dan-prosedur-penelitian-sanad.html,
posted on 21 Agustus 2008 dan diakses pada 8 Oktober 2010.
[13]Muhammad Zuhri, Hadits Nabi: Telaah Historis dan
Metodologis, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. II, 2003, hlm. 157.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar