MUTIARA HIKMAH NASIHAT ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
(Khutbah Jum'at)
(Khutbah Jum'at)
Ma’asyiral
Muslimin Rahimakumullah
Pada kesempatan yang mulia ini, marilah kita bersama-sama
menguatkan hati dan bertekad meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT,
karena sesungguhnya hanya taqwalah yang dapat menghantarkan kita menuju
ridha-Nya. Bagaimana makhluk seperti kita ini masih menyombongkan diri, padahal
sebenarnya kita ini makhluk yang sangat kecil bila dibandingkan dengan
kemahabesaran Allah. Kita ini makhluk yang sangat lemah bila dibandingkan
dengan kemahakuasaan Allah. Dan kita ini makhluk yang sangat hina bila
dibandingkan dengan kemahamuliaan Allah.
Marilah kita bersyukur kepada Allah SWT menjadikan waktu sebagai
ruang bagi manusia untuk menanam berbagai kebaikan sebagai bekal di hari
mendatang. Maka apabila waktu terus berganti, itu pertanda semakin menipis
kesempatan diri menikmati indahnya dunia. Haruslah segera kita ingat, bahwa
yang kekal adalah hari akhirat. Hari keadilan yang membahagiakan bagi mereka
yang telah mempersiapkan diri dan menyedihkan bagi mereka yang lupa diri. Download File (Ms. Word)
Jama’ah
Jum’ah yang Berbahagia
Pada kesempatan ini, marilah kita menyimak salah satu nasihat
dari sahabat Abu Bakar As-Shidiq yang berbicara mengenai kehidupan ini.
Bahwasanya ada lima jenis kegelapan yang menjadikan pekatnya kehidupan manusia.
Namun lima kegelapan itu dapat disirnakan oleh lima macam cahaya.
Pertama
حب الدنيا ظلمة والسراج لها التقوى ‘hubbud
dunya dzulmatun was siroju lahat taqwa’ Kegelapan terjadi akibat dari
terlalunya cinta manusia kepada kehidupan dunia, dan cahaya yang
menghilangkannya adalah taqwa. Terlalu mencintai kehidupan dunia (hubbud
dunya) akan menyebabkan seseorang menghampiri perkara-perkara syubhat,
yaitu perkara samar yang tidak jelas halal dan haramnya. Perkara yang syubhat
itu akan menghantarkan kepada yang makruhat, yaitu perkara yang dibenci oleh
syariat. Jika sudah demikian maka akhirnya jatuhlah ia ke lembah muharramat,
yaitu perkara yang dilarang oleh agama. Semua ini berawal dari semangat yang
berlebihan pada cinta kehidupan dunia.
Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda حب الدنيا رأس كل خطيئة “hubbud dunya ro’su kulli khoti’ah” (cinta dunia adalah pangkal
semua keburukan). Yang kemudian dijabarkan oleh al-Ghazali فبغضها رأس كل حسنة “Fabaghdhuha ro’su kulli hasanah” (maka membenci
dunia adalah modal kebaikan). Kegelapan ini bisa sirna apabila diterangi oleh
taqwa, sebab substansi taqwa adalah ‘takut’; takut akan terjatuh pada
larangan-Nya. Sehingga seseorang hanya akan mengerjakan apa yang
diperintahkan-Nya.
Cinta kepada dunia menjadikan pekerjaan kita sebagai prioritas.
Orang-orang yang cinta dunia dan melupakan akhirat akan dengan mudahnya
meninggalkan shalat tanpa adanya rasa dosa dan penyesalan. Boleh jadi mereka mengaku
sebagai orang Islam, tetapi rukun Islam sering mereka lalaikan. Bahkan, boleh
jadi mereka shalat, tetapi di dalam hatinya ada unsur riya’/pamer. Allah memperingatkan
perilaku seperti ini dalam firman-Nya:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ . الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ
سَاهُونَ . الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ . وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong
dengan) barang berguna. (Qs. al-Ma’un: 4-7)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kaum Munafiqin yang
mempertontonkan shalat kepada kaum Mukminin dan meninggalkannya apabila tidak
ada yang melihatnya serta menolak memberikan bantuan ataupun pinjaman. Ayat ini
sendiri turun sebagai peringatan kepada orang-orang yang berbuat seperti itu.
Jama’ah
Rahimakumullah
Kedua, والذنب ظلمة والسراج له التوبة wad-dzanbu dzulmatun was siroju lahut taubah.
Kegelapan yang terjadi akibat dosa dan sinar yang akan menyirnakannya adalah
taubat. Imam Ghazali berkata: Sesungguhnya seorang hamba apabila ia berbuat
kesalahan maka di hatinya akan tertera setitik noda. Ketika ia telah
beristighfar (meminta ampunan) dan bertaubat maka hati itu akan kembali
cemerlang dan jika ia kembali melakukan kesalahan serupa maka hati itulah yang
telah tertutup.
Hal ini sesuai dengan Qs. al-Muthaffifin ayat 14:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka
usahakan itu menutupi hati mereka.
Memang, manusia adalah tempatnya lupa dan dosa. Tapi sebaik-baik
orang yang berbuat kesalahan adalah orang yang menyadari kesalahannya kemudian
berusaha memperbaiki diri dengan bertaubat kepada Allah dengan taubatan
nasuha. Caranya adalah (1) menyesali kesalahannya; (2) berjanji tidak akan
mengulanginya lagi; dan (3) memperbanyak amal saleh untuk menutupi kesalahannya
tersebut, sebab dalam hadits disebutkan:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya
setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya,
serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Ketiga, والقبر ظلمة والسراج له لا إله إلا الله wal
qabru dzulmatun was siroju lahu ‘la ilaha illallah’, kegelapan yang terjadi
di alam kubur dan yang akan menyinarinya adalah kalimat tauhid ‘la ilaha
illallah’. Nasehat ketiga ini didasarkan kepada hadits Rasulullah SAW:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا اِلٰهَ
إِلَّا اللهُ
Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan atas api neraka orang yang
mengatakan la ilaha illallah.
Dalam hadits al-Khatib disebutkan: “Barangsiapa yang membaca
la ilaha illallah dengan ikhlas akan masuk surga. Kemudian orang-orang bertanya:
bagaimana ikhlas itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ya, apabila kalian
merintangi diri dari segala yang dilarang Allah.”
Keikhlasan seseorang yang melafalkan la ilaha illallah berasal dari hati
yang ikhlas pula, sehingga menggerakkan lisannya untuk mengakui bahwa tidak ada
yang patut disembah dan dituju kecuali Allah. Hal ini berbeda dengan orang yang
mengucapkan la ilaha illallah tanpa adanya pemaknaan yang mendalam.
Orang-orang seperti ini barangkali lisannya mengucapkan la ilaha illallah,
tetapi boleh jadi perilakunya menyembah materi dan kedudukan. Na’udzubillah
min dzalik.
Jama’ah
yang Dimuliakan Allah
Keempat, والأخرة ظلمة والسراج لها الأعمال الصالحة “Wal
akhiratu dzulmatun was siroju lahal ‘amalus shalih.” Kegelapan yang ada di
akhirat hanya dapat disinari dengan amal kebaikan. Maka selagi masih ada
kesempatan dan umur panjang, berbondong-bondonglah melakukan dan mengumpulkan
berbagai amal kebaikan.
Jangan sampai alasan “belum bisa ikhlas”, menjadikan kita malas
untuk memulai suatu kebaikan. Sebab tiap manusia tidak bisa langsung beramal
dengan ikhlas tanpa adanya suatu latihan dan pembiasaan. Dengan adanya
pembiasaan beramal saleh, hendaknya kita terus berusaha untuk belajar ikhlas,
sehingga amal saleh yang kita lakukan diterima oleh Allah SWT. Lebih baik kita
banyak beramal sambil belajar ikhlas daripada kita tidak beramal sama sekali hanya
karena belum bisa ikhlas.
Belajar ikhlas memang sulit. Namun, Allah memahami kondisi
hamba-hamba-Nya dengan menjadikan berbagai macam keringanan (rukhshah)
agar manusia mengumpulkan sebanyak mungkin kebaikan. Begitu pentingnya posisi rukhshah
dalam syariat hingga Rasulullah SAW bersabda :
أَدُّوا الْعَزَائِمَ وَاقْبَلُوا
الرُّخْصَةَ وَدَعَوا النَّاسَ فَقَدْ كَفْتُمُوْهُمْ
Lakukanlah berbagai kehendak (baikmu) dan terimalah keringanan
dari Allah dan ajaklah orang-orang semuanya, maka yang demikian cukuplah bagimu.
Hal ini perlu dipahami bahwasanya rukhshah yang diberikan
oleh Allah SWT merupakan kesempatan dan peluang yang sebaiknya segera
ditindak-lanjuti menjadi amal kesalehan. Karena amal salehlah yang akan
menolong kehidupan di akhirat nanti. Akan tetapi perlu diiingat, segala
keringanan yang diberikan Allah jangan sampai menjadikan kita
menggampangkannya. Demikian juga, segala kewajiban dari Allah jangan sampai
menjadikan kita merasa berat sehingga meninggalkannya.
Kelima, والصراط ظلمة والسراج له اليقين was sirathu dzulmatun was siroju lahul yaqin. Bahwa
titian atau jembatan di hari akhir nanti sangatlah gelap, dan yang akan
menerangi perjalanan kita melewati jembatan itu adalah keyakinan. Yakin atas
petunjuk Allah SWT akan menghilangkan berbagai macam keraguan. Namun, jika kita
merasa ragu serta tidak meyakini petunjuk-Nya, maka perjalanan kita akan penuh
kegelapan.
Petunjuk Allah itu tidak lain adalah kitab suci al-Qur’an
sebagai penerang bagi hati yang gelap. Ibarat buku rambu-rambu lalu lintas,
al-Qur’an adalah buku pedoman bagi perjalanan kita di dunia ini agar selamat
sampai tujuan di akhirat nanti. Jika kita meyakini kebenaran al-Qur’an dan
mengamalkan pedoman-pedoman hidup yang ada di dalamnya, insya Allah kita akan
dinaungi oleh sinar terang pada saat kita berada di shirat, di akhirat
nanti. Amin.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah
Demikianlah nasihat sayyidina Abu Bakar mengenai lima kegelapan
yang harus disiapkan penerangnya oleh kita semua agar perjalanan kita kelak menjadi
lancar tanpa halangan apapun. Semoga khutbah kali ini bermanfaat bagi kita semua
dalam menapaki sisa-sisa umur kita yang semakin berkurang ini. Amin, Ya
Rabbal Alamin.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar