NEO-SUFISME DAN KEBANGKITAN
SPIRITUALISME
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Di
tengah gelombang arus modernisasi dan sekularisasi, tuntutan terhadap
spiritualitas tampaknya mengalami perkembangan. Hal ini tercermin dari maraknya
kajian terhadap spiritualisme. Spiritualisme tersebut dalam perkembangannya mengalami
dinamisasi yang beragam, termasuk pada sisi implementasi ajaran.
Download
Download
Kerinduan pada spiritualisme tampaknya melanda beberapa
masyarakat yang terhitung terdidik secara modern. Dimensi batin ini dalam
fitrahnya memang membutuhkan semacam terapi dalam menghadapi akumulasi
kejenuhan dan kekeringan jiwa. Hal inilah yang antara lain memunculkan
tuntutan terhadap pentingnya spiritualisme. Salah satunya adalah melalui
tasawuf.
Kekuatan
tasawuf mampu membangkitkan kesadaran dan nuansa pembebasan masyarakat Muslim.
Kecenderungan demam tasawuf di perkotaan kian menunjukkan peningkatan.[1] Kursus-kursus
tasawuf seringkali menarik minat yang tinggi. Apakah ini indikasi dari gerakan
neo-sufisme?
Sejarah
Perkembangan
Dalam
sejarah perkembangannya, sufisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase,
yakni sufisme awal, sufisme orthodoks, sufisme theosofi, dan neo-sufisme.
1. Sufisme
Awal
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme
sudah populer di kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai kelanjutan
dari gaya
keberagamaan para zahid dan abid yang mengelompok di serambi masjid Madinah.
Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme yang merupakan bibit awal
tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini ditandai oleh munculnya
individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat, sehingga perhatiannya
terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini
setidaknya berlangsung sampai akhir abad II Hijriah, dan memasuki abad III
Hijriah sudah menampakkan adanya peralihan dari asketisme ke sufisme. Fase ini
dapat disebut fase kedua, yang antara lain ditandai oleh pergantian sebutan
zahid menjadi sufi.[2]
Dalam masa ini, telah muncul konsep tentang
jenjang perjalanan yang harus ditempuh seorang sufi (al-maqomat), ma’rifat dan perangkat metodenya hingga pada derajat
fana’ dan ittihad.
2. Sufisme
Orthodoks
Pada fase ketiga,
ditandai dengan mulainya unsur-unsur luar Islam yang berakulturasi bahkan
sinkretis dengan ajaran sufisme. Pada kurun waktu ini, terjadi ketegangan
antara kaum orthodoks Islam dan penganut sufisme awal dengan kaum sufi berpaham
ittihad.[3]
Ternyata
ketegangan tersebut terjadi bukan semata karena sufisme atau perbedaan
pemahaman agama, tetapi juga karena
telah “ditunggangi” kepentingan politik, yakni antara kaum sufi dengan kaum Syi’i.
Adapun istilah sufisme orthodoks sendiri adalah sebagai tandingan bagi sufisme
populer yang didukung sepenuhnya oleh Syi’ah. Tujan sufisme orthodoks adalah
mengupayakan tegaknya kembali warisan kesalehan sufi terdahulu, yakni para
sahabat dan generasi sesudahnya dengan tetap mempraktekkan kehidupan agama yang
bersifat lahiriah.[4] Dengan kata lain, adalah untuk merentang jembatan di
atas jurang yang memisahkan Islam orthodoks dan mengawal kesucian sufisme agar
tetap berada dalam wilayah Islam yang murni.
3. Sufisme
Theosofi
Pada fase keempat ini, ditandai dengan
masuknya unsur-unsur filsafat ke dalam sufisme, baik yang bersifat metodologis
maupun postulat-postulat filsafat Yunani terutama neo-Platonisme.[5]
Agaknya persoalan ini pulalah yang melatarbelakangi gerakan Ibn Taimiyah dan
Ibn Qoyyim pada abad VIII Hijriyah untuk melanjutkan usaha al-Ghazali, walaupun
terdapat beberapa perbedaan. Ajaran
sufisme baru bisa diterima bila itu tidak bertentangan dengan syariat. Gerakan
Ibn Taimiyah ini juga menolak doktrin monisme (wahdat al-wujud) Ibn Arabi dan berbagai praktek ritual sufisme.[6]
4. Neo-Sufisme
Istilah
neo-sufisme pertama kali digunakan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya “Islam”.
Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi
justru memancing polemik dan diskusi yang luas.[7] Sebelum Rahman, sebetulnya Hamka telah menampilkan
istilah tasawuf modern dalam bukunya “Tasawuf Modern”, tetapi dalam buku ini
tidak ditemui kata neo-sufisme.[8]
Kebangkitan kembali sufisme di dunia Islam
dengan sebutan neo-sufisme, nampaknya tidak bisa dipisahkan dari apa yang
disebut sebagai kebangkitan agama sebagai penolakan terhadap kepercayaan yang
berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk era modernisme. Modernisme
dinilai telah gagal memberikan kehidupan yang bermakna bagi manusia, karenanya
orang kembali ke agama. Karena, salah satu fungsi agama adalah memberikan makna
bagi kehidupan.[9]
Kebangkitan
Spiritualisme
Fenomena
di atas tidak lantas dapat dijadikan indikasi bagi bangkitnya spiritualitas. Sebab ada beberapa hal yang patut dijadikan tolok ukur
dalam menilai spiritualitas seseorang. Pertama,
tasawuf tidak sekadar sebagai alternatif bagi dunia modern; Kedua, bukan sebagai tempat “pengobatan”
bagi korban krisis; Ketiga, bukan trend
bagi masyarakat kelas menengah dan atas.
Apabila
tasawuf hanya diobsesikan sebagai tempat pelarian dari ekses negatif
modernisme, maka ia akan ditinggalkan peminatnya begitu modernisme bisa
mengatasi ekses negatifnya. Jika ia diharapkan sebagai tempat berteduh dan
“terapi” serangan mental akibat kondisi krisis, ia juga akan ditinggal pergi
begitu krisis itu berakhir. Bila ia trend suatu komunitas masyarakat tertentu,
maka trend itu akan segera digilas begitu trend lain muncul.[10]
Keempat, tasawuf hanya mengorbit pada lingkaran diskursif-konseptual. Transformasi ajaran-ajaran tasawuf berjalan
sebatas forum-forum kajian atau diskusi sehingga cenderung elitis dan
eksklusif. Ini bertentangan dengan karakter neo-sufisme yang puritanis dan
aktivis. Kekuatan tasawuf bukan cuma selaku bengkel akhlak, tapi juga
berorientasikan aksi-partisipatif. Tokoh-tokoh sufi besar pada saat yang sama
adalah transformator sosial di zamannya.[11]
Seperti, Tarekat Sanusiyah berhasil mengusir
kolonialis dan menegakkan Libya.[12] Imam Khomeini, pemimpin Revolusi Iran,
dikenal sebagai sufi zaman akhir. Berkat aliran-aliran sufi, berpuluh-puluh tahun
bangsa Chechen memelihara Islam dalam cengkeraman komunisme dan melawan Rusia
sendirian.
Tasawuf konseptual sulit mengeksekusi
mobilitas sosial karena transformasi doktrinal yang dibangun lebih menekankan
hal-hal abstrak, seperti moral, ibadah, dan tazkiyah. Nilai-nilai intrinsik
tidak akan melekat erat pada penganut tasawuf tanpa dibarengi partisipasi
empiris terhadap problem-problem umat. Bukan hanya moral-ibadah, tetapi juga
ekonomi, sosial, dan politik. Islam mengajarkan penganutnya untuk melakukan
kerja-kerja sosial dan aksi pembebasan.
Kelima, tasawuf gagal menunjukkan cirinya sebagai kekuatan oposisi.
Orientasi ke “dalam” membuat tasawuf berupaya menjaga jarak terhadap konflik, bahkan
pada sisi tertentu cenderung akomodatif. Konflik dan kontradiksi hanya merusak
suasana hati, menggerogoti upaya tazkiyah
al-nafs (penyucian jiwa) dalam menghampiri Tuhan. Dalam menyikapi mad'u (objek dakwah), penganut tasawuf
lebih mementingkan rekonsiliasi (al-hikmah
al-siysiyah); menambah pengikut sebanyak-banyaknya dan mengurangi lawan
sebesar-besarnya.
Suatu hal yang berbeda dengan gerakan tasawuf
klasik. Selain sebagai olah rohani, tasawuf pada waktu itu berperan melancarkan
gerakan oposisi keagamaan (pious opposition) terhadap praktik-praktik
penindasan. Oposisi yang dilokomotifi oleh Hasan al-Bashri adalah sebuah contoh
gerakan tasawuf yang paling fasih menentang despotisme politik pemerintahan
Umawi di Damaskus. Pada saat ini, ideologi oposisi justru direbut oleh
gerakan-gerakan Islam, seperti al-Ikhwan al-Muslimin, Jamiah Islam, atau Hizb
al-Tahrir lewat slogan-slogan otensitas yang mereka usung. Dikhawatirkan,
redanya ideologi oposisi berdampak mengerdilnya kiprah dan aktivitas tasawuf
menjadi mistisisme an sich.
Keenam, tasawuf cenderung bergeser ke arah pluralisme keberagamaan. Pluralisme
dalam tasawuf bisa dilacak dari model spiritual dialogue yang melibatkan
agama-agama yang berbeda. Dialog spiritual ini merambat melalui aspek esoteris
agama. Keterlibatan para cendekiawan Muslim dalam pelbagai forum kajian
spiritualitas lintas agama, semacam Anand Krishna atau Brahma Kumaris, dan
organisasi-organisasi dialog antaragama, seperti Paramadina, Interfidei, dan
MADIA juga mengalamatkan kecenderungan tersebut.[13]
Analisis
Tasawuf tidak didasarkan atas penarikan diri secara lahir dari
dunia, melainkan didasarkan atas pembebasan batin. Seorang sufi akan
berpendapat bahwa bukan dirinya yang meninggalkan dunia, tetapi dunialah yang
meninggalkan dirinya. Pembebasan
batin dalam kenyataannya bisa berpadu dengan aktivitas lahir yang intens.
Tasawuf sampai kepada perpaduan kehidupan
aktif dan kontemplatif selaras dengan sifat penyatuan Islam sendiri terhadap
kedua bentuk kehidupan ini. Kekuatan rohani Islam menciptakan suatu iklim di
dalam kehidupan lahiriah melalui aktivitas yang intens, suatu iklim yang secara
alami memikat manusia ke arah meditasi dan kontemplasi, sebagaimana tampak
begitu jelas dalam jiwa seni Islam. Aktivitas keduniaan yang sering dipandang
sebagai bertentangan dilebur dengan kedamaian batin yang merupakan ciri dari
Yang Satu, Pusat segala hal.[14]
Bibliografi :
Alief, Nasrullah, “Gerakan Neo-Sufisme Sanusiyah di
Afrika Utara”, dalam Ulumul Qur’an,
No. 2 VII/1996.
Burhani, Ahmad Najib, Sufisme
Kota, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2001.
Haeri,
Syaikh Fadhlalla, Jenjang-jenjang Sufisme,
Terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000.
http://www.republika.co.id/cetak_berita.asp?id=130682&kat_id=105&edisi=Cetak
Nasr, Sayyid Husein, Tasawuf
Dulu dan Sekarang, Terj. Abdul Hadi WM, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985.
Rahman, Fazlur, Islam,
Terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 1984.
Siregar, Rivay, Tasawuf
Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2000.
[2]Prof.
H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 231-232.
[3]Ibid, hlm. 237.
[4]Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Bandung, 1984, hlm. 185.
[5]Prof.
H. A. Rivay Siregar, op. cit., hlm.
242.
[6]Fazlur
Rahman, op. cit., hlm. 208.
[7]Menurut
Rahman, perintis neo-sufisme adalah Ibn Taimiyah (w.728 H) yang kemudian
diteruskan oleh muridnya, Ibn Qoyyim, yaitu tipe tasawuf yang terintegrasi
dengan syariah. (Lihat, Prof. H. A. Rivay Siregar , op. cit., hlm. 248).
[8]Ibid, hlm. 247-248. Selain itu ada juga
istilah tasawuf positif yang dikembangkan oleh lembaga IIMaN (Lihat, Ahmad
Najib Burhani, Sufisme Kota, PT
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,
2001, hlm. 167).
[9]Prof.
H. A. Rivay Siregar, op. cit., hlm.
248.
[10]Ahmad
Najib Burhani, op. cit., hlm.
161-162.
[11]http://www.republika.co.id/cetak_berita.asp?id=130682&kat_id=105&edisi=Cetak
[12]Untuk
lebih jelasnya, baca Nasrullah Alief,
“Gerakan Neo-Sufisme Sanusiyah di Afrika Utara”, dalam Ulumul Qur’an, No. 2 VII/1996, hlm. 69-82. Lihat juga Syaikh
Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme,
Terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2000, hlm. 163-164.
[14]Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Terj. Abdul Hadi WM, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1985, hlm. 205-206.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar