METODE KRITIK TRANSENDENTAL IMMANUEL KANT (1724-1804)
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Munculnya rasionalisme
dan empirisme menjadi indikator lahirnya periode modern dalam alam pikiran
Barat. Masing-masing ingin menang sendiri, rasionalisme meragukan semua
pandangan empirisme. Demikian juga sebaliknya, empirisme memandang rasionalisme penuh dengan
subyektivitas dan sangat personalistik.
Download
Download
Dalam keadaan tersebut,
muncul salah seorang filosof yang hendak mendamaikan keduanya, yaitu Immanuel
Kant. Secara umum, Kant sejajar dengan Socrates dan Descartes. Socrates
berhasil menghentikan pemikiran kaum sopisme dan menundukkan rasio dan iman
pada posisinya. Descartes berhasil menghentikan dominasi iman (Kristen) dan
menghargai kembali rasio. Sementara Immanuel Kant berhasil menghentikan sopisme
modern untuk mendudukkan kembali rasio dan iman pada posisi masing-masing, yang
melahirkan paradigma Rasionalisme Kritis.[1]
A. Latar Belakang Historis: Refleksi Filsafat di Abad
Pencerahan
Setelah
sempat menghilang pada abad pertengahan,
–dimana otoritas kebenaran, pada
umumnya, ada pada gereja,– rasionalitas menemukan momentumnya pada masa
Renaisance di abad ke-15, yang kemudian mencapai puncaknya pada masa pencerahan
di abad ke-18. Pada masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru di bidang
ilmu, dan terutama paradigma ilmu ‘fisika’ alam. Heliosentris temuan Nicolaus
Copernicus (1473-1543) di bidang astronomi yang meruntuhkan paradigma
geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasi pandangan dunianya, tidak
hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.[2]
Kemudian disusul Galileo Galilie (1564-1642) yang menemukan hukum gerak dan
kecepatan, bahkan Newton
(1642-1727) dengan kegigihannya mendapatkan temuan-temuan baru di bidang
fisika. Dan inilah ciri pertama zaman Pencerahan.[3]
Di tangan mereka inilah, ilmu fisika alam untuk pertama kalinya memisahkan diri
dari induknya, yaitu filsafat alam (metafisika). Ilmu ini sudah tidak lagi
membicarakan hakikat alam sebagaimana metafisika, tetapi dengan kekuatan
metodologinya, lebih mengarahkan penyelidikan pada hukum-hukum yang berlaku
pada alam.[4]
Ciri
kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham yang
kemudian melahirkan Natural Religion (agama alam) atau agama akal.
Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta
ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada
nasibnya sendiri. Sebab Dia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya.
Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan
tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum
akalnya. Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta dengan
kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku Alkitab, mukjizat, dan lainnya kepada kritik
akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari segala
ajaran gereja.[5]
Suasana zaman renaisance dan pencerahan di atas memberi pengaruh pada Kant
dalam membangun epistemologinya, terutama pengaruh dari G.W. Leibniz dan David
Hume.
Filsafat
Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar pada waktu itu, yakni
rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme Leibniz (1646-1716), dan
empirisme Hume (1711-1776).[6]
Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf ini
untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan
pandangannya sendiri sebagai sintesis kritis dari keduanya, yakni filsafat
transendental (transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas,
ia ingin ‘melampaui’ posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi
tersebut. Ini adalah intensi utama dari filsafat Kant, yakni sebuah tanggapan
terhadap problem epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang
mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas.[7]
Perkembangan
pemikiran Kant mengalami empat periode. Periode pertama ialah ketika ia
masih dipengaruhi oleh Leibniz-Wolff, yaitu sampai tahun 1760. Periode ini
sering disebut periode rasionalistik. Periode kedua berlangsung antara
tahun 1760-1770, yang ditandai dengan semangat skeptisme. Periode ini disebut
periode empiristik. Pada periode ini pengaruh Hume sangat dominan. Periode
ketiga dimulai tahun 1770-1790 yang dikenal sebagai “tahap kritik”. Periode
keempat berlangsung antara tahun 1790-1804. Pada periode ini Kant
mengalihkan perhatiannya pada masalah religi dan problem-problem sosial.[8]
Jadi jelaslah bahwa pemikiran Kant pada umumnya telah dipengaruhi oleh pertentangan
dua aliran epistemologi pada masa itu, yaitu Leibniz dengan
rasionalismenya yang a priori dan Hume dengan empirismenya
yang a posteriori.
B. Menuju Epistemologi Kritisisme
Secara
khusus dalam bidang refleksi epistemologi, Kant hendak merumuskan sebuah
jembatan raksasa untuk membuat sintesis antara rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio saja. Pengalaman
empiris hanya menegaskan apa yang telah sebelumnya telah diketahui oleh rasio. Rasio
sendiri tidak memerlukan pengalaman. Rasio dapat menurunkan kebenaran-kebenaran
dari dirinya sendiri, yakni bersifat deduktif.[9]
Empirisme
persis berpendapat sebaliknya: hanya segala sesuatu yang merupakan pengalaman
inderawi sajalah yang bisa dijadikan sebagai dasar pengetahuan manusia. Rasio
bukan sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman menjadi pengetahuan. Jadi metodenya induktif.[10]
David
Hume berdasarkan pandangan ini berpendapat bahwa semua hal yang tidak dapat
diketahui secara inderawi manusia adalah suatu bentuk kepercayaan saja, dan
tidak bisa dijadikan pengetahuan yang sahih. Prinsip kausalitas misalnya
bukanlah merupakan suatu kepastian, tetapi kemungkinan, yang didapatkan dari
kebiasaan manusia saja.
David
Hume mempertanyakan seluruh kepercayaan-kepercayaan akal sehat kita tentang
sumber pengetahuan manusia. Ia berpendapat bahwa kita tidak dapat mengandaikan
adanya justifikasi a priori ataupun a posteriori tentang beberapa
kepercayaan fundamental akal sehat kita, seperti prinsip kausalitas yang
menyatakan bahwa semua kejadian pasti memiliki sebab. Dengan tesis Hume
tersebut, maka semakin jelaslah bahwa empirisme tidak dapat memberikan kita
justifikasi epistemologis (epistemological justification) untuk semua
klaim kausalitas yang selama ini dianggap tepat. [11]
Menurut
Kant, epistemologi kebenaran bukan berasal dari obyek pengetahuan, tetapi dimulai
dari struktur-struktur subyek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai
obyek. Sebelum beranjak pada putusan, Kant mengklasifikasi dulu unsur-unsur
mana dalam pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana
yang terdapat pada akal.[12]
Upaya
Kant inilah yang dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis. Kritisisme
adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki
kemampuan rasio dan batas-batasnya. Salah satu tujuan utama filsafat Kant ini –dengan
metodenya yang disebut transendental– adalah memberikan sebuah alternatif
pembenaran filosofis terhadap hasil kerja empirisme.[13]
C. Metode Kritis Transendental
Secara harafiah kata kritik berarti “pemisahan”.
Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang
tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari
keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi
filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara
objektif dan menentukan batas-batas kemempuannya untuk memberi tempat kepada
keyakinan.[14]
Immanuel
Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu
pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu
secara subyektif pula. Kant menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis. Untuk
menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan “condition
of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa
kitik Kant terhadap epistemologi tentang “kapasitas
rasio dalam persoalan pengetahuam” bahwa rasio dapat menjadi kritis
terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini
bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik
sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.[15]
Selanjutnya
filsafat Kant ini disebut juga sebagai filsafat transendental (transcendental philosophy). Filsafat
transendental adalah filsafat yang berurusan bukan untuk mengetahui objek
pengalaman melainkan bagaimana subjek (manusia) bisa mengalami dan mengetahui
sesuatu. Filsafat transendental itu tidak memusatkan diri dengan urusan
mengetahui dan mengumpulkan realitas kongkrit seperti misalnya pengetahuan
tentang anatomi tubuh binatang, geografis, dan sebagainya, melainkan berurusan
dengan mengetahui hukum-hukum yang mengatur pengalaman dan pemikiran manusia
tentang anatomi tubuh binatang, dan sebagainya. Hukum-hukum itu oleh Kant
disebut hukum a priori (hukum yang
dikonstruksi akal budi manusia) dan bukan hukum yang berdasarkan pengetahuan
inderawi (a posteriori). [16]
Untuk menjalankan usahanya ini, Kant memulai dari kritik atas
rasio murni, lalu kritik atas rasio praktis, dan kemudian kritik atas daya
pertimbangan.
1. Kritik atas Rasio Murni
Dalam
kritik ini, Kant antara lain menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat
umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dahulu
membedakan adanya tiga macam putusan.
Pertama,
putusan analitis a priori; dimana predikat tidak menambah sesuatu kepada
subyek, karena sudah termuat di dalamnya. Misalnya, “setiap benda menempati
ruang”. Kedua, putusan sintesis a posteriori, misalnya pernyataan
“meja itu bagus”, disini predikat dihubungkan dengan subyek berdasarkan
pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka
ragam meja yang pernah diketahui. Ketiga, putusan sintesis a priori;
di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat
sintesis, namun bersifat a priori juga. Misalnya, putusan berbunyi
“segala kejadian mempunyai sebabnya”. Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi
a priori), namun putusan ini juga bersifat sintesis dan a posteriori.
Menurut Kant, putusan jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut
pengetahuan (ilmiah) terpenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan
baru.[17]
Pada
proses sintesis antara unsur a priori dan a posteriori, menurut
Kant, terjadi pada tiga tingkatan manusia, yaitu tingkat pencerapan indrawi,
lalu tingkat akal budi, dan tingkat tertinggi adalah intelek/rasio.[18]
a. Tingkat
Pencerapan Indrawi (Sinneswahrnehmung)
Pada
taraf ini, sintesis antara unsur-unsur a priori dan a posteriori
sudah terjadi. unsur a priori dalam taraf ini disebut dengan ruang dan
waktu. Ruang dan waktu dalam pengertian Kant tidak seperti pada pengertian Newton, yakni ruang dan
waktu yang bersifat transenden pada manusia, tetapi lebih kepada pengertian
ruang dan waktu yang bersifat imanen.
b. Tingkat
Akal Budi (Verstand)
Bersamaan
dengan pencerapan indrawi, bekerjalah akal budi secara spontan. Tugas akal budi
adalah menyusun dan menghubungkan data-data indrawi, sehingga menghasilkan
putusan. Dalam hal ini akal budi bekerja dengan bantuan daya fantasinya.
Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman
indrawi tadi dengan bentuk-bentuk a priori yang dinamai Kant dengan
“kategori” (kategorie), yakni ide-ide bawaan yang mempunyai fungsi
epistemologi dalam diri manusia.
c. Tingkat
Intelek/Rasio (Versnunft)
Menurut
Kant, yang dimaksud dengan intelek/rasio adalah kemampuan asasi yang
menciptakan pengertian-pengertian murni dan mutlak, karena rasio memasukkan
pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang bersifat umum. Dalam tahap ini,
manusia mampu sampai kepada sesuatu yang mutlak, yakni idea transendental. Idea
ini sifatnya semacam indikasi-indikasi kabur atau petunjuk-petunjuk buat
pemikiran, seperti kata “barat” atau “timur” yang sejatinya tidak dapat
diamati.
Terdapat
tiga idea dalam idea transendental: idea psikis, idea kosmologis, dan idea
teologis. Idea psikis (jiwa) merupakan gagasan mutlak yang mendasari segala
gejala batiniah. Sementara idea kosmologis (dunia) menyangkut segala gejala
lahiriah. Sedangkan idea teologis merupakan perpaduan antara gejala lahiriah
dan batiniah yang terdapat dalam pribadi mutlak, yakni Tuhan.
Meski
Kant menerima ketiga idea tersebut, tetapi menurutnya, hal itu tidak dapat
diketahui lewat pengalaman. Sebab pengalaman terjadi di dunia fenomena (nyata),
sedangkan ketiga idea tersebut berada di dunia nomena (neumenon = “yang
dipikirkan, “yang tidak tampak”). Ketiganya merupakan postulat atau
aksioma-aksioma epistemologi yang berada di luar jangkauan pembuktian
teoritis-empiris.
2. Kritik atas Rasio Praktis
Apabila
kritik rasio murni memberikan penjelasan tentang syarat-syarat umum dan mutlak
bagi pengetahuan manusia, maka dalam kritik atas rasio praktis yang
dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi perbuatan susila. Kant
mencoba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa bentuk (form) perbuatan dalam kesadaran itu
tampil dalam perintah (imperatif).
Kesadaran demikian ini disebut dengan otonomi “otonomi rasio praktis”. Perintah
tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara: subyektif dan obyektif.
Aturan pokok (maxime) adalah pedoman
subyektif bagi perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperatif merupakan azas kesadaran
obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku
umum dan niscaya, meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hepotetik) atau dapat juga tanpa syarat
(kategorik).[19]
Menurut
Kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan
penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat. Sikap
inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Kesadaran susila mengandung adanya pra-anggapan dasar.
Pra-anggapan dasar ini oleh Kant disebut ”postulat rasio praktis”, yaitu
kebebasan kehendak, immortalitas jiwa, dan adanya Tuhan. Hukum susila merupakan
tatanan kebebasan, karena hanya dengan mengikuti hukum susila orang menghormati
otonomi kepribadian manusia. Kebakaan (immortality)
jiwa merupakan pahala yang niscaya diperoleh bagi perbuatan susila, karena
dengan keabadian jiwa, bertemulah ’kewajiban’ dengan kebahagiaan, yang dalam
kehidupan di dunia ini saling bertentangan. Pada gilirannya, keabadian jiwa
dapat memperoleh jaminan hanya dengan adanya satu pribadi, yaitu Tuhan.[20]
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai
pelopor lahirnya ”argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan
dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan rasio murni, dengan Tuhan, rasio
praktis ’bekerja’ melahirkan perbuatan susila.
3. Kritik atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas rasio murni” dan
“kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya dua kawasan tersendiri, yaitu
kawasan keperluan mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan di bidang tingkah
laku manusia. Adanya dua kawasan ini tidak berarti bertentangan atau berada
dalam tingkat “kritik atas daya pertimbangan”.
Yang dimaksud Kant adalah mengerti persesuaian kedua
kawasan itu. Caranya dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat
subyektif dan obyektif. Finalitas subyektif mengarahkan manusia pada obyek diri
sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Sedangkan
dengan finalitas obyektif dimaksudkan adanya keselarasan satu sama lain dari
benda-benda alam.[21]
D. Kritik atas Kritisisme
Kant
Dalam teori kritis yang dikembangkan oleh Madzhab
Frankurt,[22] ditemukan beberapa kelemahan kritisisme Kant. Pertama,
Madzhab Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas
otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian
kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan
pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang
menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam
sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam
yang sudah dirasionalisasikan manusia.
Tapi
masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang
bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu.
Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka
pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak
diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu
pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat
formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekadar menyentuh pada soal syarat
kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang
menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis
yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah
sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel
sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan
epistemologi kritisisme Kant.
Kedua, kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis
adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia
mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio
tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus
semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna.
Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas
manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang
diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah
proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working
reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif
empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan
teoritis.[23]
E. Penutup
Immanuel
Kant mensyaratkan bahwa dasar bagi suatu pengetahuan adalah bersifat umum dan
mutlak namun sekaligus memberi pengetahuan yang baru. Empirisme memberikan
putusan-putusan yang sintetis, jadi tidak mungkin empirisme memberikan suatu
yang bersifat umum dan mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan
putusan-putusan yang analitis, jadi tidak memberikan suatu pengetahuan yang
baru.
Demikianlah,
ternyata baik empirisisme maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat-syarat yang
dituntut oleh ilmu pengetahuan. Maka dari itu, perlu diselidiki bagaimana
membuatu suatu putusan-putusan yang sintetis a priori, yaitu suatu
putusan yang mampu memberikan sesuatu yang baru, namun tidak perlu tergantung
dari pengalaman. Demikianlah bahwa filsafat Kant juga bersifat transendental,
yang berusaha meneliti bagaimana cara seseorang untuk mengenal segala sesuatu.
Immanuel
Kant menyimpulkan dan mengatasi aliran rasionalisme dan empirisme. Dari satu
pihak ia mempertahankan objektifitas, universalitas dan keniscayaan pengertian.
Di pihak lain, ia menerima bahwa pengertian bertolak dari fenomin-fenomin, dan
tidak dapat melebihi batas-batasnya. Sampai pada waktu itu pendapat umumnya
ialah bahwa pengertian manusia menyesuaikan diri dengan objek-objek, tetapi
mungkin lebih berguna kalau diandaikan bahwa objek-objek menyesuaikan diri
dengan pengertian manusia.
Meski
demikian, metode kritik transendental yang dikembangkan oleh Kant tidak serta
merta tanpa kritik. Madzhab Frankurt dengan teori kritisnya melihat dua
kelemahan filsafat Kant: 1) Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat
historis; 2) Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap
subyektif dan tidak lagi obyektif.
Bibliografi :
Anonim, “Paradigma Kritis Transformatif”, pada http://muchashar.blogdetik.com/
2010/02/10/paradigma-kritis-transformatif/, diakses pada tanggal 26
Maret 2010.
Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama,
Cet. IX,
Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1991.
Baskara, Benny,
“Interpretasi Kritisisme Immanuel Kant dalam Budaya Jawa Modern”, dalam Jurnal
Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3 (dalam bentuk e-book pdf).
e-book mazhab-frankurt_studi-hukum-kritis1.pdf.
Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu: Kajian Atas
Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. III, Yogyakarta: Belukar, 2006.
______, Pengantar Ilmu Filsafat, Ponorogo:
Darussalam University Press, 2008.
Prabancono, Haryo, “Pemikiran Immanuel Kant”, pada http://macheda.blog.uns. ac.id/2009/11/14/pemikiran-immanuel-kant/, diakses pada tanggal 26 Maret 2010.
Ravertz, Jerome R., Filsafat Ilmu: Sejarah dan Ruang Lingkup
Bahasan, Cet. III, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007.
Saebani,
Beni Ahmad, Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk Beluk, Sumber,
dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung:
Pustaka Setia, 2009.
Wattimena, Reza A.A., “Filsafat Kritis Kant”, pada http://rezaantonius.multiply.com/ journal/ item/235, diakses
pada tanggal 26 Maret 2010.
[1]Beni
Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk Beluk,
Sumber, dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung:
Pustaka Setia, 2009, hlm. 96. Istilah lain yang sering dipakai diantaranya
Filsafat Kritis, Kritisisme, Filsafat Transendental, atau Idealisme Transendental.
[2]Paradigma
heliosentris ini melahirkan apa yang disebut Revolusi Kopernikan.
[3]Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan, Cet. III, Yogyakarta:
Belukar, 2006, hlm. 58.
[4]Mohammad
Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, Ponorogo: Darussalam University Press,
2008, hlm. 41.
[5]Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu…, op. cit., hlm. 58-59.
[6]Menurut
D.C. Mulder, sebagaimana dikutip Anshari, istilah rasionalisme ini kurang tepat.
Yang lebih tepat adalah intelektualisme, karena empirisme abad ke-17 dan abad
ke-18 juga termasuk rasionalisme. (Lihat Endang Saifuddin Anshari, Ilmu,
Filsafat dan Agama, Cet. IX, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 1991, hlm. 97.
[7]Reza A.A. Wattimena, “Filsafat Kritis
Kant”, pada http://rezaantonius.multiply.com/journal/ item/235, diakses pada tanggal 26 Maret
2010.
[8]Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu…, op. cit., hlm. 57.
[9]Mohammad
Muslih, Pengantar Ilmu Filsafat, op. cit., hlm. 40.
[10]Ibid.
[11]Reza
A.A. Wattimena, “Filsafat Kritis Kant”, pada http://rezaantonius.multiply.com/journal
/item/235, diakses pada tanggal 26 Maret 2010.
[12]Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu …, op. cit., hlm. 60.
[13]Jerome
R. Ravertz, Filsafat Ilmu: Sejarah dan
Ruang Lingkup Bahasan, Cet. III, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 107.
[14]Benny Baskara, “Interpretasi Kritisisme Immanuel Kant
dalam Budaya Jawa Modern”, dalam Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid
35, Nomor 3, hlm. 262 (dalam bentuk e-book pdf).
[15]Anonim, “Paradigma Kritis Transformatif”, pada http://muchashar.blogdetik.com/2010/02/
10/paradigma-kritis-transformatif/, diakses pada tanggal 26 Maret 2010.
[16]Haryo Prabancono, “Pemikiran Immanuel Kant”, pada http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/ 11/14/pemikiran-immanuel-kant/, diakses pada tanggal 26 Maret 2010.
[17]Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu …, op. cit., hlm. 61.
[18]Baca
penjelasan lebih luas pada Ibid, hlm. 62-64.
[19]Ibid, hlm. 64.
[20]Ibid, hlm. 65.
[21]Ibid, hlm. 65-66.
[22]Aliran
Frankfurt atau sering dikenal sebagai Madzhab Frankfurt (die Frankfurter
Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut
für Sozialforschung Universitas Frankfurt.
Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat
refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang
rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut.
Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori
Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt
dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli
Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger
yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog),
Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya. (Baca penjelasan lebih lanjut
tentang teori kritis (critical theory) pada e-book mazhab-frankurt_studi-hukum-kritis1.pdf).
[23]Ibid.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar