AHLI SALAF DAN MADZHAB SALAF
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Orang-orang
yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah
mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia.
Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya
sehingga kepada merekalah seharusnya kaum muslim merujuk.
Download
Manhaj salaf tidaklah dibatasi (terkungkung) oleg organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw dengan pemahaman salafus saleh.
Manhaj salaf tidaklah dibatasi (terkungkung) oleg organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw dengan pemahaman salafus saleh.
Makalah
ini dimaksudkan untuk membahas beberapa tema penting mengenai salaf, ahli
salaf, dan madzhab salaf berikut hal-hal yang terkait dengannya.
1. Pengertian
Salaf
Kata salaf dalam bahasa Arab berarti : yang
mendahului yang lain dalam waktu atau zaman. Sedangkan menurut syari’at Islam
adalah : para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seluruh generasi yang
mengikuti mereka hingga hari kiamat, dimana keadilan dan kebersihan hati mereka
telah diakui oleh umat secara ijma’, dan mereka pun tidak pernah tertuduh
melakukan bid’ah yang mengkibatkan kekufuran dan kefasikan.[1]
Seorang pakar bahasa Arab, Ibnu Manzhur,
mengatakan, “Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu, yaitu nenek
moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan.
Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik)”.
Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Allah
yang artinya, “Maka tatkala mereka
membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka
semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan contoh
bagi orang-orang kemudian” (Qs. Az Zukhruf : 55-56). Artinya adalah : Kami
menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan
perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau
mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya.[2]
Dalam kamus Islam,
kata ini bukan barang baru. Bahkan
pada zaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radhiyallahu ‘anha,
beliau bersabda, “Sesungguhnya
sebaik-baik salafmu adalah aku” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik
pendahulu. Oleh sebab itu secara bahasa semua orang terdahulu adalah salaf.
Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal, maupun yang baik seperti
Nabi-nabi, para syuhada’ dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat dan
lain-lain.[3]
Adapun secara terminologi, Al-Qolsyaani,
sebagaimana dikutip Abu Abdirrahman bin Thoyyib as-Salafi, mengatakan :
“Salafush sholeh
adalah generasi pertama yang kokoh keilmuannya, yang mengikuti petunjuk Nabi
Saw serta yang menjaga sunnah beliau. Allah memilih mereka untuk menemani
Nabi-Nya serta untuk menegakkan agama-Nya. Para imam (kaum muslimin) ridho
dengan mereka dan mereka telah berjuang di jalan Allah dengan sebenarnya,
menyeru umat dan memberi manfaat kepada mereka serta mereka kerahkan jiwa
mereka dalam rangka meraih keridhoan Allah”.[4]
Dengan pengertian ini, salaf merupakan
ungkapan tentang individu-individu tertentu dan dan manhaj tertentu yang mereka
ikuti. Yang inti dari individu-individu dimaksud adalah para sahabat, tabi’in,
dan tabi’it tabi’in. Inilah tiga generasi dan zaman paling utama sebagaimana
sabda Rasulullah : “Sebaik-baik zaman
adalah zamanku, kemudian zaman sesudahnya, kemudian zaman sesudahnya”. Dan
juga firman Allah Swt : “Orang-orang yang
terdahulu, Muhajirin dan Anshar yang pertama dan mereka yang mengikuti
orang-orang itu dalam segala kebaikannya, semua diridlai Allah dan mereka pun
ridla kepada Allah”. Dalam ketiga kurun waktu tersebut, tidak ada kekacauan
sedikit pun dalam dunia pemikiran Islam, tidak dan aliran dan madzhab, tidak
ada golongan yang mempertahankan pendiriannya mati-matian.[5]
Dengan ini diketahui kesalahan anggapan yang
menyuatakan bahwa salafiyah itu mengacu pada tahapan waktu tertentu. Sebab
madzhab salaf itu mempunyai dua dimensi : dimensi qudwah (orang-orang yang diteladani) dan dimensi manhaj (sistem yang diikuti).[6]
Yang dimaksud dengan panutan itu
adalah orang-orang dari tiga generasi pertama dalam sejarah Islam. Dan yang
dimaksud manhaj adalah sistem yang
diikuti oleh ketiga generasi dari ketiga zaman tersebut dalam pemahaman aqidah,
pengambilan dalil aqidah, penetapan muatan aqidah, ilmu dan iman. Adapun
batasan manhaji adalah orang-orang yang konsisten memegang prinsip-prinsip
al-Qur’an dan Sunnah, mengutamakan prinsip tersebut di atas prinsip-prinsip
akal manusia dan mengembalikan semua permasalahan yang diperselisihkan kepada
keduanya,[7] berdasarkan firman Allah Swt :
“Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasulullah (Sunnah)
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya” (Qs. An Nisa : 59)
Dengan
demikian, sebutan salafiyah adalah pujian kepada orang yang dijadikan sebagai
panutan dan sistem. Adapun orang yang menyebut dirinya sebagai salafi tanpa
mengikuti kriteria tadi, maka itu sama sekali tidak mengandung pujian. Karena
pada dasarnya adalah makna kata itu, bukan lafadznya.
2. Ahli
Salaf
Mahmud al-Bisybisyi, sebagaimana dikutip
Aboebakar Atjeh, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan salaf adalah sahabat,
tabi’in, dan tabi’it tabi’in.[8]
Berbeda dengan itu, maka khalaf adalah ulama-ulama yang di belakang itu, yang
memberi takwil kepada sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan yang baru, kepada
pengertian yang sesuai dengan ketinggiannya dan kemurniannya. Pada masa generasi salafus saleh, Islam dipahami dan
diamalkan secara sederhana, murni, utuh, dan penuh semangat.[9]
Jadi sebenarnya
yang dinamakan ahli salaf itu tidaklah merupakan sesuatu madzhab tertentu,
tetapi ulama-ulama yang mempunyai sifat-sifat tertentu. Sejarah tidak
menunjukkan bilamana istilah ahli salaf mulai dipergunakan dan juga tidak
menyebutkan bagaimana corak alirannya.[10] Namun, menurut Aboebakar Atjeh, perkataan
ahli salaf pertama kali dipergunakan oleh Ibnu Taimiyah. Dia menulis :
“Tetapi bagaimanapun juga perkataan ahlus salaf itu
timbul di sekitar suasana orang-orang pada suatu masa telah banyak menyeleweng
daripada amal ibadat yang dilakukan Nabi, dan telah banyak berpegang kepada
keputusan-keputusan ulama, yang kadang kadang menyimpang dari Sunnah Nabi
sendiri. Maka timbullah pemakaian kata madzhab, kata-kata ahlul madzhab, sampai
kepada kata-kata ahlil ahwa’, yang diucapkan kepada golongan Mu’tazilah dan
Kharijiah, di samping pemakaian ahlul ilm, ahlul hilli wal aqdi, ahlut Tuqa wan
Nuqa, ahlus Sunnah, dan akhirnya oleh Ibn Taimiyah digerakkan pula pikiran
untuk memakai ahlus salaf sebagai orang-orang yang pantas ditiru dan
diteladani.[11]
3. Madzhab
Salaf
Bila dikatakan madzhab salaf maka yang
dimaksud adalah manhaj atau sistem yang diikutkan pada para ahli salaf, yakni
tiga generasi awal. Sedangkan salafiyah adalah istilah yang mengacu kepada
sikap atau pendirian para ulama Islam dari generasi-generasi salaf dalam
lapangan aqidah, atau mengacu kepada golongan umat Islam yang bersikap dan
berpendirian seperti yang dimiliki oleh para ulama dan generasi-generasi salaf
tersebut.[12]
Sejarah menunjukkan bahwa para sahabat Nabi,
seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan lain-lain, dan kebanyakan ulama-ulama yang
datang sesudah para sahabat Nabi dalam tiga abad pertama Hijriah, seperti Umar
bin Abdul Aziz (w. 719/101 H), Hasan al-Basri (w. 728/110 H), Ibnu Shihab
al-Zuhri (w. 742/124 H), Abu Hanifah (w. 767/150 H), Malik bin Anas (w. 795/179
H), al-Syafi’i (w. 819/204 H), Ibnu Hanbal (w. 855/241 H), dan lain-lain,
merupakan ulama-ulama yang berpegang pada rumusan aqidah Islam, tidak lebih dari
seperti apa yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi. Terhadap nas-nas
al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan aqidah, mereka tidaklah terpanggil
untuk mempertanyakan, mempertimbangkan, apalagi untuk memperdebatkan terhadap
perincian makna-makna yang terkandung di dalamnya. Mereka tidak mau menjadikan
pernyataan-pernyataan kedua sumber utama ajaran Islam itu sebagai obyek diskusi
atau perdebatan seperti yang dilakukan ulama-ulama Mu’tazilah. Mereka sudah merasa cukup dan puas dengan
pemahaman-pemahaman yang mereka miliki secara garis besar.[13]
Aktivitas
Ma’baf al-Juhani, Gailan al-Dimasyqi, Jaham bin Shafwan, dan ulama-ulama
Mu’tazilah memperbincangkan dan memperdebatkan berbagai masalah dalam lapangan
aqidah, seperti masalah hubungan takdir Tuhan dengan perbuatan dan nasib
manusia, masalah-masalah sifat dan perbuatan Tuhan, masalah-masalah yang
berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat (yang menggambarkan seolah-olah Tuhan
seperti manusia), dan lain-lain, dianggap oleh kebanyakan ulama salaf itu
sebagai aktivitas bid’ah, dengan alasan antara lain bahwa pada masa Rasulullah
dan para sahabatnya masalah-masalah demikian tidak pernah diperbincangkan atau
diperdebatkan.
Disebutkan juga
sebagai alasan bahwa dahulu pada masa hidup Rasulullah memang pernah terjadi
perbincangan atau pertengkaran antara dua orang sahabat tentang takdir Tuhan. Rasulullah
yang kebetulan menjumpai perbincangan itu menjadi marah dan menyuruh mereka
menghentikan perbincangan tersebut dan tidak mengulanginya. Dalam peristiwa itu
Rasulullah mengingakan bahwa hancurnya umat-umat terdahulu karena mereka
mempertentangkan sebagian ayat-ayat Tuhan dengan sebagian yang lain. Jadi,
dengan alasan-alasan tersebut, kebanyakan ulama-ulama salaf, yang pada umumnya
terdiri dari ulama hadits dan ulama fiqih, membenci aktivitas-aktivitas
mutakallimin (teolog) dan membenci ilmu kalam yang mereka lahirkan.[14]
Empat imam madzhab yang paling berpengaruh
dalam lapangan fiqih (yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ibnu Hanbal)
tercatat sebagai imam-imam yang membenci ilmu kalam, yang dalam pandangan
mereka, penuh dengan aktivitas bid’ah. Imam Abu Hanifah sendiri, yang dikenal
sebagai ahlurra’yu (paling banyak menggunakan pikiran) dalam lapangan fiqih,
memang pada mulanya melibatkan dirinya dalam ilmu kalam, tapi sesudah itu
meninggalkannya dan menasihati putranya supaya menjauhkan diri dari ilmu kalam
tersebut.
Diriwayatkan bahwa Rabiah al-Ra’y, guru Imam
Malik, pernah ditanya orang caranya Tuhan istiwa’
(bersemayam) di atas singgasana. I menjawab bahwa istiwa’ itu dimaklumi, tapi bagaimana caranya istiwa’ tidak bisa dibayangkan oleh akal, namun kita wajib
membenarkannya. Imam Malik sendiri, ketika ditanya tentang istiwa’ itu, juga memberikan jawaban seperti gurunya, dan
menambahkan bahwa mempertanyakan bagaimana istiwa’
Tuhan itu adalah perbuatan bid’ah. Sikap seperti Imam Malik dan gurunya itu
merupakan sikap kebanyakan ulama salaf. Mereka tidak mau mempersoalkan dan
memikirkan dalam-dalam maksud ungkapan istiwa’
Tuhan, wajah-Nya, mata-Nya, tangan-Nya, dan lalin sebagainya. Mereka tidak mau
mentakwilkannya, dan membenci upaya takwil yang dilakukan kaum Mu’tazilah.[15]
Kebanyakan ulama salaf memandang
renungan-renungan teologis yang spekulatif tentang Tuhan dan alam gaib
(metafisik) sebagai aktivitas yang sia-sia, bahkan berbahaya karena mereka
anggap banyak menghasilkan pikiran-pikiran yang tidak sejalan dengan teks-teks
al-Qur’an dan Hadits. Mereka tidak bisa membenarkan pemahaman ayat atau hadits
tentang aqidah, bila tidak secara tekstual.
Tokoh yang sangat lantang menyeru orang,
baik dengan lisan maupun tulisan agar beraqidah salaf adalah Ibnu Taimiyah
(1263-1328/661-728 H), seorang ulama besar dari kalangan Hanabilah. Dia adalah
seorang ulama yang ahli dalam bidang tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu hadits,
fiqih, ushul fiqih, tasawuf, mantiq, filsafat, politik, pemerintahan, dan
tauhid.[16]
Ibnu Taimiyah merasa gelisah dengan penyimpangan terhadap agama yang disebabkan
adanya kontak umat muslim dengan kaum Yahudi dan Nasrani di Syria.[17]
Sesudah ia wafat, seruannya tersebut dilanjutkan oleh para pengikutnya, antara
lain Ibnu Qayyim al-Jauziah (1292-1350/691-751 H), dan Muhammad bin Abdul
Wahhab (1703-1787/115-1201 H); kedua ulama ini juga dari kalangan Hanabilah.
4. Ibnu
Taimiyah dan Gerakan Salafiyah
Setelah selesai masa salaf di tiga generasi
pertamanya, lalu muncul masa khalaf, yang berarti masa pengganti atau kemudian.
Ulama pada masa itu disebut
ulama khalaf. Perbedaan antara salaf dan khalaf sering tampak pada
masalah-masalah aqidah dan penafsiran al-Qur’an. Untuk kedua masa ini dalam
bidang fiqih para ulama menggunakan istilah mutaqaddimin
(terdahulu) dan muta’akhkhirin
(kemudian). Masa khalaf ini berakhir pada abad ke-4 H.[18]
Setelah itu
muncul suatu masa yang disebut masa taklid (meniru atau mengikuti). Pada masa
inilah terjadi kemunduran dan degenerasi umat Islam. Mujtahid mutlak,
sebagaimana pernah terjadi pada masa salaf, tidak terjadi lagi. Yang banyak
terjadi pada waktu itu adalah mujtahid madzhab. Umat Islam sangat mundur dalam
berbagai bidang, baik pemikiran keagamaan, politik, sosial, ekonomi, maupun
moral. Sementara yang lainnya menjadi penyembah kuburan, pelaku syirik,
khurafat, dan takhayul.
Dalam situasi
seperti ini, muncul Ibnu Taimiyah dengan gerakan salafiyahnya yang ingin
menyadarkan umat Islam agar kembali pada al-Qur’an dan hadits. Melalui
tulisan-tulisannya, Ibnu Taimiyah mendesak kaum muslimin dengan gencar agar
kembali pada ajaran yang utama. Ia menginginkan agar ajaran Islam itu tidak
dipertahankan sebagaimana adanya (das
sein) di masyarakat, akan tetapi harus diwujudkan sebagaimana seharusnya (das sollen) seperti yang dikehendaki
oleh pembawanya, Nabi Muhammad Saw.[19] Itulah ajaran yang telah dipraktikkan kaum salaf.
Gerakan
salafiyah sering disebut pula gerakan Tajdid (pembaharuan), gerakan Islah
(perbaikan), dan gerakan Reformasi. Ibnu Taimiyah disebut sebagai Bapak Tajdid,
Bapak Islah, Bapak Reformasi atau Bapak Pembaharuan dalam Islam. Bahkan ia
dianggap sebagai Muhyi Atsari as-Salaf (Orang
yang Menghidupkan Kembali Ajaran Salaf).
5. Madzhab
Salaf Bukan Madzhab Baru
Sebagaimana telah disinggung, bahwa kata
salaf telah dikenal di masa Nabi, sesuai sabdanya : “Sesungguhnya sebaik-baik
salafmu adalah aku”. Dan penggunaan kata ahli salaf mulai dipopulerkan oleh
Ibnu Taimiyah. Namun bukan berarti bahwa salafiyah kemudian menjadi aliran,
madzhab, atau gerakan tertentu yang dipelopori oleh tokoh tertentu pula.
Salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan
terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah
madzhab yang baru ada.
Salafiyah bukanlah sebuah aliran baru yang
dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada. Salafiyah juga bukan
sebuah gerakan reformasi dakwah yang dipolopori oleh Jamaluddin al-Afghani
bersama Muhammad Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir.[20]
Namun mereka adalah orang-orang yang menggunakan
Atas dasar ini, maka yang dimaksud madzhab
salaf adalah sebuah manhaj lurus yang dinisbatkan kepada generasi salaf, bukan
sebuah gerakan baru dengan misi tertentu.
Ciri-ciri salafi sejati, menurut Abu
Abdissalam Hasan bin Qosim al-Husaini as-Salafi, antara lain sebagai berikut[21]
:
1) Menjadikan
al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman hidup dalam segala perkara.
2) Memahami
agama ini sesuai dengan pemahaman para sahabat terutama dalam masalah aqidah.
3) Tidak
menjadikan akal sebagai landasan utama dalam beraqidah.
4) Senantiasa mengutamakan dakwah kepada tauhid ibadah
(seruan hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak disembah.
5) Tidak
berdebat kusir dengan ahli bid’ah serta tidk bermajlis dan tidak menimba ilmu
dari mereka.
6) Berantusias
untuk menjaga persatuan kaum muslimin serta menyatukan mereka di atas al-Qur’an
dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafus saleh.
7) Menghidupkan
Sunnah-sunnah Rasulullah Saw dalam bidang ibadah, akhlak, dan dalam segala
bidang kehidupan.
8) Tidak
fanatik kecuali hanya kepada al-Qur’an dan Sunnah.
9) Memerintahkan
kepada yang baik dan mencegah dari kemungkaran.
10) Membantah
setiap yang menyelisihi syair’at baik dia seorang muslim atau non muslim.
11) Membedakan
antara ketergelinciran ulama ahli sunnah dengan kesesatan para dai yang menyeru
kepada bid’ah.
12) Selalu
taat kepada pemimpin kaum muslimin selama dalam kebaikan, berdoa untuk mereka
serta menasihati mereka dengan cara yang baik dan tidak memberontak atau
mencaci-caci mereka.
13) Berdakwah
dengan cara hikmah. Di antara makna hikmah adalah meletakkan sesuatu pada
tempatnya. Oleh karena itu, dakwah tidak selalu dengan lemah lembut tapi
terkadang harus dengan sikap tegas dan keras, semuanya disesuaikan dengan
keadaan.
14) Bersungguh-sungguh
dalam menuntut ilmu agama yang bersumberkan kepada al-Qur’an dan Sunnah serta
pemahaman salaf. Sekaligus meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi jaya
melainkan dengan ilmu tersebut.
15) Bersemangat
dalam menjalakan tashfiyah (membersihkan
Islam dari kotoran-kotoran yang menempel kepadanya seperti syirik, bid’ah,
hadits-hadits lemah dan lain sebagainya) dan tarbiyah (mendidik umat di atas Islam yang murni terutama dalam
bidang tauhid).
6.
Kesimpulan
1. Wajib
mengikuti pemahaman salaf dalam beragama.
2. Disyari’atkan
atau dibolehkan menamakan diri salafi jika memang memiliki ciri-ciri di atas.
3. Salafiyah
bukan kelompok seperti Jama’ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir atau
yang lainnya yang memiliki pendiri dan tahun pendirian, tapi salafiyah hanyalah
metode yang berlandaskan kepda pemahaman salafus saleh dari kalangan sahabat,
tabi’in, dan tabi’it tabi’in yang tidak memiliki pemimpin melainkan Rasulullah
Saw.
4. Gerakan
salafiyah yang digencarkan oleh Ibnu Taimiyah tidak berarti bahwa dialah
pendiri gerakan salaf. Ibnu Taimiyah hanyalah salah seorang yang menggunakan
manhaj salaf sebagai dasar perjuangannya.
5. Manhaj
atau metode salaf adalah benar, adapun individunya bisa salah bisa benar (tidak
maksum).
6. Istilah
salafi bukan hal baru dalam Islam.
7.
Penutup
Salafiyah
adalah model pemahaman dan pengamalan agama yang mengikuti manhaj salaf. Manhaj
ini dinisbatkan pada tiga generasi awal Islam, yakni masa sahabat, tabi’in, dan
tabi’it tabi’in. Ciri yang mendasari manhaj ini adalah aktualisasi pengamalan
agama dilakukan secara sederhana, murni, utuh, dan penuh semangat.
Apapun gerakan
dan perilaku yang sesuai dengan pemahaman salafus saleh dapat dinilai sebagai
salaf. Pemahaman salaf menolak unsur-unsur kesyirikan, khurafat, takhayul, dan
bid’ah. Aktivitas dan pemahaman aqidah yang bertentangan dengan salaf disebut
khalaf. Masa khalaf berakhir begitu dimulainya masa taklid yang mencengkeram
dunia Islam sejak abad ke-4 Hijri sampai masa Ibnu Taimiyah (1263-1328/661-728
H).
Bibliografi
:
Al-Buraikan,
Ibrahim Muhammad bin Abdullah, Pengantar
Studi Aqidah Islam, Alih bahasa : Muhammad Anis Matta, Robbani Press dan Al
Manar, Cet. II, Jakarta, 2000.
Al-Madkhali,
Syaikh Muhammad bin Rabi’ bin Hadi, Salaf
dan Salafiyah, http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=248
As-Salafi,
Abu Abdirrahman bin Thoyyib, Mengapa
Harus Salafi?, http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg10960.html
Atjeh,
Aboebakar, Melacak Jejak Ahlus Salaf,
Ramadhani, Cet. I, Solo, 1993.
Dahlan, Abdul Azis (et. al.) Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru
van Hoeve, Vet. I, Jakarta, 1996.
Departemen Ilmiah Divisi Bimbingan
Masyarakat, Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary Yogyakarta, Mengenal Manhaj Salaf, http://muslim.or.id/?p=388
Dewan
Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid IV,
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. III, Jakarta, 1994.
Sirriyeh, Elizabeth, Sufi dan Anti Sufi, Alih bahasa : Ade Alimah, Pustaka Sufi, Cet. I,
Yogyakarta, 2003.
Syukur, M. Amin dan Abdul Muhaya (Eds.), Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar,
Cet. I,
Yogyakarta, 2001.
Tim
Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi
Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
[1]Dr.
Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, Pengantar
Studi Aqidah Islam, Alih bahasa : Muhammad Anis Matta, Robbani Press dan Al
Manar, Cet. II, Jakarta, 2000, hlm. 14.
[2]Departemen
Ilmiah Divisi Bimbingan Masyarakat, Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary
Yogyakarta, Mengenal Manhaj Salaf, http://muslim.or.id/?p=388
[3]Ibid.
[4]Abu
Abdirrahman bin Thoyyib as-Salafi, Mengapa
Harus Salafi?, http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg10960.html
[5]Prof. Dr.
Aboebakar Atjeh, Melacak Jejak Ahlus
Salaf, Ramadhani, Cet. I, Solo, 1993, hlm. 19-20.
[6]Dr.
Ibrahim Muhammad bin Abdullah al-Buraikan, op.
cit., hlm. 15.
[7]Syaikh
Muhammad bin Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, Salaf
dan Salafiyah, http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=248
[8]Prof. Dr.
Aboebakar Atjeh, op. cit. , hlm. 25.
[9]H.
Masyharuddin, “Ibn Taimiyah dan Pembaruan Tasawuf”, dalam Prof. Dr. H. M. Amin
Syukur, MA dan Dr. H. Abdul Muhaya (Eds.), Tasawuf
dan Krisis, Pustaka Pelajar, Cet. I, Yogyakarta, 2001, hlm. 85.
[10]Ibid.
[11]Prof.
Dr. Aboebakar Atjeh, op. cit. , hlm.
19.
[12]Tim
Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi
Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 831.
[13]Ibid, hlm. 832.
[14]Ibid.
[15]Ibid, hlm. 833.
[16]Abdul
Azis Dahlan (et. al.) Ensiklopedi Hukum
Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Vet. I, Jakarta, 1996, hlm. 624.
[17]Elizabeth
Sirriyeh, Sufi dan Anti Sufi, Alih
bahasa : Ade Alimah, Pustaka Sufi, Cet. I, Yogyakarta, 2003, hlm. 10.
[18]Dewan
Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid IV,
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. III, Jakarta, 1994, hlm. 204.
[19]Ibid.
[20]Departemen
Ilmiah Divisi Bimbingan Masyarakat, Lembaga Bimbingan Islam Al-Atsary
Yogyakarta, Mengenal Manhaj Salaf, http://muslim.or.id/?=388
[21]Abu
Abdirrahman bin Thoyyib as-Salafi, Mengapa
Harus Salafi?, http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg10960.html
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar