MUHAMMAD
SAW :
SOSOK
PEMBAWA PERUBAHAN PERADABAN ARAB
Oleh:
Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Membicarakan Muhammad, seperti
tidak pernah ada habisnya. Ada yang melihat beliau sebagai manusia pilihan
Tuhan, yang diberi risalah untuk “membebaskan” manusia dari zmaan “kegelapan” (jahiliyyah) menuju zaman “terang
benderang” (keislaman), dan beliau juga “dipersenjatai” Tuhan dengan berbagai
macam mukjizat untuk “menaklukkan” musuh-musuhnya (orang-orang) kafir). Dalam
hal ini Muhammad dipandang secara pure sebagai
Nabi.
Download
Download
Ada pula yang melihat beliau
dari sisi kemanusiannya, yakni beliau adalah manusia produk sejarah, yang tak
lepas dari kondisi sosio-kultural dimana beliau tinggal, yang mengangkat
isu-isu sosial secara cerdas dengan membingkainya dengan muatan-muatan yang
penuh nuansa spiritual. Beliau juga dianggap sebagai sosok yang mengubah dunia
Arab, dari yang tidak “diperhitungkan” menjadi kawasan yang “diperhitungkan”
oleh sejarah. Di sini, Muhammad dipandang dari sisi kemanusiannya.
Makalah ini memfokuskan pada
peran Muhammad dalam kapasitasnya sebagai manusia yang genius, gigih, dan berkarater tanpa mengesampingkan bahwa beliau
adalah sosok manusia pilihan yang senantiasa “dibimbing” oleh Tuhan.
A.
Keadaan
Sosio-Kultural Arab Sebelum Muhammad
Jazirah Arab dibentuk oleh empat persegi panjang
yang amat luas, meliputi kurag lebih seperempat juta mil persegi. Di sebelah
utara dibatasi oleh mata rantai daerah-daerah yang terkenal dalam sejarah,
disebut daerah “Bulan sabit yang subur), yaitu daerah Mesopotamia, Syria, dan
Palestina, dengan tanah perbatasan yang berpadang pasir; di sebelah timur dan
selatan dibatasi oleh Teluk Parsi dan Samudra Hindia; sebelah barat dibatasi
Laut Merah.[1]
Ketika Muhammad lahir di Kota Makkah sekitar
tahun 570, tak satu pun negara besar di wilayah itu memikirkan Arab. Persia dan
Byzantium disibukkan dengan pertengkaran yang melelahkan, yang berakhir sesaat
sebelum Muhammad meninggal. Persia dan Byzantium tak pernah mempertimbangkan
untuk menguasai wilayah ini dan tak seorang pun bermimpi bahwa di wilayah ini
akan melahirkan sebuah agama baru, yang menjadi kekuatan dunia yang besar.[2]
Phillip K. Hitti, sebagaimana dikutip Asghar
Ali Engineer, dalam bukunya, History of
The Arabs, menyebutkan bahwa permukaan Arab hampir seluruhnya gurun pasir
dengan daerah sempit yang dapat dihuni. Ketika jumlah penduduk bertambah
melampaui kapasitas tanah yang dapat menampungnya, mereka harus mencari tanah
lain yang lebih luas.[3]
Makkah, tempat kelahiran Islam, berada di
pinggiran gurun pasir yang sangat luas, yang dihuni oleh penduduk yang disebut
Badui. Mereka adalah kelompok suku nomad, dimana hanya beberapa saja yang
tinggal di dekat oase dan mejalani kehidupan yang menetap. Hal ini menjadikan
mereka mempunyai watak yang keras. Keuletan dan ketabahan adalah keistimewaan
mereka, sedangkan kekurangan mereka adalah kurangnyan disiplin dan menghormati
kekuasaan.[4]
Dalam karya monumentalnya, Muqaddimah, Ibnu Khaldun menulis bahwa
suku Badui adalah bangsa yang tak beradab, yang terbiasa melakukan
tindakan-tindakan yang tak bermoral. Mereka begitu menikmati ini karena
diartikan sebagai terbebas dari kekuasaan dan ketiadaan ketundukan pada
kepemimpinan. Lebih dari itu, sudah menjadi sifat mereka untuk merampas apa
saja yang dimiliki oleh orang lain. Makanan mereka adalah apa yang didapat dari
melemparkan tombak ke musuh.[5]
Selain itu, bangsa Badui juga tidak peduli
dengan hukum atau berusaha mencegah tindakan-tindakan yang tidak bermoral atau
melindungi suatu suku dari penyerbuan suku lain lainnya.[6]
Bahkan terhadap perempuan, mereka memperlakukannya tidak lebih dari barang
dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi juga dapat diwariskan
sebagaimana harta benda. Misalnya seorang laki-laki meninggal dunia, putranya
yang lebih tua atau anggota keluarga lainnya mempunyai hak untuk memiliki janda
atau janda-jandanya, mengawini mereka jika suka dengan tanpa memberikan
maskawin.[7]
Satu hal lagi yang menarik dari kehidupan
orang Makkah, karena mereka termasuk kaum nomad yang selalu berpindah dari satu
tempat ke tempat lain, mereka tidak mengenal konsep pemilikan tanah. Bahkan di
Madinah pun, yang merupakan oasis subur, pertanian belum sampai pada tingkat
yang mengarah kepada kepemilikan tanah secara individu. Tanah-tanah yang bisa
ditanami dimiliki secara bersama-sama. Demikian juga di Makkah, hampir tidak
ada apa yang dinamakan dengan pemilikan tanah, meskipun terdapat rumah-rumah
yang dimiliki oleh keluarga-keluarga.[8]
Kaitannya dengan struktur pemerintahan,
konstitusi mereka adalah demokrasi yang dipimpin oleh kepala suku. Kepala suku
ini memperoleh kekuasaan karena keturunan atau sifat kebangsawanan, kekayaan,
kebijaksanaan, atau pengalaman mereka. Namun demikian, para pemimpin ini tidak
mempunyai hak memerintah atau menjatuhkan hukuman kepada para bawahan mereka.[9]
Dengan demikian, dalam fase ini bisa dikatakan struktur
dasar masyarakat Badui adalah organisasi suku.
Pada paruh kedua
abad VI, terjadi perubahan yang sangat signifikan bagi kehidupan bangsa Arab,
dimana saat itu terjadi rute perdagangan Euphrat – Persia terganggu dan
terancam oleh permusuhan yang terus menerus antara kerajaan Byzantium dan
Persia. Hal ini mengakibatkan para pedagang harus mencari jalan lain yang lebih
aman. Karena lokasi Makkah berada di sepanjang rute perdagangan yang membentang
dari Arabia selatan sampai utara, maka Makkah berubah menjadi jalur perdagangan
internasional,[10] dan suku Quraisy berhasil membangun hegemoni
perdagangan. Kafilah-kafilahnya tersebar luas, menguasai titik-titik
perdagangan internasional. Saudagar-saudagar penting Makkah menjadi kaya raya
dan mengontrol hampir semua kehidupan ekonomi.[11] Meskipun demikian, di Makkah tetap saja tidka terdapat
lembaga-lembaga seperti legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Yang ada
hanyalah mala’a (sebuah lembaga senat
yang terdiri dari wakil-wakil suku).[12]
Akibat langsung
dari berubahnya kehidupan, yang diakibatkan oleh transformasi ekonomi dari ekonomi
pedesaan menjadi ekonomi perdagangan, adalah ketidakmampuan masyarakat untuk
menyesuaikan diri. Perdagangan ini pula yang menjadikan sebagian dari mereka
menjadi kaya, sementara yang lain – meskipun berasal dari suku yang sama –
mengalami kesulitan ekonomi bahkan miskin. Golongan kaya ini mulai tidak mau
membagikan kekayaan mereka kepada anggota suku mereka sebagaimana yang dulunya
mereka lakukan.[13]
Perkembangan lebih
lanjut, mereka yang kaya membentuk kerjasama intra-suku, sedangkan kalangan
anggota suku yang miskin juga membentuk asosiasi sendiri yang tidak mengenal
batas-batas kesukuan, yang disebut dengan “Hif
al-Fudul”.[14]
Kaitannya dengan
masalah keagamaan, mereka memiliki kehidupan spiritual yang sangat berarti bagi
mereka. Berbagai tempat dianggap suci dan merupakan tempat kuil-kuil yang
memiliki ritual kuno masing-masing, yang berpusat pada Tuhan yang khusus. Yang
paling penting dari semuanya adalah Ka’bah, yang terletak di dekat sumber air
keramat Zamzam. Pada masa Muhammad, Ka’bah secara resmi didedikasikan pada
tuhan Hubal, tuhan yang dibawa ke Arab dari tradisi kerajaan Nabatean
(Yordania).[15] Di
dekat Makkah juga terdapat kuil-kuil yang terkenal, seperti Kuil al-Lata,
al-Uzza, dan Manat. Tidak seperti orang Yunani, bangsa Arab tidak mengembangkan
mitologi untuk menjelaskan kepentingan simbolis dari sosok-sosok agung ini.
B.
Muhammad
dan Peradaban yang Dibangun
Uraian di atas sedikit banyak memberikan
gambaran tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab sebelum munculnya Muhammad
untuk menjadi pembaharu dan pembawa perubahan yang snagat signifkan di kawasan
Arabia khususnya, dan masyarakat dunia pada umumnya.
Dari uraian di atas pula, dapat kita pahami
bahwa Muhammad tidak benar-benar berangkat dari “ruang hampa”, melainkan ada
keadaan sosio-kultural yang melatarbelakanginya.
Pewahyuan di
Gua Hira’ tahun 610 M jelas merupakan kejadian penting. Namun itu hanya suatu
permulaan. Lebih penting lagi, beliau harus mulai berpikir keras untuk
mendiagnosa kehidupan di Makkah. Beliau sadar dan mungkin percaya bahwa hanya
utusan Tuhan yang dapat “menyembuhkan” persoalan kotanya. Namun kita tahu dari
al-Qur’an bahwa Muhammad tidak pernah membayangkan sedikit pun bahwa dialah
yang akan menjadi Sang Nabi.[16]
Tahun 612, di
awal misinya, Muhammad memiliki konsep sederhana tentang perannya. Beliau
bukanlah juru selamat atau messiah.
Beliau belum mempunyai misi universal, sehingga beliau belum merasa perlu
menyampaikan ajarannya kepada seluruh bangsa Arab. Beliau hanya menyampaikan
ajarannya kepada penduduk Makkah dan sekitarnya.
Di masa awal
misinya, Muhammad tidak mengeluarkan daftar panjang kewajiban. Tapi beliau
bertekad untuk mereformasi etika kehormatan bangsa Arab yang sudah dikenal suku
Quraisy. Beliau, dengan tuntutan al-Qur’an, mengajarkan bahwa setiap orang
harus berusaha keras untuk menciptakan masyarakat yang adil, kaum lemah
diperlakukan dengan baik. Selain itu, Muhammad juga tidak membenarkan menumpuk
kekayaan untuk kesenangan pribadi, tetapi dianggap kebaikan bila memberikan
derma dan membagi kekayaan secara merata.[17]
Muhammad memang
tidak pernah mengkritik kapitalisme, dan mungkin tidak sependapat dengan semua
konsep baru tentang sosialisme. Namun bila kita teliti secara mendalam, dia
jelas seorang sosialis dan ini meninggalkan kesan yang melekat pada etos Islam.
Beliau tidak mengutuk kekayaan dan kepemilikan sebagaimana dilakukan Yesus,
tapi beliau melarang kaum muslim menimbun uangnya dan mengembangkan permusuhan
untuk mendapat lebih dari yang lainnya. Beliau juga memerintahkan kaum muslim
untuk memelihara kaum miskin dan tidak boleh menipu anak yatim atas harta
warisan mereka.[18]
Selain itu,
Muhammad juga mulai mengangkat derajat kaum perempuan yang dulunya bisa
diibaratkan seperi “barang”. Muhammad, tentu masih dengan petunjuk Tuhan,
memberi hak bagi perempuan untuk mewaris, dan bukannya “diwaris”, memberinya
hak untuk bersaksi, dan bahkan memberi hak-hak untuk membatalkan kesaksian
laki-laki.[19] Muhammad juga memberikan hak-hak kepada perempuan,
sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, dalam masalah perkawinan,
perceraian, pemilikan harta benda dan pemeliharaan anak.[20] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Muhammad pada
saat itu sedang melakukan revolusi sosial dan mengajarkan prinsip
egalitarianisme (persamaan derajat), tidak menyukai ketidakadilan dan
eksploitasi.
Ajaran Muhammad
yang lain dan juga termasuk ajaran fundamentalnya adalah monotheisme. Hal ini
dapat dilihat dari seluruh ajaran Muhammad yang bersifat sosial pun selalu
dibingkai dengan nuansa spiritual. Adapun dasar spiritualistas Muhammad itu
sendiri adalah kesatuan Ilahi (monotheisme).[21] Dan inilah yang selalu diupayakan oleh Muhammad dalam
hidup seseorang dan dalam masyarakat.
Sebenarnya
ajaran monotheistik Muhammad ini bukanlah hal yang baru, namun tak banyak orang
Quraisy yang siap melakukan pemutusan hubungan dengan masa lampau secara
radikal dan membiarkan kekeramatan kuno berlalu begitu saja. Hal ini berbeda
dengan kondisi masyarakat Madinah yang tidak terkejut dengan ide monotheisme
karena mereka terbiasa hidup berdampingan dengan kaum Yahudi dan Nasrani.
Kondisi seperti
inilah yang “memudahkan” Muhammad mengembangkan ajarannya di Madinah
dibandingkan di Makkah, sehingga perkembangan ajaran Muhammad di Madinah ini
mencapai kemajuan yang spektakuler. Bahkan di Madinah ini pula, Muhammad
mencetak blue print komunitas Islam
pertama dengan mengeluarkan sebuah piagam yang menjamin kebebasan orang-orang
Yahudi sebagai sebuah komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin
dengan sesama kaum muslimin, dan menyerukan kepada orang-orang muslim dan
Yahudi untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama. Dan sejauh menyangkut
peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada Nabi untuk
memutuskan dan mengadili perselisihan-perselisihan di antara mereka.[22]
Pemerintahan
Muhammad di Madinah pada mulanya mengalami kesukaran-kesukaran. Ini diakibatkan
para pengikutnya yang setia hanya sedikit jumlahnya, terdiri dari kaum
Muhajirin dan Anshar. Sedangkan di Madinah, masih banyak terdapat golongan
munafik, ditambah kaum Yahudi dan Nasrani. Muhammad berusaha mencari simpati
mereka antara lain dengan mengambil sejumlah praktik-praktik agama Yahudi,
termasuk di dalamnya berpuasa di Kippur dan sembahyang menghadap ke Yerussalem.[23] Namun penolakan dari pihak Yahudi kemudian membuat
Muhammad membuang praktik-praktik Yahudi tersebut dan memindahkan arah kiblat
ke Makkah.
Muhammad
kemudian membuat perjanjian dengan suku-suku Madinah dan orang-orang Yahudi.
Perjanjian ini kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Munculnya Piagam Madinah
ini berarti membentuk sebuah kelompok baru dimana semua suku adalah “satu
komunitas” (umat) yang berdasarkan agama, bukan persaudaraan. Dan hal ini belum
pernah terjadi sebelumnya di Arab karena sampai saat itu suku masih merupakan
unit dasar masyarakat.[24]
Lahirnya Piagam
Madinah ini dianggap sebagai “kelahiran” negara Islam pertama di dunia.
Penilaian ini sangat wajar mengingat di Madinah saat itu memang telah memenuhi
unsur terbentuknya sebuah negara, yaitu wilayah, pemimpin, rakyat yang
dipimpin, dan juga undang-undang. Dan bahkan pada tahap selanjutnya, komunitas
muslim ini memberikan perhatian yang cukup intens pada pembentukan sebuah
kelompok militer yang profesional.[25]
Pada tahun
pertama di Madinah, Muhammad membangun masjid dan menjamin kebebasan beragama.
Di samping itu, beliau tidak menghendaki adanya perang, kecuali bila hal itu
terpaksa dilakukan. Persaudaraan di kalangan muslim pun dilakukan untuk
menambah kekerabatan dalam masyarakat muslim Madinah.[26]
C.
Analisis
Sejak kemunculan Muhammad untuk memulai
dakwahnya yang berupa monotheisme (tauhid) di masyarakat Arab yang
polytheistik, mulai tumbuh bibit egalitarianisme. Hal inilah yang menjadi salah
satu penyebab mengapa Muhammad dimusuhi oleh kaum Quraisy, bahkan
disayembarakan untuk dibunuh oleh penguasa masyarakat yang telah mapan, yang
merasa terancam oleh gerakan Muhammad yang mengajarkan prinsip keadilan dan
persamaan hak.[27]
Uraian di atas juga menggambarkan bahwa
Muhammad bukan hanya sebagai peletak dasar salah satu agama besar dunia, tetapi
juga pejuang hak asasi manusia yang sangat gigih, berani melakukan “reformasi
sosial”, meskipun tidak secara revolusioner.
Demikianlah Muhammad telah membawa perubahan
peradaban baru bangsa Arab. Sebuah bangsa yang berasal dari suku Badui yang
nomaden dan primitif telah dibawa ke suatu peradaban maju dan modern. Terbukti,
dalam beberapa tahun saja, bangsa Arab dapat menguasai wilayah-wilayah yang
selalu berkonflik dan dapat mempersatukan mereka dalam dunia Islam. Suatu
miniatur masyarakat ideal pertama muncul di Madinah, dengan segala
penghargaannya atas nilai-nilai kebenaran dan keadilan, persamaan hak dan
kewajiban, serta tersemainya prinsip-prinsip tauhid dalam sanubari masyarakat
muslim yang dicita-citakan.
D.
Penutup
Bangsa Arab yang sebelumnya tidak
diperhitungkan ternyata di kemudian hari menjadi satu kekuatan besar dunia.
Dari sisi geografisnya, jazirah Arab merupakan kawasan yang tandus dan gersang.
Kondisi ini mengakibatkan karakter penghuninya menjadi keras dan cenderung
tidak beradab.
Justru karena itulah, Tuhan kemudian
mengutus seorang rasul yang akan membawa perubahan mendasar dalam masyarakat
yang jahili tersebut. Dan Dia mengutus
Muhammad, seorang yang jujur dan terhormat di kalangan kaumnya. Muhammad menyeru
kepada tauhid, persamaan hak, keadilan, dan prinsip-prinsip kemanusiaan
lainnya. Usahanya pun tidak mudah, karena dia ternyata harus mengalami cobaan
yang berat dalam menyampaikan misi risalahnya.
Dan ternyata
usahanya berhasil secara gemilang dalam menyebarkan Islam dan membawa peradaban
baru yang terhormat, menciptakan miniatur masyarakat ideal di Madinah, serta
menyebarkannya ke seluruh pelosok dunia.
Bibliografi
:
Armstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi; Sebuah Biografi Kritis,
Terj. Sirikit
Syah, Risalah Gusti, Cet. V, Surabaya, 2001.
Engineer,
Asghar Ali, Asal-usul dan Perkembangan
Islam; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, Terj. Imam Baihaqy, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1999.
__________, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj.
Farid Wajidi, LSPPA, Cet. II, Yogyakarta, 2000.
Haekal,
Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad,
Terj. Ali Audah, Litera Antar Nusa, Cet. XX, Jakarta, 1996.
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas, Paramadina, Jakarta, 1998.
Lewis, Bernard, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah; Dari Segi Geografis, Sosial,
Budaya, dan Peranan Islam, Terj. Drs. Said Jamhuri, Pedoman Ilmu Jaya, Cet.
I, Jakarta, 1988.
Rahman, Fazlur, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Pustaka, Cet. III, Bandung 1997.
Yahya, Imam, “Relasi Sipil-Militer dalam
Islam; Studi tentang Militer dalam Wacana Fiqh Siyasah dan Relevansinya dengan
Politik Kontemporer”, Justisia, Edisi
18, tahun VII, 2000.
[1]Bernard
Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan
Sejarah; Dari Segi Geografis, Sosial, Budaya, dan Peranan Islam, Terj. Drs.
Said Jamhuri, Pedoman Ilmu Jaya, Cet. I, Jakarta, 1988, hlm. 1.
[2]Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi; Sebuah Biografi Kritis, Terj. Sirikit Syah,
Risalah Gusti, Cet. V, Surabaya, 2001, hlm. 55.
[3]Asghar Ali Engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam; Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi,
Terj. Imam Baihaqy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 18.
[6]Ibid.
[7]Asghar
Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam
Islam, Terj. Farid Wajidi, LSPPA, Cet. II, Yogyakarta, 2000, hlm. 32.
[8]Asghar
Ali Engineer, Asal-usul…, op. cit., hlm. 46.
[9]Ibid, hlm. 24.
[10]Ibid, hlm. 43.
[11]Karen
Armstrong, op. cit., hlm. 62.
[12]Asghar
Ali Engineer, Asal-usul…, op. cit., hlm. 46.
[13]Ibid, hlm. 75.
[14]Ibid.
[15]Karen
Armstrong, op. cit., hlm. 65.
[16]Ibid, hlm. 97.
[17]Ibid, hlm. 112.
[18]Ibid, hlm. 113.
[19]Asghar
Ali Engineer, Hak-hak …, op. cit., hlm. 101.
[20]Lihat
kata Pengantar Asghar Ali Engineer dalam Ibid,
hlm. ix.
[21]Karen
Armstrong, op. cit., hlm. 154.
[22]Fazlur
Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad,
Pustaka, Cet. III, Bandung 1997, hlm. 13.
[23]Bernard
Lewis, op. cit., hlm. 26.
[25]Imam
Yahya, “Relasi Sipil-Militer dalam Islam; Studi tentang Militer dalam Wacana
Fiqh Siyasah dan Relevansinya dengan Politik Kontemporer”, Justisia, Edisi 18, tahun VII, 2000, hlm. 63.
[26]Lihat
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup
Muhammad, Terj. Ali Audah,
Litera Antar Nusa, Cet. XX, Jakarta, 1996, hlm. 193-197.
[27]Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Paramadina, Jakarta,
1998, hlm. 16.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar