BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TASAWUF NURUDDIN
AR-RANIRY
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Dalam
tradisi pemikiran keagamaan di Aceh, terutama pada pertengahan abad XVII M,
sejarah mencatat fakta telah terjadinya kontroversi yang berlarut dan berujung
pada pembunuhan pemikiran ajaran tertentu. Ajaran yang dikembangkan Hamzah
Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, umpamanya, mendapatkan perlawanan yang
sengit dari Nuruddin ar-Raniry. Pertentangan disulut oleh penentangan Ar-Raniry
terhadap ajaran kedua ulama penganut paham Ibnu Arabi tersebut tentang doktrin wujudiyah, dimana akan dijelaskan pada
bagian selanjutnya. Kemenangan Ar-Raniry dinilai berkat kedekatannya dengan
penguasa ketika itu, yakni Sultan Iskandar Sani (1637-1641).
Download
Download
Sejarah
menulis peranan Ar-Raniry demikian besar dalam mempertahankan ortodoksi Islam
di Aceh. Dengan dukungan penguasa, dia dapat mengembangkan paham yang
dianutnya. Walhasil, paham keagamaan yang berseberangan terbukti mampu
disingkirkan olehnya.
Makalah
ini akan mencoba menjelaskan beberapa hal untuk mengkaji biografi, karya-karya
dan pemikiran Nuruddin ar-Raniry, disertai analisis terhadap pemikirannya
tersebut.
1.
Biografi
Nama lengkap Nuruddin ar-Raniry adalah
Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad bin Hamid ar-Raniry
al-Quraisyi al-Syafi’i. Ia lahir sekitar pertengahan kedua abad XVI di ranir
(sekarang Rander) dekat Surat, Gujarat, India.
Pendidikan awal dalam masalah keagamaan, ia peroleh di tempat kelahirannya
sendiri. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Tarim, Arab Selatan. Kota ini adalah pusat
studi ilmu agama pada masa itu. Sebelum kembali ke India, ia menunaikan ibadah haji
dan ziarah ke makam Nabi Muhammad Saw pada tahun 1621 (1030 H).[1]
Setelah beberapa tahun mengajar agama dan
diangkat sebagai seorang Syekh Tarekar Rifai’iyah di India, ia mulai merantau
ke Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia tiba di Aceh pada
tanggal 31 Mei 1637 bertepatan dengan 6 Muharam 1047. Belum dapat diketahui
secara pasti sebab-sebab yang mendorong dia merantau ke Aceh. Diduga
kedatangannya ke Aceh adalah karena Aceh ketika itu sedang berkembang menjadi
pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi agama Islam di
kawasan Asia Tenggara, menggantikan Malaka yang telah jatuh ke dalam kekuasaan
Portugis; mungkin juga karena ia mengakui jejak pamannya, Syekh Muhammad
Jailani bin Hasan bin Muhammad ar-Raniry, yang telah tiba di Aceh pada tahun
1588.
2.
Karya-karyanya
Setelah menetap di Aceh, Syekh Nuruddin
ar-Raniry dikenal sebagai seorang ulama dan penulis yang produktif. Ia banyak
menulis kitsab-kitab dalam berbagai cabang ilmu agama, seperti fikih, hadis,
akidah, sejarah, mistik, filsafat, perbandingan agama, dan lain-lain. Yang
menonjol dalam tulisan-tulisannya adalah ia selalu menyebutkan sumber kutipan
untuk memperkuat argumen yang ia kemukakan.
Syekh Nuruddin ar-Raniry adalah seorang
ulama yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.
Karya-karyanya yang ditulis dalam bahasa Melayu membuat bahasa ini menjadi
semakin populer dan menjadi bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab. Bahkan
ketika itu, jalan yang paling mudah bagi setiap orang Islam untuk mengetahui
ajaran agamanya adalah dengan belajar bahasa Melayu, agar dapat membaca kitab-kitab
agama yang tertulis dalam bahasa tersebut. Bersamaan dengan itu pula, bahasa
Melayu tersebar sebagai lingua franca.
Karya-karyanya antara lain: Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan, yang
berbicara mengenai akidah. Di dalam kitab tersebut, ar-Raniry antara lain
mengkritik paham yang dianut Hamzah Fansuri mengenai Wujudiyah.
Selain itu, kitab yang paling populer adalah
as-Shirat al-Mustaqim (Jalan Lurus)
yang berbicara mengenai berbagai masalah ibadah, antara lain shalat, puasa, dan
zakat.[2]
3.
Pemikiran
Seperti telah disinggung di muka, Nuruddin
ar-Raniry merupakan salah seorang ulama sufi yang berhaluan ortodoks. Demikian
juga paham yang dianutnya. Setelah diangkat menjadi mufti kerajaan Aceh oleh
Sultan Iskandar Sani, ia mulai melancarkan serangannya terhadap
ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani.
Secara umum penolakannya terhadap paham Hamzah
Fansuri dibagi menjadi dua hal. Yang pertama, kesatuan wujud Tuhan dan makhluk.
Dan yang kedua, perbedaan syariat dan hakikat.[3]
Bagi ar-Raniry, gagasan Hamzah Fansuri
tentang Tuhan, alam, manusia, dan hubungan antar masing-masing, tidak berbeda
dengan gagasan para filsuf, kaum Zoroaster (Majusi), dan bahkan Brahmanisme. Ar-Raniry
mempersoalkan keyakinan bahwa semua cahaya berasal dari satu cahaya sebelum
terciptanya makhluk. Baginya, ini seperti keyakinan kaum Majusi. Hamzah
Fansuri, menurutnya, sesat karena berpendapat bahwa “Cahaya yang pertama
memancar dari hakikat Tuhan adalah cahaya Muhammad”.
Demikian juga penolakannya terhadap ajaran wujudiyah. Menurutnya, Tuhan bersifat
transenden. Jadi, imanensi Tuhan dalam alam semesta secara mutlak merupakan ajaran
yang sesat.[4]
Selain itu, Nuruddin ar-Raniry juga
menganggap Hamzah Fansuri sesat sebagaimana para filsuf yang sesat. Ar-Raniry
mendasarkan tuduhannya pada pernyataan Hamzah Fansuri bahwa Tuhan adalah wujud
absolut tanpa sifat.
Mengenai pendapat bahwa al-Qur’an itu
makhluk, lagi-lagi ar-Raniry menilai bahwa pendapat itu menyimpang. Dia
mengutip al-Qur’an: “Bahwasanya Kami turunkan Qur’an Jibrail dengan bahasa Arab
bukannya ia makhluk” (Qs. 35: 28). Juga Hadits Nabi : “Barangsiapa mengatakan
Qur’an itu makhluk, maka ia itu kafir”.[5]
Bahwa alam ini terdahulu (qadim), menurutnya, juga merupakan
pendapat yang menyimpang dari akidah Islam. Kesemua pendapat yang ditentangnya
tersebut dianggap berasal dari ajaran pantheisme Ibnu Arabi.
4.
Analisis
Penentangan keras ar-Raniry terhadap doktrin
Wujudiyah Hamzah Fansuri dan
as-Sumatrani ini, tampaknya merupakan warisan dari pertentangan antara kaum
ortodoks dan heretodoks (dalam hal ini kaum filsuf) yang pernah terjadi dalam
sejarah pemikiran filsafat Islam sejak berabad-abad sebelumnya. Al-Ghazali,
merupakan contoh jelas seorang ulama ortodoks yang dengan gigih berusaha
menggugurkan argumen-argumen para filsuf tentang hubungan ontologis antara
Tuhan dengan alam yang dianggap ancaman serius atas kandungan Islam yang bersifat
wahyu.
Untuk kasus di Aceh, dapat ditarik benang
merah bahwa telah terjadi pertentangan antara kaum ortodoks yang diwakili oleh
Nuruddin ar-Raniry dengan kaum heretodoks yang diwakili oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as-Sumatrani. Hanya saja karena faktor politik, dengan dukungan
penguasa, Nuruddin ar-Raniry akhirnya dapat menyingkirkan paham-paham heretodoks
tersebut dari bumi Aceh dan sekitarnya. Hal ini juga pernah terjadi pada Siti
Jenar, al-Hallaj, juga Suhrawardi al-Maqtul, dan lainnya yang bahkan berujung
maut.
5.
Kesimpulan
Terjadinya
pertentangan antar berbagai pandangan sebenarnya berakhir bukan karena faktor
kebenaran salah satu dari dua pandangan tadi. Tapi lebih disebabkan karena
faktor kekuasaan dan politik. Sejarah mencatat paham keagamaan yang didukung
penguasa lebih berpeluang mendapatkan pengikut yang banyak ketimbang yang tidak
didukung penguasa. Paham Mu’tazilah pernah besar karena dukungan penguasa. Siti
Jenar dipenggal karena berseberangan dengan paham yang dianut kerajaan Demak. Demikian
juga dengan Kyai Mutamakkin dari Cebolek yang berbeda paham dengan Ketib Anom,
meski akhirnya tidak terjadi pembunuhan. Dan masih banyak lagi kasus
lainnya.
Bibliografi :
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, “Nuruddin ar-Raniry”, Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. I, Jakarta, 1993.
Fathurahman, Oman, Tanbih al-Masyi, Menyoal Wahdatul Wujud : Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Mizan,
Bandung, 1999.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar