abiquinsa: April 2013

Konsep Kebahagiaan dalam Psikologi dan Tasawuf


KONSEP KEBAHAGIAAN DALAM PSIKOLOGI DAN TASAWUF
Oleh: Rofi'udin, S.Th.I, M.Pd.I

Kebahagiaan menjadi tema yang krusial, baik pada kajian filsafat, psikologi maupun agama. Dalam filsafat, misalnya, terjadi perdebatan apakah sifat kebahagiaan itu obyektif ataukah subyektif? Mungkinkah kebahagiaan itu dapat diraih dalam kehidupan ini ataukah hanya suatu ideal yang utopis? Apakah kebahagiaan (eudaimonia) ataukah kesenangan hedonis yang merupakan kebaikan tertinggi?
Pertanyaan juga muncul dalam psikologi, misalnya, apakah kebahagiaan itu keadaan emosi yang obyektif ataukah subyektif? Apakah kebahagiaan itu suatu potensi, keadaan, ataukah kegiatan? Dan apakah kebahagiaan itu suatu kondisi emosi yang temporer ataukah bersifat stabil?
Agama sebagai tuntunan hidup manusia mengajarkan usaha-usaha meraih kebahagiaan yang hakiki dan mengajarkan transendensi kebahagiaan. Jalan-jalan menuju kebahagiaan ditunjukkan oleh agama dan diajarkan cara melaluinya. Begitu juga jalan-jalan kesengsaraan diajarkan cara menghindarinya. Hal tersebut diupayakan untuk meraih kebahagiaan dalam kehidupan ini maupun kehidupan setelahnya. Dan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat inilah cita-cita manusia.
Dengan demikian, kebahagiaan menjadi tema sentral yang menggabungkan berbagai pandangan kaum filosof, psikolog, maupun agamawan. Tidak hanya menjadi bahan kajian, kebahagiaan bahkan suatu cita-cita bersama yang ingin diwujudkan seluruh manusia.
A.    Definisi Kebahagiaan
Secara harfiah, kata ‘bahagia’ merupakan kata sifat yang diartikan sebagai keadaan atau perasaan senang tenteram dan bebas dari segala yang menyusahkan. Sedangkan ‘kebahagiaan’ berarti perasaan bahagia; kesenangan dan ketenteraman hidup lahir batin; keberuntungan; kemujuran yang bersifat lahir batin.[1] 
Kata ‘bahagia’ merupakan terjemahan untuk ‘happy’ yang menunjuk pada makna untung, mujur, riang, puas, gembira, tepat.[2] Sedangkan kebahagiaan (happiness) sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan sejahtera yang ditandai dengan kelanggengan relatif, dengan perasaaan yang sangat disukai secara dominan yang nilainya berurut mulai dari hanya kepuasan sampai kepada kesenangan hidup yang mendalam dan intens serta dengan suatu hasrat yang alami agar keadaan ini berlangsung terus.[3] Dalam bahasa Arab, kata yang menunjuk makna bahagia adalah al-sa’âdah, yang berarti lawan dari kecelakaan.[4]
Hamka, dalam bukunya Tasauf Moderen, banyak mengutip berbagai pendapat tentang definisi kebahagiaan dalam perspektif yang berbeda. Di antara pendapat yang dikutipnya adalah pendapat Yahyâ ibn Khâlid al-Barmakî, Hutay’ah, Zayd ibn Thâbit, Ibn Khaldûn, Abû Bakr al-Râzî dan al-Ghazâlî.
Yahyâ ibn Khâlid al-Barmakî, seorang wazir pada zaman kekhalifahan Bani ‘Abbâs, berpendapat bahwa kebahagiaan adalah sentosa perangai, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud. Hutay’ah dalam sebuah syairnya menulis; “Menurut pendapatku bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpulnya harta benda, tetapi takwa akan Allah itulah bahagia, takwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang takwa”.[5]
Menurut Zayd ibn Thâbit, kebahagiaan adalah jika petang dan pagi seorang manusia telah memperoleh aman dari gangguan manusia itulah dia orang yang bahagia. Sedangkan Ibn Khaldûn berpendapat bahagia itu adalah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis Allah dan perikemanusiaan. Di sisi lain Abû Bakr al-Râzî, berpendapat bahagia yang dirasakan oleh seorang tabib, ialah jika ia dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan obat, cukup dengan mempergunakan aturan makan saja. Al-Ghazâlî berpendapat bahagia adalah kelezatan yang sejati yaitu bilamana manusia dapat dengan tetap mengingat Allah.[6]
Beragamnya definisi yang diajukan menjadikan tidak adanya definisi tunggal mengenai kebahagiaan. Sebab mendefinisikan pengertian yang bersifat “perasaan” atau “rasa” tak semudah memberikan definisi pada sesuatu yang kongkrit. Betapapun baiknya suatu definisi itu sejatinya tidak bisa mewakili perasaan tersebut sepenuhnya. Namun demikian, hal tersebut tidak akan menghambat pemahaman terhadap konsep kebahagiaan. Tiap orang dapat mengetahui dengan baik meski dalam pengertiannya masing-masing.[7]
B.     Landasan Moral Kebahagiaan
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai kebahagiaan dalam pandangan psikologi dan tasawuf, perlu dijelaskan terlebih dulu landasan moral yang mendasari kebahagiaan. Menurut M. Taqî Misbâh Yazdî, terdapat dua aliran yang menjadi landasan moral, yaitu relativisme moral dan absolutisme moral.
1.      Relativisme Moral
Relativisme moral memandang bahwa moral bersifat relatif, yaitu ketika nilai-nilai moral ditentukan oleh kecenderungan, selera, hasrat individual ataupun kolektif, dan tidak adanya landasan faktual di luar. Dengan berubahnya selera dan hasrat, berubah pula penilaian dan pandangan moral. Suatu tindakan hari ini barangkali dianggap baik, tetapi esoknya dianggap buruk karena perubahan kondisi mental atau dinamika sosial.[8] Selanjutnya, Misbâh Yazdî mengemukakan 4 aliran dalam relativisme moral, yaitu hedonisme, marxisme, sosialisme, dan sensualisme.[9]
a.       Hedonisme
Hedonisme berpendapat bahwa yang dinilai baik itu ialah sesuatu yang dapat memberikan rasa nikmat bagi manusia. Alasannya, karena rasa nikmat itu merupakan suatu hal yang pada dirinya sendiri baik bagi manusia. Kaidah dasar hedonisme egois berbunyi: Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mencapai jumlah nikmat yang paling besar. Dan hindarilah segala macam yang bisa menimbulkan rasa sakit darimu.[10]
Lebih lanjut, hedonisme menyatakan kenikmatan atau pemenuhan hasrat, entah secara sensual atau rohani, sebagai penentu nilai moral. Manusia bertindak hanya karena hasrat untuk mencapai kenikmatan. Kebaikan adalah sesuatu yang memberikan kenikmatan atau pembebasan dari penderitaan. Semua tuntunan moral hanya dapat dikerjakan atas dasar-dasar kaidah praktis yang bisa menghilangkan penderitaan dari kehidupan seseorang.[11]
Menurut Aristippus, kebahagiaan adalah bagian dari kesenangan. Kesenangan sendiri merupakan tujuan dan kebahagiaan ditemukan di dalamnya. Bahkan kesenangan tersebut tidak hanya berupa kenangan kepuasan di masa lalu maupun harapan di masa depan, tetapi juga kesenangan di masa kini.[12]
John Stuart Mill, salah seorang tokoh hedonisme, berasumsi bahwa tidak mungkin di dunia ini tidak ada kebahagiaan. Ia berpendapat bahwa segala perbuatan adalah benar jika cenderung meningkatkan kebahagiaan. Perbuatan dikatakan salah jika menghasilkan ketidakbahagiaan. Kebahagiaan diartikan sebagai kesenangan (pleasure) dan tidak adanya penderitaan (kesakitan).[13]
b.      Marxisme
Marxisme memandang moral itu relatif dan bisa berubah. Menurut aliran ini, moral masyarakat feodalis tidak sama dengan moral masyarakat borjuis. Setiap masyarakat dan zaman memiliki tuntutan-tuntutan moral tertentu. Dalam filsafat materialisme dialektik ini, segala sesuatu mengalami perubahan dan pergantian.
Penilaian terpuji dan tercela, dalam paham ini, mengikuti kondisi-kondisi historis. Pandangan moralnya menyatakan bahwa “mencuri itu buruk” tidak berlaku secara mutlak. Dalam masyarakat feodalis mungkin hal tersebut benar, tetapi tidak demikian halnya dalam masa-masa revolusi. Menurut Marxisme, dalam kondisi tersebut sistem nilai menjadi terbalik dan pengambil-alihan harta para kapitalis dianggap terpuji dan baik. Singkatnya, nilai-nilai moral mengikuti perubahan-perubahan sosial, terutama kondisi ekonomi masyarakat.[14]
c.       Sosialisme
Kaum sosialis percaya bahwa perbuatan baik dan layak ialah yang terpuji dan diterima masyarakat dan komunitas tertentu, sedangkan perbuatan buruk dan tidak layak ialah perbuatan yang mereka benci. Seandainya suatu komunitas masyarakat membolehkan pembunuhan dan pencurian, perbuatan tersebut dianggap terpuji dan baik, dan tidak boleh dicela.
Standar moral dalam masyarakat sosialis adalah nilai suatu perbuatan ditetapkan oleh mereka sendiri. Setiap masyarakat memiliki nilai moral masing-masing, dan seluruh nilai moral tersebut benar semua. Hukum-hukum moral dalam suatu komunitas atau masyarakat tidak dapat berlaku pada selain mereka. Dalam pandangan sosialisme, tidak dibenarkan menetapkan dasar-dasar absolut dan kaidah-kaidah umum tentang moralitas.[15]
d.      Sensualisme
Dalam pandangan sensualisme, hukum-hukum moral tidak lain sekadar yang sesuai dengan sensasi-sensasi individu. Hal ini menjadikan moralitas dalam sensualisme bersifat relatif. Nilai moral tidak memiliki akar dalam realitas-realitas eksternal dan perkara-perkara yang kongkret, sehingga tidak dapat diharapkan orang lain memiliki sensasi yang sama. Sejumlah orang sah-sah saja memiliki sensasi dan hasrat yang berbeda.[16]
2.      Absolutisme Moral
Absolutisme moral memandang nilai-nilai moral, yang memiliki ruang dan waktu, memiliki standar-standar hakiki dan bersifat permanen. Mishbab Yazdi menyebut aliran-aliran yang mempertahankan absolutisme moral, di antaranya eudaimonisme, epicurisme, intuisionalisme, dan Kantian.[17]
a.       Eudaimonisme
Aristoteles mendefinisikan eudaimonia sebagai suatu sifat tertentu dari aktivitas jiwa yang mengekspresikan kebaikan.[18] Jadi, kebahagiaan bisa timbul jika seseorang memiliki sifat dan karakter yang mencerminkan kebaikan. Tetapi, kebahagiaan itu bukan suatu emosi yang temporer, perasaan baik yang datang dan pergi, tetapi lebih pada kehidupan manusia yang utuh dan bermakna.[19] Kebahagiaan merupakan suatu ideal yang obyektif secara keseluruhan dan seseorang dituntut aktif untuk mengusahakan kebahagiaan secara mandiri.
Menurut Aristoteles, kebahagiaan itu bukan potensi atau keadaan melainkan kegiatan. Seseorang harus menciptakan kebahagiaannya sendiri dengan kehendaknya yang bebas.[20] Jadi tidak dibenarkan menunggu kebahagiaan datang tanpa adanya suatu aktivitas atau persepsi positif yang membahagiakan. Di titik ini, motivasi menjadi penting dalam mewujudkan kebahagiaan.
Motivasi tindakan manusia sendiri berasal dari perasaan senang atau sakit. Manusia berusaha mencari obyek-obyek yang memberikan kesenangan dan menghindari obyek-obyek yang menyakitkan.[21] Untuk meraih kebahagiaan, seseorang harus menyelaraskan tindakan-tindakan tersebut dengan nilai-nilai kebaikan yang diyakini.
Socrates memandang kebahagiaan (eudaimonia) merupakan keadaan obyektif yang tidak tergantung pada perasaan subyektif dan merupakan tujuan hidup manusia.[22] Kebahagiaan bisa dicapai dengan keutamaan (arête) dan itu bisa diperoleh dengan pengetahuan. Orang yang memiliki keutamaan tentunya memiliki pengetahuan tentang kebaikan dan mempraktikkan kebaikan itu dalam kehidupannya.[23] Hal inilah yang membuat seseorang bahagia.
b.      Epicurisme
Epicurus memandang standar baik dan buruk adalah kenikmatan dan kesenangan dan mengakui keabsolutan nilai-nilai moral. Ia membagi kesenangan manusia menjadi tiga macam:
1)      Kesenangan alami dan pokok, seperti makan dan minum. Menurutnya, memenuhi dan mewujudkan kesenangan ini selalu baik.
2)      Kesenangan non-alami dan tidak pokok, seperti syahwat dan kedudukan. Menurutnya, bentuk kesenangan ini harus ditinggalkan sepenuhnya dan kenyataannya selalu buruk dan tercela.
3)      Kesenangan alami dan tidak pokok, seperti kesenangan kawin dan makan makanan lezat. Pemenuhannya dalam batas normal adalah baik, namun tercela bila berlebihan atau kurang.
Kesimpulan Epicurus, nilai-nilai moral adalah absolut dan tetap. Kesenangan-kesenangan yang wajib dipenuhi selalu baik bagi semua orang, dan kesenangan-kesenangan non-alami dan tidak pokok selalu buruk bagi semua orang.[24]
c.       Intuisionalisme
Penganut teori ini, Jean-Jacques Rousseau, menilai bahwa intuisi sebagai standar baik dan buruk. Aliran ini berpendapat fitrah manusia sebagai perkara yang tetap dan kokoh, yang tidak tunduk pada pengaruh-pengaruh kondisi historis dan sosial, dan selalu menuntut hal yang sama. Ia berkata, “Fitrah tidak akan menipu kita. Ialah petunjuk hakiki bagi manusia. Kedudukan intuisi dengan jiwa seperti kedudukan insting dengan badan. Barangsiapa mengikutinya, secara alami mematuhinya dan tidak khawatir sesat.”[25]
d.      Kantian
Menurut Immanuel Kant, nilai-nilai moral bersifat absolut dan tidak berubah dalam kondisi apapun dan tidak terkecuali. Kebaikan perbuatan seperti jujur dan menepati janji dapat dijumpai di manapun dan kapanpun. Menurutnya, suatu perbuatan dikatakan baik dalam pandangan moral, karena, pertama, bersifat ikhtiyârî (bebas memilih) da sesuai dengan tugas. Kedua, niat melakukan tugas yang layak.[26]
Perbuatan baik dalam pandangan Kantian adalah perbuatan yang sesuai kewajiban dan tugas dimana manusia bisa menuntutnya bagi semua orang dan dalam kondisi apapun. Kant yakin bahwa sumber “perkara mutlak” ini adalah hukum pastinya akal praktis, dan termasuk bagian hukum bersifat premis. Bahwa akal praktis memerintahkan tanpa memerlukan pengalaman. Kesimpulannya, semua tugas dan kewajiban moral harus berhukum mutlak dan tidak terbatas pada individu atau masyarakat tertentu serta kondisi-kondisi khusus.[27]
Pertentangan antara moralitas yang relatif dan absolut seperti diuraikan di atas mengindikasikan bahwa landasan moral dalam memaknai kebahagiaan telah menjadi isu klasik sejak fondasi filsafat moral dibangun. Bahkan hingga kini, perdebatan tersebut masih berlangsung, bahkan dalam bentuknya yang lebih praksis. Pertentangan relativisme moral versus absolutisme moral tidak hanya berada dalam wilayah teori, ia bahkan telah menjadi landasan dalam strategi pencapaian tujuan hidup. Bahkan dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan, isu kebahagiaan menjadi tema yang krusial. Dalam psikologi, kebahagiaan berhubungan dengan persoalan emosi. Dalam tasawuf, kebahagiaan bermakna spiritual transendental. Baik psikologi maupun tasawuf memiliki perspektif berbeda, meski sama-sama berangkat dari persoalan jiwa.
C.    Hubungan Psikologi dengan Tasawuf
Psikologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari perilaku manusia secara umum dari segi mental, baik yang bersifat perasaan ataupun bukan, dengan tujuan untuk mencapai kaidah-kaidah yang dapat dipakai guna memahami berbagai motif perilaku, mengenali dan memastikan gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam perilaku.
Menurut asal katanya, psikologi berasal dari kata Yunani yaitu psyche dan logos. Kata logos artinya nalar, logika atau ilmu, sedangkan psyche mempunyai banyak arti. Dalam bahasa Inggris berarti soul, mind, spirit. Dalam bahasa Indonesia ketiga kata-kata tersebut dapat diwakili oleh satu kata yaitu “jiwa”. Karena itulah kebanyakan orang cenderung mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa.[28]
Psikologi dapat diartikan ilmu jiwa, karena jiwa sering dikorelasikan dengan masalah mistik, kebatinan, dan kerohanian. Meski demikian, objek utama psikologi bukanlah jiwa karena jiwa tidak dapat dipelajari secara ilmiah. Objek psikologi adalah tingkah laku manusia atau gejala kejiwaan. Sedangkan menurut para ahli bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya.
Dengan demikian, psikologi membatasi diri untuk hanya mempelajari gejala-gejala kejiwaan, khususnya kondisi, proses, dan fungsi-fungsi kejiwaan, dan untuk lebih mendapatkan kejelasan sasaran telaah metodologi dan efektifitas teknik-teknik pendekatannya, maka psikologi menyatakan diri sebagai sains yang mempelajari perilaku manusia, dengan asumsi bahwa perilaku merupakan ungkapan dan cerminan dari kondisi, proses, dan fungsi-fungsi kejiwaan.[29]
Banyak yang mengaitkan tasawuf dengan unsur kejiwaan dalam diri manusia. Hal tersebut cukup beralasan mengingat substansi pembahasannya berkisar pada jiwa manusia. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan, mengingat adanya hubungan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas tasawuf dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, sehingga kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Dalam tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan ini dikonsepsikan oleh para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang dipraktikkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi. Segala yang dimunculkan melalui jiwa tersebut, baik sikap maupun kepribadian, tidak terlepas dari kedua unsur ini, yakni tasawuf dan psikologi.
Di sisi yang lain, tasawuf merupakan disiplin ilmu yang tumbuh dari pengalaman spiritualitas yang mengacu pada moralitas yang bersumber dari nilai Islam, dengan pengertian bahwa pada prinsipnya tasawuf bermakna moral dan semangat Islam, karena seluruh agama Islam dari berbagai aspeknya adalah prinsip moral. Tasawuf membina manusia agar mempunyai mental utuh dan tangguh, sebab didalam ajarannya yang menjadi sasaran utamanya adalah manusia dengan segala tingkah lakunya. Tasawuf mengajarkan agar manusia dapat menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya dengan Khaliq pencipta alam semesta.
Salah satu obyek kajian dalam psikologi dan tasawuf adalah isu tentang kebahagiaan. Terdapat dua pandangan yang bertolak-belakang dalam memahami hakikat kebahagiaan manusia. Dalam pandangan pertama, manusia adalah entitas yang memiliki kebebasan dan kemandirian absolut dalam memahami hakikat kebahagiaannya serta jalan yang mengantarkannya pada kebahagiaan. Manusia juga menentukan masa depannya sendiri, berusaha, memiliki kemampuan mutlak, berkehendak sendiri, dan tidak terikat dengan segala bentuk tanggung jawab yang berasal dari luar dirinya. Pandangan pertama ini mencerminkan kebahagiaan dalam perspektif psikologi.
Sementara menurut pandangan kedua, manusia memiliki kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkannya, tetapi tidak mencukupi untuk meraih kebahagiaan hakikinya. Ia membutuhkan bimbingan dan petunjuk dari selainnya, yaitu Tuhan. Untuk meraih kebahagiaan hakikinya itu, ia dituntut melaksanakan sejumlah tanggung jawab dan kewajiban yang diterimanya dari Tuhan lewat perantaraan para nabi.[30] Pandangan kedua ini mencerminkan kebahagiaan dalam perspektif tasawuf.  
Tasawuf mengajarkan semua sikap hidup yang memberikan tuntunan hidup bahagia, misalnya bersabar dengan kondisi hidup disebut sabar, mensyukuri nikmat yang diperoleh disebut syukur, senang dengan keadaan hidup walau sulit disebut ridha dan ikhlas, merasa cukup disebut qanâ’ah, optimistis disebut rajâ’, dan rasa cinta disebut mahabbah.[31]
Pada bab ini diuraikan konsep kebahagiaan dalam teori-teori psikologi kontemporer maupun tasawuf. Hal ini berguna untuk membandingkan teori dan metode dalam psikologi kontemporer yang positivistik dan perbedaannya dengan tasawuf yang transenden. Sedangkan bab selanjutnya membahas metode konseptual dan operasional dari konsep kebahagiaan secara lebih spesifik dalam psikologi sufistik.
D.    Pandangan Psikologi tentang Kebahagiaan
1.      Psikoanalisa
Psikoanalisa disebut juga aliran “psikologi dalam” (depth psychology), yang terkenal dengan teori alam bawah sadar. Berbeda dengan pandangan-pandangan dalam kalangan psikologi yang umum berlaku pada waktu itu, Sigmund Freud berpendapat bahwa kehidupan manusia dikusai oleh alam ketidaksadarannya. Berbagai kelainan tingkah laku disebabkan oleh faktor-faktor yang terdapat dalam alam ketidaksadaran (unconsciousness) tersebut.[32] Argumen ini melahirkan teori id, ego dan super ego yang terkenal itu, dimana fungsi ketiga aktivitas jiwa tersebut berperan penting dalam seluruh tindakan manusia.
Teori ini juga mendasari pandangan Freud tentang prinsip kebahagiaan. Ia mengajukan prinsip kesenangan (pleasure principle) sebagai prinsip dalam meraih kebahagiaan. Dalam teorinya itu, Freud tanpa ragu menyebut bahwa segala yang dirasakan oleh peristiwa mental secara otomatis diatur oleh prinsip kesenangan. Peristiwa-peristiwa mental selalu saja menimbulkan ketegangan yang tidak menyenangkan, tetapi kemudian menuju pada penurunan ketegangan itu dalam bentuk penghindaran atas ketidaksenangan (avoidance of unpleasure) dan selanjutnya menimbulkan kesenangan (production of pleasure).[33]
Kendati demikian, hal tersebut tidak berarti adanya dominasi prinsip kesenangan atas proses mental. Sebab jika itu terjadi, berarti mayoritas proses mental harus selalu dipenuhi kesenangan. Kenyataannya, pengalaman universal dengan sepenuhnya membantah hal itu.[34] Dalam psikoanalisa ini, prinsip kesenangan memang mendasari mayoritas motivasi tindakan manusia, tetapi ia tidak sepenuhnya mendominasi proses mental. Manusia memang selalu menginginkan kesenangan, tetapi proses mentalnya tidak selalu menjadikan kesenangan sebagai pertimbangan-pertimbangan motivasinya.
 Freud mengakui kebahagiaan merupakan sesuatu yang sulit diwujudkan. Hal ini mengingat bahwa kehidupan dirasa terlalu berat karena banyaknya penderitaan, kekecewaan, dan kemustahilan. Ketika seseorang merasakan kebahagiaan, sesungguhnya hal tersebut hanyalah pengalihan atas penderitaan-penderitaan yang dialami. Freud menganggapnya sebagai: (a) pembelokan sangat kuat yang menyebabkan seseorang menganggap ringan penderitaannya; (b) kepuasan pengganti, yang akan mengurangi penderitaan tersebut; dan (c) substansi-substansi memabukkan (seperti dalam psikotropika) yang membuat seseorang tidak mengindahkan penderitaannya.[35]
Ia juga menjelaskan bahwa kebahagiaan dalam pengertiannya yang paling tegas datang dari pemuasan kebutuhan-kebutuhan (apalagi yang datang tiba-tiba) yang telah dibendung hingga mencapai kadar tertingginya, dan ketika berasal dari sifat dasarnya, hanya akan muncul sebagai suatu fenomena temporer. Ketika jangka waktu kejadian suatu situasi yang dikehendaki prinsip kesenangan diperpanjang, ia hanya akan menghasilkan suatu perasaan kepuasan hati yang ringan. [36]
Freud bahkan menuding sebagian ilmuwan sebagai orang yang sedang membelokkan penderitaannya dengan aktivitas-aktivitas ilmiahnya. Ia juga menganggap seni sebagai ilusi-ilusi yang berkebalikan dengan realitas dan seniman menjadikannya sebagai kepuasan pengganti yang mengurangi penderitaan. Meski diakui, peran fantasi dalam kehidupan mental mereka sangat efektif secara psikis dalam mempersepsi penderitaan. Sedangkan substansi-substasi memabukkan akan mempengaruhi tubuh dan mengubah interaksi di dalamnya.
Menurut Freud, sebelum mencari sumber kebahagiaan, perlu diketahui dulu sumber-sumber ketidakbahagiaan untuk kemudian menghindarinya. Menurutnya, sumber penyebab ketidakbahagiaan ada tiga, yaitu tubuh, dunia luar, dan hubungan dengan orang lain.[37]
a.       Tubuh
Tubuh ditakdirkan rusak dan sering ditandai dengan rasa sakit dan gelisah. Metode penghindaran penderitaan yang ditawarkan Freud adalah metode yang berusaha mempengaruhi organ tubuh. Penderitaan adalah sensasi sehingga hanya dirasakan sepanjang pikiran menganggapnya demikian. Metode kimiawi (substansi-substansi memabukkan) adalah cara paling efektif agar sensasi-sensasi menyenangkan dapat terus dijaga. Freud melihat metode kimiawi (seperti dalam psikotropika) sebagai cara untuk mengubah kondisi-kondisi yang memerintah sensibilitas seseorang sehingga tidak bisa menerima impuls-impuls ketidaksenangan.  
b.      Dunia Luar
Dunia luar memiliki kekuatan yang merusak. Untuk melawannya dapat dilakukan dengan metode mempertahankan diri melalui keberpalingan darinya. Meskipun menggunakan bantuan ilmu pengetahuan dan menjadikan persoalan alam semesta sebagai subyek kepentingan manusia merupakan metode yang lebih baik dari sekadar mempertahankan diri.
c.       Hubungan dengan Orang Lain
Hubungan sosial ini merupakan sumber ketidakbahagiaan yang paling menyakitkan. Untuk mengatasinya, metode paling cepat adalah tindakan isolasi sukarela, mengasingkan diri dari orang lain sehingga menimbulkan ketenangan dan kebahagiaan. Meski hal tersebut tidak sepenuhnya berhasil karena tentu saja menjadi anggota komunitas manusia merupakan cara yang lebih bijak.
Metode lainnya adalah pemanfaatan proses pemindahan libido dengan memindah sasaran-sasaran naluriah hingga mencapai sublimasi. Dengan cara tersebut, hasil kesenangan dari sumber-sumber psikis dan intelektual akan meningkat. Hal tersebut tampak pada kepuasan seniman ketika memberi bentuk fantasi-fantasi dalam karyanya atau ilmuwan dengan penemuan-penemuannya. Bentuk kepuasan seperti itu dinilai tampak lebih baik dan lebih tinggi. Kelemahannya, metode ini tidak dapat diterapkan secara umum dan hanya sedikit orang yang dapat menerapkannya. Dengan demikian, metode ini tidak mampu memberikan perlindungan menyeluruh dari penderitaan.[38]
Freud menawarkan 2 metode untuk meraih kebahagiaan, yaitu hubungan emosional dengan orang lain dan kesenangan atas keindahan.
a.       Hubungan Emosional dengan Orang Lain
Hubungan emosional dengan obyek-obyek di dunia luar merupakan salah satu metode mendapatkan kebahagiaan. Menurutnya, cinta adalah pusat segalanya, sebuah cara hidup yang menjadikan segala bentuk kepuasan dalam mencintai dan dicintai. Sikap psikis yang alamiah ini, terutama cinta seksual, muncul pada semua orang sebagai bentuk manifestasi diri dan memberikan pengalaman paling kuat dalam sensasi-sensasi yang menyenangkan. Meski diakui, hilangnya cinta dan obyek cinta juga dapat menciptakan penderitaan dengan ketidakberdayaan dan kesedihan.[39]
b.      Kesenangan atas Keindahan
Keindahan yang dimaksud terwujud dalam keindahan bentuk manusia dan gesturnya, keindahan alam dan lanskapnya, keindahan artistik, bahkan keindahan ciptaan-ciptaan ilmiah. Nilai estetika dari hal-hal di atas meski hanya sedikit mengurangi penderitaan, tetapi memberikan kebahagiaan yang besar. Kesenangan atas keindahan tersebut memiliki kualitas perasaan yang khas dan sedikit melenakan. Keindahan tidak memiliki kegunaan yang nyata dan nilai yang jelas dalam kebudayaan, tetapi peradaban tidak akan ada tanpanya.
Freud mengakui psikoanalisa tidak mampu menjelaskan sifat dan asal usul keindahan, sebagaimana kegagalan ilmu estetika menjelaskannya. Psikoanalisa hanya memandang keindahan dalam perspektif seksualitas semata. Keindahan dan “daya tarik” terdapat pada sifat dari obyek seksual, dan bukan pada alat seksual itu sendiri. Menurut Freud, alat-alat kelamin bahkan tidak memiliki keindahan, tetapi ia merupakan pemandangan yang selalu menggairahkan. Jadi, keindahan dalam perspektif psikoanalisa terdapat pada karakter seksual sekunder tertentu.[40]
Kebahagiaan, menurut Freud, secara sederhana dapat dinyatakan sebagai sebentuk persoalan dari perekonomian libido individual. Setiap orang harus menemukan sendiri kebahagiaannya, sebab tidak ada kaidah mutlak yang bisa diterapkan dalam meraih kebahagiaan. Caranya, dengan mengetahui tipe-tipe libido (libidinal types) dan menggunakannya untuk mendapatkan kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Orang yang erotis mementingkan hubungan emosional dengan orang lain. Orang yang narsistik mencari kepuasan dalam proses-proses mental internal. Orang yang aktif akan melatih kekuatannya dan tidak akan menyerah pada dunia luar.[41]
Pandangan Freud atas kebahagiaan tampaknya lebih menekankan penghindaran atas penderitaan. Argumen psikoanalisanya bahkan membedah pra-kondisi perspektif kebahagiaan manusia. Ia fasih menggambarkan kondisi ketidakbahagiaan serta sumber-sumbernya. Ia berbicara tentang bentuk-bentuk pengalihan penderitaan, peran fantasi dalam menciptakan keindahan, hingga substansi kimiawi sebagai cara singkat meraih kebahagiaan. Tetapi tampaknya, kajian atas sumber kebahagiaan tidak mendapatkan penekanan yang semestinya.[42]  
2.      Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik merupakan aliran psikologi yang lahir sebagai alternatif dari aliran-aliran psikologi sebelumnya. Tidak seperti aliran psikoanalisa yang menekankan kajiannya tentang alam ketidaksadaran, atau aliran behaviorisme yang mempelajari perilaku yang tampak, psikologi humanistik mempelajari kedalaman sifat manusia secara lebih manusiawi. Artinya, kajian dalam psikologi humanistik tidak hanya pada perilaku yang tampak, tetapi juga perilaku yang tidak tampak; mempelajari ketidaksadaran sekaligus mempelajari kesadaran.[43] Perilaku manusia tidak diamati seperti dalam behaviorisme, sebab ia juga memiliki kapasitas-kapasitas khas manusia seperti rasa malu (shame), humor, seni (art), keindahan (beauty), suara hati (conscience), sementara binatang hanya memiliki kapasitas-kapasitas yang bersifat hewani.[44]
Dalam psikologi humanistik, teori “piramida kebutuhan” dan “logoterapi” dapat diajukan dalam mengelaborasi konsep kebahagiaan ini.
a.       Piramida Kebutuhan (Hierarchy of Needs)
Kaitannya dengan konsep  kebahagiaan, Abraham Maslow, sebagai bapak psikologi humanistik, mengajukan teori “piramida kebutuhan” (hierarchy of needs) sebagai dasar peningkatan kebahagiaan manusia. Asumsinya, untuk meraih kebahagiaan diperlukan adanya beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Prasyarat itu merupakan suatu kebutuhan asasi manusia yang jika dipenuhi akan menciptakan kebahagiaan.
Maslow menjelaskan kebutuhan dasar manusia terdiri atas lima tingkatan, yaitu: (a) kebutuhan fisiologis, (b) kebutuhan keamanan, (c) kebutuhan cinta dan kepemilikan, (d) kebutuhan penghargaan, dan (e) kebutuhan aktualisasi diri.[45] Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi, maka kebahagiaan relatif akan lebih mudah diraih.
a.       Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)
Pada dasarnya, manusia harus memenuhi kebutuhan fisiologisnya untuk dapat bertahan hidup. Pada hierarki yang paling bawah ini, manusia harus memenuhi kebutuhan makan, tidur, minum, seks, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan fisik. Bahkan Maslow menilai kebutuhan ini yang terpenting dari sekian kebutuhan lainnya. Bagaimanapun, orang akan lebih mengutamakan kebutuhan makan daripada keamanan, cinta, dan penghargaan.
Manusia mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal bila kebutuhan dasar ini belum terpenuhi. Misalnya, seseorang mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan, sehingga ia menderita kelaparan, maka ia tidak akan mungkin mampu untuk memikirkan kebutuhan akan keamanannya ataupun kebutuhan aktualisasi diri. Logika sederhananya, seseorang tidak akan memiliki cukup kesempatan untuk memikirkan prestasi atau aktualisasi diri, bila dirinya terus menerus dihantui kelaparan.
b.      Kebutuhan Keamanan (Safety Needs)
Pada hierarki tingkat kedua, manusia membutuhkan keamanan dalam dirinya. Keamanan ini berupa jaminan, stabilitas, kepastian, perlindungan, bebas dari takut, gelisah, dan kekacauan, kebutuhan atas struktur, tata tertib, hukum, perbatasan, daya perlindungan, dan sebagainya.
c.       Kebutuhan Kepemilikan dan Cinta (Belongingness and Love Needs)
Setelah memenuhi dua kebutuhan yang bersifat individu, kini manusia menapaki kebutuhan untuk diterima secara sosial. Emosi menjadi “pemain” utama dalam hierarki ketiga ini. Perasaan menyenangkan yang dimiliki pada saat seseorang memiliki sahabat, seseorang untuk berbagi cerita, hubungan dekat dengan keluarga adalah tujuan utama dari memenuhi kebutuhan sosial ini. Adanya rasa memiliki menjadikan seseorang merasa dihargai serta dianggap penting dan bernilai bagi orang lain. Ringkasnya, eksistensinya diterima (acceptance) lingkungan sosialnya.
d.      Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs)
Semua orang pasti ingin dihormati dan ingin merasa berguna bagi orang lain. Kebutuhan untuk harga diri pada hierarki keempat ini biasanya muncul setelah ketiga kebutuhan yang lebih mendasar sudah terpenuhi, Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan semacam ini dapat muncul tanpa harus memenuhi ketiga kebutuhan yang lebih mendasar.
e.       Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs)
Umumnya, kebutuhan ini akan muncul bila seseorang merasa seluruh kebutuhan mendasarnya sudah terpenuhi. Pada hierarki ini, biasanya seseorang berhadapan dengan ambisi untuk menjadi seseorang yang memiliki kemampuan lebih. Seperti mengaktualisasikan diri untuk menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu tertentu, atau hasrat untuk mengetahui serta memenuhi ketertarikannya atas suatu hal.
Menurut teori kebutuhan Maslow, kebutuhan yang berada pada hierarki lebih bawah tidak harus dipenuhi sebelum seseorang akan mencoba untuk memiliki kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. Bagi sebagian orang, kebutuhan harga diri menjadi lebih penting daripada kebutuhan untuk makan. 
Satu konsep penting yang diperkenalkan Maslow adalah perbedaan antara kebutuhan dasar dan kebutuhan tumbuh. Kebutuhan dasar (fisiologis, rasa aman, cinta, dan penghargaan) adalah kebutuhan yang penting untuk kebutuhan fisik dan psikologis. Sekali kebutuhan ini dipenuhi, motivasi seseorang untuk memenuhi kebutuhan ini surut.
Ketika kebutuhan makan terpenuhi, maka kebutuhan itu akan semakin berkurang begitu seseorang mulai kenyang. Ketika seseorang dicekam ketakutan dan membutuhkan keamanan, maka kebutuhan itu akan selesai begitu faktor penyebab rasa takut itu menghilang. Sebaliknya kebutuhan tumbuh, seperti kebutuhan untuk memahami sesuatu, menghargai keindahan, atau menumbuhkan apresiasi dari orang lain, tidak pernah dapat dipenuhi seluruhnya. Orang akan selalu membutuhkan pertumbuhan dan pengembangan diri. Dan untuk mewujudkannya, orang membutuhkan kebebasan dalam meraihnya. [46]
Dalam hierarki kebutuhan Maslow, kebebasan berada dalam tingkatan harga diri (esteem). Jadi harga diri adalah konsekuensi logis ketika seseorang telah memenuhi kebutuhan yang lebih mendasar seperti fisiologi, rasa aman, cinta dan saling percaya. Harga diri, dalam konsep Maslow terbentuk dari konstruk-konstruk kebebasan disamping rasa percaya diri, kompetensi, kesuksesan, independensi (kebebasan) dan kekuasaan.
Ketika kebutuhan-kebutuhan pada tingkat sebelumnya (fisiologis, rasa aman, cinta dan saling percaya, esteem) telah terpenuhi, maka manusia bisa dikatakan telah meraih kebebasannya. Maslow menambahkan, ketika esteem (kebebasan) telah dipenuhi, maka seseorang telah sampai pada tingkatan kebutuhan yang paling tinggi, yaitu aktualisasi diri. Secara mudah kebutuhan ini adalah upaya ”unik” manusia untuk terus-menerus mewujudkan potensi-potensi yang ada dan menjadi diri sendiri sepenuhnya. Potensi tersebut diasah dan diaktualisasikan dengan baik sehingga menghadirkan manfaat bagi semua.[47]
Aktualisasi diri tidak dapat diukur dari sejumlah materi, uang, atau apapun yang dianggap pantas untuk menggantikannya. Mengukur aktualisasi diri adalah dari kebahagiaan (kebutuhan kepuasan batiniah) yang tercipta dari usahanya tersebut. Jadi puncak dari aktualisasi diri adalah kebahagiaan.
Dalam teori harapan (hope theory), terdapat hubungan yang paralel antara aktualisasi diri dengan harapan, yakni penekanannya pada tujuan. Pada titik ini, korelasi antara tujuan dan harapan diukur dari seberapa besar usaha seseorang dalam mengaktualisasikan dirinya.[48] Jika harapan dan tujuan manusia adalah kebahagiaan, maka tingkat kebahagiaannya tergantung dari usaha seseorang dalam mewujudkan harapannya. Keberhasilan mewujudkan harapan ini merupakan puncak dari kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.
Kenyataannya, harapan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar tersebut tidak dapat seluruhnya dipenuhi. Menurut Maslow, hanya 85% kebutuhan fisiologis terpenuhi, kebutuhan rasa aman 70%, kebutuhan cinta 50%, kebutuhan penghargaan 40%, dan hanya 10% orang dapat memenuhi kebutuhannya untuk aktualisasi diri.[49]
b.      Logoterapi
Victor Frankl memperkenalkan “logoterapi” sebagai teknik memaknai kehidupan dan mencapai kebahagiaan. Ia menawarkan tiga cara untuk meraih makna hidup, yaitu (1) melalui tindakan; (2) melalui pengalaman berharga dalam berbagai medium (keindahan seni, cinta relasional, dan sebagainya); dan (3) melalui penderitaan.[50]
Frankl mengembangkan teknik yang terakhir ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana ia mengalami dan menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Ia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada hidupnya. Teknik mencari makna dengan penderitaan dilakukan ketika teknik pertama dan kedua tidak dapat dilakukan.
Kerangka berpikir teori kepribadian model logoterapi dan dinamika kepribadiannya dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, setiap orang selalu mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam pandangan logoterapi, kebahagiaan itu tidak datang begitu saja, tetapi merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning).[51] Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life) dan ganjaran (reward) dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness).
Kedua, jika mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (meaningless). Kondisi ini apabila tidak teratasi dapat mengakibatkan gangguan neurosis (noogenik neurosis), mengembangkan karakter totaliter (totalitarianism) dan konformis (conformism). Frankl menunjukkan hubungan yang kuat antara “ketidakbermaknaan” dengan tindakan kejahatan, kecanduan, dan tekanan. Dengan ketiadaan makna hidup tersebut, seseorang akan mengisinya dengan kesenangan hedonis, kekuasaan, materialisme, kebencian, kebosanan, atau obsesi neurotik dan paksaan.[52]
Ketiga, Frankl menentang pendirian dalam psikologi dan psikoterapi bahwa manusia ditentukan oleh kondisi biologis, konflik-konflik masa kanak-kanak, atau kekuatan lain dari luar. Ia berpendapat bahwa kebebasan manusia merupakan kebebasan yang berada dalam batas-batas tertentu. Manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki berbagai potensi luar biasa, tetapi sekaligus memiliki keterbatasan dalam aspek ragawi, aspek kejiwaan, aspek sosial budaya dan aspek kerohanian. Untuk mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan yang murni, seseorang harus memiliki perasaan yang bekerja dalam koridor nilai dari kebebasan yang memiliki batas itu.[53]
Keempat, kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari (freedom from) bawaan biologis, kondisi psikososial dan kesejarahan-nya, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) secara sadar dan menerima tanggung jawab terhadap kondisi-kondisi tersebut, baik kondisi lingkungan maupun kondisi diri sendiri. Dengan demikian, kebebasan yang dimaksud Frankl bukanlah lari dari persoalan yang sebenarnya harus dihadapi.[54]
Kelima, dalam berperilaku, manusia berusaha mengarahkan dirinya sendiri pada sesuatu yang ingin dicapainya, yaitu makna. Keinginan akan makna inilah yang mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga. Menurutnya, perjuangan untuk menemukan makna dalam hidup merupakan kekuatan motivasi utama pada diri seseorang.[55] Namun, Frankl tidak sependapat dengan prinsip determinisme dan berkeyakinan bahwa manusia dalam berperilaku terdorong mengurangi ketegangan agar memperoleh keseimbangan dan mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuan tertentu yang layak bagi dirinya.
Frankl mengajukan 5 metode menemukan makna hidup sebagai berikut:
1)      Pemahaman Diri: Mengenali berbagai kekuatan dan kelemahan diri sendiri (dan lingkungan), baik yang masih merupakan potensi maupun yang telah teraktualisasi. Dan makna hidup dan hidup yang bermakna diperoleh bila kekuatan-kekuatan itu berhasil dikembangkan dan kelemahan-kelemahan dihambat dan dikurangi.
2)      Bertindak Positif: Bertindak positif merupakan kelanjutan dari berpikir positif. Artinya, mencoba melaksanakan dalam perbuatan nyata: niat baik, pikiran-pikiran positif dan hal-hal yang dianggap bermanfaat. Makna hidup dan hidup yang bermakna akan benar-benar terjadi bila hal-hal positif itu terperangai dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari.
3)      Pengakraban Hubungan:  Secara sengaja meningkatkan hubungan yang baik dengan pribadi-pribadi tertentu (misalnya anggota keluarga, tetangga, teman, rekan kerja), sehingga masing-masing merasa saling menyayangi, saling mempercayai, saling membutuhkan, dan bersedia bantu-membantu. Dalam keakraban, persahabatan, persaudaraan dan silaturahmi itulah makna hidup dan hidup yang bermakna benar-benar terwujud.
4)      Pemenuhan sumber-sumber makna hidup: Berupaya untuk mendalami, memahami, menjabarkan dan memenuhi keempat sumber makna hidup yaitu: karya, penghayatan, sikap dan harapan. Makna hidup dan hidup yang bermakna akan diperoleh bila seseorang berhasil merealisasi keempat sumber makna hidup tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
5)      Ibadah: Mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cara-cara yang diajarkanNya. Bentuk ibadah yang paling sederhana tetapi merupakan inti ibadah adalah doa. Dengan beribadah dan berdoa, seseorang merasa tenteram dan terbimbing. Menghayati kedekatan dengan Sang Pencipta akan mengembangkan penghayatan hidup yang sangat bermakna.
Dari kelima metode menemukan makna hidup dalam logoterapi di atas dapat ditemukan dalam situasi seperti berikut:
1)      Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery)
Seseorang yang kehilangan sepasang sepatunya tentu saja merasakan kejengkelan. Tetapi ketika ia melihat ada orang yang bisa dengan mudahnya tersenyum gembira padahal tidak memiliki sepasang kaki, ia akan segera menyadari kekeliruannya. Ia memilih berpikiran positif (positive thinking) dan berupaya mencari hikmah di balik pengalaman negatifnya, disertai rasa syukur yang mendalam atas lebih banyaknya pengalaman positif yang didapat sebelumnya (appreciation to positive experience before). Dengan pikiran positif dan syukur inilah seseorang akan menemukan makna dalam dirinya.
2)      Ketika seseorang menentukan pilihan
Hidup menjadi tanpa makna ketika seseorang tak dapat memilih. Seseorang yang mendapatkan tawaran kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dan berpisah dari keluarganya. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan istrinya. Ia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk keluarganya. Hingga akhirnya ia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.
3)      Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan
Seorang rakyat jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya, ia merasakan suatu makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun. Demikian juga ketika seseorang yang bersedia mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan begitu hidupnya menjadi bermakna.
4)      Ketika seseorang dihadapkan pada sikap bertanggung jawab
Seorang bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk memuaskan keinginannya semata, pada saat itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa dalam hidupnya.
5)      Ketika seseorang mengalami situasi transendensi
Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan. Ketika seseorang mengalami pengalaman transendensi, ia tidak lagi membedakan nikmat atau musibah, suka atau duka, dan sebagainya. Pengalaman transendensi membawa seseorang ke luar dunia fisik, ke luar dari diri sendiri. Kenikmatan dalam situasi transendensi ini memberikan makna yang luar biasa dalam hidup seseorang.
3.      Psikologi Transpersonal
Psikologi transpersonal adalah pengembangan dari psikologi humanistik. Tokoh-tokoh perintis psikologi transpersonal adalah pemuka-pemuka dalam psikologi humanistik. Nama-nama seperti Abraham Harold Maslow, Antony Sutich, dan Charles Taart merupakan pemuka aliran psikologi humanistik yang menjadi perintis psikologi transpersonal.[56]
Psikologi transpersonal seperti halnya psikologi humanistik, menaruh perhatian pada dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung berbagai potensi dan kemampuan luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi ini untuk meningkatkan hubungan antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti pengalaman subjektif transendental, serta pengalaman luar biasa dari potensi-potensi spiritual ini.[57]
Psikologi transpersonal merupakan mazhab psikologi yang membahas manusia tak hanya sebagai pribadi saja, tetapi sampai pada transendensi manusia dalam konstelasi alam semesta, tingkat kesadaran yang lebih tinggi (intuisi), dan pengalaman mistis sebagai pengalaman spiritual manusia sebagai makhluk ciptaan dari Zat yang lebih tinggi (Tuhan).
Menurut John Davis, psikologi transpersonal bisa diartikan sebagai ilmu yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Psikologi ini mengintegrasikan konsep psikologis, teori, dan metode dengan materi dan praktik pokok dari disiplin spiritual; meliputi pengalaman spiritual dan mistik, praktik meditasi, ritual, shamanisme, dan hubungan antara pengalaman spiritual dengan gangguan jiwa seperti penyakit kejiwaan, ketergantungan, dan depresi.[58] Tegasnya, cabang psikologi yang menggabungkan konsep psikologi dengan kekayaan-kekayaan spiritual dari bermacam budaya dan agama.
Metode yoga, dalam ajaran Hindu, digunakan oleh psikologi transpersonal dalam upaya mencapai persatuan antara kesadaran manusia (personal conciousness) dengan kesadaran alam (universal conciousness), dalam rangka bersatunya jiwa manusia dengan kebenaran abadi (eternal reality) sebagai asal muasal jiwa manusia. Penyatuan tersebut akan menghasilkan berkat abadi dan bukan kebahagiaan duniawi.
Latihan yoga dilakukan dengan cara duduk dan pengaturan nafas yang telah ditentukan dengan tertib disertai latihan indera kalima. Setelah mendapatkan konsentrasi (dhyna), maka tahap samadhi akan tercapai, dan kemudian masuk dan bersatu dengan yang tertinggi (brahma). Dengan yoga, perasaan menjadi damai dan tenang, kekuatan dan pengetahuan ruhani, kesehatan, jiwa, dan kepribadian akan menjadi baik.[59]
Selain yoga, psikologi transpersonal menawarkan metode samadhi seperti dalam ajaran Buddha. Dalam samadhi ini, seseorang harus mempersiapkan diri dengan ahimsa (kehalusan) dan tulus ikhlas. Baru kemudian ia dapat melakukan samadhi, renungan mistik, yang dilalui dengan 4 tingkatan: (1) mengasingkan diri dari dunia indera untuk memusatkan diri pada yang serba ruhani; (2) rasa tenang; (3) ketenangan itu tidak terpengaruh oleh rasa; dan (4) tenang sejati, artinya tidak ada gerak dalam arti apapun juga. Jika sudah demikian, maka seseorang akan bebas dari sengsara dan yang serba dunia, kemudian masuklah ia ke alam nirvana, yaitu surga atau kebahagiaan sejati.[60]
Psikologi transpersonal memandang perilaku manusia sebagai struktur dan pergerakan jiwa dari kesadaran sampai pada diri terdalam. Konsep inti dari psikologi transpersonal adalah nondualitas (nonduality), suatu pengetahuan bahwa tiap-tiap bagian adalah bagian dari keseluruhan alam semesta. Penyatuan kosmis dimana segalanya dipandang sebagai satu kesatuan. Hal ini berbeda dengan aliran strukturalisme yang memandang perilaku manusia sebagai  struktur kesadaran; fungsi atau cara kerja kesadaran (fungsionalisme); pola stimulus-respon (behaviorisme); dunia ketidaksadaran (psikoanalisa); persepsi menyeluruh terhadap objek (psikologi gestalt); kesadaran dalam totalitasnya (psikologi humanistik); maupun korelasi kesadaran dan fungsi kognitif (psikologi kognitif).
Dalam pandangan psikologi transpersonal, manusia memiliki potensi-potensi luhur yang dapat keluar dari kesadaran biasa. Psikologi transpersonal fokus pada kajian tentang harkat kemanusiaan, berusaha memahami potensi luhur kemanusiaan yang berhubungan dengan fenomena atau gejala tentang kesatuan spiritual sebagai sebuah bentuk kesadaran terpenting dari derajat kemanusiaan.
Dengan demikian, psikologi transpersonal memandang manusia dari dua segi: potensi-potensi luhur (the highest potential) dan fenomena kesadaran (state of consciousness) manusia. Psikologi transpersonal mencoba melakukan penelitian terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai garapan kaum rohaniawan kebatinan, agamawan dan mistikus. Psikologi transpersonal menunjukkan bahwa di luar kesadaran biasa, terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa dan mampu mengembangkan potensi-potensi luhur yang dimiliki manusia.[61] Dengan demikian, kebahagiaan transpersonal diraih dengan pengembangan potensi-potensi luhur dan kesadaran atas kesatuan kosmis tersebut.
4.      Psikologi Positif
Arah baru kajian psikologi berubah sejak beberapa puluh tahun terakhir, sebagian disebabkan oleh upaya tak kenal lelah dari psikolog seperti Martin Seligman, Mihaly Csikszentmihalyi, dan Ed Diener, terutama ketika pada tahun 1998 Seligman sebagai presiden American Psychological Association menyerukan pentingnya kembali pada akar psikologi dalam mengidentifikasi dan memberikan solusi atas kehidupan manusia yang lebih baik dan tidak hanya fokus pada penyembuhan penyakit mental.[62]
Upaya ini melahirkan psikologi positif,  yang memiliki tiga konsep utama. Pertama, pengalaman subyektif yang positif, seperti kesejahteraan, ketertarikan, kegembiraan, optimisme, dan harapan. Kedua, karakter kepribadian pada individu yang sedang tumbuh-kembang, khususnya kekuatan dan kebaikan, seperti keberanian, ketekunan, pikiran terbuka, dan kearifan. Dan ketiga, tingkat psikologi sosial dalam mengidentifikasi, mempelajari, dan meningkatkan kualitas institusi sosial dalam menopang pengalaman subyektif yang positif dan karakter kepribadian yang adaptif.[63]
Setidaknya terdapat dua ciri psikologi positif yang membedakannya dari psikologi lainnya. Pertama, psikologi positif menekankan perkembangan sifat manusia yang positif dan memfasilitas kesehatan psikologis atau kebahagiaan lebih dari sekadar pencegahan atas sifat manusia yang negatif dan kesengsaraan manusia. Ia juga mencakup gagasan bahwa seseorang dapat menjadi agen inisiasi diri untuk mengubah hidupnya sendiri dan orang lain.
Kedua, psikologi positif menekankan keterlibatan sosial dan pengakuan bahwa kesuksesan dan kebahagiaan seseorang tergantung pada sedikit banyak kemampuannya untuk bekerjasama, kolaborasi, negosiasi, di samping harmonisasinya dengan orang lain. Kemampuan berbisnis, berorganisasi, bermasyarakat, dan berhubungan baik dengan pemerintah demi meraih tujuan tergantung pada kemampuan seseorang dalam  mengkoordinasikan seluruh usahanya tersebut.[64]
Martin Seligman, salah seorang pelopor psikologi positif dan pionir “happiology”, meyakini bahwa kebahagiaan adalah sebuah konsep belajar, dimana orang dapat mengubah kebahagiaan mereka jika mereka belajar untuk mengembangkan kekuatan dan kebajikan, serta menerapkannya dengan cara baru untuk kehidupan mereka. Berbeda dengan pandangan yang berlaku bahwa kesenangan egois membuat seseorang bahagia, Seligman menyatakan bahwa orang paling bahagia adalah mereka yang melakukan tindakan kebaikan, atau ketika mereka terlibat dalam tantangan sadar.
Seligman menyebut kebahagiaan yang otentik (authentic happiness) dibagi ke dalam tiga dimensi: 1) kesenangan dan kepuasan, 2) perwujudan dari kekuatan dan kebajikan, dan 3) makna dan tujuan. Ia menulis, “(Psikologi positif) membawa Anda menyusuri pedesaan kegembiraan dan kesyukuran, menuju pegunungan kekuatan dan kebajikan, dan akhirnya ke puncak kepuasan abadi: makna dan tujuan.”[65]
Dari kutipan tersebut, Seligman terlihat mengidentifikasi tiga derajat kebahagiaan yang diawali dari tingkat kebahagiaan mendasar yang berupa kesenangan dan kepuasan, kemudian beranjak pada tingkatan lebih tinggi berupa perwujudan kebahagiaan yang diperoleh dari kekuatan dan kebajikan, dan diakhiri pada puncak kebahagiaan yang berupa makna dan tujuan.
Psikologi positif pada tataran pengalaman subyektif memiliki tiga dimensi waktu: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dimensi masa lalu berupa kesejahteraan dan kepuasan; dimensi masa sekarang berupa ketertarikan, kegembiraan, kesenangan sensual, dan kebahagiaan; dan dimensi masa depan berupa kognisi konstruktif tentang masa depan, seperti optimisme, harapan, dan keyakinan.
Pada taraf individual, psikologi positif terkait dengan karakter personal yang positif, seperti kemampuan mencintai dan bekerja, keberanian, keterampilan interpersonal, sensitifitas estetis, ketekunan, pemaafan, kesejatian, berpikir jangka panjang, berbakat tinggi, dan  kearifan. Pada taraf kelompok, psikologi positif terkait dengan kebaikan umum dan institusi yang menggerakkan individu menuju masyarakat yang lebih baik, seperti tanggung jawab, pengayoman, altruisme, kesopanan, moderasi, toleransi, dan etika kerja.[66]
Mihaly Csikszentmihalyi, seorang psikolog asal Hongaria, dalam studinya tentang “flow”[67] menjelaskan bahwa kebahagiaan bukanlah kondisi yang telah ditetapkan, tetapi ia dapat dikembangkan dengan belajar untuk mencapai flow dalam hidup. Flow mengajarkan pengendalian atas diri sendiri dan tidak membiarkan diri secara pasif dikendalikan oleh pengaruh luar. Ia mengkritik usaha manusia yang ingin meraih kebahagiaan tetapi justru menyandarkan sumber kebahagiaan itu pada kekuatan di luar dirinya.
Csikszentmihalyi berpendapat bahwa kebahagiaan berasal dari dalam diri sendiri. Ia menawarkan pikiran positif (positive thinking) sebagai salah satu cara mendapatkan kebahagiaan. Jika seseorang tersakiti oleh orang lain, bukan maksud orang itu untuk menyakiti. Lebih lanjut ia mengutip Marcus Aurelius yang berkata, If you are pained by external things it is not they that disturb you, but your own judgment of them. And it is in your power to wipe out that power now.”[68]
Penilaian positif atau negatif dibentuk oleh perspektif seseorang dalam memandang sesuatu. Dengan demikian, sikap baik sangka dan menghindari buruk sangka akan meningkatkan kebahagiaan seseorang. Menurut Csikszentmihalyi, kunci kebahagiaan terkandung dalam cara seseorang mendayagunakan energi batinnya dalam memusatkan perhatian pada tujuan. Hal itu akan menggerakkan energi batin tersebut “mengalir” (flow) pada keselarasan dan kesadaran hingga meraih tujuan yang diinginkan.[69] Inilah yang akan melipatgandakan kebahagiaan, dimana seseorang mampu meraih tujuan secara sadar dan harmonis.
Seorang pelopor psikologi positif lainnya, Ed Diener, menyatakan bahwa kebahagiaan dapat diukur secara empiris. Diener menyebutnya “kesejahteraan subyektif” (subjective well-being), yaitu suatu konsep kasar yang mencakup pengalaman emosi yang menyenangkan, rendahnya perasaan negatif, serta tingginya kepuasan hidup.[70] Dalam perspektif ini, suasana hati seseorang pada suatu waktu tertentu, keyakinannya tentang kebahagiaan, serta seberapa mudahnya seseorang menerima informasi positif dan negatif turut mempengaruhi penilaian terhadap kebahagiaan.
Kepuasan hidup dan suasana hati sebagai bagian dari kebahagiaan dipengaruhi oleh variabel situasional. Dalam budaya masyarakat individualistik, seseorang mendasarkan konstruksi kepuasan hidupnya pada kepercayaan diri yang tinggi. Sebaliknya, budaya masyarakat kolektif mendasarkannya pada opini orang lain. Dengan demikian, seseorang menggunakan dua situasi yang berbeda untuk membangun pandangan masing-masing atas standar kepuasan hidupnya.[71]
Untuk menemukan kebahagiaan yang obyektif, kajian psikologi positif tentang kebahagiaan mengajukan nilai moral dan kebaikan essensial sebagai dasar untuk mendefinisikan kebahagiaan manusia. Martin Seligman mengembangkan ringkasan nilai moral yang diperoleh dari warisan kemanusiaan lintas budaya dan agama. Nilai intinya adalah kebijakan, keberanian, kesederhanaan, cinta, keadilan, dan spiritualitas.
Lebih dari itu, emosi positif seperti cinta, empati, kasih sayang, dan keyakinan religius secara universal meningkatkan kesehatan fisik, panjang umur, dan fungsi mental. Kegembiraan, kebahagiaan, kerjasama, pemaafan, dan kepercayaan, berkontribusi terhadap pertahanan hidup manusia di masa lalu.[72]
E.     Pandangan Tasawuf tentang Kebahagiaan
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, kajian tentang kebahagiaan tidak hanya merupakan wilayah psikologi, tetapi juga menjadi isu penting dalam kajian tasawuf. Disini terlihat jelas bahwa konsep kebahagiaan dalam pandangan ulama tasawuf menekankan etika yang penuh dengan nilai moral, tidak hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan dan seluruh makhluk-Nya. Kebahagiaan sufistik bersifat transendental-eskatologis, yang tidak dijumpai dalam psikologi kontemporer yang cenderung deistik-positivistik.
1.      Ibn Miskawayh
Ibn Miskawayh menyatakan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang paling nikmat, paling utama, paling baik, dan paling sejati. Aspek nikmat dalam kebahagiaan terbagi menjadi dua bagian, kenikmatan pasif dan kenikmatan aktif. Kenikmatan pasif dimiliki oleh manusia dan binatang tak berakal, lantaran kenikmatan pasif ini disertai hawa nafsu serta kesukaan membalas dendam. Kenikmatan aktif dikhususkan buat hewan berakal. Karena tidak bersifat material dan tidak teragitasi, maka kenikmatan ini sempurna dan esensial, sedang yang pertama bersifat aksidental dan tidak sempurna.[73]
Kebahagiaan utama menurut Ibn Miskawayh ialah perpaduan antara kebahagiaan ruh dengan kebahagiaan akhlak. Orang yang berbuat sifat-sifat utama dan mulia karena ia tunduk kepada akal pikirannya yang sehat sehingga dapat mengangkatnya ke tingkat dekat (taqarrub) kepada Allah. Akal pikiran yang sehat tidak akan lepas dari tuntunan Ilahi, maka perbuatan orang yang bersangkutan tadi, sama halnya dengan orang yang berbuat sesuai dengan sifat-sifat Ilahiyah.[74]
Konsep kebahagiaan Ibn Miskawayh dapat juga ditelusuri dari konsepnya tentang manusia Ideal. Pembicaraan tentang manusia ideal yang dimaksudkan Ibn Miskawayh di sini sama dengan manusia yang memiliki derajat paling tinggi. Jika diteliti paling mendalam manusia yang derajatnya paling tinggi adalah manusia yang sudah mencapai derajat kesempurnaan. Pada posisi ini mereka mempunyai pengetahuan yang menyeluruh.
Untuk memperoleh pengetahuan ini, seseorang mesti melakukan tafakur yang mendalam. Ia bertafakur tentang sesuatu yang nyata menjadi sesuatu yang abadi. Ia mencoba melepaskan diri dari yang terbatas untuk bersatu dengan akal yang tidak terbatas. Tafakur di sini merupakan usaha untuk mempersatukan kenyataan diri dengan diri yang transenden, menyatukan sesuatu yang nyata dengan refleksi jiwa menjadi satu eksistensi. Dengan kata lain, ia menjadikan alam dunia sebagai dirinya.[75]
Usaha tersebut tidak cukup sampai disitu. Setelah diperoleh persatuan dengan akal, jiwa melakukan kontemplasi untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Akibat dari ini pengetahuannya menjadi cemerlang. Kondisi semacam ini tidak berlangsung lama tetapi amat singkat. Ia merupakan intuisi menyeluruh dimana realita yang terkait satu dengan yang lainnya segera menjadi sebuah persepsi. Apabila usaha ini berhasil ia menjadi manusia sempurna sekaligus memperoleh kebahagiaan yang sempurna pula.[76]
2.      Al-Ghazâlî
Menurut al-Ghazâlî, kebahagiaan dibagi menjadi 5 tingkatan, dan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi, seseorang harus menyempurnakan dulu keutamaan-keutamaan pada tingkatan di bawahnya. Sebab kebahagiaan pada tingkatan-tingkatan itu saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Kelima tingkatan kebahagiaan itu adalah:
a.       Kebahagiaan Akhirat, merupakan kebahagiaan tertinggi dan kekal. Tidak ada kesedihan dan kemisikinan; yang ada hanya kegembiraan dan kekayaan. Untuk mencapai puncak kebahagiaan ini tentu saja dengan izin Allah.
b.      Keutamaan Akal Budi; yaitu sempurnanya akal dengan ilmu, sempurnanya ‘iffah (kehormatan diri) dengan wara’ (tidak peduli kenikmatan dunia), sempurnanya keberanian (shajâ’ah) dengan jihad; berani karena benar, takut karena salah, sempurnanya keadilan dengan keinsafan.
c.       Keutamaan Jasmani; yaitu tubuh yang sehat, kuat, elok (tampan atau cantik), dan panjang umur.
d.      Keutamaan non-Jasmani; yaitu kekayaan dengan harta benda, kekayaan dengan keluarga, kedudukan yang terpandang dan terhormat, serta keturunan yang mulia.
e.       Keutamaan dari Taufik dan Irsyad dari Allah; berupa hidayah, bimbingan, dukungan, dan bantuan Allah.[77]
Untuk meraih kebahagiaan tertinggi, al-Ghazâlî berpendapat bahwa kebahagiaan akhirat hanya dapat diraih dengan takwa dan mencegah serta mengekang hawa nafsu. Caranya, dengan memutus kontak hatinya dengan dunia dengan cara menjauhkan diri dari alam yang penuh tipu daya dan kepalsuan menuju alam yang kekal dan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT.[78]
Kebahagiaan manusia, menurut al-Ghazâlî, adalah dengan menyamai malaikat dalam membebaskan diri dari hawa nafsu, menghancurkan nafsu yang mengajak kepada keburukan, dan menghindari kesamaan dengan binatang ternak yang lalai dari berbuat baik, yang dengan bebas mengikuti hawa nafsu sesuai keinginan tabiatnya tanpa ada batas. Apabila manusia membiasakan diri dalam setiap masalah untuk mengerjakan segala yang diinginkan tanpa kendali, maka ia menjadi terbiasa untuk mengikuti keinginan nafsunya dan hatinya pun dikuasai oleh sifat binatang.[79]
Menurut al-Ghazâlî, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma’rifatullâh. Menurutnya, tiap kenikmatan dan kelezatan tergantung pada tabiatnya. Kelezatan mata dengan melihat keindahan, kelezatan telinga dengan mendengar suara yang merdu, demikian juga dengan anggota tubuh lainnya. Adapun kelezatan hati terletak pada bertemu Allah.[80] Lebih lanjut ia berkata:
.... أَنَّ مَعْرِفَةَ اللهِ سُبْحَانَهُ أَلَذُّ اْلأَشْيَاءِ وَأَنَّهُ لَا لَذَّةَ فَوْقَهَا
…. Sesungguhnya makrifat akan Allah SWT itu yang paling lezat dari segala sesuatu. Dan tidak ada kelezatan di atasnya lagi.[81]
Jelas bahwa menurut al-Ghazâlî, kebahagiaan puncak terletak pada ma’rifatullâh. Sebab tidak ada kebahagiaan yang melebihi dengan makrifat, bahkan surga pun masih di bawah kenikmatan mengenal Allah.
3.      Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî
Ketidakbahagiaan manusia sebagian besar disebabkan ketidak-mengertiannya atas takdir Allah. Manusia sejatinya hidup dan berjalan di atas takdir Allah yang telah ditetapkan-Nya untuk manusia. Manusia hanya mampu berkeinginan, berencana dan berusaha, sedangkan apa yang akan terjadi, tercapai atau tidak, berhasil atau gagal, yang berkuasa menentukan manusia, tetapi Allah SWT. Dan hal itu hakikatnya sudah tertulis di dalam ketetapan Takdir Allah.
Menurut Ibn ‘Atâ’illâh, kebahagiaan manusia berasal kepasrahan atas takdir Allah tersebut. Betapapun manusia berusaha sekuat tenaga untuk meraih kebahagiaan dengan mewujudkan keinginan-keinginannya, usahanya tersebut pada akhirnya akan berhenti pada keputusan Allah. Ibn ‘Atâ’illâh berkata:
سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَخْرُقُ اَسْوَارَ اْلاَقْرَارِ
Kuatnya kemauan yang bergelora tidak akan mampu menembus tabir takdir Allah.[82] 
Kebahagiaan yang sejati, dengan demikian, berasal dari ketertundukan manusia pada takdir Allah. Caranya dengan menyesuaikan usaha dan keinginan tersebut dengan hukum Allah. Ketika seseorang merasakan adanya kemauan dalam dirinya untuk mendapatkan yang diinginkannya, kemauan keras itu hendaknya bersesuaian dengan gerakan iman yang memenuhi seluruh kalbunya. Iman inilah yang akan mengatur seluruh kemauan tersebut untuk menerima takdir Allah. Ibn ‘Atâ’illâh berkata:
اَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ
Istirahatkanlah dirimu dari mengatur yang akan terjadi dalam hidup, karena segala sesuatu yang Allah telah menanggungnya darimu, kamu jangan mengerjakannya untuk dirimu sendiri.[83]
Dengan keimanan dan penerimaannya atas takdir, manusia akan berikhtiar dengan bersungguh-sungguh dan penuh semangat. Orang yang beriman tersebut akan mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, tidak berputus asa dan menyesali diri. Ia juga tidak berburuk sangka kepada Allah dan manusia lainnya. Kehendak Allah itulah yang akan berlaku dalam perjalanan hidup manusia.[84]
Orang yang menerima takdir Allah tidak mengerjakan sesuatu kecuali sesuai dengan petunjuk-Nya. Ia tidak bersusah payah merencanakan sesuatu yang ghaib dan tidak pasti. Menurutnya, segala hasil yang diperoleh tidak berhubungan dengan usahanya. Apa yang diterima adalah karunia Allah, dan bukan karena usahanya. Ia menganggap usahanya meraih kebahagiaan adalah kewajibannya kepada Allah. Jika pun meraih kebahagiaan, hal itu semata-mata pemberian dari Allah.
Kebahagiaan tertinggi dalam makrifat kepada Allah tidak ditentukan oleh amal manusia. Menurut Ibn ‘Atâ’illâh, amal manusia adalah suatu kewajiban yang harus dikerjakan sebagai wujud ketaatan kepada-Nya, sedangkan kenikmatan ruhani yang melimpah dalam makrifat merupakan anugerah Allah. Ia berkata:
اِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةٌ مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالِ مَعَهَا اِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَاِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ اِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ اَنْ يَتَعَرَّفَ اِلَيْكَ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ وَاْلاَعْمَالُ اَنْتَ مُهْدِيْهَا اِلَيْهِ! وَاَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ اِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ؟
Apabila Allah telah membukakan pintu makrifat untuk seorang hamba, engkau tidak perlu kepada amalanmu yang sedikit itu. Karena Allah telah membuka makrifat untukmu itu, berarti Allah berkehendak memberi anugerah-Nya kepadamu, sedangkan amal-amal yang engkau lakukan adalah semacam pemberian ketaatan kepada-Nya! Maka dimanakah letaknya perbandingan antara ketaatan seorang hamba dengan anugerah yang diterima dari Allah?[85]
Meskipun takdir telah ditetapkan oleh Allah, namun tidak ada manusia yang mengetahui rincian takdir hidupnya. “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati.” (Qs. Luqman: 34).
Oleh karena itu, tentang apa yang akan terjadi di dalam hidup, itu wewenang dan urusan Allah, bukan wewenang dan urusan manusia. Manusia tidak tidak diperintahkan untuk menyibukkan dan menyusahkan diri memikirkan, mengatur atau melakukan sesuatu yang sudah diatur dan dilakukan oleh Allah. Inilah makanya, Ibn ‘Atâ’illâh memberi nasihat, “Istirahatkan dirimu dari mengatur yang akan terjadi dalam dalam hidup, karena segala sesuatu yang Allah telah menanggungnya darimu, kamu jangan mengerjakannya untuk dirimu sendiri”.
Dari uraian di atas, langkah yang perlu ditempuh untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia dan bernilai ibadah, diantaranya:
Pertama, kosongkan hati dan akal pikiran dari beban mengatur apa yang akan terjadi dalam hidup ini. Serahkan sepenuhnya beban ini kepada Allah. Harus disadari bahwa apa yang akan terjadi di dalam hidup ini sudah ditetapkan oleh Allah di dalam takdir-Nya. Harus diyakini pula bahwa yang Allah tentukan untuk manusia adalah yang terbaik. “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 216).
Yang harus dilakukan adalah menyiapkan diri menghadapi kenyataan, segera menyambutnya dengan syukur apabila yang datang nikmat, atau segera menyambutnya dengan sabar jika ia adalah musibah. Syukur akan mendatangkan tambahan nikmat, sedangkan sabar adalah jalan memperoleh pahala tak terbatas. “Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” (Qs. Ibrahim: 7). “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (Qs.39. az-Zumar : 10). Inilah diantara keajaiban orang beriman. Jika mendapat luasnya nikmat ia bersyukur, itu adalah kebaikan. Jika tertimpa himpitan musibah ia bersabar, itu adalah kebaikan.
Kedua, fokuskan hati, akal dan seluruh anggota badan untuk memperhatikan, memikirkan dan melaksanakan kewajiban manusa dalam beribadah kepada Allah, beramal saleh, dakwah, jihad fî sabîlillâh, serta kerja di bidang usaha yang dibenarkan oleh hukum syariat-Nya. Pada permulaannya rencana dibuat sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya. Di saat pelaksanaan seluruh daya dan upaya dikerahkan disertai doa yang tiada putus-putusnya. Namun pada akhirnya, apa yang akan terjadi ketentuannya diserahkan sepenuhnya kepada Allah.
Orang yang beriman akan bersyukur kepada Allah, tidak terlalu gembira dan bangga diri jika berhasil. Mereka juga tidak menderita dan putus asa jika masih belum sukses, bahkan tetap merasa bahagia atas amal dan usaha yang telah dilakukan, apapun hasilnya. Orang yang beriman meyakini bahwa yang dinilai oleh Allah adalah amal dan usahanya, bukan hasilnya. Hidup yang terasa nikmat dan bahagia ini adalah buah dari iman yang benar kepada takdir Allah SWT.
4.      Ibn al-Qayyim al-Jawziyah
Menurut Ibn al-Qayyim, seseorang dikatakan bahagia jika memiliki 3 indikator berikut[86]:
a.       Cahaya hikmah; merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang hak dan batil, petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk.
b.      Buruk sangka terhadap diri sendiri; hal ini amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan.
c.       Membedakan antara nikmat dan ujian; artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenikmatan yang abadi, dan membedakan-nya dengan nikmat yang hanya sekadar sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini.
Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan keduanya.
Tidak ada kenikmatan, kelezatan, kesenangan dan kesempurnaan kecuali dengan mengetahui Allah dan mencintai-Nya, merasa tenteram saat menyebut-Nya, senang berdekatan dengan-Nya dan rindu bersua dengan-Nya. Inilah surga dunia baginya, sebagaimana dia tahu bahwa kenikmatannya yang hakiki adalah kenikmatan di akhirat dan di surga. Dengan begitu dia mempunyai dua surga. Surga yang kedua tidak dimasuki sebelum dia memasuki surga yang pertama.[87]
Ibn Taymiyah berkata, “Sesungguhnya di dunia ini ada surga, siapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memasuki surga di akhirat.” Sebagian orang arif berkata, “Para penghuni dunia yang celaka keluar dari dunia tanpa merasakan kenikmatan sedikit pun yang ada di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Lalu apakah yang paling nikmat di dunia?” Dia menjawab, “Mencintai Allah, bersama-Nya, kerinduan bersua dengan-Nya, menghadap kepada-Nya dan berpaling dari hal-hal selain-Nya.”[88]
Lebih lanjut, Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa hati yang rindu kepada Allah dapat terhalang sebab 5 hal, yaitu: (1) terlalu banyak bergaul dengan manusia; (2) mengumbar harapan; (3) bergantung kepada selain Allah; (4) kenyang; dan (5) banyak tidur. Kelima hal tersebut dapat menjadi penghalang antara hati seseorang dengan Allah, menghambat perjalanan spiritualnya, serta menimbulkan penyakit hati.[89]
Dari pandangan beberapa ulama tasawuf di atas, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan dalam tasawuf terdapat dalam makrifat kepada Allah, pengenalan atas-Nya, disertai kesempurnaan akhlak dan pengetahuan yang memadai dalam berhubungan dengan-Nya dan seluruh makhluk-Nya. Ibn Miskawayh menekankan kesempurnaan akhlak dalam rangka ber-taqarrub kepada Allah. Al-Ghazâlî menekankan pada kebahagiaan yang berakhir pada pengetahuan atas Tuhan (ma’rifatullâh). Ibn ‘Atâ’illâh menguraikan bentuk kepasrahan dan keyakinan yang mantap atas takdir Allah, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan kebahagiaan hakiki. Ibn al-Qayyim menunjukkan ciri-ciri orang yang telah mendapatkan surga meski masih berada di dunia, yakni mereka yang memiliki sikap yang bersesuaian dengan cahaya hikmah, senantiasa koreksi dan instropeksi diri, serta mampu membedakan nikmat dengan ujian dan mampu menyikapinya dengan sikap yang sempurna.
Dengan demikian, konsep kebahagiaan yang ditawarkan tasawuf mengandung nilai moral yang sangat tinggi. Moral sendiri merupakan garansi terwujudnya kebahagiaan yang hakiki. Sebab tasawuf, dan agama secara umum, memang hendak melandasi konsep berpikir, bersikap, dan bertingkah laku manusia agar sesuai dengan moral yang absolut, bukan moral yang relatif. Moral yang absolut tersebut merupakan tolok ukur dan pegangan yang kuat dalam mengendalikan persepsi-persepsi kebahagiaan yang dinamis. Dan itu semua dijawab dengan tuntas oleh tasawuf.


[1]Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 75.
[2]Philip D. Morehead, The New American Webster Dictionary, 4th Edition, (New York: A Signet Book, 2001), 365.
[3]Ghâlib Ahmad Masrî dan Nâzif Jama’ Adam, Jalan Menuju Kebahagiaan, (Jakarta: Lentera, 1997), 27. 
[4]Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz III, (Beirut: Dâr Sâdir, t.th.), 213. 
[5]Hamka, Tasauf Moderen, (Jakarta: Djajamurni, 1961), 24.
[6]Hamka, Tasauf Moderen, 25.
[7]Martin Seligman, The Core of Happiness: Bahagia Sejati, 31 Tips Memeta-Ulang Hakikat dan Impian Manusia, Alih Bahasa Rekha Trimaryoan, (Jakarta: Prestasi Pustakarya Publisher, 2004), 11.
[8]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan: Antara “Yang Terjadi” dan “Yang Mesti Terjadi”, Alih Bahasa Ammar Fauzi Heriyadi, (Jakarta: Al Huda, 2006), 116-117.
[9]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 179-181.
[10]Sementara kaidah dasar etika eudaimonisme berbunyi: Bertindaklah engkau sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kebahagiaan. [Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Cet. ke-3, (Jakarta: Kencana, 2008), 63-64].
[11]Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Edisi II, Cet. ke-5, (Jakarta: Lembaga Kajian Kebudayaan Nusantara, 2006), 328.
[12]T.H. Irwin. Aristippus Against Happiness. The Monist. Cornell University. 1991, 55.    
[13]Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 363.
[14]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 180.
[15]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 181.
[16]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 181.
[17]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 191-194.
[18]Darrin M. McMohan. The Quest for Happiness. Wilson Quarterly. (Winter, 2005), 62.
[19]Samuel S. Franklin, The Psychology of Happiness: A Good Human Life, (New York: Cambridge University Press, 2010), 19.
[20]Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, 29.
[21]Ladislaus Naisaban, Para Psikolog Terkemuka Dunia, (Jakarta: Grasindo, 2004), 32.
[22]Dalam manusia modern, kebahagiaan justru suatu keadaan subyektif. Selain Socrates, Plato dan Aristoteles juga menyatakan eudaimonia sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia. [Lihat Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, 241].
[23]Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, 484.
[24]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 192.
[25]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 193.
[26]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 193.
[27]M. Taqî Misbâh Yazdî, Meniru Tuhan …, 194.
[28]Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 3.
[29]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 34.
[30]Mahmoud Rajabi, Horison Manusia, Alih Bahasa Yusuf Anas, (Jakarta: Al Huda, 2006), 30. 
[31]Sudirman Tebba, Hidup Bahagia Cara Sufi, (Tangerang: Pustaka irVan, 2007), Cet ke-2, 1-2.
[32]Singgih Dirgagunarsa, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Mutiara, 1983), 61.
[33]Sigmund Freud, Beyond the Pleasure Principle, (New York & London: W.W. Norton & Company, 1961), 1.
[34]Sigmund Freud, Beyond the Pleasure Principle, 3.
[35]Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, (Buckinghamshire, England: Chrysoma Associates Ltd., 2005), 7. 
[36]Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, 8.
[37]Suffering comes from three quarters: from our own body, which is destined to decay and dissolution, and cannot even dispense with anxiety and pain as danger-signals; from the outer world, which can rage against us with the most powerful and pitiless forces of destruction; and finally from our relations with other men. (Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, 8-9).
[38]Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, 9.
[39]Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, 11.
[40]Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, 11.
[41]Sigmund Freud, Civilization and Its Discontents, 11.
[42]Cf. Michael Guy Thompson. Happiness and Culture: A Reappraisal of Freud’s Civilization and Its Discontents. Twelfth Annual Interdisciplinary Conference of the International Federation for Psychoanalytic Education, Florida, November 2, 2001, 5.
[43]Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Islam, (Yogyakarta: Andi Offset, 1980), 63-64.
[44]Abdullah Hadziq, Rekonsilasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang: Rasail, 2005), 85.
[45]Lihat uraiannya dalam Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, (New York, NY: Harper & Row, 1987), 15-22.
[46]Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 21.
[47]Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 22.          
[48]C.R. Snyder, Kevin L. Rand, & David R. Sigmon, “Hope Theory: A Member of the Positive Psychology Family”, C.R. Snyder & Shane J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology, (New York: Oxford of University Press, 2002), 267.
[49]Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 28.
[50]Victor Frankl, Man’s Search for Meaning, (Boston, MA: Beacon Press, 1992), 118. 
[51]Victor Frankl, The Doctor and the Soul, (New York, NY: Vintage Books, 1986), 125. 
[52]Victor Frankl, The Doctor and the Soul, 143.
[53]Victor Frankl, The Doctor and the Soul, 40.
[54]Victor Frankl, The Will to Meaning: Foundations and Applications of Logotherapy. (New York, NY: Penguin Books, 1988), 16.
[55]Victor Frankl, Man’s Search for Meaning, 104.
[56]Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami: Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.th.), 179.
[57]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam ...,  54.
[58]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam ..., 54.
[59]Umar Hasyim, Memburu Kebahagiaan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), 79.  
[60]Umar Hasyim, Memburu Kebahagiaan, 81.
[61]Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), 21-22.
[62]Martin Seligman, Authentic Happiness: Menciptakan Kebahagiaan dengan Psikologi Positif, Alih Bahasa Eva Yulia Nukman, (Bandung: Mizan, 2005), 105-106.
[63]Brent Dean Robbins. (2008). What is the Good Life? Positive Psychology and the Renaissance of Humanistic Psychology. The Humanistic Psychology, 36, 96.
[64]James E. Maddux, “Self Efficacy: the Power of Believing of You Can”, C.R. Snyder & Shane J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology, 285.
[65]Martin Seligman, Authentic Happiness …, 23.
[66]Martin E.P. Seligman, “Positive Psychology, Positive Prevention, and Positive Therapy”, C.R. Snyder & Shane J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology, 3.
[67]Cziksentmihalyi mendefinisikan flow sebagai “suatu keadaan dimana orang menjadi sangat dilibatkan dalam suatu aktivitas yang tampak sangat berarti; pengalaman yang sangat menyenangkan yang orang-orang akan berlanjut melakukannya bahkan pada biaya besar, demi  melakukan itu.” [Lihat Mihaly Csikszentmihalyi, Flow: The Psychology of Optimal Experience, (New York: Harper and Row, 1990), 4]. Pengertian flow ini barangkali lebih mudah dipahami sebagai suatu keterhanyutan, keterlibatan, hobi, atau penyaluran bakat dan minat.
[68]Mihaly Csikszentmihalyi, Flow: The Psychology of Optimal Experience, 20.
[69]Mihaly Csikszentmihalyi, Flow: The Psychology of Optimal Experience, 20.
[70]Ed Diener, et. al., Subjective Well-Being: the Science of Happiness and Life Satisfaction, Snyder, C.R. & Shane J. Lopez (Eds.), Handbook of Positive Psychology, (New York: Oxford of University Press, 2002), 63.
[71]Ed Diener, et. al., Subjective Well-Being …, 65.
[72]Callahan, S. (2009, February). Happiness Examined. America, 200(6), 21. Retrieved March 2, 2011, from ProQuest Religion. (Document ID: 1650952571).  
[73]Lihat Ibn Miskawayh, Menuju Kesempurnaan Akhlak; Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika, Alih Bahasa Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1998), 109. 
[74]Umar Hasyim, Memburu Kebahagiaan, 198.
[75]Ibn Miskawayh, Tahdhîb al-Akhlâq, (Beirut: Dâr al-Maktabah al-Hayâh, 1398 H), 58.                
[76]Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), 116.
[77]Hamka, Tasauf Moderen, 43-44.
[78]Al-Ghazâlî, Al-Munqidh Min al-Dalal: Pembebas dari Kesesatan, Alih Bahasa Sunarto, (Gresik: Bintang Pelajar, 1986), 49.
[79]Al-Ghazâlî, Kitâb Arba’în fî Usûl al-Din: 40 Prinsip Agama, Jalan Mudah Menggapai Kebahagiaan, Alih Bahasa Rojaya, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), 89-90.
[80]Hamka, Tasauf Moderen, 25.
[81]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Alih Bahasa Isma’il Ya’qub, Juz IV, (Jakarta: Faisan, 1962), 302.  
[82]Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî, Al-Hikam al-Atâ’iyah, Edisi Ibn ‘Abbâd al-Nafazî al-Rundî, (al-Qâhirah: Markaz al-Ahrâm, 1988), 46 & 96.
[83]Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî, Al-Hikam al-Atâ’iyah, 46 & 97. 
[84]Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî, Mutu Manikam dari Kitab Al-Hikam, Alih Bahasa Djamaluddin Ahmad Al-Buny, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), 13.
[85]Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî, Al-Hikam al-Atâ’iyah,, 47 & 107.
[86]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn Bayna Manazil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, (al-Qâhirah: Mu’assasah al-Mukhtâr, 2001), 156-157.
[87]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 371. 
[88]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 371.
[89]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 370-371.