KRITIK
IGNAZ GOLDZIHER TERHADAP HADITS
Oleh:
Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Harus diakui secara jujur bahwa beberapa oang di antara
para orientalis telah menghabiskan sebagian umur, kekuatan
atau kemampuan mereka mempelajari Islam. Ada yang murni untuk kepentingan
akademik dan keilmuan, namun ada pula yang memiliki motif politik, ekonomi, dan
agama. Kesungguhan serta jerih payah mereka harus pula diakui telah menambah
khazanah ilmu-ilmu keislaman dan memberi manfaat yang besar bagi umat Islam.
Mulai dari penyelidikan atas sejarah dan peradaban Islam, kajian tentang
al-Qur’an, dan al-Hadits, dan berbagai cabang keilmuan Islam lainnya.
Download
Download
Perbincangan
tentang sunnah, misalnya, telah banyak mengisi lembaran-lembaran buku yang
dihasilkan kaum orientalis. Berbagai corak bahasan dapat ditemukan di dalamnya,
mulai penolakan terhadap konsep sunnah sampai dengan penerimaan secara
bulat-bulat terhadapnya.
Ignaz
Goldziher merupakan salah satu di antara kaum orientalis yang telah mengkaji
masalah hadits dan sunnah. Pikirannya telah dituangkannya lewat buku
“Introduction to Islamic Teology and Law” serta bukunya yang lain,
“Muhammadanische Studien Halle”.[1]
1. Sekilas
tentang Orientalisme
Orientalisme
berasal dari kata “orient” yang berarti timur. Maka kata orientalisme berarti
paham tentang ketimuran. Sedangkan orientalis adalah orang yang melakukan
aktivitas peneyelidikan dan kajian tentang ketimuran.
Ada beberapa
motivasi para orientalis dalam mengkaji ketimuran dan terutama Islam. Di
antaranya adalah motif agama (kristenisasi). Para orientalis mempelajari bahasa
Arab dan meneliti al-Qur’an untuk memahami Islam. Dengan demikian, mereka bisa
memahami teologi Islam, dari sudut keistimewaan dan kelemahannya menurut
mereka, juga karakter pemeluknya. Pada titik kelemahan umat Islam inilah mereka
mengarahkan misinya.[2]
Motivasi lainnya
adalah politik. Seperti dimaklumi, mengenal lebih dalam tentang kondisi sosial
budaya suatu bangsa amatlah penting bagi suatu negara yang ingin menjalin
hubungan dengan bangsa tersebut, terutama untuk mempengaruhi kebijakan
penguasanya. Sehingga setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah tersebut
sesuai dengan apa yang dikehendaki,[3] di samping juga dalam upaya membentuk mainstream masyarakat sesuai yang
diinginkan.
Selain itu, motif
ilmu pengetahuan adalah yang paling mendekati sikap positif dan obyektif.
Sebagian kaum orientalis mengkaji Islam semata-mata untuk kepentingan ilmiah,
terlepas dari sudut keimanan mereka. Banyak dari mereka berusaha menampilkan
Islam secara lebih obyektif dan positif dan menggugat kekeliruan persepsi Barat
atas Islam yang tendensius dan negatif.
Sayangnya,
beberapa dari orientalis tersebut tampaknya kurang menyadari kekeliruan
analisanya. Beberapa dari mereka justru terjebak oleh kesimpulan-kesimpulan
yang kurang tepat. Montgomey Watt, misalnya, telah gegabah menilai bahwa dalam
al-Qur’an, terdapat ayat-ayat yang dihilangkan dan ditambahkan. Namun, dia
tidak dapat membuktikan bagian yang dituduhkan tersebut.[4]
Dalam masalah
hadits, juga terjadi hal yang serupa. Ignaz Goldziher setelah membedakan hadits
dan sunnah, dia juga berpendapat bahwa mungkin sekali terdapat sunnah yang
bertentangan dengan hadits. Inilah sebagian pendapat kaum orientalis yang meskipun
dikaji secara ilmiah, namun tak lepas dari kesalahan-kesalahan yang
membingungkan.
2. Kritik
Ignaz Goldziher terhadap Hadits
Tidak seperti kebanyakan orientalis yang
menyamakan antara hadits dan sunnah, Goldziher membedakan keduanya. Menurutnya,
pada awalnya, kedua istilah tersebut sama sekali berbeda. Hadits adalah berita
lisan dari Nabi, sedangkan sunnah lebih merujuk pada permasalahan hukum atau
keagamaan, tidak peduli apakah ada berita lisan tentangnya atau tidak. Memang, suatu kaidah yang tergantung di dalam hadits
dipandang sebagai sunnah. Sekalipun begitu, tidak selalu bahwa sunnah memiliki
hadits yang bersesuaian dan mendukungnya. Bahkan, mungkin sekali ada sunnah
yang bertentangan dengan hadits. Satu-satunya kesamaan sifat keduanya adalah
sama-sama berakar pada tutur turun temurun.[5]
Untuk memperkuat
pendapatnya, Goldziher mengutip pernyataan Abd al-Rahman bin Mahdi ketika ia
membicarakan tentang Sufyan al-Tsauri, al-Auza’i, dan Malik bin Anas ketika ia
menyatakan bahwa, “Sufyan al-Tsauri adalah imam dalam masalah hadits, tetapi
tidak dalam masalah sunnah; al-Auza’i adalah imam dalam masalah sunnah, tetapi
tidak dalam masalah hadits; dan Imam Malik bin Anas adalah imam dalam masalah
keduanya.[6]
Menurut Goldziher,
pendapat Abd al-Rahman di atas menunjukkan bahwa pengertian hadits dan sunnah
semula sama sekali berbeda. Perkataan bahwa Sufyan al-Tsauri adalah imam fi al-hadits wa laisa bi imam fi
al-sunnah berarti bahwa ia telah mengumpulkan banyak bahan tentang ucapan
Nabi, tetapi tanpa menjadi seorang ahli tentang hal-hal yang diambil menjadi
kaidah sehari-hari. Begitu juga dengan pernyataan bahwa al-Auza’i adalah imam fi al-sunnah wa laisa bi imam fi
al-hadits berarti bahwa ia paham akan hukum tanpa menjadi seorang ahli
dalam bidang ucapan Nabi yang dituturkan secara turun temurun. Sedangkan Malik
bin Anas disebut sebagai imam fihima
jami’an karena memiliki dua keahlian tersebut, yaitu pengumpulan perkataan
Nabi dan pengambilan kaidah-kaidah hukum.[7]
Konsep sunnah sendiri sebetulnya sudah
berlaku sejak sebelum Islam datang. Bagi bangsa Arab, sunnah berarti semua yang
berhubungan dengan tradisi bangsa-bangsa Arab, adat istiadat, dan kebiasaan
nenek moyang mereka. Setelah Islam datang, isi konsep sunnah mengalami
perubahan. Sunnah bagi kaum muslimin berarti semua yang dipertunjukkan sebagai
tindak tanduk Nabi dan para pengikutnya terdahulu.[8]
Dengan bahasa lain, sunnah adalah segala yang telah diputuskan oleh Nabi, baik
secara spontan maupun sebagai jawaban terhadap suatu masalah, atau sesuatu yang
dicontohkan olehnya.
Sedemikian rupa fungsi dan peran Nabi bagi
kehidupan kaum muslimin saat itu sehingga sunnahnya dijadikan parameter
pembenar bagi setiap gerak kehidupan muslim. Orang muslim yang saleh selalu
mencari-cari sunnah untuk menemukan petunjuk yang relevan dari cara hidup Nabi
agar bisa menirunya atau menghindari pertentangan dengannya. Hal ini dilakukan
tidak hanya untuk hal-hal penting, tetapi juga terhadap masalah-masalah sepelun
pun mereka selalu mencari petunjuk sunnah Nabi.[9]
Sekalipun demikian, Goldziher menemukan
fakta yang menunjukkan adanya kelonggaran sikap yang luar biasa dalam memperlakukan
sunnah. Pada masa-masa perkembangan Islam, terdapat kebebasan yang sangat luas
dalam pelaksanaan sunnah. Goldziher mencontohkan dengan pendapat Makhul yang
menyatakan bahwa hadits tentang seorang lelaki yang tidak mampu memberikan
mahar bagi calon istrinya walau hanya sebuah cincin dari besi dapat meneruskan
pernikahannya hanya dengan mengajar beberapa ayat al-Qur’an kepada pengantin
perempuan adalah tidak bisa dijadikan kaidah untuk umum (jurisprudensi).
Sebetulnya, sikapsikap yang bebas dalam pelaksanaan
sunnah juga bisa ditemukan pada beberapa keputusan hukum yang diambil Khalifah
Umar bin Khaththab yang secara literal bertentangan dengan keputusan-keputusan
Nabi.
Agaknya, menurut Goldziher, upaya-upaya
penguatan sunnah adalah fenomena belakangan. Perkembangan teologi hadits sejak
abad ke-2 sampai ke-3 Hijriah menghasilkan penempatan yang setara antara sunnah
dengan al-Qur’an.
Tidak mengherankan jika hal itu juga
ditemukan dalam menafsiri ayat:
Ayat di atas yang semula merujuk pada posisi
al-Qur’an berubah merujuk pada hadits sehingga menghasilkan pengertian yang
sama sekali berbeda, yaitu bahwa semua ucapan atau keputusan Nabi memiliki
muatan Ilahiah.
3. Kritik atas Kritik Ignaz Goldziher
terhadap Hadits
Seperti yang telah
disinggung. Goldziher memandang bahwa sejak datangnya Islam, kandungan konsep
sunnah bagi kaum muslimin berubah menjadi model perilaku Nabi, yakni
norma-norma praktis yang ditarik dari ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi
yang diwartakan. Ini berarti Goldziher sebetulnya sedang
mengatakan bahwa hadits dan sunnah tidak hanya ada bersama-sama, tetapi juga
memiliki substansi yang sama. Perbedaan keduanya adalah kalau hadits hanya
semata-mata laporan yang bersifat teoritis, maka sunnah adalah laporan yang
sama yang telah memperoleh kualitas normatif dan menjadi prinsip praksis bagi
seorang muslim.[10]
Tetapi, Goldziher
juga menemukan dalam literatur-literatur muslim awal, pertentangan di antara
keduanya. Pada titik inilah Goldziher kehilangan arus logikanya. Menurut
Rahman, Goldziher memang berpandangan tajam dalam mempelajari evolusi hadits
dan sunnah, tetapi sayangnya ia kadang-kadang tidak bersikap kritis terhadap
asumsi-asumsi yang dibangunnya sendiri.[11]
Kalau kaum
muslimin menghormati dan menaati sunnah yang diperkenalkan Nabi layaknya
orang-orang Jahiliyah menghormati dan menaati sunnah-sunnah nenek moyang
mereka, mengapa ada sunnah yang bertentangan dengan hadits? Bagaimana bisa
sunnah yang normatif sekaligus aktual,
pada saat yang sama ia bisa saling bertentangan? Atau dengan kata lain,
bagaimana hadits dan sunnah bertentangan bila keduanya ada bersama-sama dan
memiliki substansi yang sama? Dalam pandangan Rahman, Goldziher belum melakukan
satu usaha yang sistematis untuk menyelesaikan maslaah yang begitu fundamental.[12] Bahkan Goldziher terlihat tidak konsisten dalam
penggunaan istilah sunnah. Di awal tulisannya, ia memakai term sunnah untuk
merujuk segala yang dirujukkan pada Nabi. Namun di akhir pembahasannya, secara
tidak kentara beralih menjadi sunnah kaum muslimin sendiri.[13] Goldziher tidak memberikan penjelasan yang
memadai terhadap perubahan ini.
Ada perubahan yang
halus dalam pembahasan Goldziher tentang sunnah yang pada awalnya dinayatakan
bahwa begitu Nabi Muhammad tampil, maka segala perbuatan dan tingkah lakunya
merupakan sunnah bagi masyarakat muslim yang masih baru tersebut dan idealitas
sunnah dari orang-orang Arab sebelum Islam pun berakhir.[14] Tetapi pada akhir pembahasan Goldziher
tersebut berubah dengan cara yang hampir tidak kentara.
Meski demikian, ada juga pendapat Goldziher
yang memiliki nilai yang relevan. Dia menilai bahwa tidak mesti setiap sunnah
memiliki hadits. Bahkan dia menunjukkan contoh yang sangat jelas dalam masalah
ini, yaitu kisah Hasan al-basri yang dimintai penjelasan oleh Khalifah Malik
bin Marwan tentang ajarannya mengenai kemerdekaan manusia. Malik meminta Hasan
agar menulis surat kepadanya dengan menyertakan hadits Nabi yang menjelaskan
tentang ajarannya tersebut. Dalam surat jawabannya, Hasan mengatakan bahwa
kemerdekaan dan tanggung jawab manusia adalah sunnah Nabi walaupun ia sendiri
mengakui bahwa tidak ada tradisi verbal (hadits) dari Nabi mengenai masalah
tersebut. Dengan kata lain, sekalipun tidak ada hadits dari Nabi tetapi ajaran
tentang kemerdekaan manusia adalah sunnah Nabi. Yang dimaksud Hasan di sini
adalah bahwa Nabi beserta para sahabatnya dalam perbuatannya menunjukkan bahwa
doktrin determinisme bertentangan dengan ajaran Nabi secara implisit.[15]
Peristiwa di atas menunjukkan bahwa sunnah
tidak selalu ada haditsnya. Keseluruhan biografi Nabi menunjukkan bahwa dia
bukanlah seorang legislator yang membuat aturan-aturan hukum terhadap semua
masalah manusia sampai detail yang sekecil-kecilnya.[16]
Umat Islam pada masa itu tetap melakukan
kesibukan mereka seperti biasa dan melakukan transaksi-transaksi mereka
sehari-hari. Mereka menyelesaikan masalah-masalah bisnis di antara sesama
mereka berdasarkan akal pikiran dan adat istiadat yang tetap dibiarkan utuh
oleh Nabi setelah dilakukan modifikasi-modifikasi pada hal-hal tertentu. Hanya
dalam masalah-masalah yang sangat penting dan prinsipil sajalah Nabi membuat
keputusan yang bersifat formal. Oleh karena itu secara garis besar, sunnah Nabi
lebih tepat dipahami sebagai konsep pengayoman daripada dipandang sebagai
keputusan-keputusan yang bersifat mutlak.[17]
Dalam praktiknya, tidak ada dua buah kasus
yang benar-benar sama latar belakang situasiolnya, baik secara moral,
psikologis, maupun material. Oleh
karena itu, sunnah harus diinterpretasikan dan diadaptasikan dengan
situasi-situasi yang berbeda-beda.[18] Dengan kata lain, walaupun sunnah sebagai satu konsep
yang merujuk pada Nabi, namun isinya dengan sendirinya pasti mengalami
perubahan-perubahan dan sebagian besar berasal dari praktik aktual kaum
muslimin. Inilah yang akhirnya melahirkan penafsiran bebas terhadap sunnah Nabi
pada literatur-literatur keislaman klasik. Karenanya, tidak mengherankan jika
isi sunnah paralel dengan perkembangan kaum muslimin sendiri. Sehingga, istilah
“pertentangan antara hadits dan sunnah” hanya dapat dipahami sebagai pertentangan
dalam tingkat literal dan teknisnya saja, tetapi tidak berada dalam wilayah
substansinya karena apapun bahan yang dipikirkan atau diasimilasikan, ia selalu
ditafsiri berdasarkan semangat dan prinsip-prinsip al-Qur’an dan sunnah.[19]
4.
Penutup
Dari paparan di
atas bisa disimpulkan bahwa menurut Goldziher, kedatangan Islam telah merubah
kandungan konsep sunnah. Bagi kaum muslimin, sunnah adalah norma-norma praktis
yang ditarik dari ucapan-ucapan Nabi yang diwartakan. Sehingga, secara
substansial, hadits dan sunnah ada bersama-sama serta memiliki substansi yang
sama. Kalaupun ada perbedaan di antara keduanya, maka perbedaan tersebut adalah
bahwa jika hadits merupakan laporan tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan Nabi, maka sunnah adalah hadits yang telah dipraktikkan dalam kehidupan
dan menjadi tradisi yang hidup. Sekalipun pada awalnya hadits dan sunnah
memiliki substansi yang sama, tetapi dalam perkembangan selanjutnya antara
hadits dan sunnah tidak selalu paralel, bahkan tak jarang memperlihatkan
pertentangan.
Asumsi-asumsi yang
disimpulkan Goldziher di atas tertolak oleh logika sebagai berikut : (1)
Bagaimana bisa hadits dan sunnah bertentangan, bila keduanya bersama-sama
memiliki substansi yang sama; (2) Goldziher secara sangat halus merubah konsep
sunnah dari sunnah Nabi menjadi sunnah kaum muslimin tanpa memberikan uraian
yang memadai tentang masalah tersebut.
Meski demikian,
Goldziher memiliki pandangan yang positif bahwa tidak selalu sunnah memiliki
hadits. Sebab nilai-nilai dan subtansi yang diajarkan dan dipraktikkan Nabi,
meski tanpa ucapan atau hadits, merupakan sunnah yang hidup. Kandungan isi dari
hadits pun sangat berpeluang mendapatkan interpretasi baru untuk situasi dan
kondisi yang berbeda. Pengertian ini dapat dilihat dari ungkapan Abu Dawud
setelah menuturkan satu hadits, dia berkata, “dalam hadits ini ada lima
sunnah”.[20]
Bibliografi
:
Ahdal, M. Qadari,
Dr., Studi Wawancara dengan Sepuluh Tokoh
Orientalis, Terj. Abdurrahman Navis, dkk, Pustaka Progressif, Surabaya,
1996.
An-Nadwi, Abul Hasan Ali al-Hasani, Islam dan Para Orientalist, Alih bahasa
: H. Bey Arfin, Bina Ilmu, Cet. I, Surabaya, 1983.
Hamdi, Ahmad Zainul, “Hadits dan Sunnah
(Ignaz Goldziher di Bawah Sorotan Fazlur Rahman)”, Jurnal Dialogia, Vol. 2 No. 2 Juli – Desember 2004.
Rahman, Fazlur, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Pustaka,
Bandung, 1994.
_______, Membuka
Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyuddin, Pustaka, Bandung, 1995.
Souyb, M. Joesoef,
H., Orientalisme dan Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1988.
[1]Abul
Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, Islam dan
Para Orientalist, Alih bahasa : H. Bey Arfin, Bina Ilmu, Cet. I, Surabaya,
1983, hlm. 26.
[2]Dr. M.
Qadari Ahdal, Studi Wawancara dengan
Sepuluh Tokoh Orientalis, Terj. Abdurrahman Navis, dkk, Pustaka Progressif,
Surabaya, 1996, hlm. vii.
[3]Ibid, hlm. viii. Di Indonesia telah
dikenal politik devide et impera yang
digagas oleh salah seorang orentalis Belanda, Dr. Snouck Hurgronje. Hal ini
dimaksudkan terutama untuk memecah persatuan masyarakat Indonesia, terutama Aceh, dengan membedakan dan
memisahkan politik dan agama.
[4]H. M. Joesoef Souyb, Orientalisme dan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, hlm. 124.
[5]Ahmad Zainul Hamdi, “Hadits dan Sunnah
(Ignaz Goldziher di Bawah Sorotan Fazlur Rahman)”, Jurnal Dialogia, Vol. 2 No. 2 Juli – Desember 2004, hlm. 30.
[6]Ibid.
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9]Ibid, hlm. 31.
[10]Fazlur
Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terj.
Anas Mahyuddin, Pustaka, Bandung, 1995, hlm. 5.
[11]Ibid.
[12]Fazlur
Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad,
Pustaka, Bandung, 1994, hlm. 54.
[13]Ahmad
Zainul Hamdi, op. cit., hlm. 33.
[14]Fazlur
Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, op. cit., hlm. 6.
[15]Fazlur
Rahman, Islam, op. cit., hlm. 48.
[16]Ahmad
Zainul Hamdi, loc. cit.
[17]Ibid, hlm. 34.
[18]Fazlur
Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, op. cit., hlm. 16.
[19]Fazlur
Rahman, Islam, op. cit., hlm. 72.
[20]Ibid, hlm. 74.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar