CORAK KEBERAGAMAAN
JAMA’AH TABLIGH
(Studi Kasus
Masyarakat Desa Temboro Kec. Karas Kab. Magetan)
Metode Pengumpulan Data: Observasi, Wawancara
Analisis Data: Deskriptif Analistik
Pendekatan: Sosiologi Agama
Waktu Penelitian: Agustus 2005
Dalam
Islam, terdapat berbagai jenis corak pemahaman ajaran agama. Dilihat dari sisi
historisitas, terbukti telah muncul bermacam aliran seperti Ahlussunnah,
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Jabbariyah, Qadariyyah, Wahabiyah, Ahmadiyah, dan
lainnya berikut sempalan-sempalannya. Aliran-aliran tersebut terfokus pada
persoalan teologis.
Pada
persoalan dakwah, muncul gerakan-gerakan yang mengatas-namakan “kembali ke
zaman nabi”. Salah satu dari gerakan ini adalah Jama’ah Tabligh Jaullah, yang
berkonsentrasi pada dakwah. Dakwah dimaksud bertujuan untuk mengajak masyarakat
muslim kembali ke zaman nabi dengan meniru corak keberagamaan dan kehidupan
masyarakat muslim zaman nabi.
Tulisan
ini bermaksud mendeskripsikan serta berusaha menganalisis pola kehidupan dan corak
keberagamaan Jama’ah Tabligh yang berpusat di Desa Temboro Kecamatan Karas
Kabupaten Magetan Jawa Timur.
1. Sekilas
tentang Desa Temboro
Desa Temboro terletak kurang lebih tiga kilometer dari jalan
penghubung Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Madiun, tepatnya dari Terminal
Maospati Magetan. Desa ini bisa dikatakan lereng paling rendah
dari Pegunungan Lawu. Sebab meski dekat dari perkotaan, desa ini masih memiliki
jejak-jejak dan nuansa pegunungan yang khas.
Masyarakat desa ini bermata-pencaharian
sebagai petani, pedagang, pegawai, guru, wiraswasta, birokrat, dan sebagainya.
Dilihat dari profesi yang ditekuni, tampaknya masyarakat Temboro adalah
masyarakat terpelajar. Sebab beberapa dari mereka adalah sarjana meski berprofesi
sebagai pedagang, ibu rumah tangga, dan bahkan tukang ojek.
Di samping sawah dan kebun, perkebunan tebu
di Temboro merupakan salah satu sektor pertanian yang menopang perekonomian
masyarakat desa. Hasil tebu akan dikirim ke pabrik-pabrik gula antara lain di
Karangrejo Magetan.
Masyarakat Temboro termasuk masyarakat yang religius. Di desa ini
terdapat Pondok Pesantren Al Fatah yang menjadi pusat konsentrasi agama, sosial,
budaya, dan ekonomi masyarakat. Di samping itu, kehidupan pesantren turut
mewarnai pola keberagamaan masyarakat desa dan sekitarnya.
2. Pondok
Pesantren Al Fatah
Pondok pesantren ini didirikan oleh KH. Mahmud, salah seorang
santri Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari. Pada generasi pertama, jumlah santri
di pesantren ini hanya sekitar 2000 santri. Namun pada generasi kedua, yakni
setelah dipegang oleh putra beliau, KH. Uzairon Thoifur Abdillah (Gus Ron),
jumlah santri mengalami perkembangan yang pesat. Pada tahun 2000, jumlah santri
pesantren ini diperkirakan mencapai 7000 santri dan berasal dari seluruh
pelosok Indonesia, bahkan beberapa dari mereka berasal dari mancanegara.
Pondok Pesantren Al Fatah terdiri atas santri putra yang jumlahnya
sedikit lebih banyak dari santri putri. Letak pesantren tersebar dalam lebih
dari tiga lokasi. Pesantren induk terletak di antara kedua pesantren lainnya
dengan jarak sekitar hampir satu kilometer.
Pondok Pesantren Al Fatah juga memiliki sekolah umum, yaitu TK Al
Fatah, MI Al Fatah, MTs Al Fatah, serta MA Al Fatah. Busana yang dipakai oleh
siswa putra adalah baju putih panjang berkopyah dan celana hijau panjang.
Sedangkan siswa putri berbusana jubah hijau dan berjilbab hitam lengkap dengan
cadarnya.
Selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, pesantren ini juga membekali
santrinya dengan olahraga. Salah satunya yang diprogramkan adalah pencak silat.
Dengan pakaian serba hitam, tiap Kamis malam, para santri putra diajak ke
lapangan sepak bola untuk berlatih mengembangkan kemampuan silatnya. Kegiatan
ini biasa dimulai setelah jam sepuluh malam.
KH. Uzairon Thoifur Abdillah, selain sebagai pemimpin pesantren,
juga memiliki ribuan murid thoriqoh. Sebab beliau merupakan mursyid dari
thoriqoh Naqsyabandiyyah Kholidiyyah. Setiap habis Subuh, amalan dzikir
pengikutnya terdengar menggema di tengah kesyahduan pagi. Mereka melakukannya
dengan hentakan irama yang menyayat hati.
Yang menarik dari pesantren ini adalah corak keberagamaan yang
ditampilkan, mulai dari cara berpakaian sampai pandangan mereka terhadap dunia.
Para santri putra memakai baju kurung atau jubah yang panjang, celana congkrang, dan menggulungkan surban pada
kepala, sementara para santri putri menggunakan jubah panjang, celana, kaus
kaki, serta cadar. Warna busana yang dominan mereka pakai adalah hitam, dengan
sedikit kombinasi bordir warna-warni.
Sedangkan pandangan mereka terhadap dunia bisa dikatakan sedikit minor.
Mereka menganggap bahwa dunia sebagai ladang dakwah. Sehingga mereka rela
meninggalkan keluarganya untuk berdakwah (khuruj).
Beberapa di antara mereka akan menyayangkan orang-orang yang belum atau tidak
pernah melakukan khuruj.
3. Khuruj dan Masturoh
Ajaran yang ditekankan pada pesantren ini adalah bidang dakwah.
Setiap santri baru diprogramkan untuk keluar
atau khuruj (istilah untuk
dakwah) selama 3 hari. Baru kemudian dalam tingkatan tertentu, santri
dianjurkan khuruj selama 7 hari, 40
hari, dan 3 bulan. Dalam khuruj ini,
para santri melakukannya secara berkelompok. Mereka diberi kebebasan untuk
memilih daerah tujuan dakwah. Beberapa dari mereka bahkan dakwah sampai ke Luar
Jawa. Ketika dakwah, mereka berpakaian sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam khuruj, jama’ah
tabligh biasa mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk bersilaturrahmi dan
mengajak untuk ber-amar mar’ruf.
Mereka biasanya melakukannya di malam hari saat tuan rumah sedang tidak ada
kesibukan. Tak jarang, beberapa di antara penduduk tidak menyukainya karena
menganggap mereka sok suci dan sebagainya.
Selain khuruj, ada juga program dakwah bagi pengikut
perempuan yang disebut masturoh.
Hanya saja, masturoh ini diikuti
tidak sebanyak jama’ah khuruj bagi
laki-laki. Kegiatan masturoh
dilakukan di dalam rumah oleh sekelompok perempuan. Persamaan antara khuruj dan masturoh adalah sama-sama berisi amar ma’ruf. Hanya saja masturoh
ini berada dalam rumah tanpa mengunjungi rumah-rumah penduduk.
Buku utama yang mereka jadikan pegangan adalah Fadha’ilul A’mal karya Maulana Zakariyya
al-Kandahlawi. Buku ini terdiri dari beberapa bab, yaitu Bab Keutamaan Kalimat
Thayyibah, Bab Keutamaan Shalat, Bab Keutamaan Zakat, Bab Keutamaan Al Qur’an,
Bab Keutamaan Puasa, Bab Keutamaan Haji, serta ditambah Bab tentang Kehancuran
Umat sebab Meninggalkan Dakwah. Buku berbahasa Urdu ini telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa, seperti India, Arab, Indonesia, Melayu, dan sebagainya.
Kitab terjemahan ini selalu dibaca sehabis shalat maktubah, yakni setelah
dzikir atau wirid.
4. Jord
Program dakwah (amar ma’ruf )
ini tidak hanya diikuti oleh santri Al Fatah, tetapi juga puluhan ribu pengikut
Jama’ah Tabligh di seluruh dunia. Tiap tahun di bulan Agustus, diadakan pertemuan
pengikut jama’ah yang disebut jord (baca
: zor). Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini berisi dzikir,
mujahadah, taushiah, dan semacamnya.
Tempat penyelenggaran jord dipusatkan di perkebunan tebu yang
habis panen. Jarak timur ke barat dan utara ke selatannya sekitar jalan sa’i
selama tujuh menit. Dalam arena jord, dibuat tenda dari bambu dan
ditutupi terpal, serta beralaskan terpal dan tikar. Tenda-tenda dibuat menyatu
dan di dalamnya dibagi menjadi beberapa blok sesuai dengan propinsi di Indonesia.
Selain itu, beberapa blok lagi difungsikan sebagai tempat wudlu,
kamar mandi, kloset, dapur umum, pasar, serta pos-pos keamanan tiga lapis. Seluruh
proses pengerjaan dilakukan oleh para santri dan penduduk desa. Panitia
bekerjasama dengan PLN setempat dalam hal penerangan dengan menyewa instalasi
listrik khusus.
Sumber pendanaan kegiatan jord ini murni berasal dari
sumbangan. Tidak sedikit dari masyarakat terpanggil hatinya untuk menginfakkan
hartanya demi kesuksesan acara ini. Seringkali terlihat tiba-tiba ada kerbau,
sapi, kambing, beras, sayur-mayur, dan logistik lainnya dikirim tanpa diketahui
penyumbangnya.
Jord diikuti oleh puluhan ribu pengikut yang berasal dari seluruh
pelosok Indonesia, bahkan dari Malaysia, Singapura, Thailand, Pakistan, India, Sri
Langka, Yaman, Belanda, dan lainnya. Jumlah peserta jord mancanegara tahun lalu
(2005) sekitar 470 orang, sedangkan dari dalam negeri diperkirakan sekitar 40
ribu orang.
Selain itu, setiap tahun, acara jord yang tidak boleh
dipublikasikan ini, memang benar-benar tertutup. Tidak ada undangan dalam acara
ini. Bahkan bupati pun tidak diundang. Hanya saja, para pejabat dan selebritis biasanya
terpanggil untuk menghadirinya.
5. Pengaruh
Pesantren
Pondok Pesantren Al Fatah tidak saja milik masyarakat Temboro dan
santri mukimnya, tetapi sudah menjadi milik seluruh pengikut Jama’ah Tabligh
Jaullah di seluruh dunia. Beberapa dari penduduk desa ini merupakan hasil
reurbanisasi dari kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan lainnya. Bahkan
beberapa di antara mereka rela menyewa rumah selama beberapa bulan atau setahun
hanya untuk merasakan denyut kehidupan masyarakat pesantren. Mereka mengaku
senang dengan suasana desa dan lingkungan pesantren yang religius dan seolah
miniatur masyarakat Arab zaman nabi, setidaknya melalui pakaian yang dikenakan.
Jarang terlihat orang berlalu lalang tanpa memakai penutup kepala.
Mulai dari petani, penjual bakso, tukang ojek, sampai pejabat yang masuk
lingkungan pesantren akan merasa segan bila tidak memakai penutup kepala.
Di sepanjang jalan menuju pesantren berjajar toko-toko yang
menyediakan perlengkapan pesantren, seperti jubah, gamis, sarung, surban,
jilbab, cadar, minyak wangi, siwak, rekol, dan sebagainya, di samping
warung-warung makan tentu saja. Di Temboro juga terdapat pasar desa yang
melayani kebutuhan pangan dan peralatan rumah tangga. Semua sarana prasarana
tersebut turut mendukung perekonomian masyarakat desa dan santri. Dengan
demikian, pesantren memiliki peran dan pengaruh dalam mengangkat ekonomi
masyarakat.
ANALISIS
Di
tengah gelombang arus modernisasi dan sekularisasi, tuntutan terhadap
spiritualitas tampaknya mengalami perkembangan. Hal ini tercermin dari maraknya
kajian terhadap spiritualisme. Spiritualisme tersebut dalam perkembangannya
mengalami dinamisasi yang beragam, termasuk pada sisi implementasi ajaran.
Corak
keberagamaan yang ditunjukkan oleh Jama’ah Tabligh adalah salah satu ragam
penghayatan terhadap sisi-sisi spiritualitas tersebut. Bagi mereka, modernisasi
dan sekularisasi telah gagal mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya. Dengan
kembali ke zaman nabi, mereka mencoba menjawab kebuntuan tersebut.
Kerinduan
terhadap masyarakat Islam yang ideal bisa diekspresikan dalam berbagai bentuk.
Salah satunya adalah dengan menghayati ajaran agama dengan meniru total
peri-kehidupan para sahabat dan generasi ulama salafus saleh. Termasuk dalam
hal berpakaian, bila perlu itu dilakukan demi menunjukkan rasa cinta yang
mendalam terhadap cara hidup para sahabat.
Jama’ah
Tabligh sepertinya ingin membawa iklim kehidupan nabi di tengah zaman modern.
Mereka tidak menolak modernitas, hanya saja sangat khawatir terhadap dampak
negatif yang ditimbulkan dari modernitas tersebut. Mereka menggunakan
handphone, mengendarai mobil, bahkan beberapa di antaranya termasuk mobil
mewah.
Banyak
dari jama’ah terbilang orang dengan tingkat ekonomi mapan. Bisa jadi, mereka
adalah orang yang merasa haus akan nilai-nilai spiritualitas dan mencoba
mendapatkannya melalui jalur dakwah ini. Ada juga dari mereka berlatarbelakang
preman yang kemudian insyaf. Sebab, dari hasil pengamatan, beberapa di antara
mereka masih bertato.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Jama’ah Tabligh ini bukan aliran
Islam yang menyimpang atau terbilang ekstrim. Sebab dari sisi ajaran, dapat
dikatakan bahwa aliran ini hanya mengikuti ajaran generasi ulama-ulama
salafussaleh yang hidup zaman dulu dan diterapkan pada zaman sekarang. Dengan
kata lain, corak keberagamaan jama’ah tabligh ini termasuk tekstualis, meski corak
pemikirannya tidak selalu seperti itu.
Demikian
tulisan ini dibuat dalam mendeskripsikan corak keberagamaan Jama’ah Tabligh dengan
pendekatan sosiologis. Jadi terlepas dari setuju atau tidak terhadap corak
keberagamaan ini, hal tersebut tergantung dari pendekatan yang digunakan.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar