PEMIKIRAN
MUHAMMADIYAH
(TEOLOGI,
FIQIH, TASAWUF, SOSIAL)
Oleh:
Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Keadaan
masyarakat Islam menjelang abad ke-20 di Indonesia sangatlah menyedihkan. Hal
tersebut disebabkan oleh berbagai krisis yang telah bercampur antara agama
Islam dengan berbagai ajaran yang bukan berasal dari al-Qur’an dan Hadits.
Keadaan demikian menyebabkan keadaan umat Islam di Indonesia menjadi beku,
jumud, dan mengalami kemunduran. Dimana-mana perbuatan bid’ah, syirik, dan
khurafat merajalela, sehingga umat Islam hidup di dalam alam dan suasana yang
oenuh diliputi oleh konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.[1]
Download
Download
Hal
ini antara lain disebabkan oleh karena masih adanya pengaruh dari ajaran-ajaran
mistik yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama, sisa-sisa pengaruh
dari ajaran kepercayaan pra-Islam, masih suburnya alam feodalisme dan
aristokratisme di kalangan masyarakat, dan ak ibat dari adanya tekanan dari
pihak Belanda yang menjalankan kolonialisme dan imperialismenya di Indonesia.[2]
Dalam
zaman seperti itu, muncullah gagasan pembaharuan dan modernisasi Islam di
Indonesia yang diserukan oleh KH. Ahmad Dahlan. Gagasan tersebut diwujudkan
dengan pendirian organisasi sosial-keagamaan yang bersifat modern dan membawa
semangat modernisasi dan gerakan tajdid di Indonesia, yang diberi nama
Muhammadiyah.
1. Sejarah Pendirian Muhammadiyah
Keadaan umat Islam di seluruh penjuru negeri
yang hidup dalam suasana taklid buta, kejumudan, dan kemunduran memunculkan
gerakan tajdid dan modernisasi Islam. Hal itu bermula dari cita-cita dan pemikiran yang
ditanamkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Ajaran tersebut kemudian
dilanjutkan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian dikenal dengan
gerakan Wahabi.
Beberapa tahun kemudian, timbul pula gerakan
pembaharuan dan moderniasasi Islam di Mesir yang dipelopori oleh Sayid
Jamaluddin al-Afghani, Syeikh Muhammad Abduh, dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha
yang terkenal dengan gerakan salafiyah. Di samping itu di India juga timbul
gerakan modernisasi yang dipelopori oleh Sayid Ahmad Khan yang dikenal dengan
gerakan Aligarh.[3]
Ketiga gerakan pembaharuan dan modernisasi
Islam tersebut, yakni Wahabi, Salafiyah, dan Aligarh, tidak sedikit pengaruhnya
bagi timbulnya gerakan reformasi dan modernisasi Islam di Indonesia. Salah
satunya adalah Muhammadiyah.
Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan
pada tanggal 18 November 1912 bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H di
Yogyakarta. Ketika sedang menimba ilmu di Makkah kepada Syeikh Ahmad Khatib,
KH. Ahmad Dahlan mendapatkan ide-ide dan gagasan reformasi dan tajdid dari
Muhammad Abduh. Meski sang guru sendiri mengharapkan agar murid-muridnya tidak
terpengaruh oleh gerakan Abduh tersebut, tapi justru Ahmad Dahlan tertarik
mempelajarinya. Melalui jurnal Al-Urwatul Wutsqa dan Al-Manar,
Ahmad Dahlan mendapatkan gagasan pembaharuan tersebut untuk kemudian
disebarkannya di Tanah Air. Salah satu usahanya adalah dengan mendirikan
Muhammadiyah.
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam
modern di Indonesia, dengan cabang-cabang yang tersebar ke seluruh tanah air,
dan dengan amal usaha yang begitu besar, terutama di bidang pendidikan, di
samping rumah-rumah sakit, panti asuhan, tempat-tempat ibadah, penyelenggaraan
pengajian dari anak-anak hingga dewasa, dan seterusnya.[4]
Muhammadiyah lahir bukannya tanpa sebab.
Beberapa faktor yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah antara lain sebagai
berikut[5] :
a. Kehidupan
beragama yang masih terdapat unsur-unsur syirik, bid’ah, dan khurafat, sehingga
menyebabkan Islam berada dalam keadaan beku.
b. Keadaan
masyarakat Islam sangat menyedihkan dalam berbagai bidang, seperti politik,
ekonomi, sosial maupun kultur, akibat adanya penjajahan di Indonesia.
c. Ketiadaan
persatuan dan kesatuan umat Islam Indonesia.
d. Kegagalan
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ketinggalan zaman.
e. Untuk
menghadapi gerakan kristenisasi yang dilancarkan Belanda untuk kepentingan
politik kolonialnya.
Adapun sasaran pokok yang ingin dicapai
dalam perjuangan Muhammadiyah adalah[6] :
a. Memurnikan
ajaran Islam agar sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan Hadits.
b. Mengajak
masyarakat untuk memeluk dan mempraktikkan cita-cita dan tujuan ajaran Islam.
c. Menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar.
d. Mempraktikkan
ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat.
e. Mempergiat
usaha di bidang pendidikan dan pengajaran dengan bernafaskan Islam.
2. Pemikiran Teologi Muhammadiyah
Penilaian tentang Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam modern, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pemikiran
pembaharuan Islam seperti yang digagas oleh Ibnu Taimiyah, Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, ataupun Rasyid Ridha, karena mereka sering dirujuk
sebagai penyeru pembaharuan Islam. Bahkan, pendirian Muhammadiyah merupakan
“perpanjangan tangan” pembaharuan di Timur Tengah.[7]
Jamaluddin al-Afghani dirujuk karena gerakan pan-Islamisme, sementara Muhammad
Abduh lebih menonjolkan perlunya pembaharuan dalam bidang “pendidikan”. Adapun
Muhammad binAbdul Wahab, lebih sempit lagi, lantaran cuma terkait dengan aspek
“aqidah”, dan kemudian menyatu juga dengan gerakan politik.[8]
Muhammadiyah menjadikan teologi sebagai ruh
yang menggerakkan amal usahanya, karena wataknya sebagai gerakan Islam yang
beramal nyata. Pencitraan bahwa teologi yang dianut Muhammadiyah bersifat teologi
modernis, memunculkan pertanyaan, apakah teologi yang dianut oleh Muhammadiyah
merupakan teologi modernis atau teologi “tradisional”?[9]
Adalah Azyumardi Azra yang menyebut bahwa
Muhammadiyah hanya berpaham modernis pada tingkat praksis, sementara pada
tingkat ideologisnya masih menganut aliran Asy’ariyah. Dia mengatakan : “Pada
tingkat praksis, Muhammadiyah tampaknya dapat dimasukkan ke dalam tingkat
modernis …, sementara pada tingkat ideologis jauh lebih sulit untuk menentukan
tipologinya”.[10]
Meski teologi Muhammadiyah terkesan bersifat
rasional dan modern, namun menurut Arbiyah Lubis, teologi Muhammadiyah tersebut
tidak seluruhnya mengikuti teologinya Muhammad Abduh yang rasional dan lebih
dekat kepada sistem teologi Mu’tazilah. Karena teologi Muhammadiyah juga dekat
dengan teologi Asy’ariyah yang bersifat “tradisional”.[11]
Antara rasionalisme teologi Abduh dan
tradisionalisme teologi Asy’ariyah bukanlah dua hal yang harus dipermasalahkan,
karena Muhammadiyah tetap memiliki jatidiri dan konsep sendiri tentang
kebenaran kalam yang harus dianutnya. Sungguh pun suatu kalam, misalnya
Asy’ariyah, mengandung banyak kebenaran dan sesuai dengan ajaran Islam yang
autentik, tetap akan diikuti oleh Muhammadiyah. Sebaliknya, jika suatu kalam
atas dasar rasionalisme, tetapi mengandung banyak penyimpangan dan tidak sesuai
dengan ajaran Islam yang murni, maka Muhammadiyah pun mengabaikan.[12]
3. Pemikiran Fiqih Muhammadiyah
Dalam bidang fiqih, Muhammadiyah memandang
bahwa semangat untuk kembali pada al-Qur’an dan Hadits berarti umat Islam harus
merujuk pada kedua sumber hukum Islam tersebut secara langsung. Ini berarti
rumusan-rumusan madzhab fiqih yang ada dalam dunia Islam hanya relevan untuk
masanya saja. Sedangkan saat ini, umat Islam harus merujuk langsung pada
al-Qur’an dan Hadits dalam menyelesaikan suatu problem hukum.
Jika perbedaan antar-madzhab teologi menimbulkan
sikap permusuhan dan perpecahan, saling mengkafirkan dan sebagainya, maka
perbedaan madzhab dalam fiqih hampir tidak terdapat bukti kafir-mengkafirkan di
antara mereka.[13]
Perkembangan keilmuan dan pemikiran yang “mapan” tersebut mengakibatkan wajah
Islam kurang dinamis, sehingga mengerucut pada suatu bentuk stagnasi dan
kemunduran.
Munculnya madzhab-madzhab fiqih menyebabkan kecenderungan
terhadap dua sumber utama (al-Qur’an dan Hadits) kurang mendapatkan perhatian. Hal
ini disebabkan oleh karena umat Islam hanya berhenti pada keputusan-keputusan
yang diambil para imam madzhab, tanpa menggali sendiri dari al-Qur’an maupun
Hadits. Kondisi taklid yang berlarut-larut tersebut menyebabkan umat Islam
mengalami kemunduran dalam berbagai bidang.
Dalam kondisi seperti ini, Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid memilih untuk tidak bermadzhab. Bagi Muhammadiyah, usaha
untuk “kembali kepada al-Qur’an dan Hadits” tidak perlu terkungkung oleh
pemilihan madzhab tertentu dalam menentukan metode ijtihadnya. Dengan tanpa
madzhab, Muhammadiyah dapat lebih bebas mengembangkan pikiran tanpa ada kendala
psikologis untuk menerjang ajaran madzhab. Bahkan Muhammadiyah tidak perlu
berobsesi untuk menyatakan diri sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah, sekalipun
jelas konstitusi organisasi dan penafsirannya menyebutkan dasar-dasar teologi
yang tidak bertentangan dengan inti ajaran Ahlussunnah pada abad pertengahan.[14]
Muhammadiyah berusaha untuk merumuskan hukum-hukum Islam yang berorientasi
langsung kepada al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tidak bersifat sektarian.
Inilah salah satu bentuk manifestasi dari
identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Muhammadiyah berusaha untuk
mengembalikan ajaran Islam yang murni, seperti yang tertera dalam al-Qur’an dan
Hadits, bersih dari segala bid’ah dan khurafat. Oleh karenanya, Muhammadiyah
sering disebut sebagai gerakan salafiyah, gerakan ishlah, bahkan gerakan
tahdits.[15]
Oleh karena itu, Muhammadiyah memandang
bahwa orang bebas untuk memilih madzhab mana pun, atau memilih banyak madzhab
sekaligus, atau bahkan tidak bermadzhab sama sekali. Muhammadiyah menyerukan
pentingnya untuk kembali pada masa ketika belum timbul madzhab-madzhab.
Bentuk pengamalan agama yang murni merupakan
ciri dan karakter Muhammadiyah. Posisi Muhammadiyah terletak pada garis yang
tegas, yaitu manifestasi konsep “amar ma’ruf nahi munkar”. Konsep “amar ma’ruf”
tercermin dari gerakan “kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”, sedangkan “nahi
munkar” terlihat pada penentangannya terhadap segala bentuk bid’ah, taklid,
khurafat, dan sebagainya. Meski posisi semacam ini telah berakar kuat pada
tradisi madzhab Hanbali sebagai aliran fiqih maupun teologi, namun tidak tepat
untuk menyebut Muhammadiyah sebagai bermadzhab Hanbali.[16]
4. Pemikiran Tasawuf Muhammadiyah
Tasawuf merupakan
salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti
kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya.
Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun
tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu
–ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa Rasulullah
belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan
sahabat Nabi.[17]
Tasawuf dapat pula disebut mistisisme Islam atau
asketisme Islam. Dalam dunia tasawuf, manusia belajar bersikap baik dan terbaik
dalam pandangan manusia dan Tuhan. Nilai-nilai tasawuf tercermin dari
keikhlasan, akhlaq, etika, moral, dan sebagainya. Usaha-usaha yang dilakukan
oleh pengamal tasawuf periode pertama bermula dari sekelompok zahid dan abid di
serambi masjid Madinah di zaman Nabi. Inilah bibit awal munculnya sufisme.
Pada masa selanjutnya, asketisme kemudian
beralih menjadi sufisme yang ditandai dengan pergantian sebutan zahid menjadi
sufi.[18]
Dalam masa ini, muncul konsep tentang jenjang (al-maqamat) perjalanan
yang harus ditempuh seorang sufi, ma’rifat, dan perangkat metodenya hingga pada
derajat fana’ dan ittihad.
Pada fase selanjutnya, perkembangan tasawuf
atau sufisme ditandai dengan mulainya unsur-unsur luar Islam yang berakulturasi
bahkan sinkretis dengan ajaran sufisme. Pada masa ini, muncul ketegangan antara
penganut sufi ortodoks dengan penganut sufi heterodoks.[19]
Pada tahap selanjutnya, sufisme dimasuki
unsur-unsur filsafat, terutama neo-Platonik. Hal ini melatarbelakangi gerakan
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah pada abad VIII Hijriah untuk menentang
ajaran-ajaran sufisme yang bertentangan dengan syariat.
Dalam posisi ini, Muhammadiyah mengambil
sikap untuk membersihkan sufisme Islam dari pengaruh filsafat yang bertentangan
dengan syariat. Hal ini segaris dengan apa yang diperjuangkan oleh tokoh
pembaharu Islam tersebut, yakni Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Bahkan demikianlah ajaran
Muhammadiyah, memurnikan syariat Islam, baik dalam bidang aqidah, fiqih,
tasawuf, dan sebagainya dari unsur-unsur kesyirikan, bid’ah, khurafat, dan
semisalnya.
Dalam pemahamannya terhadap aspek asketisme
dalam Islam, Muhammadiyah mengambil
sikap yang murni dan moderat. Muhammadiyah memandang bahwa segala sesuatu harus
disandarkan pada al-Qur’an dan Hadits. Pengamalan nilai-nilai tasawuf tidak
harus diwujudkan dalam organisasi tarekat tertentu.[20]
Tasawuf adalah pengembangan dari konsep ihsan dalam Islam. Ia
berhubungan dengan akhlak, etika, dan moral manusia kepada Tuhan dan sesama.
Untuk itu, Muhammadiyah memandang dirinya cukup pengalaman nilai-nilai
spiritual dan tasawuf sebagai implementasi ajaran Islam yang hakiki, tanpa
harus mengorganisasikan diri ke dalam perkumpulan-perkumpulan tertentu.
Berangkat dari pandangan di atas, dapat
dikatakan bahwa Muhammadiyah cenderung pada pengamalan tasawuf akhlaqi, yakni
konsep pembersihan diri melalui takhali, menghiasi dengan sifat-sifat
terpuji melalui tahalli, sehingga mendapatkan anugrah Tuhan dengan tajalli.
5. Pemikiran Sosial Muhammadiyah
Muhammadiyah memandang bahwa suatu
masyarakat tidak akan maju jika hanya mengandalkan kerja individu. Suatu
aktivitas akan dapat memberikan manfaat secara lebih luas jika dikelola
bersama-sama. Dari sini, peranan organisasi menjadi keniscayaan dalam
mewujudkan cita-cita bersama memajukan masyarakat. Perubahan mentalitas dan
cara bekerja dari yang semula bersifat “individual” ke arah yang bersifat
“sosial” akan menjadikan cita-cita dan tujuan bersama lebih mudah diraih.[21]
Pemahaman teologi Muhammadiyah terhadap
aspek sosial ayang lain adalah dengan mengawinkan antara normativitas al-Qur’an
dengan realitas sosial. Ketika dalam surat al-Maun menegaskan pentingnya
memelihara anak yatim dan orang miskin, maka Muhammadiyah kemudian mendirikan
PKU (Pembina Kesejahteraan Umat). Hal ini berangkat dari analisas sosial
(ijtihad sosial) Muhammadiyah tentang Kesimpulannya adalah selain produk
pemikiran, kelahiran amal usaha Muhammadiyah juga terikat dengan misi dan
ikatan organisasi Muhammadiyah.[22]
Selain itu, ketika normativitas al-Qur’an
menyatakan, “wa idza maridhtu fa huwa yasyfin”, maka Muhammadiyah
mengaktualisasikannya menjadi amal konkret dan wujud amal usaha berupa rumah
sakit, sekolah perawat, rumah bersalin, dan begitu seterusnya. Hal tersebut
merupakan contoh “ijtihad” Muhammadiyah di bidang sosial dalam bentuknya yang
lain.[23]
Selain itu, ketika mencermati normativitas al-Qur’an tentang pentingnya
membaca, kemudian dijabarkan Muhamnmadiyah dalam wilayah perjuangan sosial
dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan, sejak TK sampai perguruan tinggi.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah
melakukan usaha menjabarkan dan mengamalkan dimensi normativitas al-Qur’an
dengan sistem kerja “organisasi” modern. Dengan bahasa lain, dari diskursus
teologi Islam yang bercorak rasionalistis-intelektualistis ke arah wilayah yang
bersifat historis-empiris praktis. Norma-norma dasarnya berinspirasikan
al-Qur’an dan Sunnah (sesuai ajaran untuk kembali pada al-Qur’an dan Sunnah),
dan dalam pelaksanaan dan operasionalisasi program organisasinya semata-mata
merupakan wilayah historis.
Analisis
Segala
bentuk perjuangan membutuhkan kerja keras dan usaha yang nyata dalam
mewujudkannya. Muhammadiyah yang bercita-cita memurnikan ajaran Islam dari
pengaruh bid’ah, syirik, dan khurafat, juga mendapatkan tantangan yang cukup
keras. Hal ini adalah hal yang biasa ditemui dari suatu gerakan “sempalan” yang
berbeda dari mayoritas masyarakat yang belum siap menerima pembaharuan dan
modernisasi.
Pemikiran Muhammadiyah, baik dalam bidang
teologi, fiqih, tasawuf, dan sosial, pada intinya adalah mengembalikan
masyarakat pada ajaran tauhid dan implementasi kongkretnya. Bentuk-bentuk
aktualisasi dari pemikiran tersebut menjadi amal usaha nyata yang dapat dirasakan
oleh masyarakat secara umum. Usaha-usaha pembersihan aqidah dari unsur-unsur
syirik dan lainnya menjadikan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan salafiyah,
gerakan reformasi, modernisasi, tajdid, dan gerakan ishlah bahkan tahdits.
Sebagai gerakan pembaharuan, Muhammadiyah
mengambil bentuk sebagai organisasi dengan tata kerja modern, yang memadukan
antara pandangan teologinya dengan realitas di lapangan. Normativitas al-Qur’an
dan Hadits sebagai acuan utamanya diaktualisasikan melalui bentuk-bentuk amal usaha
nyata yang memberi manfaat langsung pada masyarakat. Hal ini terlihat dari
kiprah Muhammadiyah di Indonesia, sejak kelahirannya sampai sekarang, telah
memberi andil yang cukup besar bagi pemanfaatan sumber daya dan pembangunan
nasional.
Bibliografi
:
Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani,
Rosdakarya, Bandung, 1999.
Departemen Penerangan, Makin Lama Makin
Tjinta; Muhammadijah Setengah Abad 1912 – 1962, Departemen Penerangan,
Djakarta, 1963.
http://www.suara-muhammadiyah.or.id/sm/Majalah/SM20-16-31Oktober
http://nurulwatoni.tripod.com/SEJARAH_PEMIKIRAN_TASAWUF.htm
Jurdi, Syarifuddin, Negara Muhammadiyah;
Mendekap Politik dengan Perhitungan, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005.
Kelompok Studi Lingkaran, Intelektualisme
Muhammadiyah; Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung, 1995.
Lubis, Arbiyah, Muhammadiyah dan Muhammad
Abduh: Studi Perbandingan, Bulan Bintang, Jakarta, 1989.
M. Rusli Karim (Ed.), Muhammadiyah dalam
Kritik dan Komentar, CV. Rajawali, Cet. I, Jakarta, 1986.
Nurhadiantomo, dkk, (Peny.), Muhammadiyah
di Penghujung Abad 20, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1989.
Siregar, A. Rivay, Tasawuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Syam, Firdaus, Amin Rais; Politisi yang
Merakyat & Intelektual yang Shaleh, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003.
Syamsuddin, M. Din, (Ed.), Muhammadiyah
Kini dan Esok, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990.
[1]Departemen
Penerangan, Makin Lama Makin Tjinta; Muhammadijah Setengah Abad 1912 – 1962,
Departemen Penerangan, Djakarta, 1963, hlm. 155.
[2]Ibid.
[3]Departemen
Penerangan, loc. cit.
[4]Nurhadiantomo,
dkk, (Peny.), Muhammadiyah di Penghujung Abad 20, Muhammadiyah
University Press, Surakarta, 1989, hlm. 53.
[5]Departemen
Penerangan, op. cit., hlm. 156.
[6]Solichin
Salam, “Muhammadiyah: Lampau, Kini, dan Mendatang”, dalam Drs. M. Rusli Karim
(Ed.), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar, CV. Rajawali, Cet. I,
Jakarta, 1986, hlm. 89.
[7]Firdaus
Syam, MA, Amin Rais; Politisi yang Merakyat & Intelektual yang Shaleh,
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003, hlm. 60.
[8]M.
Amin Abdullah, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”, dalam Kelompok Studi Lingkaran, Intelektualisme
Muhammadiyah; Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 27.
[9]Azyumardi
Azra, Menuju Masyarakat Madani, Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 112.
[10]Ibid,
hlm. 114.
[11]Arbiyah
Lubis, Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Studi Perbandingan, Bulan
Bintang, Jakarta, 1989, hlm. 99.
[12]Syarifuddin
Jurdi, Negara Muhammadiyah; Mendekap Politik dengan Perhitungan, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2005, hlm. 201.
[13]Dr.
Syafiq A. Mughni, “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan Posisi Teologi Muhammadiyah”,
dalam Drs. M. Din Syamsuddin, MA (Ed.), Muhammadiyah Kini dan Esok,
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1990, hlm. 270.
[14]Ibid,
hlm. 274.
[15]Ibid,
hlm. 275.
[16]Ibid,
hlm. 279.
[18]Prof.
H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 231-232.
[19]Ibid,
hlm. 237.
[20]Bahkan
di lingkungan Muhammadiyah istilah tasawuf kurang disukai. Hal ini karena
tasawuf telah tereduksi menjadi tarekat, yang menurut Fazlur Rahman, bersifat
eksklusif, baik dari segi gagasan, praktik, maupun organisasi. Lihat M. Amin
Abdullah, “Pendekatan “Teologis” dalam Memahami Muhammadiyah”, dalam Drs. M.
Din Syamsuddin, MA, op. cit., hlm. 25.
[21]Baca
Ibid, hlm. 28.
[23]M.
Amin Abdullah, op. cit., hlm. 30.
Share This Article
Assalamkum Bg...
BalasHapusbagus bangat ni makalahnya...
saya Punya tugas UAS Pasca Sarjana UIN suska Riau nih,,
tema nya sulit"
" Islamisme Pemikiran Islam Keindonesiaan"..sepertinya Muhamadiyah ini salah satunya