BELAJAR MENCINTAI AKHIRAT MELALUI
SHALAT JUM’AT
Oleh:
Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي
جَعَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ سَيِّدَ الْاَيَّامِ الْعَظِيْمَ، سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى خَلَقَ الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ،
وَهَدَاهُ لِلْمَنْهَجِ الْقَوِيْمِ، وَسَنَّ شَرَائِعَ فِيْهَا الْقُوَّةُ
وَالتَّمْكِينُ، بِحِكْمَتِهِ نُؤْمِنُ، وَبِقُدْرَتِهِ نُوقِنُ، عَلَيْهِ
نَتَوَكَّلُ، وَإِيَّاهُ نَستَعِينُ، أَحْمَدُهُ تَعَالَى بِمَا هُوَ
لَهُ أَهْلٌ مِنَ الْحَمْدِ وَأُثْنِي عَلَيْهِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا
وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ، لَمْ يَزَلْ مُتَوَكِّلاً
عَلَى رَبِّهِ، وَاثِقًا بِوَعْدِهِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَعَلَى كُلِّ مَنِ اقْتَفَى أَثَرَهُ وَتَرَسَّمَ
خُطَاهُ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ.
أَمَّا بَعْدُ : فَيَا عَبَادَ اللهِ،
أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ تَعَالَى وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَـٰأَيُهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ
ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا
تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
Ma’asyirah Muslimin, Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah,
Marilah kita terus berupaya meningkatkan ketakwaan kita
kepada Allah SWT, yang telah menganugerahkan berbagai nikmat-Nya kepada kita, berupa
nikmat iman, Islam, kesehatan lahir maupun batin sehingga pada saat ini kita
dapat hadir di masjid ini untuk menunaikan kewajiban kita sebagai seorang
muslim, yakni dengan menjalankan shalat Jum’at berjama’ah di masjid yang berkah
ini.
Hal ini patut kita syukuri sebab betapa banyak
saudara-saudara kita yang diberi nikmat dengan sehatnya tubuh, kemampuan untuk
melangkah ke masjid, tetapi karena tidak mendapatkan nikmat sehatnya ruhani dan
kesadaran beragama, sebagian mereka merasa enggan atau tidak memiliki kemauan
untuk menjalankan kewajiban agamanya.
Sebaliknya,betapa banyak saudara-saudara kita yang
berkeinginan untuk dapat hadir menjalankan shalat Jum’at, tetapi karena Allah
masih mengujinya dengan berbagai keterbatasan, misalnya sedang terbaring di
rumah sakit, sedang melakukan perjalanan jauh, dan sebagainya, mereka pun tidak
dapat hadir di masjid ini.
Maka kita bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi
kita kesehatan, menggerakkan hati kita, serta melangkahkan kaki kita untuk
menghadiri shalat Jum’at ini. Dengan demikian, sempurnalah nikmat
Allah bagi kita berupa kesehatan jasmani dan ruhani. Kita dapat merasakan
betapa lezatnya iman, sehingga apapun kesibukan kita seharian ini, tidak
menggoyahkan tekad kita untuk menunaikan kewajiban shalat Jum’at ini.
Oleh
karenanya, sudah sepantasnya bagi kita yang telah diberi nikmat untuk kemudian mensyukuri
nikmat tersebut, minimal dengan mengucapkan hamdalah, “alhamdu
lillahi rabbil ‘alamin”, diiringi upaya untuk terus meningkatkan ketakwaan kita
kepada Allah SWT, dengan menjalankan segala perintah-Nya, baik yang wajib
maupun sunnah; serta menjauhi segala larangan-Nya, baik yang haram, syubhat,
maupun makruh. Dengan cara tersebut, Allah berjanji akan menambahkan nikmat dan
anugerah-Nya kepada kita. Amin ya Rabbal Alamin.
Jama’ah Sidang Jum’ah yang
Berbahagia,
Hari Jum’at ini merupakan hari
yang sangat istimewa untuk umat Islam. Jika seharian penuh manusia bergelut
dengan dunia, maka Allah memanggilnya lima kali sehari melalui shalat maktubah.
Jika selama sepekan manusia mengejar penghidupan dunia, maka Allah
mengundangnya melalui shalat Jum’at. Sekali dalam sepekan, Allah mengumpulkan umat Islam
di rumah-Nya, menghentikan sejenak umat Islam dari berbagai kesibukannya, untuk
semata-mata beribadah dan mendengarkan seruan kebaikan dan ajaran Islam melalui
khutbah Jum’at. Karena itulah, hari Jum’at disebut sebagai sayyidul ayyam, pemuka
atas hari-hari lainnya.
Seperti kita ketahui, tidak
hanya agama Islam saja yang memiliki hari istimewa. Agama-agama samawi lainnya,
seperti Yahudi dan Nasrani, masing-masing juga memiliki hari istimewa. Agama
Yahudi, memiliki hari Sabbath sebagai hari khusus peribadatan. Allah mengambil
perjanjian dengan Bani Israel bahwa pada hari Sabbath mereka dikhususkan untuk
semata-mata beribadah kepada Allah. Allah menguji keimanan Bani Israel; apakah
lebih memilih Allah dengan beribadah kepada-Nya, atau justru memilih dunia
dengan sibuk mengumpulkan harta. Hal ini seperti dijelaskan dalam al-Qur’an:
.... وَآَتَيْنَا مُوسَى
سُلْطَانًا مُبِينًا (۱٥٣) وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ
بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ
لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا (۱٥٤)
”.... Dan telah Kami berikan
kepada Musa keterangan yang nyata. Dan telah Kami angkat ke atas (kepala)
mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari)
mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu
sambil bersujud, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah
kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabbath", dan Kami telah mengambil
dari mereka perjanjian yang kokoh.” (Qs. al-Nisa’: 153-154)
Untuk menguji keimanan Bani
Israel, maka pada saat itu, Allah justru memberikan banyak kemudahan dalam
memperoleh rizki justru pada hari Sabbath. Mereka yang berdagang akan
mendapatkan banyak laba dan keuntungan. Para nelayan yang mencari ikan di laut
akan mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah. Dan hanya pada hari Sabbath
itulah, semua aktivitas duniawi justru mendapatkan hasil yang lebih banyak bila
dibandingkan dengan hari-hari lainnya.
Padahal hari Sabbath adalah
hari dimana Bani Israel dikhususkan untuk semata-mata beribadah kepada Allah.
Dan mereka gagal dalam ujian itu karena ternyata lebih mengutamakan mengejar
dunia daripada beribadah kepada Allah. Hari Sabbath ini kemudian kita kenal
sebagai hari Sabtu. Oleh karenanya, hari istimewa bagi agama Yahudi adalah hari
Sabtu.
Hadirin Sidang Jum’ah Rahimakumullah,
Jika agama Yahudi memiliki
hari Sabtu sebagai hari istimewa, agama Nasrani juga memiliki hari Minggu
sebagai hari istimewa. Dalam bahasa Inggris, hari Minggu disebut ’Sunday’ yang
berarti ”Hari untuk Penyembahan Dewa Matahari”, seperti halnya Monday yang berarti
”Hari untuk Penyembahan Dewi Bulan”. Hal ini sesuai dengan kepercayaan bangsa
Yunani dan Romawi Kuno yang meyakini ”Dewa Matahari” sebagai ”Dewa Tertinggi”.
Oleh karenanya, hari Minggu digunakan sebagai hari tertinggi dan hari pertama di
antara hari-hari lainnya, dan pada Sunday atau hari Minggu ini dikhususkan umat
Nasrani untuk beribadah. Di sinilah terjadi apa yang disebut proses Christianization
of Greeco-Romans atau ”Kristenisasi Kepercayaan Yunani-Romawi”.
Di
Indonesia, kata ’Minggu’ sendiri berasal dari bahasa Portugal, ’Domingo’ atau
‘Domingus’ yang berarti “Hari untuk Tuhan”. Bahkan, Domingo juga merupakan
nama salah seorang penyebar agama Nasrani di Indonesia yang berasal dari
Portugis. Dan untuk mengabadikan nama Domingo tersebut, kaum penjajah
menggunakan nama Minggu sebagai pengganti hari Ahad. Padahal penggunaan nama ’Ahad’
sebagai hari pertama dalam sepekan sudah digunakan sejak zaman Walisongo hingga
awal abad ke-19 Masehi.
Pada hari Minggu, umat Nasrani
menjalankan ibadah di gereja-gereja, sehingga sekolah-sekolah diliburkan,
demikian juga kantor-kantor dan instansi pemerintah maupun swasta,
pabrik-pabrik, dan tempat-tempat lainnya. Mengapa libur? Karena pada hari
Minggu, umat Nasrani akan pergi ke gereja untuk beribadah. Inilah warisan peninggalan
penjajah yang masih bangsa kita gunakan hingga saat ini.
Kaum Muslimin Rahimakumullah,
Tidak terkecuali, agama Islam
sebagai agama samawi terakhir dan penyempurna dari syari’at-syari’at para nabi
terdahulu, juga memiliki hari istimewa, yaitu hari Jum’at. Pada hari ini, tidak
seperti agama Yahudi yang melarang aktivitas duniawi pada hari Sabtu, Allah
memperbolehkan umat Islam untuk mencari penghidupan dunia, asalkan ketika tiba
waktunya shalat Jum’at, semua bentuk perniagaan dan aktivitas lainnya segera
ditinggalkan. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an Surat al-Jumu’ah ayat 9-10:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (۹) فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (۱۰)
”Hai orang-orang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.” (Qs. al-Jumu’ah: 9-10)
Ayat di atas mengajarkan
kepada kita agar tidak hubbuddunya (cinta dunia) secara berlebihan. Sesibuk
apapun kita, seberat apapun pekerjaan kita, dan sebesar apapun keuntungan
perniagaan kita, tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk meninggalkan shalat
Jum’at. Ada masanya bagi kita untuk berhenti sejenak melepaskan urusan dunia,
untuk kemudian menghadapkan wajah dan hati kita kepada Allah SWT.
Ketika seruan adzan
dikumandangkan, para pedagang hendaknya segera menutup tokonya, para petani hendaknya
segera meninggalkan sawah dan ladangnya, dan para pekerja hendaknya meninggalkan
pekerjaannya sejenak untuk menuju masjid mengikuti pelaksanaan shalat Jum’at. Dan
setelah shalat Jum’at ditunaikan, Allah mempersilakan kepada kita untuk kembali
kepada kesibukan kita, bertebaran mencari karunia Allah di muka bumi. Dan Allah
pun mengingatkan agar dalam mencari rizki tersebut, kita banyak mengingat Allah
agar mendapatkan keuntungan dan keberuntungan yang banyak pula.
Ada pesan menarik dari redaksi
”fantasyiru fil ardh” (bertebaranlah di muka bumi) dalam Surat al-Jumu’ah
di atas. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, salah seorang pakar ekonomi
syari’ah, dalam ayat tersebut, Allah SWT mengajarkan kepada umat Islam agar go
global, dan tidak hanya puas dalam keunggulan lokal. Dan untuk bisa go
global, umat Islam harus membekali diri dengan berbagai penguasaan bahasa,
baik itu bahasa Inggris, Arab, Mandarin, dan sebagainya. Sebab tanpa penguasaan
bahasa internasional, mustahil umat Islam dapat bertebaran di muka bumi untuk
mencari karunia Allah. Di samping tentu saja, umat Islam harus membekali dirinya
dengan berbagai ilmu pengetahuan untuk dapat menguasai dunia.
Jama’ah Jum’ah yang Dirahmati Allah,
Mari kita berkaca pada kondisi
umat Islam dewasa ini. Apakah mereka mengikuti jejak Bani Israel dengan memilih
mengejar dunia atau lebih memilih Allah dengan menjalankan shalat Jum’at.
Apakah harta yang telah dikumpulkan selama 6 hari tidak cukup sebagai
persediaan pada hari Jum’at, sehingga pelaksanaan shalat Jum’at yang cuma satu
jam masih saja ditinggalkan. Apakah shalat merupakan beban yang sangat berat
padahal merupakan kontrol iman seorang muslim.
Padahal jika iman adalah
pondasi, maka shalat adalah tiang atau dinding suatu bangunan keislaman
seseorang. Jika seorang muslim tidak mendirikan tiang dan dinding keislamannya
dengan shalat, maka robohlah keislamannya. Dalam suatu hadits, Nabi bersabda, ”Shalat adalah tiang agama. Barangsiapa
menegakkannya, maka kokohlah agamanya. Dan barangsiapa merobohkannya (dengan
meninggalkannya), maka robohlah agamanya.”
Lalu, apa tanda-tanda orang yang
telah merobohkan agama? Merekalah yang menganggap shalat dan ibadah-ibadah
lainnya sebagai kebutuhan Tuhan dan bukan kebutuhan manusia. Seakan-akan Allah membutuhkan
manusia agar disembah dan dipuji. Syahadat dianggap bahwa Allah krisis
pengakuan ketuhanan sehingga manusia diwajibkan untuk berikrar bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah. Shalat dianggap bahwa Allah ingin selalu diingat lima kali
sehari. Ibadah haji dianggap bahwa Allah butuh untuk dikunjungi, dan
seterusnya.
Orang-orang seperti ini lupa dan
kehilangan kesadaran fitrahnya bahwa hidup dan matinya seseorang itu berada
dalam genggaman Allah, sukses dan gagalnya berada dalam qudrah dan iradah-Nya.
Mereka meninggalkan shalat, padahal shalat merupakan tanda syukur seorang hamba
atas Tuhannya. Subuh kesiangan, Dhuhur kerepotan, Ashar di perjalanan, Maghrib
kecapekan, dan Isya’ ketiduran. Rutinitas keseharian mereka jalani tanpa ibadah
dan makna. Seakan-akan manusia bisa hidup sendiri dan mendapatkan apapun
keinginannya tanpa pertolongan Allah.
Apakah memang pandangan hidup dan
jalan hidup seperti ini yang dapat menyelamatkan dirinya dari siksa Allah di
akhirat? Enggan mengeluarkan zakat, karena menganggap harta yang diperoleh
merupakan hasil kerja kerasnya. Tidak segera mendaftar haji, meskipun di rumahnya
berjejer berbagai kendaraan mewah. Termasuk, shalat Jum’at yang disyari’atkan
sekali dalam sepekan jarang pula dijalankan. Jika dilakukan pun, lebih
sering terlambat hingga akhir-akhir khutbah. Padahal khutbah Jum’at berfungsi
untuk menegur bagi yang menyimpang, mengingatkan bagi yang lupa dan lalai, memantapkan
bagi yang sudah baik, serta mengajak bersama-sama menuju tujuan hidup manusia di
dunia, yakni beribadah kepada Allah SWT.
Orang-orang yang hubbuddunya
(cinta dunia) memiliki seribu satu alasan untuk menghindari kewajibannya. Padahal
Allah mengetahui isi hati orang-orang munafiq penuh dengan penyakit dan Allah
akan menambah penyakitnya itu.
فِي
قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا
كَانُوا يَكْذِبُونَ
”Dalam hati mereka ada
penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih,
disebabkan mereka berdusta.” (Qs. Al-Baqarah: 10)
Ma’asyiral Muslimin yang Dimuliakan Allah,
Jika saat ini kita masih belum
bisa mencintai akhirat seperti kita mencintai dunia, maka marilah kita belajar
melalui shalat. Bagaimana kita dididik segera bangun untuk shalat shubuh,
meskipun saat itu sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Bagaimana kita diajarkan
untuk segera memenuhi panggilan adzan, meskipun kita masih sibuk dengan
pekerjaan. Termasuk, bagaimana kita dididik untuk mengutamakan akhirat daripada
dunia melalui pelaksanaan shalat Jum’at ini.
Itu semua bisa dilatih asalkan
ada kemauan yang kuat, perspektif yang lurus, disertai pembiasaan yang
dilakukan secara berkelanjutan. Dengan cara demikian, insya Allah, kita dapat
menikmati betapa lezatnya mencintai akhirat, dan bersungguh-sungguh dalam
meraih keutamaan akhirat, dengan terus meningkatkan kualitas dan kuantitas
ibadah kita kepada Allah SWT.
Mengakhiri khutbah Jum’at ini,
marilah kita berdoa, semoga Allah SWT mengaruniakan taufiq dan hidayah-Nya
kepada kita agar tetap istiqomah di atas jalan hidup Islam yang lurus dan
kiranya Allah SWT menerima semua amal dan ibadah kita. Amin ya Rabbal Alamin.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بِمَا فِيْهِ
مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأسْتَغْفِرُوا
اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ مِنْ
كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar