HERMENEUTIKA
SEBAGAI
METODE
PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Oleh:
Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Dengan segala misteri dan kelebihannya, al-Qur’an
menyimpan potensi yang begitu dahsyat. Sejarah mencatat pengaruh besarnya
ketika ia melahirkan sebuah peradaban teks. Sebagai teks, al-Qur’an adalah
korpus terbuka yang sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi,
baik berupa pembacaan, penerjemahan, penafsiran, hingga pengambilannya sebagai
sumber rujukan.[1]
Kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan
pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat
isnpirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas
ayat-ayatnya. Maka dapat dikatakan bahwa al-Qur’an hingga kini masih menjadi
teks inti (core text) dalam peradaban
Islam.[2]
Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, telah
melahirkan sederetan teks turunan yang demikian luas dan mengagumkan. Teks-teks
turunan itu merupakan teks kedua – bila al-Qur’an dipandang sebagai teks
pertama – yang menjadi pengungkap dan penjelas makna-makna yang terkandung di
dalamnya. Teks kedua ini lalu dikenal sebagai literatur tafsir al-Qur’an;
ditulis oleh para ulama dengan kecenderungan dan karakteristik masing-masing.[3]
Keragaman karya tafsir tentu tidak lepas dari masalah
metode dan pendekatan yang digunakan. Dalam konteks analisis teks, persoalannya
lebih terletak pada bagaimana bentuk bangunan metode dan pendekatan dalam
menafsirkan teks al-Qur’an, dalam hal ini bagaimana bentuk hermeneutika
al-Qur’an disusun.
Tulisan ini mengajak untuk mendiskusikan lebih lanjut
pendekatan hermeneutika dimaksud, sebagai upaya dalam menafsirkan simbol-simbol
bahasa agar dapat diterjemahkan secara lebih aktual dan memenuhi sasaran.
Download
Download
1. Pengertian Hermeneutika
Kata hermeneutik
berasal dari bahasa Yunani, hermeneueuen,
yang berarti menginterpretasikan atau menafsirkan. Dalam mitologi Yunani,
terdapat Dewa Hermes yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dari
dewa-dewa gunung Olympus ke dalam bahasa yang bisa ditangkap manusia. Hermes ini
adalah bentuk simbol dari sebuah misi atau tugas untuk menyampaikan pesan
kepada manusia.
Sebagian pakar
menganggap bahwa Hermes dalam Islam adalah Nabi Idris, sebagian lagi mengatakan
sebagai Nabi Musa.[4]
Terlepas dari itu,
hermeneutik merupakan suatu metode interpretasi atas pesan Tuhan yang berupa
bahasa atau teks yang dibawa oleh utusan (rasul) untuk diterjemahkan dan
dipahami manusia.
2. Hermeneutika : Teks dan Konteks
Secara sederhana
hermeneutika diasumsikan sebagai suatu metode dalam memahami suatu teks
(bahasa). Teks ini dalam perkembangannya mengalami berbagai pemahaman yang
boleh jadi berbeda, meski masih dalam bunyi teks yang sama. Kata-kata seperti “Awas, lubang lima meter“, dapat
dipahami menjadi lebih dari satu pengertian. Hal itu dapat berarti pada jarak
lima meter dari tulisan tersebut ada lubang, atau bisa juga berarti ada lubang
dengan kedalaman lima meter. Inilah teks, dan untuk memahaminya dibutuhkan
pengetahuan tentang konteks.
Suatu teks lahir
karena ada konteks yang melatarbelakanginya. Keluarnya teks mensyaratkan adanya
bahasa sebagai wujud dialogis antara teks dan konteks tersebut. Dengan
demikian, untuk memahami sebuah teks perlu mengadakan pendekatan kebahasaan
(linguistik; semantik, semiotik) dan juga konteksnya (kultur, sosiologis,
psikologis) tersebut secara bersamaan.
Dalam bahasa
agama, teks yang menjadi kajian hermeneutika biasa disebut dengan wahyu. Wahyu
artinya “perkataan“ Tuhan. Dia mewahyukan melalui bahasa bukan dalam bahasa
non-manusia yang misterius, namun dengan bahasa manusia yang jelas dan dapat
dimengerti.[5]
Kumpulan wahyu ini kemudian disebut dengan kitab suci.
Kitab suci,
apabila diteliti dengan seksama, adalah hasil dari dialog yang mengalami
simbolisasi atas bahasa antara manusia dengan Tuhannya. Karena itu, bentuk
bahasanya adalah bahasa lokal pendengarnya. Sebab tugas utama kitab suci adalah
merespon problem dan memecahkan persoalan yang berkembang di masyarakat masa
itu. Apapun bahasanya, kitab suci tetaplah mengharuskan bahasa sebagai metode
dan cara untuk menunjukkan bahwa ia adalah bukti otentik dialog saat itu yang
dapat diselidiki, dipelajari dan diuji kebenarannya.[6]
Bagi seluruh umat
beragama, kitab suci dan figur pembawanya (rasul) sama sekali tidak dilihat
sekedar sebagai fakta dan figur historis belaka. Ia adalah narasi dan figur
simbolik kehadiran Tuhan untuk menyapa manusia. Dengan kitab suci, manusia
dapat berkomunikasi dengan Tuhannya.
3. Cara Kerja Hermeneutika
Teks agama
tersebut sejatiya tidak terpisah dari struktur budaya tempat ia terbentuk. Sumber
ilahi teks tidak mengesampingkan sama sekali hakikat keberadaannya sebagai teks
linguistik dengan segala implikasi kebahasaannya. Teks terkait dengan ruang dan
waktu dalam pengertian historis dan sosiologis.[7] Maka untuk
memahaminya, diperlukan pendekatan historis dan fenomenologis.[8]
Di samping itu,
aspek kultural mengandaikan aspek sosial karena yang terakhir ini mendasari
yang pertama, sekalipun yang pertama tetap memiliki kadar kemandirian tertentu
dan konteks serta norma-norma yang relatif independen darinya. Yang dimaksud
dengan konteks kultural dari teks-teks linguistik adalah segala hal yang
merupakan kerangka epistemologis bagi terjadinya komunikasi kebahasaan.[9]
Maka hermeneutika
dalam penerapannya mensyaratkan dua hal sebagai titik tolak. Pertama, variabel sosio-kultural di mana
teks itu muncul pertama kali. Dalam hal ini meliputi persoalan geografis,
psikologis, budaya, dan tradisi masyarakat yang menjadi audiens pertama dari
teks. Kedua, struktur linguistik
teks. Pada bagian ini meliputi analisis semantik dan semiotik.[10]
Semantik adalah ilmu tentang asal usul kata, sedangkan semiotik adalah ilmu
tentang tanda atau simbol.
Untuk menganalisa
teks, digunakanlah apa yang disebut hermeneutika
psychohistoris, yakni sebuah teks (selain kita suci) mesti terpengaruh oleh
konteks dan kondisi psikologis penulisnya. Cara kerja metode ini adalah sebagai
berikut :
a. Memahami teks tidak
hanya dari kandungan teksnya, tetapi mengikutsertakan konteks, sehingga
kecenderungan mufassir bisa diketahui.
b. Mencari konteks historis
dari masing-masing kecenderungan penafsiran.
c. Menggunakan counter prejudice, yakni pembaca perlu
merasa ”curiga“ atau kritis terhadap diri sendiri dan terhadap teks dan tidak
boleh taklid. Hal ini dimaksudkan agar terjadi wacana yang cerdas dan seobyektif
mungkin.[11]
Dengan memahami
ini, arah penafsiran terhadap teks akan menjadi lebih terukur dan mendekati
obyektifitas secara metodologis.
4. Teks, Konteks, dan Kontekstual
Dalam kaitannya dengan instrumen penafsiran teks, tampaknya produk klasik
kurang memperhatikan relevansi dan keterkaitan antara tiga dimensi hermeneutik,
yaitu teks, konteks, dan kontekstual. Padahal al-Qur’an merupakan sebuah teks yang
pada sebagian proses turunnya dipengaruhi oleh kebutuhan menjawab atau
menyelesaikan persoalan yang timbul di masyarakat (konteks).
Jika kondisi sosio-kultural atau ruang dan waktunya berlainan, sedangkan
teksnya tetap sama, maka logika pemahamannya menyatakan bahwa penafsiran dan
aplikasinya harus berbeda (kontekstual). Namun yang perlu diingat, tidak semua asbab
al-nuzul ayat al-Qur’an dilatarbelakangi oleh kondisi sosio-kultural. Amin
Abdullah menulis :
“Suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh
siapapun adalah suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (Devin
instruction) selalu bertumpu pada ’teks’ (kitabullah, qauliyah), sedang
teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat perantara ’bahasa’ (lughah).
Bahasa inilah yang menjadi sumber silang pendapat sepanjang masa, karena ia tidak lain dan tidak bukan adalah
hasil kesepakatan komunitas dan ciptaan budaya manusia. Jadi pemahaman suatu
teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author),
teks itu sendiri, dan pembaca (reader), yang terkait dengan tiga
variabel hermeneutik, yaitu teks, konteks, dan kontekstual.“[12]
Pada periode Nabi, ketiga faktor di atas, baik secara sadar atau tidak
sadar senantiasa saling berkomunikasi secara harmonis. Teks al-Qur’an secara
langsung berdialog dengan komunitas masyarakat Makkah dan Madinah, ketika
masalah sosial muncul. Teks al-Qur’an yang berbahasa Arab itu berarti sesuai
dengan bahasa kultur masyarakat penerimanya. Rasulullah SAW sebagai mediator
dan penafsir utamanya juga bangsa Arab, berbahasa Arab, sehingga diskursus
antara teks, konteks dan kontekstual tidak menjadi problem.
Namun setelah Rasulullah wafat, muncul berbagai persoalan yang kompleks.
Pertama, bisakah teks kitab suci mampu berbicara dengan generasi yang jauh dari
turunnya wahyu. Kedua, bagaimana pesan teks yang berbahasa Arab itu dapat
diterjemahkan secara persis ke dalam bahasa lain yang berbeda kulturnya.
Ketiga, bisakah pesan teksitu disampaikan kepada pembaca tanpa adanya distorsi
dan penyimpangan makna. Apakah syaratnya agar makna orisinil teks selamat dari
distorsi-distorsi tersebut dan lain-lain.[13]
5. Teks (Text), Pengarang (Author) dan Pembaca (Reader /
Audience)
Teks al-Qur’an di samping merupakan teks yang terbuka (open text),
juga bersifat sakral dan universal. Dikatakan open text karena turun dan
wurudnya sangat historis dan diabadikan dengan bahasa Arab yang sosio-kulturis.
Dikatakan sakral karena ia Kalam Allah SWT yang memiliki nilai universal dan
eternal.
Selanjutnya pada pihak penafsir (author), ketika menafsirkan
al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh konteks, baik geografi, kultur, historis,
politik, bahasa, dan lain sebagainya, di samping interest pribadi penafsir
ketika berhadapan dengan teks (subyektifitas). Begitu pula pembaca (reader/
audience), juga tidak bisa lepas dari konteks di atas. Mencermati tiga
komponen itu, ternyata masing-masing dipengaruhi konteks-nya sendiri-sendiri. Maka
agar upaya penemuan makna teks sesuai dengan dikehendaki, ketiga komponen di
atas (text, author, dan reader / audience), hendaknya dapat berjalan
secara interconnected, saling berdialog, berkomunikasi, sehingga dapat
ditemukan struktur fundamental dari makna di balik yang tersurat (kontekstual).[14]
Gadamer dalam memahami teks masa lampau menggunakan bentuk pemahaman affective
history. Time (waktu), menurut Gadamer, setidaknya terdiri atas tiga
bagian. Pertama, past (masa lampau), tempat dimana teks itu dilahirkan
atau dipublikasikan. Dari teks masa lampau ini, teks bukan milik si penyusun
lagi, melainkan milik setiap orang. Mereka bebas untuk dapat
menginterpretasikannya. Kedua, present yang di dalamnya berisi
sekumpulan interpreter (penafsir) yang penuh dengan prejudice.
Prasangka-prasangka semacam ini akan menghasilkan dialog dengan masa sebelumnya
sehingga akan muncul penafsiran yang sesuai dengan konteks interpreter. Adapun
letak dari affective history adalah pada tataran ketiga, yaitu future.
Di dalamnya terdapat nuansa segar dan baru yang sifatnya produktif. Atau dalam
bahasa text ada keterkaitan
antara the world of text dengan the world of author dan the
world of audience.[15]
6. Hermeneutika al-Qur’an
Kajian terhadap
al-Qur’an, setidaknya mengambil tiga bentuk : (1) kajian apologia deposee, (2) kajian kronologis-historis-filologis
(hermeneutika), (3) kajian holistik-mondial-dimensif.[16]
Dalam bentuknya
yang kedua, yakni kajian al-Qur’an dalam bentuk hermeneutika, setidaknya
terbagi menjadi dua: (1) hermeneutika al-Qur’an tradisional, dan (2)
hermeneutika al-Qur’an kontemporer. Dalam hermeneutika al-Qur’an tradisional,
perangkat metodologi yang digunakan sebatas pada linguistik dan riwayah. Jadi, belum ada rajutan
sistemik antara teks, penafsir, dan audiens sasaran teks, meskipun ketiga unsur
tersebut telah ada pada zamannya. Sedangkan hermeneutika al-Qur’an kontemporer
telah melakukan perumusan sistematis ketiga unsur di atas. Di dalamnya, suatu
proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tetapi penafsir di satu sisi
dan audiens di sisi yang lain, yang secara metodologis merupakan bagian yang
mandiri.[17]
Harus disadari
bahwa al-Qur’an, dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak lepas dari wilayah
budaya dan sejarah – disamping bahasa itu sendiri memang sebagai bagian dari
budaya manusia. Dalam metode tafsir, penafsir berusaha menjelaskan pengertian
dan maksud suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan
langkah epistemologis yang mempunyai dasar pijak pada teks dengan
konteks-konteksnya.
Proses yang
bersifat ijtihadi ini, bisa berupa penafsiran teks al-Qur’an dalam konteks
internalnya dan atau meletakkan teks al-Qur’an dalam konteks sosio-kulturalnya.
Untuk kepentingan inilah diperlukan suatu kajian atas medan bahasa dalam
konteks semiotik dan semantiknya yang membawa ide-ide dalam historitas
masyarakatnya sebagai audiens. Teks al-Qur’an dengan wacana yang dikembangkan
di dalamnya, juga dikaji sebagai bagian penting dalam proses perumusan dan
penarikan kesimpulan dari gagasan-gagasan yang disampaikan al-Qur’an. Dan
teks al-Qur’an dengan historisitasnya mengharuskan adanya analisis terhadap
bangunan budaya yang ada pada saat teks itu muncul.[18]
Artinya, yang dibangun dalam metode tafsir
ini adalah aspek teoretis penafsiran, bahwa memahami teks al-Qur’an, sejatinya
tidak lepas dari kesadaran pengetahuan ilmiah untuk meletakkannya pada
strukturnya sebagai bahasa yang mempunyai struktur historis dengan
wacana-wacana yang dipakai dan budaya masyarakat yang menjadi audiensnya. Sebab
teks al-Qur’an, dalam konteks bahasa, merupakan bentuk representasi dan
keterwakilan budaya masyarakat dimana teks itu diproduksi.
Dengan kerangka teori yang demikian, bukan
hanya bahasa dengan strukturnya yang menentukan sebuah pemahaman atas gagasan
yang ada dalam teks al-Qur’an. Lebih dari itu, struktur wacana dan budaya yang
melingkupi kemunculan teks juga menjadi medan analisis yang sangat penting. Dari situ akan dapat diungkap hal-hal implisit dan yang
tak terkatakan dalam al-Qur’an. Dan dari situ pula akan dapat ditemukan gagasan
yang disampaikan al-Qur’an secara utuh. Jadi, pokok dasar dari metode ini
terletak pada bangunan epistemologi tafsir yang didasarkan bukan semata-mata
pada riwayat, tetapi pada proses intelektualisasi yang secara epistemologis
dapat dipertanggung-jawabkan.[19]
Dalam hal ini
dapat dicontohkan tentang hukum potong tangan dalam al-Qur’an. Meski secara
tegas dalam al-Qur’an tertulis kewajiban hukum potong tangan bagi pencuri,
namun hal tersebut dapat dipahami secara berbeda. Dalam kacamata hermeneutik,
pesan yang tidak terkatakan adalah adanya keadilan dalam pemenuhan hak dan
kewajiban. Hak untuk memiliki suatu benda tidak boleh dicapai
dengan cara-cara yang mengesampingkan aturan-aturan yang ada. Pada masa teks
tersebut turun, keadaan sosial budaya masyarakat Arab ketika itu memang
meniscayakan adanya hukum potong tangan. Suatu konstruk budaya Arab memang
menghendaki adanya hukum potong tangan bagi pencuri. Namun, karena kondisi
sosial budaya masyarakat yang tidak sama, maka substansi dari hukum potong
tangan lebih dikedepankan. Di Indonesia, hukum potong tangan diganti dengan
hukum penjara, suatu upaya yang secara substantif sama dalam mencegah
pengulangan kejahatan yang sama.
7. Implikasi Pendekatan Hermeneutika
al-Qur’an
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pendekatan hermeneutik terhadap al-Qur’an antara lain sebagai berikut :
a. Bahwa
memahami teks al-Qur’an hanya dari segi gramatika, asal usul kata, aspek
sastra, dan aspek lingusitik lainnya tidak cukup untuk menjawab kebutuhan
pemahaman atas teks. Sangat mungkin terdapat beberapa terma atau kosa kata yang
baru dapat dipahami belakangan setelah munculnya teks kauniyah (ayat kauniyah)
maupun humaniora. Ini mengindikasikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan memiliki
peran penting dalam upaya memahami teks-teks al-Qur’an.
b. Dalam
kasus metode penafsiran tematik (maudhu’i),
meski hal tersebut merupakan metode yang menarik, namun perlu pula diperhatikan
asbabun nuzul serta kronologis
turunnya ayat. Hal ini dimaksudkan karena terkadang asbabun nuzul dalam al-Qur’an terkadang merespon secara langsung
terhadap suatu kasus yang sedang terjadi.
c. Pentingnya mencari munasabah ayat-ayat yang sedang
dibahas satu sama lain, atau ayat sebelum dan sesudahnya.
d. Memahami
konfigurasi budaya yang melingkupi turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Gambaran
tentang potret masyarakat ketika ayat diturunkan sangat membantu dalam memahami
pesan al-Qur’an secara utuh. Untuk itu, perlu mencari informasi tentang sejarah
kondisi sosio-kultural masyarakat ketika itu, disamping ilmu-ilmu bantu yang
lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, politik, ekonomi, dan
sebagainya.
e. Pendekatan
hermeneutik dalam al-Qur’an bertujuan untuk menghayati dunia teks yang
bernuansa tempo dulu dengan dunia empiris kekinian. Hal ini dimaksudkan untuk
mendekatkan keduanya agar dapat memenuhi, menjawab, dan menyelesaikan problem
masyarakat yang bersifat aktual kekinian.[20]
8. Kritik atas Metode
Hermeneutik
Pendekatan hermeneutik
yang terbilang suatu cabang ilmu penafsiran baru ternyata menyisakan persoalan.
Konsep asbabun nuzul yang menjadi pijakan
dasar menjadi rapuh ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua ayat
al-Qur’an memiliki sebab-sebab turun. Oleh karena itu, sebagian ulama
mempertanyakan epistemologi yang dipakai dalam menjawab persoalan tersebut.
Hal-hal yang
menjadi perbedaan adalah sebagai berikut :
a. Dalam hermeneutika,
teks tidak akan bermakna, tidak berharga, dan tidak bisa berbicara apa-apa
tanpa adanya konteks. Sementara pendapat lainnya mengatakan bahwa makna yang
sebenarnya adalah apa yang dimaksud oleh Allah.
b. Hermeneutika memberikan
otoritas kepada manusia sebagai mediator yang menghasilkan makna secara
sistematis dan metodis. Sementara yang lain berpendapat bahwa Allah bisa saja
memberikan anugrah pemahaman (laduni) yang benar kepada siapa saja yang
dikehendaki.
c. Tradisi hermeneutika
memberikan kebebasan penafsiran seiring dengan perubahan kondisi
sosio-kultural, sedangkan pendapat sebaliknya beranggapan bahwa tidak mungkin
mengkompromikan antara produk manusia (interpretasi) dengan al-Qur’an.[21]
9. Penutup
Dari uraian
mengenai hermeneutika dalam pendekatan studi Islam dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Bahwa untuk
menyampaikan pesan Tuhan ke dalam bahasa manusia, diperlukan perantara/penerjemah
untuk menjembatani keduanya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan
hermeneutika.
2. Dalam hermeneutika,
perhatian terhadap konteks dalam memahami sebuah teks adalah sangat penting.
Hal ini bersandar pada anggapan bahwa tidak mungkin sebuah teks akan memiliki
makna tanpa adanya konteks.
3. Hermeneutika dalam cara
kerjanya mensyaratkan dua hal, yakni bahasa dan kondisi sosio-kultural serta asbabun nuzul masyarakat ketika teks itu
muncul. Bahasa berfungsi sebagai media penyampaian pesan, sedangkan kondisi
sosio-kultural serta asbabun nuzul
berguna untuk melacak makna yang sesuai dengan substansi pesan dimaksud.
4. Penerapan hermeneutika
dalam al-Qur’an sangat berguna dalam mengambil makna dasar atau “ide moral“
dari ayat-ayat al-Qur’an. Hukum potong tangan, sebagai contoh, dapat diganti
dengan hukuman penjara karena kedua bentuk hukuman tersebut memiliki ide moral
yang sama.
5. Disadari bahwa
pendekatan hermeneutika ini tidak sepenuhnya diterima umat Islam. Hal ini bersandar
dari asumsi bahwa manusia tidak memiliki otoritas dalam menghasilkan makna dan
bahwa Allah sajalah yang paling mengetahui makna sesungguhnya.
Bibliografi :
Abdullah,
Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2006.
Gusmian, Islah, Khazanah
Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, Teraju, Jakarta, Cet.
I, 2003.
Haryono, M. Yudhie R., Bahasa Politik Al-Qur’an, Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks,
PT. Gugus
Press, Cet. I, Bekasi, 2002.
Hidayat,
Komaruddin, Memahami Bahasa Agama : Sebuah
Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta, 1996.
Ichwan,
M. Nur, “Hermeneutika al-Qur’an: Analisis Peta Perkembangan Metodologi Tafsir
al-Qur’an Kontemporer“, Skripsi, Fak.
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1995.
Izutsu,
Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia,
Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein, dkk, PT Tiara Wacana Yogya, Cet. II, Yogyakarta, 2003.
King, Ursula, “Debat Metodologis Pasca Perang Dunia II“,
Terj. Ahmad Norma Permata, dalam Metodologi
Studi Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Fathul
Mufid, dkk, “Hermeneutik sebagai Instrumen Penafsiran Teks”, Makalah,
PPs IAIN Walisongo Semarang, 2007, (td).
Syamsuddin,
Sahiron, dkk, Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya, Penerbit Islamika,
Yogyakarta, 2003, Cet. I
Shahrur, Muhammad, Prinsip
dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron Syamsuddin,
dkk, eLSAQ Press, Cet. I, Yogyakarta, 2004.
Sumaryono, E., Hermeneutik,
Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999.
Zaid,
Nasr Hamid Abu, Teks Otoritas Kebenaran,
Terj. Sunarwoto Dema, LkiS, Cet. I, Yogyakarta, 2003.
Zuhri,
M., “Hermeneutika Al-Qur’an,” Makalah
Pelatihan Metodologi, Fakultas Ushuluddin STAIN Kudus, 2000. (td.)
[1]M. Nur Ichwan, “Hermeneutika al-Qur’an:
Analisis Peta Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer“, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 1995, hlm. 2.
[2]Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, Terj. Sahiron
Syamsuddin, dkk, eLSAQ Press, Cet. I, Yogyakarta, 2004, hlm. xvi.
[3]Amin Abdullah, “Arah Baru Metode
Penelitian Tafsir di Indonesia“, (Pengantar), dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika
hingga Ideologi, Teraju, Jakarta, Cet. I, 2003, hlm. 17.
[4]E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1999,
hlm. 23.
[5]Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an,
Terj. Agus Fahri Husein, dkk, PT Tiara Wacana Yogya, Cet. II, Yogyakarta, 2003,
hlm. 166.
[6]M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur’an, Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks,
PT. Gugus Press, Cet. I, Bekasi, 2002, hlm. 18.
[7]Nasr
Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran,
Terj. Sunarwoto Dema, LkiS, Cet. I, Yogyakarta, 2003, hlm. 112-113.
[8]Ursula
King, “Debat Metodologis Pasca Perang Dunia II”, Terj. Ahmad Norma Permata,
dalam Metodologi Studi Agama, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 299.
[9]Nasr
Hamid Abu Zaid, op. cit., hlm.
118-119.
[10]Islah
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari
Hermeneutika hingga Ideologi, Teraju, Jakarta, Cet. I, 2003, hlm. 203.
[11]Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah
Kajian Hermeneutik, Paramadina, Jakarta, 1996, hlm. 139.
[12]Amin
Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006, hlm. 277.
[13]Komaruddin
Hidayat, op. cit., hlm. 13-14.
[14]Fathul
Mufid, dkk, “Hermeneutik sebagai Instrumen Penafsiran Teks”, Makalah,
PPs IAIN Walisongo Semarang, 2007, hlm. 8. (td).
[15]Muzairi,
“Hermeneutik dalam Pemikiran Islam” dalam Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab
Yogya, Penerbit Islamika, Yogyakarta, 2003, Cet. I, hlm. 59.
[16]Istilah apologia deposee adalah keterangan
pembelaan yang ditujukan oleh para mufassir dalam memaknai dan menerjemahkan
makna-makna luar (asing) secara paksa sehingga berakibat parsial dan arbiter.
(Lihat M. Yudhie R. Haryono, op. cit.,
hlm. 11).
[17]Islah
Gusmian, op. cit., hlm. 196.
[18]Ibid, hlm. 202.
[19]Ibid, hlm. 203.
[20]Lihat M.
Zuhri, “Hermeneutika Al-Qur’an”,
Makalah Pelatihan Metodologi, Fakultas Ushuluddin STAIN Kudus, 2000,
hlm. 6 – 9.
[21]Farid
Essach sebagaimana dikutip Fathul Mufid, dkk, op. cit., hlm. 10.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar