FILSAFAT
SKOLASTIK THOMAS AQUINAS
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Dunia
ini dikuasai oleh dua kekuatan yang sama besarnya: agama dan filsafat. Kedua
kekuatan ini sama-sama berusaha untuk menyampaikan kebenaran sejati. Para nabi
dan ulama mengajarkan kebenaran melalui agama/wahyu, sedangkan para filosof
mengajarkannya melalui filsafat/akal. Dalam sejarah perkembangannya, dua
kekuatan ini saling berhadapan dalam menunjukkan dominasi dan pengaruhnya.
Download
Download
Sejarah
telah menunjukkan adanya manusia yang berani mati untuk agama yang dianutnya.
Mereka rela mengorbankan harta, pikiran, tenaga, atau nyawa sekalipun karena
kepercayaan yang diyakininya. Orang yang meyakini agama ingin pula menyebarkan
kepercayaannya. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan bentrokan besar.
Terjadinya peperangan atas nama agama tidak dapat dimungkiri menunjukkan demikian
besar peranan agama dalam mengatur dunia.
Selain
itu, kenyataan sejarah juga mencatat adanya orang yang kuat, yang kadang-kadang
juga berani mati, karena meyakini sesuatu yang diperolehnya karena
memikirkannya. Para filosof yang berpikir mendalam, yang kemudian sampai pada
suatu kesimpulan yang dianggapnya benar, rela berbuat apa saja untuk
mempertahankan kebenaran yang diyakininya.[1]
Socrates sanggup mati dengan cara meminum racun, sebagai hukuman baginya,
karena mempertahankan kebenaran filsafat yang dianggapnya benar.
Berangkat
dari pemikiran di atas, tulisan ini bermaksud mengupas pemikiran Thomas
Aquinas, salah seorang filosof skolastik terbesar pada abad pertengahan. Dalam
filsafatnya, Aquinas berusaha mendamaikan pertentangan antara logika filsafat
dan ajaran agama. Aquinas membicarakan kedua-duanya, hakikat masing-masing,
serta hubungan keduanya.
A.
Pengantar
Filsafat Skolastik
Pada
abad pertengahan, terjadi pembalasan terhadap dominasi akal. Pemasungan akal
dengan jelas terlihat pada pemikiran Plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan bukan
untuk dipahami, melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu, tujuan filsafat
(dan tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi, dalam hidup ini
rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh Kitab Suci, pedoman hidup manusia.
Filsafat rasional dan sains tidak penting; mempelajarinya merupakan usaha mubazir,
menghabiskan waktu secara sia-sia. Simplicius, salah seorang pengikut Plotinus,
telah menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional, iman telah menang
mutlak. Karena iman harus menang mutlak, orang-orang yang masih juga menghidupkan
filsafat (akal) harus dimusuhi. Maka pada tahun 415, Hypatia, seorang yang
terpelajar, ahli dalam filsafat Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 Kaisar
Justinianus mengeluarkan undang-undang yang melarang ajaran filsafat apa pun di
Athena.[2]
Augustinus
mengganti akal dengan iman; potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani
diganti dengan kuasa Allah. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh
pendapat bahwa kebenaran itu relatif. Kebenaran itu mutlak, yaitu ajaran agama.
Moral berpuncak pada dosa Adam; kehidupan pertapa adalah kehidupan terbaik.
Hati memerlukan kehidupan demikian. Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukum
alam adalah mubazir, memboroskan waktu. Ia berkutat pada pendapat bahwa bumi
adalah pusat jagat raya. Heliosentrisme ditolaknya. Intelektualisme tidak
penting, yang penting ialah cinta kepada Tuhan. Maka hidup membujang adalah
kehidupan terpuji. Manusia dilarang mempelajari astronomi. Mempelajari anatomi
menjadikan manusia materialis. Filsafat dan sains jangan disentuh. Menurut
Augustinus, segala kebenaran bersumber dari Kitab Suci. Oleh karena itu, akal
manusia harus ditaklukkan kepada Kitab Suci.[3]
Ciri
khas filsafat Abad Pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan
oleh Saint Anselmus, yaitu credo ut intelligam.[4]
Credo
ut intelligam kira-kira berarti iman lebih dulu, setelah
itu mengerti. Imanilah lebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada,
setelah itu susunlah argumen untuk memahaminya, mungkin juga untuk meneguhkan
keimanan itu. Di dalam ungkapan itu tersimpan pula pengertian bahwa seseorang tidak
boleh mengerti atau paham lebih dulu, dan karena memahaminya lantas ia pantas
mengimaninya. Ini iman secara rasional. Dalam ungkapan ini orang beriman bukan
karena ia mengerti bahwa itu harus diimani, melainkan orang mengerti karena ia
mengimaninya. Sifat ini berlawanan dengan sifat filsafat rasional. Dalam
filsafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan; setelah dimengerti, barulah
mungkin diterima dan, kalau mau, diimani. Namun hal ini tidak berarti
seolah-olah dengan pembuktian akal, iman menjadi bertambah. Kepastian iman
tetap sama, tanpa ataupun dengan pembuktian akal.[5]
Ciri-ciri filsafat skolastik antara lain[6]:
a.
Filsafat skolastik adalah
filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena skolastik ini sebagai
bagian dan kebudayaan abad pertengahan yang religius.
b.
Filsafat skolastik adalah
filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan
persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik
buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah: skolastik Yahudi,
skolastik Arab dan lain-lainnya.
c.
Filsafat skolastik adalah
suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan
dimasukkan ke dalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan
akal.
d.
Filsafat skolastik adalah
filsafat Nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.
Filsafat
skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor, yaitu:
Faktor
Religius. Faktor religius dapat mempengaruhi corak pemikiran
filsafatnya. Yang dimaksud dengan faktor religius adalah keadaan lingkungan
saat itu yang berperikehidupan religius. Mereka beranggapan bahwa hidup di
dunia ini suatu perjalanan ke tanah suci Yerussalem. Dunia ini bagaikan negeri
asing, dan sebagai tempat pembuangan limbah air mata saja (tempat kesedihan).
Sebagai dunia yang menjadi tanah airnya adalah surga. Manusia tidak dapat
sampai ke tanah airnya (surga) dengan kemampuannya sendiri, sehingga harus
ditolong. Karena manusia itu menurut sifat kodratnya mempunyai cela atau
kelemahan yang dilakukan (diwariskan) oleh Adam. Mereka juga berkeyakinan bahwa
Isa anak Tuhan berperan sebagai pembebas dan pemberi bahagia. Ia akan memberi
pengampunan sekaligus menolongnya. Maka hanya dengan jalan pengampunan inilah
manusia dapat tertolong agar dapat mencapai tanah airnya (surga). Anggapan dan
keyakinan inilah yang dijadikan dasar pemikiran filsafatnya.
Faktor
Ilmu Pengetahuan. Pada saat itu telah banyak didirikan
leinbaga pengajaran yang diupayakan oleh biara-biara, gereja ataupun dan
keluarga istana, dan kepustakaannya diambilkan dan para penulis Latin, Arab
(Islam), dan Yunani.[7]
Sejak abad ke-9 di Eropa Barat telah muncul sekolah-sekolah. Karena
perkembangan yang semakin maju ada sekolah-sekolah yang membentuk suatu
persekutuan antara para dosen dan mahasiswa dan satu jurusan sehingga menjadi
kesatuan yang menyeluruh. Kesatuan ini disebut Universitas Magistrorum et Scolarum (persekutuan dosen dan
mahasiswa) Para dosen (magister) dan para mahasiswa (scolares) bersama-sama
mewujudkan suatu kesatuan kerja.[8]
Uraian
tadi menunjukkan bahwa pada Abad Pertengahan ini, iman (hati) benar-benar telah
menang melawan akal dan berhasil mendominasi jalan hidup Abad Pertengahan (di
Barat). Akibat-akibatnya amat mudah dipahami: filsafat dan sains berhenti;
jangankan menemukan yang baru, menjaga warisan Yunani saja zaman ini tidak mampu.
Abad
Pertengahan melahirkan juga filosof yang lumayan, yaitu Thomas Aquinas. Ia
lahir pada masa-masa menjelang habisnya kekuatan agama Kristen mempengaruhi
jalan pemikiran. Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu itu ia hidup
telah banyak berkurang. Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan filsafat
rasionalnya. Yang terkenal ialah beberapa pembuktian tentang adanya Tuhan yang
masih dipelajari orang hingga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak
disenangi oleh banyak tokoh ketika itu.
B.
Biografi
Thomas Aquinas
Nama
sebenarnya adalah Santo Thomas Aquinas, yang artinya Thomas yang suci dari
Aquinas. Di samping ia sebagai ahli pikir juga seorang dokter gereja bangsa
Italia. Ia lahir di Rocca Secca, Napoli, Italia.[9] Pada
sekitar umur 5 tahun ia
memasuki sekolah dasar dibawah asuhan para biarawan Benedictine di dekat Montecassino, dimana
ia tinggal bersama pamannya yang menjadi pemimpin ordo di daerah itu. Pada
rahun 1239 ia belajar sastra (artes
liberales) pada universitas Naples hingga mendapatkan gelar master,
kemudian setelah itu ia masuk ordo Dominikan pada tahun 1244. Selanjutnya ia
belajar filsafat dan teologi di Paris dan mulai tahun 1248 ia belajar pada
Albertus Magnus di Cologne. Pada tahun 1252, ia kembali ke Paris untuk studi
lanjut dalam bidang teologi hingga mendapatkan gelar doctor pada tahun 1256.
Setelah studinya selesai, ia mulai mengajar di Universitas Paris hingga
diangkat menjadi profesor teologi di universitas tersebut. Di samping itu, dia
juga mengajar di beberapa universitas di kota.kota lain. Itulah sebabnya,
selain sebagai filosof terbesar di abad pertengahan, ia juga dikenal sebagai
seorang teolog terbesar di abad tersebut.[10]
Karena
pemikiran-pemikirannya yang inovatif dan seringkali kontroversial, maka sepeninggal
Thomas pada tahun 1277, oleh Etienne
Tampier, uskup Paris, sejumlah dalil Thomisme dikutuk. Pengutukan
ini didukung oleh uskup-uskup agung canterbuty, anggota serikat
Dominikus (Robert Kilwardby) dan anggota serikat Fransiskus (John Peckham).
Akan tetapi Thomas dibela oleh murid-muridnya yang tangguh dan Albertus Magnus,
seorang guru Thomas memihak dan membelanya, sehingga akhimya lambat laun para
magister serikat Dominikus dapat menerima Thomisme, sedangkan para magister
serikat Fransiskus tetap setia kepada pendirian tradisionalnya. Pada tahun
1322, Thomas diakui sebagai santo, yaitu orang suci (saint). Pada tahun 1879,
filsafatnya diakui sehagai filsafat yang sesuai dengan ajaran Katholik. Maka
sejak saat itu sikap orang terhadap ajaran-ajaran Thomas menjadi positif.[11]
Thomas
Aquinas dianggap sebagai filosof skolastik terbesar. Dalam semua institusi
pendidikan Katholik yang mengajarkan filsafat, sistemnya diajarkan sebagai
satu-satunya sistem yang benar; ini sudah menjadi aturan baku yang ditetapkan oleh
Leo XIII pada tahun 1879. Oleh karena itu, St. Thomas tidak hanya penting dalam
sejarah, tetapi pengaruhnya tetap hidup, seperti Plato, Aristoteles, Kant, dan
Hegel – bahkan, sebenarnya, melebihi dua tokoh yang disebut terakhir.[12]
Dalam beberapa hal, ia banyak mengikuti Aristoteles[13],
sehingga di kalangan umat Katholik, hampir-hampir mempunyai otoritas sebagai
salah seorang Bapa; mengkritiknya dalam masalah filsafat murni dianggap kafir.
C.
Pemikiran
Thomas Aquinas
- Pemikiran Teologi Aquinas
Aquinas
mendasarkan filsafatnya pada kepastian adanya Tuhan. Ia mengetahui banyak ahli
teologi percaya pada adanya Tuhan hanya berdasarkan pendapat umum. Ada juga
ahli teologi yang menganggap eksistensi Tuhan tidak dapat diketahui dengan
akal; itu hanya diketahui berdasarkan iman. Menurut Aquinas, eksistensi Tuhan
dapat diketahui dengan akal. Untuk membuktikan pendapatnya ini ia mengajukan
lima dalil (argumen) seperti yang diringkaskan berikut ini.[14]
Argumen
pertama diangkat dari sifat alam yang
selalu bergerak. Di dalam alam ini segala sesuatu bergerak. Gerakan adalah
perubahan dari potentia ke actus:
potentia tanpa sebab lain tidak mungkin actus. Akan tetapi, timbul persoalan: bila sesuatu bergerak hanya
karena ada penggerak yang menggerakkannya, tentu penggerak itu pun memerlukan
pula penggerak di luar dirinya. Bila demikian, terjadilah penggerak berangkai
yang tidak terbatas. Konsekuensinya ialah tidak ada penggerak. Menjawab
persoalan ini, Aquinas mengatakan bahwa justru karena itulah maka sepantasnya
kita sampai pada Penggerak Pertama, yaitu Penggerak Yang Tidak Digerakkan oleh
yang lain. Itulah Tuhan.[15]
Argumen
kedua disebut sebab yang mencukupi (efficient cause). Di dalam dunia inderawi terjadi adanya
sebab yang mencukupi. Tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab pada dirinya
sendiri. Sebab, bila demikian, ia mesti menjadi lebih dulu daripada dirinya. Ini
tidak mungkin. Dalam kenyataannya yang ada ialah rangkaian sebab dan musabab.
Seluruh sebab berurutan dengan teratur: penyebab pertama menghasilkan musabab,
musabab ini menjadi penyebab yang kedua yang menghasilkan musabab kedua,
musabab kedua ini menjadi penyebab yang ketiga yang menghasilkan musabab
ketiga, dan begitu seterusnya sehingga terjadi rangkaian penyebab. Oleh
karenanya, Sebab Pertama itulah Tuhan.[16]
Argumen ketiga ialah argumen kemungkinan
dan keharusan (possibility and necessity). Di dalam alam ini segala
sesuatu bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada. Adanya alam ini bersifat
mungkin. Kesimpulan itu diambil karena kenyataannya isi alam ini dimulai tidak
ada, lalu muncul, lantas berkemhang, akhirnya rusak atau menghilang. Kenyataan
itu, yaitu alam berkembang menuju hilang, membawa kepada konsekuensi bahwa alam
ini tidak mungkin selalu ada karena ada
dan tidak ada tidak mungkin menjadi
sifat sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama. Bila sesuatu tidak mungkin ada,
ia tidak akan ada, Nah, mestinya sekarang ini tidak ada sesuatu. Ini berlawanan dengan kenyataan. Kalau
demikian, harus ada Sesuatu Yang Ada, sebab tidak mungkin muncul yang ada bila Ada Pertama itu tidak ada.
Sebab, bila pada suatu waktu tidak ada sesuatu, maka tidak mungkin muncul sesuatu
yang lain. Jadi, Ada Pertama itu harus ada karena adanya
alam dan isinya ini. Akan tetapi, Ada Pertama itu dari mana? Terjadi lagi
rangkaian penyebab. Kita harus herhenti pada Penyebab yang harus ada;
itulah Tuhan.[17]
Argumen keempat memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini. Isi alam ini
masing-masing berkelebihan dan berkekurangan, misalnya dalam hal kebaikan,
keindahan, kebenaran. Ada orang yang dihormati, ada yang lebih dihormati, ada
yang terhormat. Ada indah, lebih indah, terindah. Benar juga demikian.
Tingkatan tertinggi menjadi sebab tingkatan di bawahnya. Api yang mempunyai
panas adalah sebab untuk panas di bawahnya. Yang Mahasempurna, Yang Mahabenar,
adalah sebab bagi sempurna dan benar pada tingkatan di bawah-Nya. Tuhan, karena
itu, adalah tingkatan tertinggi. Begitu juga tentang ada. Tuhan memiliki sifat
Ada yang tertinggi; ada yang di bawahnya disebabkan oleh Ada yang tertinggi
itu.[18]
Argumen kelima berdasarkan keteraturan alam. Isi
alam dan jenis yang tidak berakal bergerak atau bertindak menuju tujuan
tertentu, dan pada umumnya berhasil mencapai tujuan itu, sedangkan mereka tidak
mempunyai pengetahuan tentang tujuan itu. Dari situ diketahui bahwa benda-benda
itu diatur oleh sesuatu dalam bertindak mencapai tujuannya. Sesuatu yang tidak berakal
mestinya tidak mungkin mampu mencapai tujuan. Nyatanya mereka mencapai tujuan.
Itu tidak mungkin seandainya tidak ada yang mengarahkan mereka. Yang mengarahkan
itu pasti berakal dan mengetahui. Itulah Tuhan.
Setelah Aquinas merasa berhasil menyusun argumen-argumen
di atas, dan ia merasa filsafat itu telah membuktikan adanya Tuhan, selanjutnya
ia berusaha menjelaskan sifat-sifat Tuhan itu. Menurut Aquinas, Tuhan tidak tersusun
dari esensi dan aksidensi, karena itu Tuhan tidak dapat berubah. Tuhan tidak
memiliki potentia. Dia semata-mata actus. Ia menyatakan bahwa Tuhan sama dengan esensi-Nya. Pada Tuhan tidak
ada sesuatu pun yang berada sebagai potensi yang belum menjadi aktus.[19]
Harus diketahui terlebih dulu bahwa sesuatu terdiri
atas esensi dan aksidensi. Tatkala orang membuat definisi, hanya esensi itulah
yang disebut; sifat-sifat aksidensi dibuang. Tuhan bukan terdiri dari esensi
dan aksidensi; Tuhan seluruhnya esensi. Bila sesuatu hanya esensinya, yaitu
definisinya saja, maka pengertiannya tetap. Karena Tuhan hanya esensi, maka
Tuhan tidak pernah mengalami perubahan. Yang berubah itu ialah sifat-sifat
aksidensi.[20]
Berbeda dengan Augustinus, Aquinas berpendapat
bahwa Tuhan tidak berbuat semau-Nya; perbuatan Tuhan dibatasi oleh kebaikan.
Jadi, Tuhan tidak bebas sebebas-bebas-Nya dalam berbuat.
Menurut Aquinas alam ini tidak kekal.
Sekalipun demikian, menurut pendapatnya akal tidak dapat membuktikan apakah alam
ini kekal ataukah tidak kekal. Sedangkan menurut Aristoteles alam ini kekal: the
motion of the physical universe
is eternal (bila gerak itu kekal, tentu fisik alam semesta ini kekal).[21]
- Pendapat Aquinas tentang Kosmologi
Yang terpenting di dalam kosmologi
Aquinas ialah pandangannya tentang matter dan form. Menurut pendapatnya, matter tidak dapat terpisah dari form.
Bila terpisah, kata Aquinas, tentu akan terdapat kontradiksi sebab matter
itu tidak jelas. Pada Aristotetes, matter dan form terpisah.
Pendapat Aquinas tentang tidak dapat dipisahkannya matter dari form dapat
dipahami. Setiap benda terdiri atas bahan (matter)
dan sifat (form). Sepotong emas, maka
zat (matter) emas ialah bendanya itu, sedangkan kuningnya emas, susunan
kimianya, dan lain-lain sifatnya, adalah sifat (form). Demikianlah jalan pikiran
Aquinas. Justru teori Aristoteles itulah yang sulit dipahami.
Perbedaan antara manusia dan malaikat
menurut Aquinas ialah karena malaikat tidak mempunyai tubuh, jadi tidak mempunyai
matter. Mereka semata-mata form, sedangkan
manusia mempunyai matter dan
form.
Dalam hal ruang dan waktu Aquinas sama
dengan Aristoteles. Ruang tidak dapat dipikirkan terlepas dari eksistensi benda.
Ia tidak menerima paham yang mengatakan bahwa ruang tidak terbatas karena hal ini
berlawanan dengan ajaran Kristen. Adapun waktu, ia ditentukan oleh gerak.
Sebagaimana halnya ruang, waktu juga terbatas.
- Pendapat Aquinas tentang Jiwa
Pandangan
Aquinas tentang jiwa amat sederhana. Menurutnya, manusia adalah gabungan dan
dua substansi yang tidak lengkap, yaitu materi pertama dan jiwa. Jiwa adalah
bentuk dan raga adalah materinya. Oleh karena nisbah antara jiwa dan raga
sebagai bentuk dan materi atau sebagai aktus dan potensi atau juga sebagai
perealisasian dan bakat, maka jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan satu kesatuan terhadap raga. Jiwa adalah bentuk atau aktus atau
perealisasiannya, karena jiwa adalah daya gerak yang menjadikan raga sebagai
materi atau sebagai potensi, menjadi realitas. Jiwalah yang memberikan perwujudan
kepada tubuh sebagai materi. Dengan demikian manusia adalah raga yang hidup
bersama dengan semua gejala dan aktifitasnya.[22]
Menurutnya,
jiwa dan raga mempunyai hubungan yang pasti: raga menghadirkan matter dan
jiwa menghadirkan form, yaitu prinsip-prinsip hidup yang aktual.
Kesatuan antara jiwa dan raga bukanlah terjadi secara kebetulan. Kesatuan itu
diperlukan untuk terwujudnya kesempurnaan manusia. Yang dimaksud dengan jiwa
oleh Aquinas ialah kapasitas intelektual (pikir) dan kegiatan vital kejiwaan
lainnya. Oleh karena itu, Aquinas mengatakan bahwa manusia adalah makhluk
berakal. Konsekuensinya ialah jiwa harus membimbing raga karena jiwa lebih
tinggi daripada raga. Akan tetapi, jiwa itu bergantung juga pada raga; kegiatan
raga mempengaruhi jiwa. Selanjutnya Aquinas membuat perbedaan yang tajam antara
tiga tipe jiwa: jiwa vegetatif, yaitu jiwa yang mengatur tetumbuhan; jiwa
sensitif yang mengatur kehidupan hewan; dan jiwa rasional yang mengatur
kehidupan manusia. Jiwa rasional inilah yang merupakan manifestasi kehidupan
yang tertinggi yang menyuguhkan supremasi intelek di atas benda (tetumbuhan)
dan hewan.[23]
Sekalipun jiwa itu memiliki kesatuan (jiwa
itu satu), ia dapat dibagi dalam kemampuannya. Kemampuan itu ialah kemampuan
mengindera (sensation), kemampuan
pikir (reason), dan
nafsu (appetite) yang
mencakup kemauan. Jiwa bersifat imaterial, sama dengan Augustinus. Bukti yang
menunjukkan bahwa jiwa bersifat imaterial ialah jiwa itu mampu memikirkan
objek-objek yang imaterial dan mampu memikirkan yang universal.
Kedudukan jiwa dalam badan, menurut Aquinas,
hanya bergantung secara ekstrinsik. Konsekuensinya ialah Aquinas berpendapat bahwa
jiwa itu bersifat imortal. Argumen yang dikemukakannya adalah sebagai berikut.
Jiwa manusia tidak dapat rusak. Sesuatu dapat rusak hanya karena dua sebab: sebab
dari dirinya sendiri dan sebab dari luar. Sebab dari dirinya tidak mungkin
karena jiwa itu pemberi hidup pada jasad, pemberi hidup harus selalu hidup.
Jiwa adalah form. Matter (badan)
memperoleh form dan jiwa,
lantas mengaktual. Begitu jasad rusak, maka jiwa memisahkan diri. Sebab dari
luar ialah dari jasad. Itu tidak mungkin karena jasad lebih rendah daripada
jiwa, diberi form oleh jiwa untuk aktual. Semua substansi intelektual
adalah bukan materi dan tidak rusak. Malaikat tidak mempunyai tubuh, tetapi
pada manusia jiwa disatukan dengan tubuh.[24]
Dengan mengikuti ajaran Kristen, Aquinas
berpendapat bahwa jiwa akan hidup kembali. Jiwa, di sana nanti, akan hidup
kembali sesudah kematiannya dan ia akan disatukan dengan jasad. Ini sama dengan
teori Al-Ghazali.
- Teori Pengetahuan Aquinas
Dalam seluruh teorinya tentang pengetahuan,
Aquinas dibimbing oleh pandangannya bahwa pikir (reason) dan iman tidak
bertentangan. Akan tetapi, di mana batas kedua-duanya? Menurut pendapatnya,
semua obyek yang tidak dapat diindera tidak akan dapat diketahui secara pasti
oleh akal. Oeh karena itu, kebenaran ajaran Tuhan tidak mungkin dapat diketahui
dan diukur dengan akal. Kebenaran ajaran Tuhan diterima dengan iman. Sesuatu
yang tidak dapat diteliti dengan akal adalah objek iman. Pengetahuan yang
diterima atas landasan iman tidaklah lebih rendah daripada pengetahuan yang
diperoleh dengan akal. Paling tidak, kebenaran yang diperoleh dengan akal tidak
akan bertentangan dengan ajaran wahyu.[25]
Selanjutnya Aquinas mengajarkan bahwa
manusia seharusnya menyeimbangkan akal dan iman: akal membantu membangun
dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu
tidak selalu dapat dilakukan karena akal terbatas. Akal tidak dapat memberikan
penjelasan tentang kehidupan kembali (resurrection)
dan penebusan dosa. Akal juga tidak akan mampu membuktikan kenyataan
esensial tentang keimanan Kristen. OIeh karena itu, ia berpendapat bahwa
dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana yang disebutkan dalam firman-firman
Tuhan.
Berdasarkan uraian itu dapat diketahui
adanya dua jalur pengetahuan dalam filsafat Aquinas. Jalur itu ialah jalur akal
yang dimulai dari manusia dan berakhir pada Tuhan, dan yang kedua ialah jalur
iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu), didukung oleh akal.
Sehubungan dengan teorinya di atas maka di
dalam filsafat Aquinas, filsafat dapat dibedakan dari agama dengan melihat
penggunaan akal. Filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akliah,
sedangkan agama ditentukan oleh keimanan. Sekalipun demikian, perbedaan itu
tidak begitu jelas karena pengetahuan sebenarnya adalah gabungan kedua-duanya.
Agama dapat pula dibagi dua. Yang pertama ialah agama natural yang dibentangkan
di atas akal, dan yang kedua ialah agama wahyu yang dibentangkan di atas iman.[26]
Kalau dibandingkan dengan pandangan modern
tentang sains, teori Aquinas amat berheda. Menurut pandangan filsafat sains
modern, pencapaian terbaik pada sains ialah bila ia lebih menjurus kepada
objek-objek yang partikular. Sains modern tidak memberikan penghargaan yang
tinggi kepada masalah-masalah imaterial. Bagian imaterial itu merupakan bagian
pembahasan metafisika. Sedangkan pada Aquinas tadi, sains akan semakin tinggi
nilainya bila ia semakin universal.
- Etika Aquinas
Nilai
etika yang tertinggi pada etika Aquinas ialah Kebaikan Tertinggi. Kebaikan
Tertinggi itu menurut pendapatnya tidak mungkin dapat dicapai dalam kehidupan
sekarang. Hal itu harus ditunggu dalam kehidupan kelak, dimana diperoleh
pandangan yang sempurna tentang Tuhan. Pandangan etika Aquinas menekankan
superioritas kebaikan keagamaan. Karenanya ia banyak membahas iman. Ia toleran
terhadap orang-orang yang tidak beriman dan bekerja sama dengan mereka, tetapi
ia juga terang-terangan menuduh mereka kafir. Orang-orang kafir itu akan
mengalami lepas hubungan dengan Tuhan. Bila mereka terus saja demikian, mereka
akan mati dalam hukuman. Tentang kematian yang demikian Gereja tidak akan
memberikan hukuman, tetapi dunia akan memberikan hukuman. Kejahatan terjadi melalui
sebab kedua, sebagaimana dalam kasus pelukis yang baik dengan alat yang buruk.[27]
Kehidupan
pertapa (ascetic) memainkan
peranan yang kuat di dalam etikanya. Oleh karena itu, ia setuju kepada St.
Augustinus yang mengajarkan bahwa kehidupan membujang (celebacy) lebih baik daripada kawin. Hidup dalam
perkawinan itu rendah.
Pengaruh
Aquinas cukup besar pada abad-abad selanjutnya melalui pendapat-pendapatnya bahwa
perkawinan tidak boleh cerai karena hal itu berlawanan dengan hukum masyarakat
dan menentang Tuhan. Monogami adalah watak asli manusia. Ia juga menentang
keras pembatasan kelahiran. Kedudukan ayah dalam keluarga adalah yang
tertinggi, jadi ia mendukung patriakekhal yang memang berkembang pada Abad
Pertengahan.[28]
Mengenai
kebebasan kemauan (free will) ia menyatakan bahwa manusia berada dalam
kedudukan yang berbeda dari Tuhan. Tuhan selalu benar sedangkan manusia
kadang-kadang salah. Manusia selalu dihadapkan kepada bermacam-macam pilihan.
Dalam memilih itu manusia dipengaruhi oleh tuntutan materi. Kadang-kadang
manusia dihinggapi keraguan. Oleh karena itu, manusia sering memilih sesuatu
yang rendah, dan itu membimbing manusia menjauhi Tuhan. Manusia dapat memperoleh
kebebasan sempurna dengan cara memilih sesuatu yang akan membawa kepada
kebahagiaan abadi dan mendekatkan kita kepada sifat-sifat ilahi.
Kemauan
manusia tidak ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya. Oleh karena itu, bila
manusia memilih yang salah, layaklah ia mendapat hukuman.[29]
- Teori Politik Aquinas
Aquinas,
yang filsafat politiknya mewakili pemikiran politik abad ke-13, menekankan
moral sehagai suatu idea pemerintahan. Menurut Aquinas, keadaan negara tidak
dapat dipisahkan dari sifat sosial manusia. Dari Aristoteles, ia meminjam
istilah manusia hewan yang berpolitik. Karena manusia tidak dilengkapi untuk mempertahankan
diri sebagaimana perlengkapan binatang, maka manusia memerlukan kebersamaan
dengan manusia lain dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Tentang
autoritas sosial, menurut Aquinas, itu berakar pada sifat-sifat manusia;
sifat-sifat itu didapat dari Tuhan. Negara dan manusia akan tetap ada, sekalipun,
misalnya, manusia tidak terusir dan surga. Karena manusia adalah makhluk
sosial, maka ia cenderung hidup berkelompok. Aturan hidup berkelompok itu dibuat
dalam suatu sistem hukum negara. Tujuannya haruslah kesejahteraan warga negara.
Sifat manusia sebenarnya tidak menyenangi tirani. Monarki lebih sesuai dengan
watak manusia Negara berpijak pada organisasi keluarga yang mendapat keadaannya
dari Tuhan: berkeluarga memang naluri yang didapat manusia dari Tuhan. Keluarga
merupakan organisasi sosial yang pertama sebelum adanya masyarakat. Keluarga
sebagai lembaga sosial bersifat tetap, tidak berubah, sekalipun ada pengaruh dari
kekuasaan yang lebih tinggi dan ada pengaruh dari adanya kebutuhan-kebutuhan.[30]
Menurut
Aquinas, hukum ada empat macam, yaitu hukum abadi, hukum alam, hukum Tuhan, dan
hukum manusia. Harus ada hukum yang pasti dalam penciptaan dan pengaturan alam
semesta; inilah yang dimaksud dengan hukum abadi, yaitu suatu rencana (blue print) yang mengatur penciptaan dan
pengaturan alam semesta ini. Esensi hukum ini tidak dapat dipahami oleh
manusia; bekasnya dapat dilihat pada hukum alam. Hukum alamlah yang menyebabkan
semua makhluk mendapat kesempurnaannya mencari kebaikan dan menghindari
kejahatan. Hukum alam menyediakan kehidupan bagi manusia dengan segala haknya
seperti hak untuk berketurunan dan hak untuk hidup di dalam masyarakat.
Sementara hukum alam itu sudah dikenal umum oleh manusia karena setiap saat manusia berhubungan dengannya.[31]
Sementara hukum alam itu sudah dikenal umum oleh manusia karena setiap saat manusia berhubungan dengannya.[31]
Hukum
Tuhan adalah hukum Kristen yang mempunyai kedudukan yang istimewa. Hukum ini
dikenal melalui wahyu Tuhan yang diberikan karena kemurahan-Nya. Ten Commandement
adalah salah satu contoh hukum Tuhan. Adapun hukum manusia dibagi menjadi jus
gentium dan jus civile. Di dalam hukum manusia hadir hukum alam da1am
kasus-kasus tertentu. Misalnya menurut hukum alam, membunuh adalah perbuatan
salah, tetapi terserah pada hukum manusia untuk menjatuhkan hukuman apa yang
sesuai bagi pelanggar. Hukum manusia tidak berwenang melanggar prinsip-prinsip
fundamental seperti merampas atau membunuh. Bila dilanggar, akan runtuhlah semua
kerangka pengaturan alam.[32]
Kekuasaan pengadilan telah mendapat
perhatian yang khusus dari tokoh-tokoh Abad Pertengahan. Undang-undang harus lebih
tinggi daripada kekuasaan politik, dan karena itu raja haruslah diikat oleh
hukum.
D.
Filsafat
Islam Ibnu Rusyd : Suatu Perbandingan
Menurut
Ibnu Rusyd[33],
filsafat tidaklah bertentangan dengan Islam, bahkan orang Islam diwajibkan atau
sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajarinya. Tugas filsafat ialah tidak lain
daripada berpikir tentang wujud untuk mengetahui Pencipta semua yang ada ini.
Al-Qur’an sendiri bahkan menyuruh manusia untuk senantiasa berpikir, merenung,
dan memperhatikan alam ini. Dengan demikian, menurut Ibnu Rusyd, pendapat akal
dan filsafat tidak bertentangan dengan teks wahyu sehingga harus diberi
interpretasi demikian rupa sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.[34]
Ibnu
Rusyd juga berpendapat bahwa dalam pandangan Islam, segala-galanya dalam alam
ini berlaku menurut hukum Islam, yaitu menurut sebab-musabab atau causality. Kalau api sifatnya membakar,
api mesti selama-lamanya membakar dan bukan hanya terkadang. Kalau adakalanya
api kelihatan tidak membakar, maka itu mesti ada sebabnya.[35]
Dalam
bukunya Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd
berusaha membuktikan keberadaan Tuhan melalui hukum kausalitas, karena tidak
ada sesuatu yang ada tanpa musabab. Semua sebab beraturan hingga Sebab Pertama,
yakni Pembuat alam semesta. Atau sebab penciptaan yang selalu bergerak dan
terus berganti secara tak diduga sebagai hasil perubahan yang terjadi dari
waktu ke waktu. Pemikirannya itu membentangkan jalan bagi teori pertumbuhan dan
perkembangan, walaupun para fuqoha muslim mengatakan bahwa hal itu bertentangan
dengan makna ayat al-Qur’an “… Jadilah,
maka jadilah ia”.[36]
Alam
ini diciptakan Tuhan bukan dari tiada
(creatio ex nihilo), tapi dari ada. Al-Qur’an jelas-jelas menyatakan : “Dan Dia-lah yang menciptakan langit-langit
dan bumi dalam enam hari dan tahta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air,
agar Dia menguji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Qs. Hud: 7).
“Kemudian Dia pun naik ke langit sewaktu
ia masih berupa asap.” (Qs. Hamim: 11).
“Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit-langit dan bumi
(pada mulanya) bersatu dan kemudian Kami pisahkan?! Kami jadikan segala yang
hidup dari air.” (Qs. Al-Anbiya’: 30). Ayat-ayat di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain.
Dengan demikian, alam dalam arti unsurnya bersifat kekal dari zaman lampau,
yaitu qadim.
Menurut
Ibnu Rusyd, Tuhan tidak mengetahui perincian-perincian yang ada dalam alam,
dalam arti bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak
sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia
dalam hal ini mengambil bentuk effek, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan
sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya pengetahuan
manusia bersifat baru dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu sejak azal
Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di alam, sungguh betapapun kecilnya.[37]
Ibnu
Rusyd adalah pensyarah terbaik untuk buku Aristoteles dan paling berpengaruh
pada peradaban Eropa. Mereka juga mengkaji buku-buku terjemahan Ibnu Rusyd ke
dalam bahasa Ibrani dan bahasa Latin. Bahkan ada di antara buku-buku
Aristoteles yang asli hilang dan belum sampai ke tangan para pemikir Eropa
kecuali syarah yang diberikan oleh Ibnu Rusyd atau para filosof Arab yang lain,
atau melalui buku terjemahannya.
Averoisme
(kajian filsafat Aristoteles seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd) meluas ke
seantero Eropa, dan menjadi kajian primadona di berbagai universitas di sana.
Selain itu, pemikirannya termasuk yang paling berpengaruh terhadap pemikiran
Eropa hingga tiga abad setelah itu. Bahkan pemikirannya menjadi tiang pancang
bagi abad kebangkitan di sana. Walaupun Thomas Aquinas menuduhnya terlalu
berlebihan dalam mengandalkan akal, Universitas Paris memusuhinya, serta Paus
mengharamkan buku-buku karangannya pada tahun 1231, kemenangan tetap berada di
pihak Ibnu Rusyd. Bahkan pada abad ke-18, Ibnu Rusyd memiliki jasa yang luar
biasa terhadap pencerahan Eropa; bahkan para guru filsafat di sana bergantung
sepenuhnya kepada ajaran filsafat Ibnu Rusyd.[38]
E.
Analisis
Kaidah
credo ut intelligam yang menguasai
abad pertengahan lebih kurang dianut juga dalam filsafat Islam. Contoh yang
menonjol dalam Islam, misalnya pada filsafat Al-Ghazali. Di dalam perbandingan
ini ditemukan semacam keganjilan. Mengapa penerapan kaidah itu dalam Kristen
menimbulkan akibat sains dan filsafat terhadap perkembangannya, tetapi
penerapan rumus itu dalam perkembangan pemikiran Islam tidak menyebabkan
tersendatnya perkembangan filsafat dan sains dalam Islam?
Kelihatannya
filsafat credo ut intelligam itu tidak akan merugikan perkembangan
filsafat dan sains seandainya wahyu yang dijadikan andalan adalah wahyu yang
tidak berlawanan dengan akal logis. Hal ini ditemukan misalnya dalam Islam.
Filsafat di dalam Islam berkembang amat pesat karena keyakinan (iman) Islam
tidak ada yang berlawanan dengan akal logis; yang ada ialah bagian-bagian yang
berada di daerah supralogis atau suprarasional. Agaknya teori inilah yang dapat
menjelaskan mengapa filsafat tidak berkembang secara wajar selama lima belas
pada periode Abad Pertengahan yang dikuasai oleh semangat Kristen itu. Jadi,
dominasi agama pada filsafat sebenarnya tidak harus mengakibatkan filsafat
tidak berkembang.
Sains,
filsafat, dan iman (rasa) sebenarnya merupakan keseluruhan pengetahuan manusia.
Akan tetapi, pembatasan daerah kerjanya masing-masing harus jelas. Sains
bekerja pada objek-objek sensasi, filsafat pada objek-objek abstrak logis,
sedangkan hati (rasa) bekerja pada daerah-daerah abstrak supralogis. Yang
seperti ini sesungguhnya telah disebut juga oleh Bonaventura. Menurut
pendapatnya, manusia memiliki tiga potensi (kemampuan) indera, akal, dan
kontemplasi. Hasil kerja masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan,
tetapi boleh tidak sama. Tidak sama itu bukan berlawanan. Kekurangjelasan
perbatasan daerah inilah yang sering menyebabkan terjadinya bentrokan antara
sains, filsafat, dan iman.
Kelemahan
lain dalam filsafat Kristen pada Abad Pertengahan itu ialah sifatnya yang
terlalu yakin pada penafsiran teks Kitab Suci. Penafsiran sebenarnya tidak
lebih berarti daripada sekadar filsafat juga. Jadi, penafsiran pada dasarnya
bersifat relatif kebenarannya, tidak absolut. Karena filosof pada zaman itu
rata-rata merangkap sebagai “orang suci” (saint),
maka filsafat mereka telah menempati pengertian agama yang absolut dalam
dirinya. Inilah barangkali yang menyebabkan terjadinya tekanan-tekanan
psikologis maupun fisis terhadap filosof lain yang pemikirannya berbeda dari
pemikiran filosof Gereja. Pada Abad Pertengahan itu agama Kristen boleh
dikatakan bukan lagi Kitab Suci, melainkan penafsiran Kitab Suci oleh para saint
tersebut. Berbedanya pemikiran Copernicus dan Galileo dengan pemikiran
tokoh-tokoh Gereja, misalnya, telah menyebabkan kedua tokoh sains itu dihukum.
Sebenarnya pendapat kedua ilmuwan tersehut bukan berlawanan dengan Kitab Suci,
melainkan berbeda dari pendapat tokoh Gereja yang mengatasnamakan Kitah Suci.
F.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut[39]:
1. Pada
akhir abad ke-13 muncul nama-nama yang mempengaruhi teologi dan filsafat. Dan
salah satunya yang paling terkenal ialah Thomas Aquinas (1225-1274). Thomas
Aquinas sangat terpengaruh oleh filsafat Aristoteles. Orang Katolik menerima
Thomas Aquinas sebagai Bapak Gereja. Sedangkan orang Protestan banyak menolak
argumen-argumen Thomas yang terlalu terpengaruh oleh Aristoteles sehingga
kadang-kadang menyimpang dari exegese
(tafsir) yang sehat dari Alkitab.[40]
2. Meskipun
filsafat Thomas Aquinas sebagian besarnya merupakan rethinking (pemikiran kembali) terhadap Aristotelianisme dengan
beberapa pengaruh yang signifikan dari Stoisisme, Neo Platonisme, Augustinisme
dan Boethianisme, akan tetapi para ahli berpendapat bahwa Thomas telah mampu
membentuk suatu sistem pemikiran tersendiri yang utuh yang kemudian berkembang
menjadi Thomisme dan pada abad ke-19 dikembangkan oleh para pengikutnya menjadi
neo-Thomisme.[41]
3. Sumber Pengetahuan: Wahyu dan Akal. Ilmu
pengetahuan memiliki Universal sebagai objeknya, maka universal-universal harus
nyata. Semua pengetahuan harus diatur di bawah teologi dan diajarkan dengan
kewibawaan Gereja. Ada dua sumber pengetahuan: wahyu dan akal.
a. Wahyu:
Filsafat tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Tuhan pertama-tama
mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada manusia melalui Inkarnasi dan Trinitas.
Dengan demikian gereja merupakan permulaan dan akhir dari kearifan.
b. Akal:
Kearifan berlangsung dari Tuhan yang merupakan akal tertinggi.
4. Wahyu
dan akal harus diselaraskan.
5. Tentang
manusia, Aquinas berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dan jiwa
dan raga yang menjadi satu kesatuan. Jiwa tidak bisa mati dan masing-masing
manusia memiliki jiwa sendiri.
6. Teologi
dan Filsafat
a. Rasionalisme
Aquinas menggantikan teologi Augustinian dan menjadi dasar dogma Agama
Katholik.
b. Aquinas
mengumpulkan kembali teologi dan filsafat dan menjadikannya satu.
c. Akal
harus menjadi ketahanan (teologi) dan agama harus menjadi rasional (filsafat).
7. Monarkhi sebagai
Bentuk Negara Terbaik. Pandangannya mengenai negara
dipengaruhi Aristoteles. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk
kemasyarakatan, oleh karena itu harus hidup bersama dengan orang lain dalam
masyarakat. Monarkhi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, sebab dapat
memelihara perdamaian yang sebaik-baiknya oleh kesatuan pikiran dan
pemerintahannya. Tetapi kalau pemerintah tidak adil, maka ia adalah bentuk
pemerintahan yang seburuk-buruknya.
8.
Karya-karya Aquinas:
Summa Theologia; Summa Contra Gentiles;
On the Book of Causes; On Divine Names; Disputed Questions; Commentaries on
Aristotele’s Physics, Metaphysics, Ethics, Politics, etc.; De Reginzine
Principum.
9.
Tulisan-tulisan
Aquinas tersebut, walaupun mensistematiskan keyakinan- keyakinan Katolik
sebelumnya, namun tidak mencerminkan perubahan besar dalam cita-cita etika atau
dalam pandangan politik.[42]
10. Thomas
dikenal sebagai seorang teolog sekaligus filosof yang mampu mensintesakan
antara filsafat dengan agama. Ia dikenal sebagai filosof dan teolog terbesar
abad pertengahan. Bahkan para ahli bersepakat bahwa pada masa Thomas Aquinaslah
filsafat abad pertengahan mencapai puncaknya.
Bibliografi
:
Ahmadi, Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. IV.
Amin,
Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejaran
Islam, Terj. Bahruddin Fannani, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997),
Cet. II.
Hadiwijoyo,
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), Cet. XII.
Hart,
Michael H., Seratus Tokoh yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah, Terj. H. Mahbub Djunaidi, (Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1982).
http://www.dianweb.org/Khusus/SET_ALK.HTM
Mudhofir,
Ali, Kamus Filsuf Barat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), Cet. I.
Musahadi,
“Thomas Aquinas (Tentang Tuhan dan Manusia)”, dalam Jurnal Teologia¸ No. 34/Juni 1996, Semarang.
Nasution,
Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. VIII.
Russell,
Bertrand, Sejarah Filsafat Barat,
Terj. Sigit Jatmiko, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I
Solomon,
Robert C. dan Kathleen M. Higgins, Sejarah
Filsafat, Terj. Saut Pasaribuan, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
2000), Cet. I.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak
Thales sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Cet . VII.
[1]Prof. Dr.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan
Hati sejak Thales sampai Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), Cet
. VII, hlm. 8.
[2]Ibid, hlm. 113.
[3]Dr. Harun
Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 1,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), Cet. XII, hlm. 82.
[4]Prof. Dr.
Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 114.
[5]Dr. Harun
Hadiwijoyo, op. cit., hlm. 94.
[6]Drs.
Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Cet. IV, hlm. 70.
[7]Ibid, hlm. 71.
[8]Musahadi,
“Thomas Aquinas (Tentang Tuhan dan Manusia)”, dalam Jurnal Teologia¸ No. 34/Juni 1996, Semarang, hlm. 10.
[9]Drs.
Asmoro Ahmadi, op. cit., hlm. 75.
Julukan Santo Thomas yang terkenal adalah ‘Lembu Jantan Bisu”, artinya ia
lambat dalam tingkah lakunya dan gagah. Tetapi ia sebagai mahaguru yang pandai,
tajam pikirannya. Sebutan-sebutan: Thomisme baru, Neo Thomisme.
Neo-Skolastisisme dipakai untuk aliran filsafat dalam abad kedua puluh.
[10]Musahadi,
loc. cit.
[11]Ibid, hlm. 11-12.
[12]Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat,
Terj. Sigit Jatmiko, dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I, hlm.
598.
[13]Aquinas
antara lain memberikan ruang di dunia Kristen untuk penghargaan yang relatif
tinggi terhadap dunia alamiah dan pengetahuan manusia atasnya, hal mana
merupakan ciri dari filsafat Aristoteles. Lihat Robert C. Solomon dan Kathleen
M. Higgins, Sejarah Filsafat, Terj.
Saut Pasaribuan, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), Cet. I, hlm. 290.
[14]Prof.
Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.
99-100; CF. Dr. Harun Hadiwijoyo, op. cit., hlm. 107-108; CF. Bertrand
Russell, op. cit., hlm. 602.
[15]Prof.
Dr. Ahmad Tafsir, loc. cit.
[16]Ibid.
[17]Ibid, hlm. 100.
[18]Ibid.
[19]Dr.
Harun Hadiwijoyo, op. cit., hlm.
106.
[20]Prof.
Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 101.
[21]Ibid.
[22]Musahadi,
op. cit., hlm. 14.
[23]Ibid, hlm. 102.
[24]Bertrand
Russell, op. cit., hlm. 605.
[25]Prof.
Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.
104.
[26]Ibid, hlm. 105.
[27]Bertrand
Russell, op. cit., hlm. 606.
[28]Prof.
Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.
107.
[29]Ibid, hlm. 108.
[30]Ibid, hlm. 109.
[31]Ibid.
[32]Ibid, hlm. 110.
[33]Nama
penuh Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Ia lahir
di Cordova pada tahun 1126 M dan berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia
Spanyol. (Lihat Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. VIII, hlm.
47.)
[34]Ibid, hlm. 48-49.
[35]Ibid, hlm. 50.
[36]Husayn Ahmad
Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam,
Terj. Bahruddin Fannani, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), Cet. II, hlm.
194.
[37]Ibid, hlm. 53.
[38]Husayn
Ahmad Amin, op. cit., hlm. 193.
[39]Ali
Mudhofir, Kamus Filsuf Barat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. I, hlm. 19-20.
[41]Musahadi,
op. cit., hlm. 16.
[42]Michael H. Hart, Seratus
Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terj. H. Mahbub Djunaidi,
(Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1982).
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar