abiquinsa: Pendidikan Madrasah Nidzamiyah

Pendidikan Madrasah Nidzamiyah


PENDIDIKAN MADRASAH NIDZAMIYAH
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I

Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Dalam masa ini, pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan.[1]


Islam menganjurkan umat Islam untuk senantiasa belajar. Dan ternyata anjuran ini disambut baik sehingga pendidikan berkembang pesat di masjid-masjid di seantero dunia Islam. Dan di tiap tempat itu pula terdapat banyak kelompok-kelompok pendidikan. Kaum Muslimin merasakan bahwa mereka sangat membutuhkan didirikannya madrasah-madrasah dan institut-institut tinggi.[2]
Pada pertengahan abad V Hijriah, tepatnya tahun 457 H, berdirilah sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam yang didirikan oleh seorang wazir Bani Saljuk, Nidzam al-Mulk. Lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah ini dinamakan sesuai nama pendirinya, yakni Madrasah Nidzamiyah. Pada madrasah ini telah mempraktikkan sistem pendidikan modern, dimana terdapat kurikulum dan manajemen organisasi pada pengelolaannya.
1.   Sejarah Pendidikan Islam
Meskipun penanaman kesadaran akan pentingnya ilmu sudah dimulai pada masa Nabi Muhammad, bahkan pada masa-masa akhir sebelum Nabi wafat kesadaran akan pentingnya ilmu bagi kehidupan-dapat dikatakan-sudah mendarah daging di kalangan umat Islam, namun cikal bakal pendidikan Islam (dalam sebuah institusi) baru dimulai pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Cikal bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar, secara khusus, mengirimkan 'petugas khusus' ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber (guru) bagi masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut. Para 'petugas khusus' ini biasanya bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat melalui halaqah-halaqah dan majlis khusus untuk menpelajari agama dan terbuka untuk umum.
Pada perkembangan selanjutnya, materi yang diperbincangkan pada halaqah-halaqah ini tidak hanya terbatas pada pengkajian agama (Islam), namun juga mengkaji disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat. Selain itu, diajarkan pula disiplin-disiplin yang menjadi pendukung kajian agama Islam. Dalam hal ini antara lain kajian tentang bahasa dan sastra Arab, baik nahwu, sorof maupun balagah. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana 'pendidikan', yakni adanya upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai Maktab. Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi pendidikan Islam.
Akar sejarah pertumbuhan madrasah dalam dunia Islam melewati tiga tahap, yaitu: (1) Tahap Masjid, (2) Tahap Masjid Khan, dan (3) Tahap Madrasah.[3]
Tahap masjid berlangsung terutama pada abad ke delapan dan sembilan. Masjid yang dimaksud dalam konteks ini adalah masjid yang selain digunakan sebagai tempat shalat berjama’ah juga digunakan sebagai majlis taklim (pendidikan).
Tahap kedua adalah lembaga masjid Khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan Khan (asrama atau pondokan yang masih bergandengan dengan masjid). Berbeda dengan masjid biasa, masjid Khan menyediakan tempat penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota. Tahap ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad ke-10.
Sedangkan tahap ketiga adalah madrasah yang khusus diperuntukkan bagi lembaga pendidikan. Pada tahap madrasah yang pada umumnya terdiri dan ruang belajar, ruang pondokan, dan masjid, telah berhasil mengintegrasikan kelembagaan masjid biasa (tahap pertama) dengan masjid Khan (tahap kedua). Demikianlah, lembaga pendidikan Islam yang sebelumnya banyak dilakukan di masjid-masjid dan kuttab-kuttab ini terus mengalami penyesuaian. Madrasah terus diperluas dan berkembang sejalan dengan perkembangan zaman berikut ragam perubahan yang diimplikasinya. Setidaknya ada dua faktor yang sangat berpengaruh bagi awal perkembangan madrasah. [4]
Pertama, perhatian dan peran aktif penguasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa keterlibatan pemerintah memiliki andil yang cukup besar bagi perkembangan dan kemajuannya. Kedua, perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat lainnya. Tidak sedikit dan mereka yang mendirikan madrasah dengan model dan standar yang relatif sama dengan madrasah yang didirikan oleh para penguasa pada zamannya.
2.   Pendidikan Madrasah Nidzamiyah
Dalam sejarah Islam, madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad 11-12 M (abad ke-5 H), khususnya ketika Wazir Bani Saljuk, Nidzam al-Mulk mendirikan madrasah Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 457 H.[5] Sebuah lembaga pendidikan yang bertujuan menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah, menyediakan tenaga-tenaga pengajar dan kalangan Sunni dan menyebarkannya ke berbagai daerah, serta membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantor, khususnya di bidang peradilan dan manajemen. Pada abad pertengahan, Madrasah Nidzamiyah kemudian dipandang sebagai lembaga pendidikan par excellence dan menjadi trend di hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam. Pendirian ini telah memperkaya khasanah lembaga pendidikan di lingkungan masyarakat Islam.[6]
Dalam kasus hubungan negara – dinasti Saljuk – dengan Madrasah Nidzamiyah sebenarnya adalah hubungan antara penguasa dengan sekte keagamaan Sunni. Dinasti Saljuk sebagai penguasa politik Dinasti Abbasiyah (Sunni) mempunyai musuh yang sangat kuat yang berdekatan secara geografis, yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir yang berafiliasi kepada Syiah. Pertentangan Syiah – Sunni semakin nyata ketika pemerintahan Abbasiyah Baghdad (al-Qaim) jatuh di tangan al-Basasiri, yang kemudian menyatakan ketertundukan Baghdad terhadap kekuasaan Fatimiyah Mesir. Peristiwa tersebut tidak berlangsung lama, karena Tughril Beg sebagai sultan pertama di Dinasti Saljuk dapat merebut kembali Baghdad dan membunuh al-Basasiri.[7]
Pertentangan Syiah dengan Sunni terus berlanjut, dengan masing-masing berkolaborasi dengan penguasa yang mempunyai kecenderungan keagamaan yang sama dengan mereka. Syiah tetap berkolaborasi dengan para penguasa Fatimiyah, sedang Sunni berkolaborasi dengan para penguasa Saljuk di Baghdad. Hal inilah yang kemudian mendorong mereka untuk berlomba-lomba untuk menanamkan ideologi kepada para pengikutnya. Dan untuk melawan ideologi Syiah tersebut, para penguasa dinasti Saljuk, terutama wazir Nidzam al-Mulk beranggapan bahwa tidak mungkin cukup melawan Syiah dengan kekuatan senjata. Perlawanan terhadap Syiah harus dilakukan pula dengan melalui pendidikan, yang dapat menanamkan ideologi Sunni secara sistematis, untuk membentengi mereka dari pengaruh Syiah. Bentuk perlawanan melalui pendidikan dilakukan karena Syiah sangat aktif dan sistematis melakukan indoktrinasi melalui pendidikan.[8]
Madrasah Nidzamiyah sebenarnya didirikan sebagai upaya membendung arus propaganda Syi'ah yang berpusat di Kairo dengan al-Azharnya. Madrasah Nidzamiyah pun telah memiliki spesifikasi khusus sebagai sebuah institusi pendidikan dengan spesifikasi pada teologi dan hukum Islam. Dan karena spesifikasi ini pulalah Madrasah Nidzamiyah sering disebut sebagai Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam.
Madrasah Nidzamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem madrasah. Artinya, dalam Madrasah Nidzamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nidzamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan – dengan perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara katalog dan juga laboratorium – memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang ketat dan pemberian beasiswa untuk yang berprestasi.[9]
Meski Madrasah Nidzamiyah memiliki spesifikasi pada kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan, seperti tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya. Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nidzamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai, kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum.[10]
Kurikulum Madrasah Nidzamiyah berpusat pada Al-Qur’an (membaca, menghafal, dan menulis), sastra Arab, sejarah Nabi SAW, dan berhitung, dengan menitikberatkan pada mazhab Syafi’i dan sistem teologi Asyariyah. Seorang tenaga pengajar di Nidzamiyah selalu dibantu oleh dua orang pelajar (mahasiswa) yang bertugas membaca dan menerangkan kembali kuliah yang telah diberikan kepada mahasiswa yang ketinggalan (asistensi). Sistem belajar di Madrasah Nidzamiyah adalah: tenaga pengajar berdiri di depan ruang kelas menyajikan materi-materi kuliah, sementara para pelajar duduk dan mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialog (soal-jawab) antara dosen dan para mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan yang tinggi.[11]
Status dosen di madrasah tersebut ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari khalifah dan bertugas dengan masa tertentu. Untuk menunjukkan  betapa madrasah ini mencoba mengembangkan diri menjadi
suatu lembaga pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman, sesudah Nidzam al-Mulk membuka madrasah-madrasah Nidzamiyah di banyak kota, ia menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi setiap tenaga pengajar di madrasah-madrasah tersebut. Namun kebijaksanaan Nidzam al-Muk tentang gaji tersebut belum bisa diterima oleh para tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyah. Mereka lebih suka tanpa digaji tetapi kesejahteraan hidupnya terjamin. Bagi para dosen gagasan untuk menggaji guru pada masa itu dipandang sebagai suatu gagasan yang terlalu maju.
Di antara kekuatan Madrasah Nidzamiyah adalah bahwa madrasah tersebut mendapat pengakuan negara. Madrasah Nidzamiyah telah mencatat nama-nama besar dan orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar. Di antara mereka adalah Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, seorang fakih Baghdad; Syekh Abu Nasr as-Sabbagh, Abu Abdullah at-Tahari, Abu Muhammad asy-Syirazi, Abu Qasim al-Alawi, at-Tibrizi, al-Qazwini, aI-Fairuz Abadi, Imam al-Haramain Abdul Ma’ali a1-Juwaini, dan Imam al-Ghazali. [12]
Rencana pengajarannya tidak diketahui dengan tegas. Menurut bukti-bukti di bawah ini, rencana pengajarannya hanya ilmu-ilmu syari’ah saja dan tak ada ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Buktinya sebagai berikut[13]:
a.       Tak ada seorang juga di antara ahli sejarah yang mengatakan bahwa di antara mata pelajarannya ada ilmu kedokteran, ilmu falak dan ilmu-ilmu pasti. Hanya saja mereka menyebutkan, bahwa di antara mata pelajarannya ialah nahwu, ilmu kalam dan fiqih.
b.      Guru-guru yang mengajar di Madrasah Nidzamiyah adalah ulama-ulama Syari’ah, seperti Abu Ishaq asy-Syirazi, aI-Ghazali, al-Qazwaini, lbn al-Jauzi dan lain-lain. Dan tiada dikenal, bahwa di sana ada seorang guru filsafat, maka madrasah itu adalah madrasah Syari’ah, bukan madrasah filsafat.
c.       Pendiri Madrasah Nidzamiyah itu bukanlah orang yang membela ilmu filsafat dan bukan pula orang membantu pembebasan filsafat.
d.      Zaman berdirinya Madrasah Nidzamiyah, bukanlah zaman flisafat, melainkan zaman menindas filsafat dan orang-orang filosof.
Dokumen wakaf dan Madrasah Nidzamiyah terpelihara, meskipun tidak secara utuh. Dari dokumen ini, bentuk wakaf yang membangun dan membiayai Nidzamiyah menjadi jelas, sebagai berikut[14]:
a.       Nidzamiyah merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul al-fiqh.
b.      Harta benda yang diwakafkan kepada Nidzamiyah adalah untuk kepentingan penganut mazhah Syafi’i dalam fiqih dan ushul aI-fiqih.
c.       Pejabat-pejabat utama Nidzamiyah harus bermazhab Syafi’i dalam fiqih dan ushul al-fiqih; ini mencakup mudarris, wa‘idh dan pustakawan.
d.      Nidzamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bidang kajian al-Qur’an.
e.       Nidzamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bahasa Arab.
f.       Setiap staf menerima bagian tertentu dan penghasilan yang diperoleh dan harta wakaf Nidzamiyah.
3.   Peranan Nidzam al-Mulk
Nidzam al-Mulk telah menetapkan anggaran belanja untuk seluruh madrasah-madrasah Nidzamiyah banyaknya 600.000 dinar. Untuk madrasah Nidzamiyah Baghdad saja ditetapkan sepersepuluhnya, yaitu 60.00 dinar tiap tahun.[15]
Di setiap dusun dan kota, didirikan madrasah-madrasah menurut sistem Nidzamiyah untuk penyebaran ilmu dan agama. Dan oleh Nidzam al-Mulk dibantu dengan buku-buku, keuangan dan guru-guru. Madrasah-madrasah Nidzam al-Mulk sangat terkenal di dunia, tidak ada satu daerah pun yang tidak memiliki seperti itu. Madrasah tersebut mencerminkan madrasah-madrasah yang ada di abad pertengahan. Madrasah-madrasah Nidzamiyah yang cukup besar telah didirikan di kota-kota sepeti Baghdad, Balakh, Nizabur, Herat, Isfahan, Basrah, Marwa, Aamal dan Mosul. Di setiap Irak dan Khurasan (Persia) terdapat madrasah-madrasah menurut sistem Nidzam al-Mulk. Sistem ini kemudian ditiru pula oleh kaum
Muslimin lainnya sehingga di setiap kota dan ibukota-ibukota negara
Islam lainnya bertebaranlah madrasah seperti itu.[16]
Nidzam al-Mulk yang lahir di Radkan, Tus, 10 April 1018 dan meninggal di Sihna, 14 Oktober 1092, menitik karir sebagai seorang wazir sultan-sultan Bani Saljuk di Alp Arslan.[17] Melalui surat pengangkatan dari Sultan, Nidzam mempunyai peran yang efektif terhadap perkembangan kerajaan, karena Nidzam memperlihatkan kemampuan administratif yang luar biasa dalam menjalankan jabatannya. Nidzam melakukan sejumlah pembaharuan dan perubahan, khususnya dalam bidang perpajakan dan penghargaan terhadap orang-orang yang belajar agama. Setelah dua tahun menduduki jabatan wazir, Nidzam mendirikan Madrasah Nidzamiyah di Baghdad yang dibuka pada tahun 457 H. Sedangkan mengenai pembiayaan Madrasah Nidzamiyah dan delapan madrasah lainnya, atas usaha Nidzam sendiri. Selama dua tahun dalam memegang jabatannya tidak cukup untuk mendukung atau membiayai pendidikan tinggi di kota-kota propinsi Iraq dan Khurasan atas dari sendiri, karena tidak ada bukti bahwa untuk membiayai madrasah, biayanya datang dari siswa orang tua siswa.[18]
Nidzam, mempunyai peran penting dalam hal pengembangan pendidikan, dan dalam hal yang lebih penting adalah sebagai administratur tertinggi kerajaan dengan otoritas delegasi dari Sultan atau Khalifah, karena dalam hal pengurusan madrasah, negara atau khalifah belum membentuk sebuah departemen yang khusus mengurus masalah ta'lim atau pengajaran. Maka lembaga-lembaga pendidikan umum pada saat itu tidak secara langsung dibiayai oleh negara tetapi dari sebagian besar dana yang bersifat waqaf masyarakat. Maka administrasi terhadap berbagai dana waqaf pendidikan dan pelaksanaan pengajaran berada dalam kekuasaan dan pengaturan ulama dengan pengawasan atau kontrol negara, karena para ulama juga diberi wewenang oleh negara untuk mengurus hal tersebut. Untuk itu, pelaksanaan dana waqaf ditentukan dengan surat akte-akte yang diatur berdasarkan hukum agama. Para ulama bebas dari tugas mengajar dan para ulama bertugas mengontrol dan menyeimbangkan atau menyesuaikan materi pelajaran terhadap pembelajaran masyarakat.[19]
Perbedaan antara masjid dan madrasah berada pada prioritas utama penggunaan dana wakaf, sebagaimana diatur oleh hukum wakaf. Dalam kasus madrasah, syaikh – bukan imam – dianggap lebih penting. Jadi, madrasah memperhatikan tenaga pengajar lebih dahulu, baru kemudian posisi-posisi lain. sesuai dengan ketersediaan dana. Madrasah mempunyai satu perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama. Walaupun perpustakaan telah lama terdapat di istana dan rumah-rumah bangsawan dan hartawan, penpustakaan sebagai bagian dan mesjid-akademi adalah hal yang jarang. Untuk menyediakan manuskrip bagi mahasiswa, madrasah mencontoh praktek halaqah-halaqah gerakan rasional yang telah terpenganuh o1eh budaya Helenistik. Jadi pada masa pemerintahan Abbasiyah, tersedianya berbagai karya lebih dan sekedar buku-buku pelajaran meningkatkan pengalaman belajar mahasiswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan kepada sejumlah tulisan, lebih dari sekedar kebutuhan langsung perkuliahan.
Dalam pembangunan madrasah wazir Nidzam al-Mulk menyediakan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, seorang imam, dan juga mahasiswa yang menerima beasiswa dan fasilitas asrama. Beasiswa untuk mahasiswa ini adalah perbedaan lain antara madrasah dan masjid-akademi, sebab dengan demikian madrasah lebih menarik bagi mahasiswa dan keluarga yang tidak kaya.[20]
4.   Kesimpulan
Sebagai sebuah istilah dan lembaga, madrasah telah ada sebelum Nidzam lahir. Beberapa perubahan muncul dalam maktab, tapi dengan munculnya madrasah maka sistem masjid dan halaqah telah menyatu dengan praktek penyedian perumahan dan pemberian biaya hidup terhadap para sarjana. Dengan demikian, madrasah hanya merupakan tambahan belaka, meskipun begitu masjid sebagai lembaga pendidikan tidak pernah diganti. Tetapi secara bertahap madrasah memperoleh perlakuan status sendiri yaitu tidak lagi banyak campur tangan dari masjid, sedangkan para guru dan murid dapat berpindah secara bebas dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan kebutuhan dan kecenderungan mereka sendiri.
Setiap madrasah mempunyai sumber penghasilan sendiri yaitu yang berasal dan  harta wakaf yang diperuntukkan untuk pembiayaan-pembiayaan mahasiswa dan para gurunya. Madrasah-madrasah seperti itu sangat memperhatikan pengajaran-pengajaran agama Islam, fiqih, tauhid, bahasa, dan pengetahuan umum.[21]
Nidzamiyah – mengambil nama dan Nidzam al-Mulk – berdiri sebagai madrasah paling unggul pada abad ke-11. Terletak di pusat kerajaan, Nidzamiyah menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi paling terkenal abad ini dan menjadi model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. Lagi pula, oleh karena tersedianya dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para ilmuwan mengetahui Nidzamiyah dan cara kerjanya lebih baik dari pengetahuan mereka tentang madrasah lain yang manapun.

Bibliografi :
Al-Abrasyi, Mohd. ‘Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. II.
Dawam, Ainurrafiq dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (t.tp: Lista Fariska Putra, 2005), Cet. II.
Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I.

http://artikel.us/mk-anam.html

http://www.miftahkhoir.bravehost.com/ Pendidikan%20Islam.htm
Mustakim, Zaenal, “Madrasah Nizhamiyyah: Model Perselingkuhan Pendidikan dan Negara”, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 2, No. 1, Mei 2005, P3M STAIN Pekalongan.
Sanaky, Hujair AH., “Asal Usul Dan Karakter Madrasah”, http://www. sanaky.com/materi/REVIU_ARTIKEL_A.pdf

Shaleh, Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa; Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I.

Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), Cet. I.
Tim Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), Cet. III, Jilid IV.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), Cet. VII.








 



[2]Prof. Dr. Moh. ‘Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. II, hlm. 82.
[3]Dr. Ainurrafiq Dawam, M.Ag dan Ahmad Ta’arifin, MA, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (t.tp: Lista Fariska Putra, 2005), Cet. II, hlm. 31-32. 
[4]Ibid.
[5]Dr. Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, hlm. 41.
[6]Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa; Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I, hlm. 11. 
[7]Zaenal Mustakim, “Madrasah Nizhamiyyah: Model Perselingkuhan Pendidikan dan Negara”, dalam Jurnal Penelitian, Vol. 2, No. 1, Mei 2005, P3M STAIN Pekalongan, hlm. 20.
[8]Ibid, hlm. 21.
[10]Namun sayangnya keadaan tersebut terhenti setelah kejatuhan Baghdad pada tahun 1258 M, dimana dunia pendidikan Islam mengalami kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi besar-besaran. Dari sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang telah ada. Ibid.
[11]Ibid.
[12]Tim Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), Cet. III, Jilid IV, hlm. 46. 
[13]Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), Cet. VII, hlm. 74-75.
[14]Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), Cet. I, hlm. 50.  
[15]Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm. 75.
[16]Prof. Dr. Moh. ‘Athiyah al-Abrasyi, op. cit., hlm. 83-84.
[17]Tim Redaksi, op. cit., hlm. 43.
[18]Hujair AH. Sanaky, “Asal Usul Dan Karakter Madrasah”,  http://www.sanaky.com/ materi/REVIU_ARTIKEL_A.pdf
[19]Ibid.
[20]Charles Michael Stanton, op. cit., hlm. 47. 
[21]Prof. Dr. Moh. ‘Athiyah al-Abrasyi, op. cit., hlm. 82.

Share This Article


Tidak ada komentar:

Posting Komentar