PENDIDIKAN MADRASAH NIDZAMIYAH
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan
benar-benar bisa dilaksanakan pada masa-masa kejayaan Islam. Dalam masa ini, pendidikan
benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi
peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab,
Asia Barat hingga Eropa Timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan
yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan.[1]
Islam menganjurkan umat Islam untuk senantiasa belajar.
Dan ternyata anjuran ini disambut baik sehingga pendidikan berkembang pesat di
masjid-masjid di seantero dunia Islam. Dan di tiap tempat itu pula terdapat
banyak kelompok-kelompok pendidikan. Kaum Muslimin merasakan bahwa mereka
sangat membutuhkan didirikannya madrasah-madrasah dan institut-institut tinggi.[2]
Pada pertengahan abad V Hijriah, tepatnya tahun 457 H,
berdirilah sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam yang didirikan oleh seorang
wazir Bani Saljuk, Nidzam al-Mulk. Lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah
ini dinamakan sesuai nama pendirinya, yakni Madrasah Nidzamiyah. Pada madrasah
ini telah mempraktikkan sistem pendidikan modern, dimana terdapat kurikulum dan
manajemen organisasi pada pengelolaannya.
1.
Sejarah Pendidikan Islam
Meskipun
penanaman kesadaran akan pentingnya ilmu sudah dimulai pada masa Nabi Muhammad,
bahkan pada masa-masa akhir sebelum Nabi wafat kesadaran akan pentingnya ilmu
bagi kehidupan-dapat dikatakan-sudah mendarah daging di kalangan umat Islam,
namun cikal bakal pendidikan Islam (dalam sebuah institusi) baru dimulai pada
masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Cikal
bakal pendidikan Islam dimulai ketika Umar, secara khusus, mengirimkan 'petugas
khusus' ke berbagai wilayah Islam untuk menjadi nara sumber (guru) bagi
masyarakat Islam di wilayah-wilayah tersebut. Para 'petugas khusus' ini
biasanya bermukim di masjid dan mengajarkan tentang Islam kepada masyarakat
melalui halaqah-halaqah dan majlis khusus untuk menpelajari agama dan terbuka
untuk umum.
Pada
perkembangan selanjutnya, materi yang diperbincangkan pada halaqah-halaqah ini
tidak hanya terbatas pada pengkajian agama (Islam), namun juga mengkaji
disiplin dan persoalan lain sesuai dengan apa yang diperlukan masyarakat.
Selain itu, diajarkan pula disiplin-disiplin yang menjadi pendukung kajian
agama Islam. Dalam hal ini antara lain kajian tentang bahasa dan sastra Arab,
baik nahwu, sorof maupun balagah. Selain terjadi pengembangan materi, terdapat
pula perkembangan di bidang sarana dan prasarana 'pendidikan', yakni adanya
upaya untuk membuat tempat khusus di (samping) masjid yang digunakan untuk
melakukan kajian-kajian tersebut. Tempat khusus ini kemudian dikenal sebagai
Maktab. Maktab inilah yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal institusi
pendidikan Islam.
Akar
sejarah pertumbuhan madrasah dalam dunia Islam melewati tiga tahap, yaitu: (1)
Tahap Masjid, (2) Tahap Masjid Khan, dan (3) Tahap Madrasah.[3]
Tahap
masjid berlangsung terutama pada abad ke delapan dan sembilan. Masjid yang
dimaksud dalam konteks ini adalah masjid yang selain digunakan sebagai tempat
shalat berjama’ah juga digunakan sebagai majlis taklim (pendidikan).
Tahap
kedua adalah lembaga masjid Khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan
bangunan Khan (asrama atau pondokan yang masih bergandengan dengan
masjid). Berbeda dengan masjid biasa, masjid Khan menyediakan tempat penginapan yang
cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota. Tahap ini
mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad ke-10.
Sedangkan
tahap ketiga adalah madrasah yang khusus diperuntukkan bagi lembaga pendidikan.
Pada tahap madrasah yang pada umumnya terdiri dan ruang belajar, ruang
pondokan, dan masjid, telah berhasil mengintegrasikan kelembagaan masjid biasa
(tahap pertama) dengan masjid Khan (tahap kedua). Demikianlah, lembaga
pendidikan Islam yang sebelumnya banyak dilakukan di masjid-masjid dan kuttab-kuttab ini terus mengalami penyesuaian.
Madrasah terus diperluas dan berkembang sejalan dengan perkembangan zaman
berikut ragam perubahan yang diimplikasinya. Setidaknya ada dua faktor yang
sangat berpengaruh bagi awal perkembangan madrasah. [4]
Pertama,
perhatian
dan peran aktif penguasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa keterlibatan pemerintah
memiliki andil yang cukup besar bagi perkembangan dan kemajuannya. Kedua, perhatian
yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat lainnya. Tidak
sedikit dan mereka yang mendirikan madrasah dengan model dan standar yang
relatif sama dengan madrasah yang didirikan oleh para penguasa pada zamannya.
2.
Pendidikan Madrasah Nidzamiyah
Dalam
sejarah Islam, madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad
11-12 M (abad ke-5 H), khususnya ketika Wazir Bani Saljuk, Nidzam al-Mulk
mendirikan madrasah Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 457 H.[5]
Sebuah lembaga pendidikan yang bertujuan menyebarkan pemikiran Sunni untuk
menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah, menyediakan tenaga-tenaga pengajar dan
kalangan Sunni dan menyebarkannya ke berbagai daerah, serta membentuk kelompok
pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin
kantor, khususnya di bidang peradilan dan manajemen. Pada abad pertengahan,
Madrasah Nidzamiyah kemudian dipandang sebagai lembaga pendidikan par excellence
dan menjadi trend di hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam. Pendirian ini
telah memperkaya khasanah lembaga pendidikan di lingkungan masyarakat Islam.[6]
Dalam kasus hubungan negara – dinasti Saljuk –
dengan Madrasah Nidzamiyah sebenarnya adalah hubungan antara penguasa dengan
sekte keagamaan Sunni. Dinasti Saljuk sebagai penguasa politik Dinasti
Abbasiyah (Sunni) mempunyai musuh yang sangat kuat yang berdekatan secara
geografis, yaitu Dinasti Fatimiyah di Mesir yang berafiliasi kepada Syiah.
Pertentangan Syiah – Sunni semakin nyata ketika pemerintahan Abbasiyah Baghdad
(al-Qaim) jatuh di tangan al-Basasiri, yang kemudian menyatakan ketertundukan
Baghdad terhadap kekuasaan Fatimiyah Mesir. Peristiwa tersebut tidak
berlangsung lama, karena Tughril Beg sebagai sultan pertama di Dinasti Saljuk
dapat merebut kembali Baghdad dan membunuh al-Basasiri.[7]
Pertentangan Syiah dengan Sunni terus berlanjut,
dengan masing-masing berkolaborasi dengan penguasa yang mempunyai kecenderungan
keagamaan yang sama dengan mereka. Syiah tetap berkolaborasi dengan para penguasa
Fatimiyah, sedang Sunni berkolaborasi dengan para penguasa Saljuk di Baghdad.
Hal inilah yang kemudian mendorong mereka untuk berlomba-lomba untuk menanamkan
ideologi kepada para pengikutnya. Dan untuk melawan ideologi Syiah tersebut,
para penguasa dinasti Saljuk, terutama wazir Nidzam al-Mulk beranggapan bahwa
tidak mungkin cukup melawan Syiah dengan kekuatan senjata. Perlawanan terhadap
Syiah harus dilakukan pula dengan melalui pendidikan, yang dapat menanamkan
ideologi Sunni secara sistematis, untuk membentengi mereka dari pengaruh Syiah.
Bentuk perlawanan melalui pendidikan dilakukan karena Syiah sangat aktif dan
sistematis melakukan indoktrinasi melalui pendidikan.[8]
Madrasah Nidzamiyah sebenarnya didirikan sebagai
upaya membendung arus propaganda Syi'ah yang berpusat di Kairo dengan
al-Azharnya. Madrasah Nidzamiyah pun telah memiliki spesifikasi khusus sebagai
sebuah institusi pendidikan dengan spesifikasi pada teologi dan hukum Islam.
Dan karena spesifikasi ini pulalah Madrasah Nidzamiyah sering disebut sebagai
Universitas Ilmu Pengetahuan Teologi Islam.
Madrasah Nidzamiyah merupakan perguruan pertama
Islam yang menggunakan sistem madrasah. Artinya, dalam Madrasah Nidzamiyah
telah ditentukan waktu penerimaan siswa, test kenaikan tingkat dan juga ujian
akhir kelulusan. Selain itu, Madrasah Nidzamiyah telah memiliki manajemen
tersendiri dalam pengelolaan dana, memiliki kelengkapan fasilitas pendidikan – dengan
perpustakaan yang berisi lebih dari 6000 judul buku yang telah diatur secara
katalog dan juga laboratorium – memiliki sistem perekrutan tenaga pengajar yang
ketat dan pemberian beasiswa untuk yang berprestasi.[9]
Meski Madrasah Nidzamiyah memiliki spesifikasi pada
kajian teologi dan hukum Islam, namun dalam kurikulum yang digunakan terdapat
pula perimbangan yang proporsional antara disiplin ilmu keagamaan, seperti
tafsir, hadis, fiqh, kalam dan lainnya. Bahkan, pada masa itu, kurikulum Nidzamiyah
menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.
Selain adanya institusi pendidikan yang memiliki
kapabilitas tinggi, pada masa kejayaan Islam, kegiatan keilmuan benar-benar
mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sehingga kebebasan akademik
benar-benar dapat dilaksanakan, kebebasan berpendapat benar-benar dihargai,
kalangan akademis selalu didorong untuk senantiasa mengembangkan ilmu melalui
forum-forum diskusi, perpustakaan selalu terbuka untuk umum, bahkan
perpustakaan pribadi dan istana pun terbuka untuk umum.[10]
Kurikulum
Madrasah Nidzamiyah berpusat pada Al-Qur’an (membaca, menghafal, dan menulis),
sastra Arab, sejarah Nabi SAW, dan berhitung, dengan menitikberatkan pada
mazhab Syafi’i dan sistem teologi Asyariyah. Seorang tenaga pengajar di Nidzamiyah
selalu dibantu oleh dua orang pelajar (mahasiswa) yang bertugas membaca dan
menerangkan kembali kuliah yang telah diberikan kepada mahasiswa yang
ketinggalan (asistensi). Sistem belajar di Madrasah Nidzamiyah adalah: tenaga
pengajar berdiri di depan ruang kelas menyajikan materi-materi kuliah,
sementara para pelajar duduk dan mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah)
yang disediakan. Kemudian dilanjutkan dengan dialog (soal-jawab) antara dosen
dan para mahasiswa mengenai materi yang disajikan dalam suasana semangat keilmuan
yang tinggi.[11]
Status
dosen di madrasah tersebut ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari khalifah
dan bertugas dengan masa tertentu. Untuk menunjukkan betapa madrasah ini mencoba mengembangkan diri
menjadi
suatu
lembaga pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman, sesudah Nidzam al-Mulk
membuka madrasah-madrasah Nidzamiyah di banyak kota, ia menetapkan untuk
memberi gaji setiap bulan bagi setiap tenaga pengajar di madrasah-madrasah
tersebut. Namun kebijaksanaan Nidzam al-Muk tentang gaji tersebut belum bisa
diterima oleh para tenaga pengajar di Madrasah Nidzamiyah. Mereka lebih suka
tanpa digaji tetapi kesejahteraan hidupnya terjamin. Bagi para dosen gagasan
untuk menggaji guru pada masa itu dipandang sebagai suatu gagasan yang terlalu
maju.
Di
antara kekuatan Madrasah Nidzamiyah adalah bahwa madrasah tersebut mendapat pengakuan
negara. Madrasah Nidzamiyah telah mencatat nama-nama besar dan orang-orang yang
mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar. Di antara mereka adalah Syekh Abu
Ishaq asy-Syirazi, seorang fakih Baghdad; Syekh Abu Nasr as-Sabbagh, Abu
Abdullah at-Tahari, Abu Muhammad asy-Syirazi, Abu Qasim al-Alawi, at-Tibrizi,
al-Qazwini, aI-Fairuz Abadi, Imam al-Haramain Abdul Ma’ali a1-Juwaini, dan Imam
al-Ghazali.
[12]
Rencana
pengajarannya tidak diketahui dengan tegas. Menurut bukti-bukti di bawah ini,
rencana pengajarannya hanya ilmu-ilmu syari’ah saja dan tak ada ilmu-ilmu hikmah
(filsafat). Buktinya sebagai berikut[13]:
a.
Tak ada seorang juga
di antara ahli sejarah yang mengatakan bahwa di antara mata pelajarannya ada ilmu
kedokteran, ilmu falak dan ilmu-ilmu pasti. Hanya saja mereka menyebutkan,
bahwa di antara mata pelajarannya ialah nahwu, ilmu kalam dan fiqih.
b.
Guru-guru yang
mengajar di Madrasah Nidzamiyah adalah ulama-ulama Syari’ah, seperti Abu Ishaq asy-Syirazi,
aI-Ghazali, al-Qazwaini, lbn al-Jauzi dan lain-lain. Dan tiada dikenal, bahwa
di sana ada seorang guru filsafat, maka madrasah itu adalah madrasah Syari’ah,
bukan madrasah filsafat.
c.
Pendiri Madrasah Nidzamiyah
itu bukanlah orang yang membela ilmu filsafat dan bukan pula orang membantu pembebasan
filsafat.
d.
Zaman berdirinya Madrasah
Nidzamiyah, bukanlah zaman flisafat, melainkan zaman menindas filsafat dan orang-orang
filosof.
Dokumen
wakaf dan Madrasah Nidzamiyah terpelihara, meskipun tidak secara utuh. Dari
dokumen ini, bentuk wakaf yang membangun dan membiayai Nidzamiyah menjadi
jelas, sebagai berikut[14]:
a.
Nidzamiyah merupakan
wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan
ushul al-fiqh.
b.
Harta benda yang
diwakafkan kepada Nidzamiyah adalah untuk kepentingan penganut mazhah Syafi’i
dalam fiqih dan ushul aI-fiqih.
c.
Pejabat-pejabat
utama Nidzamiyah harus bermazhab Syafi’i dalam fiqih dan ushul al-fiqih; ini
mencakup mudarris, wa‘idh dan pustakawan.
d.
Nidzamiyah harus
mempunyai seorang tenaga pengajar bidang kajian al-Qur’an.
e.
Nidzamiyah harus
mempunyai seorang tenaga pengajar bahasa Arab.
f.
Setiap staf menerima
bagian tertentu dan penghasilan yang diperoleh dan harta wakaf Nidzamiyah.
3. Peranan
Nidzam al-Mulk
Nidzam
al-Mulk telah menetapkan anggaran belanja untuk seluruh madrasah-madrasah Nidzamiyah banyaknya 600.000 dinar.
Untuk madrasah Nidzamiyah Baghdad saja ditetapkan
sepersepuluhnya, yaitu 60.00 dinar tiap tahun.[15]
Di
setiap dusun dan kota, didirikan madrasah-madrasah menurut sistem Nidzamiyah untuk
penyebaran ilmu dan agama. Dan oleh Nidzam al-Mulk dibantu dengan buku-buku,
keuangan dan guru-guru. Madrasah-madrasah Nidzam al-Mulk sangat terkenal di dunia,
tidak ada satu daerah pun yang tidak memiliki seperti itu. Madrasah tersebut
mencerminkan madrasah-madrasah yang ada di abad pertengahan. Madrasah-madrasah
Nidzamiyah yang cukup besar telah didirikan di kota-kota sepeti Baghdad, Balakh,
Nizabur, Herat, Isfahan, Basrah, Marwa, Aamal dan Mosul. Di setiap Irak dan Khurasan
(Persia) terdapat madrasah-madrasah menurut sistem Nidzam al-Mulk. Sistem ini
kemudian ditiru pula oleh kaum
Muslimin lainnya sehingga di setiap kota dan ibukota-ibukota negara
Islam lainnya bertebaranlah madrasah seperti itu.[16]
Muslimin lainnya sehingga di setiap kota dan ibukota-ibukota negara
Islam lainnya bertebaranlah madrasah seperti itu.[16]
Nidzam al-Mulk yang lahir di Radkan, Tus, 10 April
1018 dan meninggal di Sihna, 14 Oktober 1092, menitik karir sebagai seorang
wazir sultan-sultan Bani Saljuk di Alp Arslan.[17]
Melalui surat pengangkatan dari Sultan, Nidzam mempunyai peran yang efektif
terhadap perkembangan kerajaan, karena Nidzam memperlihatkan kemampuan
administratif yang luar biasa dalam menjalankan jabatannya. Nidzam melakukan
sejumlah pembaharuan dan perubahan, khususnya dalam bidang perpajakan dan
penghargaan terhadap orang-orang yang belajar agama. Setelah dua tahun menduduki
jabatan wazir, Nidzam mendirikan Madrasah Nidzamiyah di Baghdad yang dibuka
pada tahun 457 H. Sedangkan mengenai pembiayaan Madrasah Nidzamiyah dan delapan
madrasah lainnya, atas usaha Nidzam sendiri. Selama dua tahun dalam memegang
jabatannya tidak cukup untuk mendukung atau membiayai pendidikan tinggi di
kota-kota propinsi Iraq dan Khurasan atas dari sendiri, karena tidak ada bukti
bahwa untuk membiayai madrasah, biayanya datang dari siswa orang tua siswa.[18]
Nidzam, mempunyai peran penting dalam hal
pengembangan pendidikan, dan dalam hal yang lebih penting adalah sebagai
administratur tertinggi kerajaan dengan otoritas delegasi dari Sultan atau Khalifah,
karena dalam hal pengurusan madrasah, negara atau khalifah belum membentuk
sebuah departemen yang khusus mengurus masalah ta'lim atau pengajaran. Maka
lembaga-lembaga pendidikan umum pada saat itu tidak secara langsung dibiayai
oleh negara tetapi dari sebagian besar dana yang bersifat waqaf masyarakat.
Maka administrasi terhadap berbagai dana waqaf pendidikan dan pelaksanaan
pengajaran berada dalam kekuasaan dan pengaturan ulama dengan pengawasan atau
kontrol negara, karena para ulama juga diberi wewenang oleh negara untuk
mengurus hal tersebut. Untuk itu, pelaksanaan dana waqaf ditentukan dengan
surat akte-akte yang diatur berdasarkan hukum agama. Para ulama bebas dari
tugas mengajar dan para ulama bertugas mengontrol dan menyeimbangkan atau
menyesuaikan materi pelajaran terhadap pembelajaran masyarakat.[19]
Perbedaan
antara masjid dan madrasah berada pada prioritas utama penggunaan dana wakaf,
sebagaimana diatur oleh hukum wakaf. Dalam kasus madrasah, syaikh – bukan
imam – dianggap lebih penting. Jadi, madrasah memperhatikan tenaga pengajar
lebih dahulu, baru kemudian posisi-posisi lain. sesuai dengan ketersediaan
dana. Madrasah mempunyai satu perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang
sama. Walaupun perpustakaan telah lama terdapat di istana dan rumah-rumah
bangsawan dan hartawan, penpustakaan sebagai bagian dan mesjid-akademi adalah
hal yang jarang. Untuk menyediakan manuskrip bagi mahasiswa, madrasah mencontoh
praktek halaqah-halaqah gerakan rasional yang telah terpenganuh o1eh
budaya Helenistik. Jadi pada masa pemerintahan Abbasiyah, tersedianya berbagai
karya lebih dan sekedar buku-buku pelajaran meningkatkan pengalaman belajar
mahasiswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan kepada
sejumlah tulisan, lebih dari sekedar kebutuhan langsung perkuliahan.
Dalam
pembangunan madrasah wazir Nidzam al-Mulk menyediakan wakaf untuk membiayai
seorang mudarris, seorang imam, dan juga mahasiswa yang menerima
beasiswa dan fasilitas asrama. Beasiswa untuk mahasiswa ini adalah perbedaan
lain antara madrasah dan masjid-akademi, sebab dengan demikian madrasah lebih
menarik bagi mahasiswa dan keluarga yang tidak kaya.[20]
4. Kesimpulan
Sebagai
sebuah istilah dan lembaga, madrasah telah ada sebelum Nidzam lahir. Beberapa
perubahan muncul dalam maktab, tapi dengan munculnya madrasah maka sistem
masjid dan halaqah telah menyatu
dengan praktek penyedian perumahan dan pemberian biaya hidup terhadap para
sarjana. Dengan demikian, madrasah hanya merupakan tambahan belaka, meskipun
begitu masjid sebagai lembaga pendidikan tidak pernah diganti. Tetapi secara
bertahap madrasah memperoleh perlakuan status sendiri yaitu tidak lagi banyak
campur tangan dari masjid, sedangkan para guru dan murid dapat berpindah secara
bebas dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan kebutuhan dan kecenderungan
mereka sendiri.
Setiap
madrasah mempunyai sumber penghasilan sendiri yaitu yang berasal dan
harta wakaf yang diperuntukkan untuk pembiayaan-pembiayaan mahasiswa dan
para gurunya. Madrasah-madrasah seperti itu sangat memperhatikan
pengajaran-pengajaran agama Islam, fiqih, tauhid, bahasa, dan pengetahuan umum.[21]
Nidzamiyah
– mengambil nama dan Nidzam al-Mulk – berdiri sebagai madrasah paling unggul
pada abad ke-11. Terletak di pusat kerajaan, Nidzamiyah menjadi salah satu
pusat pendidikan tinggi paling terkenal abad ini dan menjadi model bagi
pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. Lagi
pula, oleh karena tersedianya dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para
ilmuwan mengetahui Nidzamiyah dan cara kerjanya lebih baik dari pengetahuan
mereka tentang madrasah lain yang manapun.
Bibliografi
:
Al-Abrasyi,
Mohd. ‘Athiyah, Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. II.
Dawam,
Ainurrafiq dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen
Madrasah Berbasis Pesantren, (t.tp: Lista Fariska Putra, 2005), Cet. II.
Fahmi,
Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I.
http://artikel.us/mk-anam.html
http://www.miftahkhoir.bravehost.com/
Pendidikan%20Islam.htm
Mustakim,
Zaenal, “Madrasah Nizhamiyyah: Model Perselingkuhan Pendidikan dan Negara”,
dalam Jurnal Penelitian, Vol. 2, No.
1, Mei 2005, P3M STAIN Pekalongan.
Sanaky,
Hujair AH., “Asal Usul Dan Karakter Madrasah”, http://www.
sanaky.com/materi/REVIU_ARTIKEL_A.pdf
Shaleh, Abdul Rachman, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa; Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Cet. I.
Stanton,
Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos Publishing House,
1994), Cet. I.
Tim
Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), Cet. III, Jilid IV.
Yunus,
Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), Cet. VII.
[2]Prof. Dr.
Moh. ‘Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. II, hlm. 82.
[3]Dr.
Ainurrafiq Dawam, M.Ag dan Ahmad Ta’arifin, MA, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (t.tp: Lista Fariska Putra,
2005), Cet. II, hlm. 31-32.
[4]Ibid.
[5]Dr. Asma
Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, hlm. 41.
[6]Abdul
Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan
Anak Bangsa; Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2004), Cet. I, hlm. 11.
[7]Zaenal
Mustakim, “Madrasah Nizhamiyyah: Model Perselingkuhan Pendidikan dan Negara”,
dalam Jurnal Penelitian, Vol. 2, No.
1, Mei 2005, P3M STAIN Pekalongan, hlm. 20.
[8]Ibid, hlm. 21.
[10]Namun
sayangnya keadaan tersebut terhenti setelah
kejatuhan Baghdad pada tahun 1258 M, dimana dunia pendidikan Islam mengalami
kemunduran dan kejumudan. Paradigma pendidikan Islam pun mengalami distorsi
besar-besaran. Dari sebuah paradigma yang progresif dengan dilandasi keinginan
menegakkan agama Allah menjadi paradigma yang sekedar mempertahankan apa yang
telah ada. Ibid.
[11]Ibid.
[12]Tim
Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), Cet. III, Jilid IV, hlm. 46.
[13]Prof.
Dr. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), Cet. VII, hlm. 74-75.
[14]Charles
Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam
Islam, Terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994),
Cet. I, hlm. 50.
[15]Prof.
Dr. H. Mahmud Yunus, op. cit., hlm.
75.
[16]Prof.
Dr. Moh. ‘Athiyah al-Abrasyi, op. cit.,
hlm. 83-84.
[17]Tim
Redaksi, op. cit., hlm. 43.
[18]Hujair AH. Sanaky, “Asal Usul Dan Karakter
Madrasah”, http://www.sanaky.com/
materi/REVIU_ARTIKEL_A.pdf
[19]Ibid.
[20]Charles
Michael Stanton, op. cit., hlm.
47.
[21]Prof.
Dr. Moh. ‘Athiyah al-Abrasyi, op. cit.,
hlm. 82.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar