abiquinsa: Terjemah Fathul Qorib (Syarah Taqrib)

Terjemah Fathul Qorib (Syarah Taqrib)



TERJEMAH FATHUL QORIB

SYAIKH MUHAMMAD QOSIM AL GHAZI

(SYARAH MATAN TAQRIB)

AL IMAM AL ALLAMAH AHMAD BIN HUSAIN
AL MASYHUR BI ABI SUJA’
ROHIMAHULLAHUTAALA
AMIN


PENGANTAR
Pujian dan sanjungan hanya hak dan milik Alloh yang telah berfirman : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam : 115). Benar dalam seluruh beritanya dan adil dalam setiap perintah dan laranganNya.
Sholawat dan salam bagi kekasih Ar Rohman; Muhammad bin Abdillah yang telah bersabda : “Barangsiapa yang dikendaki baiknya oleh Alloh Ta’ala, maka Dia Ta’ala akan memfaqihkan dia pada agama”.
Tulisan yang akan kami sajikan kehadapan pembaca merupakan kitab fiqih dalam Madzhab Imam As Syafi’i rohimahulloh, yakni kitab FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB . Kami akan tampilkan secara bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya saya berharap bisa memberikan gambaran secara utuh lagi umum tentang fiqih Madzhab. Amin.
Metode yang saya kerjakan sangatlah sederhana, yakni :

  1. Menterjemahkan kitab, dengan memberi tanda […] pada matan asli yakni kitab At Taqriib dan membiarkannya tanpa tanda […] untuk terjemah syarh/penjelasan.
  2. Memberi catatan pada beberapa kalimat yang Alloh Ta’ala taqdirkan mudah bagiku. Catatan ini terkadang berupa
    a. Menyebutkan pengertian dan penjelasan ringkas.
    b. Penyebutan dalil yang menjadi saksi bagi permasalahan atau pendapat tersebut.
    c. Penetapan pendapat yang kuat pada suatu permasalahan, hal ini dilakukan ketika pendapat madzhab merupakan
    pendapat lemah secara tinjuan dalil  dan alasan.
Demikian pengantar ini saya sampaikan, semoga pekerjaan ini menjadi amal sahalih bagi penulis, pensyarah, penerjemah dan seluruh pembaca. Amin.
Sholawat dan salam bagi Rosululloh, keluarga, sahabat dan seluruh manusia yang menempuh sunnah-nya. Aamiin.
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Syaikh Al Imam  Al ‘Alim Al ‘Alamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim As Syafi’i -Semoga Alloh melimpahkan rahmat dan keridlhoannya amin- berkata :
Seluruh pujian hanya hak Alloh, memulainya dengan hamdalah karena berharap berkah, karena merupakan permulaan setiap urusan yang penting, penutup setiap puji yang diijabah, dan akhir ungkapan orang-orang mu’min di surga, kampung pahala. Aku memujiNya yang telah memberikan taufiq kepada setiap yang Dia kehendaki dari kalangan para hambanya, untuk tafaquh di dalam Agama sesuai dengan yang dikehendakiNya.  Aku bersholawat dan memohonkan keselamatan bagi makhluk termulia, Muhammad penghulu para utusan, yang bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللّهُ بهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki kebaikannya maka Dia Ta’ala akan memahamkannya pada agama” (HR. Bukhori[71], Muslim[1037]), demikian pula sholawat dan salam bagi seluruh pengikut dan sahabatnya, selama ada orang-orang yang berdzikir dan adanya orang-orang yang lalai.
Kemudian, kitab ini sangatlah ringkas dan runtut, kitab ini saya berinama At Taqrib, dengan harapan para pemula bisa mengambil manfa’at dalam masalah cabang syari’at dan agama, dan supaya menjadi media bagi kebahagiaanku pada hari pembalasan, serta bermanfa’at bagi para hambanya dari orang-orang Islam. Sesungguhnya Dia maha Mendengar permintaan hambanya, Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan, orang yang memaksudkanNya tidak akan sia-sia “Jika hambaku bertanya kepada mu, maka sesungguhnya Aku sangatlah Dekat”. (QS. Al Baqoroh : 186).
Ketahuilah!, dalam sebagian naskah kitab pada muqoddimahnya terkadang penamaanya dengan AT TAQRIB dan terkadang pula dengan GHOYATUL IKHTISHOR, oleh karena itu saya pun manamainya dengan dua nama, pertama FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB, kedua AL QAUL AL MUKHTAR FI SYARHI GHOYATIL IKHTISHOR.
***
As Syaikh Al Imam Abu Thoyyib, dan terkenal pula dengan nama Abi Suja’ Syihabul millah wad dien Ahmad bin Al Husain bin Ahmad Al Ashfahaniy –semoga Alloh memperbanyak curahan rahmat dan keridlhoan kepadanya, dan menempatkannya di surga tertinggi– berkata:
[Bismillahirrohmaanirrohim] Aku memulai tulisan ini Alloh  merupakan nama bagi Dzat Yang Wajib Adanya ‘wajibul wujud’ Ar Rohman lebih menyampaikan daripada Ar Rohim.
[Al Hamdu] merupakan pujian kepada Alloh Ta’ala dengan keindahan/kebaikan disertai pengagungan. [Robbi] yaitu Yang Maha Menguasai. [Al ‘Aalamin] dengan difatahkan, ia sebagimana pendapat Ibnu Malik : Kata benda jamak yang khusus digunakan bagi yang berakal, bukan seluruhnya. Kata tunggalnya ‘aalam dengan difathahkan huruf lam, ia merupakan nama bagi selain Alloh Ta’ala  dan jamaknya khusus bagi yang berakal.
[Dan sholawat Alloh] serta salam [atas pengulu kita, Muhammad sang Nabi] ia dengan hamzah dan tidak dengan hamzah adalah manusia yang diberikan wahyu kepadanya dengan syari’at yang dia beramal dengannya walaupun tidak diperintahkan menyampaikannya, maka jika diperintahkan menyampaikan maka dia Nabi dan Rosul. Maknanya curahkanlah sholawat dan salam kepadanya. Muhammad adalah nama yang diambil dari isim maf’ul al mudlho’af al ‘ain. Dan Nabi merupakan badal dari nya  atau ‘athof bayan.  [Dan] bagi [keluarganya yang suci], mereka sebagaimana diungkapkan As Syafi’i : Keluarganya yang beriman dari Bani Hasyim dan Bani Al Mutholib, dikatakan dan An Nawawi memilihnya : Mereka adalah seluruh orang muslim. Mudah-mudahan perkataanya ath thohirin diambil dari firmanNya Ta’ala : “dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. Al Ahzab : 33). [Dan] bagi [para sahabatnya], ia jamak dari shohibun nabi . Dan perkataanya [seluruhnya] merupakan takid ‘penegas’ dari shohabat.
Kemudian penulis menyebutkan bahwa dia menulis ringkasan ini karena suatu permintaan, dalam perkataannya : [sebagian ‘al asdhiqo’ sahabat-sahabtku memintaku], ia jamak dari shodiiq. Dan perkataanya : [semoga Alloh Ta’ala menjaga mereka], ia merupakan kalimat du’a. [supaya aku membuat suatu ringkasan], ia adalah sesuatu yang sedikit lafadznya dan banyak maknanya [dalam fiqih], ia secara bahasa bermakna pemahaman, adapun secara istilah adalah pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’iyah ‘amaliyah yang diusahakan dari dalil-dailnya yang rinci. [Madzhab Al Imam] yang mulia, mujtahid, penolong sunnah dan agama, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Utsman bin Syafi’i. [Asy Syafi’i] dilahirkan di Gaza tahun 150 H dan wafat [semoga kepadanya tercurah rahmat dan keridlhoanNya] hari Jum’at akhir bulan Rajab tahun 204 H.
Penulis mensifati ringkasannya dengan ragam sifat, diantaranya [pada puncak ringkasan dan akhir rangkuman] dan kata-kata al ghoyah dan nihayah memiliki kedekatan makna, demikian pula al ikhtisor dan al ijaz, diantara sifatnya pula [mendekatkan pemahaman pada pelajar] kepada cabang fiqih [untuk mempelajarinya dan mempermudah para pemula untuk menghafalnya] yakni menghadirkannya dari hafalan bagi orang-orang yang berkeinginan menghafal ringkasan ilmu fiq. [Dan] sebagian sahabat meminta pula supaya aku [memperbanyak didalamnya] yakni di dalam ringkasan tersebut [pembagian-pembagian] ahkam fiqhiyyah [dan] dari [membatasi] yakni seksama [dalam menentukan] yang wajib, mandzub dan selain keduanya. [Maka aku berkeinginan mengabulkan pada] permintaannya karena [mengharap pahala] dari Alloh Ta’ala atas usaha menulis ringkasan ini. [Harapan hanya kepada Alloh yang maha suci lagi maha tinggi] di dalam bantuan –dari keutamaanNya– untuk menuntaskan ringkasan ini, dan [harapan pula hanya kepada Alloh, untuk mendafatkan taufiq pada kebenaran], ia merupakan lawan dari salah. [SesungguhNya] Ta’ala [atas segala sesuatu yang dikehendakiNya yakni diinginkannya [Maha Mampu] yakni Maha Sanggup [dan Dia kepada para hambanya Maha Lembut lagi Maha Mengetahui] keadaan para hambanya. Yang pertama diambil dari firmanNya Ta’ala “Alloh Maha Lembut kepada para hambanya” (QS. Asy Syuro : 19), yang kedua diambil dari firmanNya Ta’ala “Dan Dia Maha Bijaksana lgi Maha Mengetahui” (QS. Al An’am : 18), al lathif dan al Khobir merupakan dua nama diantara nama-nama Alloh Ta’ala. Makna yang pertama ‘al lathif’ yang mengetahui segala sesuatu secara detil dan permasalahan-permasalahannya, ia kadang dimutlakan pula pada makna Maha lembut kepada mereka, maka Alloh Maha Mengetahui tentang para hambanya dan tempat-tempat kebutuhan/kehendak/keinginan mereka lagi Maha lembut kepada mereka. Makna yang kedua memiliki kedekatan makna dengan yang pertama, dikatakan : khobartu asysyaia akhbarohu fa anaa bihi khobiirun, yakni mengetahui.
***



[1] Syaikh merupakan masdar dari syaa-kho, dikatakan syaa-ko – yasyii-ku – syaikhon, ia secara bahasa orang yang telah melewati usia empat puluh tahun. Manusia selama berada di perut ibunya dinamakan janin, karena tersembunyi dan terhalanginya, setelah dilahirkan disebut athiflu, dzuriyyah, dan shobiy. Setelah baligh disebut syaab dan fataa. Setelah usia tigapuluh tahun disebut kahul. Setelah empat puluh tahun jika laki-laki disebut syaikh, dan bila perempuan disebut syaikhoh. Adapun secara istilah adalah orang yang telah mencapai kedudukan oranr-orang yang memiliki keutamaan, walaupun masih anak-anak. (Lihat Hasyiyah Baajuuriy Qosim, Daaru Ihya al Kutub al ‘Arobiyyah, h. 3).
[2] Secara bahasa al muttaba’ (yang diikuti), adapun secara istilah orang yang sah untuk dijadikan contoh. (ibid).
[3] Maknanya yang memiliki banyak ilmu. (ibid).
[4] Beliau wafat pada tahun 918 H.
[5] Qodiy Abu Suja lahir pada tahun 434 H (1041 M), dan wafat tahun 592 H (1197 M) semoga Alloh merahmati dan meninggikan derajatnya, Amin
[6] Penulis rohimahulloh memulai risalahnya dengan bismillah karena :
  1. Mengikuti kitab Alloh Ta’ala, ia merupakan ayat pertama dari surat al Fatihah, bagian dari surat an Naml dan merupakan ayat mustaqillah dari surat-surat yang lainnya; yakni sebagai pemisah diantara surat, kecuali antara surat al Anfal dan surat Al Baroah.
  2. Mengikuti sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, sebagimana dalam sahih al Bukhori hadits dari Abi Sufyan tentang surat baginda sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada pemdesar negeri Romwai, demikian pula hadits Miswar tentang perjanjian Hudaibiyah.
  3. Mengikuti kebiasaan para Imam dalam menulis kitab dan risalah, demikian diungkapkan Ibnu Hajar Al Asqolaniy dalam Fathul Bari Syarh Sahih Al Bukhori[6].
Adapun hadits yang menyebutkan : “Setiap urusan penting yang tidak diawali dengan bismillahirrohmanirrohim maka terputus” dan yang semakna atau semisal dengannya maka haditsnya Dlhoif/lemah. Diantara yang menghukuminya Al Hafidz Ibnu Hajar As Syafi’i, As Syakhowiy dan yang lain-lainnya.
Hukum Membaca Bismillah.
Ia terbagi pada hukum yang lima :
  1. Sunnah dalam segala urusan yang memiliki nilai penting, kita tidak menyandarkannya pada hadits di atas, namun sebagai bentuk ikutan pada perbuatan Rosul dan kebiasaan para ulama; pewaris para nabi. Dan yang pertama menulis kalimat bismillahirrohmanirrohim secara lengkap pada permulaan risalah/surat nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
  2. Haram tatkala akan mengerjakan sesuatu yang haram secara dzatnya, seperti tatkala akan minum khomr/minuman memabukan, zina dan lain sebagainya. Bahkan dikhawatirkan riddahnya karena ada bentuk pelecehan pada kalimat bissmillah itu sendiri.
  3. Makruh tatkala akan mengerjakan yang makruh secara dzatnya, seperti tatkala mau merokok bagi yang berpendapat makruhnya. Atau tatkala akan melihat kemaluan istrinya menurut madzhab; namun pendapat ini lemah, akan datang penjelasannya pada Kitab Nikah insya Alloh.
  4. Wajib ketika sedang sholat, karena ia bagian dari surat al Fatihah.
  5. Mubah ketika akan mengerjakan sesuatu yang tidak memiliki nilai penting, seperti ketika akan memindahkan barang dan yang lain-lainnya.
Demikianlah diantara penjelasan yang disampaikan sebagian para ulama, semoga Alloh merahmati yang telah meninggal dunia, dan menjaga yang masih di hidup di alam fana.
[7] Lafadz الله merupakan a’rofu lma’arif ‘alal ithlaq, yakni  nama yang paling diketahui disemua tempat dan waktu; sehingga ketika disebutkan nama الله maka pikiran-pun mengerti tentang siapakah Dia; Dia-lah Alloh Rabb semesta Alam; Pencipta, Pengatur Alam Semesta, Pemberi Rizki; Serta Dia-lah yang berhaq di sembah. Dikatakan pula lafadz الله  merupakan ismun ‘a-dzom, karena ia merupakan nama yang paling banyak disebutkan di dalam al Qur’an, atau karena setiap nama yang datang setelahnya merupakan sifat baginya.
[8] Sebagaimana telah diketahui oleh para pencari ilmu, tatkala kita beriman kepada Alloh maka kita menetapkan adanya Alloh Ta’ala, maka ketahuilah bahwa adanya Alloh Ta’ala wajibul wujud li dzatihi, yakni tidak didahului dengan ketiadaan dan tidak diakhiri dengan ketiadaan I. Dia Y merupakan wajibul wujud lidzatihi [ini bab khobar], berbeda dengan makhluk, karena adanya makhluk bukan-lah sesuatu yang wajib dan bukan pula sesuatu yang terlarang; Karena, andaikan saja adanya makhluk itu merupakan sesuatu yang wajib maka tidak akan didahului dengan ketiadaan, ketiadaan yang mendahului adanya makhluk merupakan petunjuk bahwa keberadaannya itu bukanlah sesuatu yang wajib, bahkan merupakan sesuatu yang jaiz (boleh), (dan) bukan pula sesuatu yang terlarang; Karena Alloh telah menciptakan dan mengadakannya. Maka sesuatu yang mumtani’ (terlarang) tidak dijadikan\diciptakan, maka ini menunjukan bahwa adanya makhluk merupakan wujudun jaizun (adanya itu merupakan sesuatu yang boleh), ketiadaan telah mendahuluinya, ketiadaan akan menjumpainya, kelemahan dan kekurangan akan menyertainya.
[9] Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berpendapat bahwa [الرحمن] menunjukkan atas sifat yang ada pada Dzat U. Adapun [الرحيم] adalah menunjukkan pada keterkaitannya dengan yang dirahmati; Oleh karenanya tidaklah terdapat di dalam Al-Qur’an nama Ar-rohman dalam kedaan muta’adi; Alloh U berfirman : (( وكان الله بالمؤمنين رحيما )) [Al Ahzab : 43]. Dan tidaklah dikatakan “ رحمانا ”. Inilah sebaik-baik pendapat yang dikatakan dalam masalah perbedaan antara keduanya.
[10] ( ال ) Alif dan lam” dalam kata الحمد adalah lil-istighroq. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa ال tersebut liljinsi, maknanya : Bahwa seluruh (jenis) pujian yang sempurna adalah bagi Alloh; Jika demikian, maka mengandung konsekwensi tetapnya segala yang dipuji dari sifat-sifat yang sempurna nan Maha Indah bagi Alloh U.
Dimanakah Alloh dipuji ?. Imam As Syanqhity rohimahulloh ketika menafsirkan surat Al Fatihah berkata : “Dalam hamd (pujian) di sini tidak disebutkan dzorof  zaman atau pun dzorof makan. Telah disebutkan dalam surat Ar Rum bahwa dzhorof makan-nya adalah langit dan bumi : “Baginyalah  pujian di langit dan di bumi”; Disebutkan pula dalam surat Al Qhosos bahwa dzhorof-nya adalah dzhorof zaman, yakni di dunia dan di akhirat, Dia U berfirman : “Dan Dia-lah Alloh yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagi-Nya lah pujian di dunia dan di akhirat.
Ragam pujian terkumpul dalam lima simpul :
  1. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam kemandirian dalam rububiyahNya yang tiada sekutu baginya; dan terpuji pula dalam jejak-jejak rububiyahNya pada seluruh makhluknya.
  2. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam uluhiyyahNya (hak-hak ketuhanan) dari seluruh makhlukNya; Dan Alloh-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tanpa sekutu di dalamya.
  3. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dikarenakan nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang tinggi.
  4. Alloh jalla wa ‘ala dipuji karena syari’at, perintah dan larangan-Nya.
  5. Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam ketentuan-ketentuan dan taqdir-Nya serta semua hal yang bejalan dalam sunnah kauniyahnya (hukum alam –pen).
Perbedaan Antara Hamdu dengan Madhu. Al Hamdu mengabarkan kebaikan yang dipuji dengan disertai kecintaan dan pengagungan. Sedangkan Al Madhu hanya mengabarkan saja tanpa dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan.
Perbedaan Antara hamad (pujian) dan tsana (sanjungan). Sebagian para ulama tidak membedakan antara hamd dengan tsana. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata : “Al-hamdu adalah mensifati yang dipuji dengan kesempurnaan dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan, jika sifat kesempurnaan itu diulang maka menjadi tsana (sanjungan).
[11] (عالم) ‘aalam’, ia merupakan isim jenis, ia bisa jadi mustaq dari ‘alamah atau dari kata ‘ilmu. Keduanya merupakan makna yang bisa diterima, sebagimana diungkapkan oleh al Baghowi rohimahulloh dalam kitab tafsirnya. Jika di ambil dari yang pertama maka dikatakan : ‘Alam merupakan ‘alamah (tanda) adanya Alloh Ta’ala. Jika di ambil dari yang kedua (‘ilmu) maka dikatakan : Dengan adanya alam manusia menjadi tahu adanya Alloh subhanahu wa Ta’ala, atau : «Alloh tidak menciptakan ‘alam kecuali dilandasi ilmu yang sempurna». Kedua makna ini sahih/benar.
[12] Bila dengan hamzah maka yang dimaksud (النبيء) maka ia diambil dari (النبأ) an-naba yang berarti al khobar ‘berita ; Karena nabi dikabari dan mengabarkan, dikabari dari sisi Alloh dan mengabarkan kepada makhluk. Bila tanpa hamzah maksudnya (النبي), ia diambil dari (النبوة) yang bermakna (الإرتفاع) al irtifa’, karena nabi memiliki kedudukan yang tinggi. Jadi kedua makna ini bisa dipakai. Allohu ‘alam.
[13] Yakni penegas dari kata Muhammad.
[14] Setiap orang yang pernah berkumpul dengan nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan seperti itu, walaupun pernah diselangi dengan riddah.
[15] Perkataan penulis rohimahulloh : Sesungguhnya Dia (Alloh Ta’ala) atas setiap yang dikehendakiNya Maha Mampu. Alangkah baiknya jika penulis mengatakan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » karena bebrapa alasan :
  • Perkataan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » merupakan kalimat yang Alloh sebutkan di dalam al Qur’an, misal lihat surat ath Tholaq : 21.
  • Perkataan seperti ini merupakan perkataan yang terkenal dan dipopulerkan oleh kelompok yang menyimpang. Sedangkan kewajiban kita menyelisihi penyimpangan mereka.
  • Perkataan seperti ini mengandung konsekwensi bathil, yaitu menetapkan bahwa Alloh hanya mampu mengerjakan yang Dia kehendaki, adapun yang tidak dikehendakiNya maka Alloh tidak mampu mengerjakannya. Padahal di dalam ayat Al Qur’an Alloh Ta’ala mengaitkan Maha Mampunya kepada sesuatu yang dikehendaki dan kepada yang tidak dikehendaki terjadinya, silahkan lihat surat Al An’am ayat 65). Perincian masalah ini silahkan merujuk pada penjelasan para ulama salaf dalam kitab-kitab aqidah.




Kitabu ahkami thoharoh
  1.  Pengertian
1  Kitab menurut bahasa berarti mengumpulkan
Sedangkan menurut istilah adalah kumpulan dari beberapa hukum
2 Thoharoh berasal dari kata anadhofatu yang berarti bersuci
Sedangkan menurut istilah artinya suatu perbuatan yang menjadikan sah  nya shalat seperti wudzu,mandi,tayamum,dan menghilangkan najis.sedangkan tuharo dengan di baca dzumah to’nya berarti alat untuk bersuci.
# Air
Air yang sah di gunakan untuk toharoh ada 7:
  1. Air langit(air yang turan dari langit/air hujan)
  2. Air laut(air asin)
  3. Air sungai (air tawar)
  4. Air mata air(air yang keluar dari bumi)
  5. Air salju/air es
  6. Air sumur
  7. Air embun
Ketujuh air itu di katakan air yang turun dari langit dan keluar dari bumi dari beberapa sifat asal terciptanya air tersebut.
Kemudian air dibagi menjadi 4 bagian:
  1. Air suci mensucikan yaitu air yang belum isti’mal (belum digunakan sesuci wajib) atau air mutlaq
  2. Air suci mensucikan tetapi makruh digunakan di badan tidak di pakaian yaitu air yang dipanaskan menggumakan wadah yang tidak terbuat dari emas atau perak. Tetapi apabila sudah dingin maka hilanglah sifat kemakruhanya , menurut imam nawawi juga dimakruhkan menggunakan air yang sangat panas atau sangat dingin karna menjadikan tidak sempurnanya bersuci.
  3. Air suci tapi tidak mensucikan yaitu air musta’mal .air yang sudah digunakan untuk menghilangkan najis atau untuk bersuci.walaupun tidak berubah ukuran air tersebut .Seprti air mawar yang berbau.
  4. Air najis air yang sudah terkena najis air najis ada dua bagian :
  •  Air yang terkena najis wlapun tidak berubah yaitu air yang kurang dari     dua kolah.
  •  Air yang lebih dari dua kolah tetapi berubah baik banyak maupun sedikit.
Dua kolah menurut ukuran baghdat yaitu 500 kathi, sedangkan menurut imam nawawi adalah 180 dirham .
menurut pengarang kitab ada air yang suci tapi haram digunakan atau diminum yaitu air yang di ghosob.
(PASAL)
Suatu yang terkena najis dan suatu yang suci dengan di sama’dan suatu yang tidak bisa suci
Kulit binatang bisa suci dangan cara di sama’ sama juga binatang yang dimakan daging nya atau tidak.
Tata cara menyamak menggunakan barang yang bisa menghilangkan darah atau sejenisnya,dengan menggunakan suatu yang sepet,seperti kayu trenggali walaupun yang digunakan itu najis seperti kotoran merpati maka barang tersebut sudah dapat digunakan untuk menyama’.
Adapun tatacara menyamak yaitu:
  • Menghilangkan sisa daging dan bau bacin sedangkan cara manghilangkan bau bacin tersebut dengan menghilangkan darah atau daging yang menempel di kulit.
  • Memakai sesuatu yang mempunyai rasa kesat atau sepet.
  • Kulit anjing dan kulit babi tidak bisa suci walaupun sudah di sama’
(PASAL)
Siwak
Siwak adalah sebagian dari sunah nya wudzu adapun alat yang di gunakan antuk siwak adalah kayu iro’.
Hukum  siwak adalah sunah di setiap waktu, namun makruh bagi orang yang berpuasa baik fardzu atau sunah yaitu setelah matahari tegak lurus hangga bergeser sedikit ke barat. Sifat makruh tersebut bias hilang setelah matahari terbenam.
Siwak di sunah kan di dalam 4 perkara:
  1. Ketika bau mulut,dikarenakan diam dalam waktu yang lama (tidur),meninggalkan makan yang lama (puasa)dan meakan sesuatu yang berbau tidak enak seperti,bawang,bawang merah,petai dan lain-lain.
  2. Ketika bangun tidur
  3. Ketika akan mengerjakan shalat
  4. Ketika akan membaca al qur’an
Disunahkan dalam memegang siwa’ itu dengan tangan kanan dan dalam memulai dari sisi kanan.
( PASAL)
Fardzunya wudzu
 Fardzunya wudzu ada 6:
  1. Niat menurut syara’ artinya menyengaja melakukan sesuatu (azam) dan disertai melakukan sesuatu . niat dalam wudzu di lakukan saat membasuh muka yang paling awal.niat dilakukan karena untuk menghilangkan najis atau untuk berwudzu atau untuk mensucikan dari hadas
  2. Membasuh muka , batasnya mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga tulang rahang bawah.dan dari  pentil telinga kanan hingga pentil telanga kiri.
  3. Membasuh tangan hingga kedua siku-siku ,apabila orang tidak mempunyai siku-siku maka orang tersebut mengira-ngira dalam membasuh tangan, seorang juga wajib menghilangkan sesuatu yang manghalangi meresapnya air kedalam kulit.
  4. Mengusap sebagian kepala .
  5. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki,walupun orang yang berwudzu memakai kaos kaki (muzah) ,maka wajib membasuh dan mengusap jari-jari kaki.
  6. Tartib,ketika orang yang berwudzu lupa atau tidak tartib maka wudzunya tidak sah.
(PASAL)
Sunah nya wudzu
Sunah nya wudzu ada 10 perkara:
  1. Membaca basmalah,ketika seorang lupa membaca basmalah dan teringat di tengah-tengah wudzu dan membaca basmalah di tengah-tengah wudzu mak a masih mendapat sunahnya wudzu,tetepi apabila teringat ketika wudzu telah selesai dan membaca basmalah maka basmalah tidak di hitung.
  2. Membasuh telapak tangan hingga pergelangan tangan subelam berkumur sebanyak tiga kali.
  3. Berkumur setelah membasuh telapak tangan.
  4. Menghisap air ke hidung lalu di keluarkan.
  5. Mengusap seluruh kepala ,ketika orang yang memakai serban maka wajib di lepas.
  6. Mengusap bagian dalam dan luar telinga dengan menggunakan air adapun caranya yaitu jari-jari tangan di masukan ke daun telinga dan memutar jari tersebut,hingga lipatan-lipatan  telinga.
  7. Membasuh sela-sela rambut janggut.
  8. Membasuh sela-sela jari-jari tangan.
  9. Membasuh sela-sela jari kaki.,adapun tatacaranya mengawali dengan meletakkan jari kelingking tangan yang kiri di bawah telapak kaki kiri dan sebalik nya.
  10. Mendahulukan anggota yang sebelah kanan.
Mushanef menambahkan sunah-sunahnya wudzu yaitu:
  1. Membasuh anggota wudzu sebanyak 3 kali
  2. Terus menerus,apabila anggota satu sudah  di basuh maka meneruskan basuhan selanjutnya anggota tersebut jangan sampai kering
(PASAL)
Istinja’ dan tatacara masuk wc
A Pengertian
Istinjak adalah membersihkan diri dari segala kotoran yang keluar dari qubul dan dubur manusia yaitu air kecil dan air besar dengan menggunakan air atau batu .
-          Di utamakan ketika beristinjak yaitu dengan menggunakan batu dan baru menggunakan air sebanyak tiga kali siraman.
-          Dan diperbolehkan orang yang beristinjak meringkas air atau beberapa batu atau disunahkan menigakalikan ketika beristinjak.
-          Orang yang beristinjak itu lebih utama menggunakan air dari pada menggunakan batu karena air bias menghilangkan keadaan najis (warna,baud an rasa) sehingga menjadi suci.

*  Syarat  beristinjak menggunakan batu
v  Barang atau najis yang keluar belum kering
v  Belum pindah dari tempatnya
v  Tidak bersifat baru
“  Larangan-Larangn Dalam Membuang Hajat”
  • Tidak boleh menghadap kiblat dan membelakang kiblat ketika buang hajad di tanah lapang
  • Dan di perbolehkan ketika buang hajat di tempat yang sudah di sediakan (wc)
  • Hukumnya sunah ketika menjauhkan diri dari buang hajat di air yang diam atau tenang
  • Dan dimakruhkan buang hajat  di tempat atau air yang sedikit
  • Di larang duang hajat di bawah pohon yang berbuah
  • Di larang buang hajat di jalan yang sering di lewati manusia
  • Di larang buang hajat di tempat istirahat manusia
  • Di larang buang hajat menghadap matahari dan di lubang dalam bumi (leng)
  • Tidak boleh berbicara ketika buang hajat kecuali dzorurot seperti melihat ular dan ular tersebut mendekati .
Imam nawawi (kitab roudzoh)
  • Dimakruhkan ketika buang hajat menghadap matahari dan rembulan
  • Dalam kitab washit tidak di makruhkan
  • Di kitab tahqiq dimakruhkan
(PASAL)
Perkara yang merusak wudzudi sebabkan oleh hadas
        Perkara yang membatalkan wudzu itu ada lima :
  1. Keluarnya sesuatu dari salah satu jalan dua (duburdan qubul) dari orang yang berwudzu dan hidup,yang biasanya seperti buang air kecil atau besar,atau sesuatu yang langka seperti darah’batu itu juga najis atau yang keluar itu barang yang suci seperti belatung ,kecuali mani yang keluar di sebabkan orang tang mimpidalam keadaan duduk
  2. Hilang akal disebabkan karena mabuk,sakit gila,ayan
  3. Tidur yang tidak menetapkan duduknya
  4. Bertemunya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ,meskipun itu sudah mati.Yang dimaksud adalah bertemunya kulit laki-laki dan perumpuan yang sudah baligh .Muhrim adalah seorang yang haram di nikah karena tunggal nasab,suson ataupun tunggal mertua.                  (tanpa menggunakan penghalang)
  5. Menyentuh farji anak adam menggunakan telapak tangan,dari diri sendiri atau orang lain ,laki-laki atau perempuan, besar atau kecil,hidup atau mati. Dan menyentuh kolongan dubur juga membatalkan wudzu .
(PASAL)
Perkara yang mewajibkan mandi
        Perkara yang mewajibkan mandi ada 6:
  1. Bertemunya alat kelamin laki-laki dengan perempuan walaupun tidak mengeluarkan mani
  2. Mengeluarkan mani walaupun sedikit atau banyak ,dengan jima’ atau tidak jima’ ,dalam keadaan tidur atau sadar ,dengan syahwat atau tidak ,dari jalan yang di adatkan atau tidak.
  3. Mati kecuali mati sahid (matinya orang dalam menegakkan agama islam)
  4. Haid bagi wanita ,Haid adalah darah yang keluar dari farji wanita yang sudah berusia Sembilan tahun
  5. Nifas ,darah yang keluar sesudah melahirkan
  6. Melahirkan

(PASAL)
Fardzunya mandi
        Fardzunya mandi itu ada 2:
  1. Niat, maka niatnya orang junub itu untuk menghilngkan hadas junub dan niatnya orang haid dan nifas itu untuk menghilangkan hadas haid atau nifas.niat dilakukan pada saat melakukan basuhan atau siraman yang pertama kali.jika orang yang mandi melakukan niat sesudah menyiram badan maka mandi nya harus di ulang .Sebelum kita mandi wajib,kita dianjurkan menghilangkan najis yang ada di badan kita (menurut imam rofi’i),sedangkan menurut imam nawawi tidak menghilangkan najis itu tidak apa apa
  2. Menyiram seluruh anggota badan (dari pucuk rambut sampai pucuk jari-jari kaki)dan jika orang memakai gelung maka wajib untuk melepas gelung tersebut .dan wajib untuk membasuh perkara atau bagian yang kelihatan seperti daun telinga ,hidung pesek,sela-sela badan iqud (kelamin laki-laki yang belum sunat) farjinya perempuan yang kelihatan ketika jongkok.
(PASAL)
Mandi sunah
          Mandi yang di sunahkan ada 14 :
  1. Mandi jum’at (mandi yang di lakukan karena akan melakukan salat jum’at ) adapun waktunya untuk melakukan mandi adalah mulai dari terbit fajar sodiq sampai akan salat jum’at
  2. Mandi hari raya idul fitri dan idul adha ,waktunya dari tengah malam idul fitri atau idul adha hingga akan salat hari raya
  3. Mandi saat gerhana matahari dan gerhana bulan
  4. Mandi karena kita memandikan mayit islam atau kafir
  5. Mandi orang yang baru masuk islam
  6. Mandi bagi orang yang akan ihram .dan ketika akan ihram tidak ada air maka sebagai penggantanya adalah tayamum,hokum tersebut diperbolehkan
  7. Mandi ketika akan masuk ke kota makkah untuk ihram dalam ibadah haji atau umroh.
  8. Mandi ketika akan wuquf di arafah pada tanggal 9 dzulhijah
  9. Mandi karena menginap di muzdalifah
  10. Mandi ketika akan melampar jumroh pada hari tasrik (11,12,13 dzulhijah)
  11. Mandi ketika akan melempar jumrah aqobah pada hari qurban (yaumul nahr)
  12. Mandi ketika akan wuquf
  13. Mandi akan towaf (ifadzah,wada’,qudum)
  14. Mandi saat terbitnya matahari
(PASAL)
tayamum
        Menurut bahasa tayamum artinya menyengaja,sedangkan menurut istilah artinya mengusap wajah dan dua telapak tangan dengan menggunakan debu yang suci dan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan,sebagai gantinya wudzu atau mandi.
Starat-syarat tayamum :
  • Adanya udzur yang di sebabkan bepergian atau sakit
  • Dalam melakukan tayamum harus sudah masuk waktu salat sehingga jika tayamum dilakukan sebelum masuk waktu salat maka salatnya tidak sah
  • Adanya udzur menggunakan air,dikarenakan khawatir jika menggunakan air pada saat bepergian atau hawatir jika ada hewan buas ,musuh atau terhadap hartanya dari pencuri
  • Harus menggunakan debu yang suci dan mensucikan kecuali debu yang basah ,debu diperoleh dari ghosob ,debu kuburan,debu yang dicampur dengan barang yang suci seperti debu yang di campur dengan tepung,pasir,kapurpecahan genting,kerikil dan juga tidak boleh menggunakan debu yang sudah musta’mal
Fardzunya tayamum ada 4:
  1. Niat,dilakukan pada saat mengusap wajah dan diucapkan di dalam hati
  2. Mengusap wajah
  3. Mengusap kedua tangan sampai siku-siku
  4. Tartib(urut-urut) apabila tidak tertib maka tayamumnya tidak sah.

Sunah tayamum:
  1. Membaca basmallah
  2. Mendahulukan anggota yang kanan dan mengahirkan anggota yang kiri
  3. Mendahulukan bagian wajah yang atas
  4. Mualah (urut/tartib)
Perkara yang membatalkan tayamum:
  • Semua Perkara yang membatalkan wudzu juga membatalkan tayamum
  • Melihat atau menemukan air sebelum salat ,apabila melihat air sebelum tekbirotul ikhram maka tayamumnya sah dan salatnya boleh di lanjukkan
  • Murtad (keluar dari islam)
  • Apabila orang yang tayamum pakai perban ,maka perban tersebut harus dilepas ,dan bila membahayakana untuk melepas perban maka cukup mengusap perban tersebut
Tayamum hanya di lakukan untuk melakukan satu kali salat fardzu,antara thawaf satu dengan yang lain,antara salat jum’at dan dua khotbah jum’at

(PASAL)
Macam-macam najis dan cara menghilangkanya
          Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikan ,sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang haram seperti
  1. Perkara yang berwujud cair(darah muntah muntahan dan nanah),setiap perkara yang keluar dari dubur dan qubul kecuali mani
  2. Bangkai dan semua bagian kulit,rambut,serta tulangnya kecuali bangkai manusia,ikan dan belalang
  3. Bagian dari hawan yang hidup yang terpisah kecuali yang asal dari manusia ,ikan dan belalang
Membasuh air kencing dan kotoran itu hukumnya wajib kecuali air kencing bayi laki-laki yang yang belum makan dan belum minum kecuali air asi,dan belum makan sesuatu yang menambah kekuatan.
Air kencing bayi laki-laki dapat di hilangkan dengan cara menyiram air ke badan yang terkena najis tersebut,tetapi lain halnya dengan bayi perempuan karena termasuk najis mukhafafah.
Darah atau nanah yang mengenai pakaian atau badan tetapi hanya sedikit tetap sah untuk salat.
Hewan yang tidak mempunyai darah yang menalir di dalam tubuhnya seperti lalat yag mati tercebur ke dalam air maka air tersebut tidak najis ,akan tetapi apabila bangkai lalat itu banyak dan hingga dapat merubah warna air maka air tersebut akan menjadi najis,dan apabila air muncul hewan seperti uget-uget maka air tersebut tidak najis
Semua hewan itu pada dasarnya itu suci kecuali anjing dan babidan segala sesuatu yang di keliarkan anjing dan babi itu hukumnya najis mughaladhah
Semua mayat itu najis kecuali mayat manusia,iakn,dan belalang,ketiga mayat itu suci .
Sedangkan cara menghilangkan najis karena di jilat anjing atau babi yaitu membasuh dengan air yang suci 7 kali dan salah satu dari 7 tersebut menggunakan debu yang suci.
Dan apabila dibasuh dengan menggunakan air yang mengalir dan keruh ,maka sudah mencukupi dan tidak perlu menggunakan debu lagi,lebih utama membasuh tiga kali pada terahir ,setelah di basuh 7 kali dengan di campur debu .
Perkara yang najis bias menjadi suci yaitu dengan cara mendiamkan sesuatu hingga berubah wujud nya (membusuk)seperti arak ketika menjadi cukak dengan sendirinya tanpa diberi sesuatu di dalam arak tersebut ,dan ketika arak tersebut sudah menjadi suci maka wadah arak tersebut ikut menjadi suci.
(PASAL)
Mengusap kaos kaki(muzah)
          Mengusap kaos kaki (muzah) di dalam wudzu itu hukumnya boleh,tetapi di dalam mandi ferdzu atau sunah hukumnya tidak di perbolehkan serta di dalam menghilangkan najis juga tidak diperbolehkan apabila seorang edang junub atau kakinya terluka apbila orang tersebut berharap atau mengharap untuk di usap sebagai gantinya membasuh kaki ,maka hukumnya tidak boleh akan tetapi di wajibkan membasuh kakinya    ,mengusap dua muzah itu hukumnya diperbolehkan ,tetapi jika hanya satu muzah yang di usap itu tidak di perbolehkan kecuali orang yang tidak mempunyai kaki (cacat)
Syarat membasuh dua muzah:
  1. Seorang yang memakai muzah harus dalam keaadaan suci,jika orang yang memakai muzah dalam keadaan hadas dan berhadas sebelum telapak kaki menyentuh muzah maka jika mengusap muzah hukumnya tidak sah .
  2. Muzah harus dapat menutupi talapak kaki dan mata kaki dan jika muzah kurang (tidak mencukupi)hingga mata kaki maka hukumnya tidak boleh untuk mengusap muzah.
  3. Muzah harus di pakai orang yang dalam bepergian atau buru-buru atas kebutuhanya seperti istirahat dalam bepergian.
  4. Muzah harus dapat menahan air atau tidak menyerap air
  5. Muzah yang di pakai harus suci.
Adapun orang yang boleh mengusap muzah dua adalah
  • Orang yang bertempet tinggal dan waktunya satu hari
  • Orang yang dalam perjalanan dan waktunya tiga hari berturut-turut
Adapun hitungan waktu tersebut adalah dari orang itu hadas dan hadasnya berahir setelah memakai muzah.
Sedangkan orang yang dalam perjalanan tetapi untuk tujuan maksiat,itu boleh mengusap kaso kaki/muzah sperti halnya orang yang mukim / brtenpat tinggal.
Adapun orang yang tetap atau langgeng hadastnyasetelah memakai kaoskaki dan sebelum solat. Orang tersebut hadast maka ketika berwudhu boleh untuk mengusap muzah.
Apabila seorang masih di dalam rumah & mengusap muzah kemudian orang itu pergi/ orang yang mengusap tersebut dalam perjalanan, kemudian bertampat tinggal / mukim belum ada satu hari satu malam, maka orang tersebut harus menyempurnakan usapan tadi seperti halnya orang yang mukim.
Perkara yang wajib di usap ketika mengusap muzah yaitu mengusap luarnya kaos& usapan tersebut mencukupi hingga dalamnya tetapi tidak pada tumitnya kaos bagian samping kaos / bawahnya kaos.
Sunahnya mengusapkaoskaki ketika berwudhu yaitu melebarkan jari-jari kaki
Mengusap muzah bias menjadi batal ketika
  1. Orang yang mengusap tersebut melepas muzah
  2. Orang yang mengusap tersebut melepas muzah karena sobek.
  3. Orang yang mengusap junub/haid/nifas
    1. Darah haid
Darah yang kelar pada masa haid. Yaitu anak yang berumur 9 tahun atau lebih dan anak yang mengeluarkan darah haid dalam keadaan sehat tidak karena penyakit & tidak di sebabkan melahirkan
Adapun warnanya darah haid yaitu sangat merah sehingga menjadi hitam dan panas yang sangat menyakitkan.
  1. Darah nifas
Darah yang dikeluarkan wanita stelah melahirkan , adapun darah  yang keluar bersama lahirnya anak atau sebelum lahirnya anak tersebut tidak bias tersebut tidak bias dikatakan darah nifas.
  1. Darah istikhadhoh
Darah yang dikeluarkan alat kelamin wanita di luar waktu haid dan nifas dan orang yang mengeluarkan darah istihadhoh dalam keadaan tidak sehat(sakit).
  1. Waktunya darah haid , nifas ,istihadhoh.
    1. Darah haid
Darah haid keluar sedikitnya satu hari satu malam (24 jam)tanpa berhenti darah haid keluarpaling lama 15 hari 15 malam dalam syarat keluarnya darah dalam 15 hari tersebut di hitung dan dijumlah kalau sudah  ada 24 jam maka dikatakan dara haid. Dan jika beluma da 24 jam maka dikatakan darahistihadhoh pada umumnya darah haid keluar  6a hari atau 7 hari
  1. Darah nifas
Darah nifas paling sedikit keluar satu kecrotan dan paling lam 60 hari pada umumnya darah nifas keluar 40 hari
  1. Waktunya suci
Sedikitnya waktu suci antara dua haid itu 15 hari dan tidak ada batasnya untuk lamanya suci. Biasanya jika haidnya 6 hari mak sucinya 24 hari dan kalau haidnya 7 hari maka sucinya 23 hari. Adapun sedikitnya umur wanita yang haid adalah 9 tahun.
Adapun sedikitnya wanita hamil adalah 6 bulan dua hari dan lamanya hamil adalah 4 tahun dan pada umumnya 9 bulan

Bebrapa perkara bagi seorang yang haid dan nifas
  1. Haram membaca al qur’an
  2. Haram menyentuh dan membawa al qur’an
  3. Haram masuk masjid
  4. Haram towaf baik wajib ataupun sunah
  5. Haram bersetubuh
  6. Haram dinikmati barang antara lutut dan pusar
  7. Haram menjalankan solat baik wajib atau sunnah
  8. Haram berpuasa baik wajib ataupun sunnah.
Perkara yang diharamkan bagi orang yang junub
  1. Haram menjalankan solat wajib atau sunah
  2. Haram membaca al qur’an
  3. Haram menyantuh dan membawa al qur’an
  4. Haram towaf wajib atau sunnah
  5. Haram masuk dalam masjid
Perkara yang diharamkan bagi orang yang berhadast
  1. Haram solat baik wajib atau sunnah
  2. Haram towaf baik wajib atau sunnah
  3. Haram membawa atau menyentuh al qur’an
Kitabu ahkamis solat
A pengertian
Salat menurut bahasa artinya adalah doa ,sedangkan menurut istilah artinya adalah ucapan dan gerakan yang diawali takbirotul ikhrom dan diahiri dangan salam dengan syarat-syarat yang telah di tentukan .
Salat yang di wajibkan itu ada 5 waktu
  1. Salat dzuhur.(dinamakan dzuhur karena matahari jelas di tengah-tengah langit ). Mulainya waktu dzuhur adalah dari condongnya matahari dari tengah-tengah langit dan bayangan sebuah benda berada di timur.sedangkan akhirnya waktu dzuhur adalah apbila ada barang yang bayangan barang tersebut sama panjangnya dengan barang yang asli ,bayangan secara bahasa berarti penghalang
  2. Ashar(mendekati terbenamnya mata hari).salat ashar mempunyai 5 waktu
    1. waktu utama (awal waktu ashar)
    2. waktu yang di perboleh (mendekati waktu terbenamnya matahri)
    3. waktu memilih
    4. waktu boleh tanpa dimakruhkan
    5. waktu haram
    6. maghrib (waktu dari terbenamnya matahari) dari terbenamnya matahari smpai hilangnya awan berwarna merah.
    7. Isha’ ( dimulai dari terbenamnya awan merah sampai terbitnya fajar shodiq) waktu sholat isha’ ada dua
      1. Waktu ihtiyar : dari waktu isha’ sampai 1/3 malam
      2. Waktu yang diperbolehkan: dari 1/3 malam sampai terbitnya fajar shodiq
      3. Shubuh (dimulai dari awalnya hari)
Shubuh mempunyai seperti hanya sholat asyar
i. Waktu fadhilah : awal waktu shubuh
  1. Waktu permilih : dari waktu shubuh sampai ada terang
  2. Waktu boleh dengan dimakruhkan sampai terbitnya matahari
  3. Waktu boleh dengan tidak dimakruhkan: sampai adanya kemerah-merahan
  4. Waktu haram
(PASAL)
Syarat wajib salat
     Syarat wajib salat ada tiga:
  1. Islam
Orang yang beragama non islam tidak wajib menjalankan salat seperti orang kafir ,dan apabila orang kafir masuk islam maka ia wajib salat tetapi tidak wajib mengqodzo salat .dan bagi orang murtad wajib salat dan mengqodzo salat jika masuk islam lagi.
  1. Baligh
Seorang yang belum baligh atau anak-anak tidak wajib untuk salat tetapi kalau umurnya sudah mencapai 7 tahun anak itu harus sudah di suruh untuk menjalankan salat .dan jika anak sudah berusia 10 tahun kalau meninggalkan salat boleh di pukul
  1. Orang yang berakal
Orang yang tidak mempunyai akal tidak wajib menjalankan salat seperti orang gila ,ayan dan lain-lain.
Macam-macam salat sunah:
  1. Salat id(idul adha dan idul fitri)
  2. Salat gerhana(matahari dan rembulan)
  3. Salat istisqoq
  4. Salat rowatib(ada 17 rokaat)
-2 rokaat salat fajar
-4 rokaat sebelum dzuhur
-2 rokaat sesudah dzuhur
-4 rokaat sebelum ashar
-2 rokaat sebelum maghrib
-3 rokaat sebelum isha’
e. salat witir
Banyaknya rokaat salat witir ada 11 rokaat dan             waktunya yaitu setelah salat asha’ sampai sebelum fajar
(PASAL)
Syarat –syarat salat
Syarat-syrat sebelum melakukan salat ada 5 :
Syarat adalah sesuatu yang harus di penuhi sebelum melakukan sesuatu .
Sarat salat:
  1. Suci dari hadas baik besar atau kecil dan suci dari beberapa najis ,yang tidak diampuni baik di badan,pakaian maupun tempat
  2. Menutup aurot apabila mampu ,dan apabila ada seorang yang sendiri dan di dalam kegelapan jika salatnya itu telanjang bulat dan tidak umak-umik dalam rukuk dan sujut maka salatnya tidak perlu di ulang ,pakaian untuk menutupi aurot harus suci ,adapun aurot orang laki-laki adalah antara pusar dan lutut,dan aurot perempuan amat(budak)sama dengan aurot orng laki-laki ,sedangkan aurot perempuan yang merdeka adalah semua badan kecuali wajah dan telapak tangan.semua itu aurot di dalam salat ,adapun aurot perempuan yang merdeka diluar salat adalah semua badan dan jika dalam keadaan sendiri sama seperti aurot orang laki-laki .aurot menurut bahasa artinya kurang ,sedangkan menurut istilah artinya sesuatu yang harus di tutupi dan haram apabila di lihat meskipun itu milik sendiri.
  3. Harus berada dalam tempat yang suci
  4. Mengetahui masuknya waktu salat
Apabila salat dilakukan tanpa mengetahui waktunya maka salatnya tidak sah .
  1. Menghadap qibkat(ka’bah)
Orang menghadap itu bukan karena mulyanya ka’bah .yang haru dihadapkan ke ka’bah adalah dadanya orang yang salat.
Seorang boleh salat dengan tidak menghadap qiblat apabila menalami hal-hal seperti ini:
  • Apabila dalam keadaan takut did alam peperang an baik salat fardzu ataupun sunah.
  • Dalam keadaan bepergian yang diperbolehkan tidak untuk maksiat dan berada di kendaraan.
(PASAL)
Rukun salat
Rukun salat ada 17:
1. Niat.
Yaitu hendak ingin melakukan suatu pekerjaan sambil dibarengi dengan waktu melakukan suatu pekerjaan itu. Sedangkan tempatnya niat itu dalam hati. Maka, bila niat sholat itu sholat fardhu, wajiblah berniat hendak berniat melakukan fardhunya sholat tersebut. Dan wajib pula bersengaja melakukannya dengan tegas lagi gamblang yaitu subuh atau dhuhur misalnya.
Contoh : saya niat sholat fardhu subuh 2 rakaat karena allah ( dilafadzkan dalam hati bersamaan dengan takbirotul ihrom ).
Atau sholatnya itu berupa sholt sunnah yang mempunyai waktu – waktu tertentu seperti sholat sunnah rowatib atau sholat yang mempunnyai sebab ( dikerjakan karena ada sesuatu), seperti sholat istisqo’ , maka wajib bersengaja melakukan dengan tegas dan jelas.
Contoh : saya niat sholat sunnah istisqo’ karena allah ( dilafadzkan dalam hati bersamaan dengan takbirotul ihrom ).
2. Berdiri pada waktu yang memungkinkannya untuk dapat melakukannya.
Maka jika seseorang tidak mampu berdiri, ia diperkenankan untuk sholat dalam keadaan duduk sesuka hatinya, sedangkan duduk yang lebih utama adalah duduk iftirosy bagi orang yang sholat duduk.
3. Takbiratul ihrom.
Maka, bagi orang yang mampu mengucapkan kalimat takbir, adalah wajib baginya untuk mengucapkan : “Allahu akbar”.
Dan tidak sah hukumya dalam selain kalimah diatas ( misal subhanallah, alhamdulillah, dst).
Dan wajib pula hukumnya sewaktu bertakbir bersama – sama niat melakukan sholat. Adapun imam Nawawi rahimahullah cenderung menganggap cukup tentang masalah penyertaan niat dalam sewaktu bertakbir dengan cara yang lazim dibenarkanan oleh kebanyakan orang.
4. Membaca Alfatihah.
Serta membaca basmalah yang mana ( menurut pandangan imam syafi’i rahimahullah )adalah bagian dari fatihah. Barang siapa menggugurkan satu tasydid atau satu huruf dari bacaan fatihah, atau mengganti satu huruf dari bacaan fatihah dengan huruf yang lain dengan kesengajaan, maka bacaanya tidaak dianggap sah, dan sholatnya juga tidak sah. Namun jika tidak sengaja, maka hukumnya wajib mengulang kembali bacaan fatihahnya. Barang siapa yang tidak mampu membaca fatihah ( dikarenakan baru masuk islam ), maka ia boleh membaca dzikir sebagai ganti dari bacaan fatihahnya, sekiranya dzikirnya itu tidak berkurang dari jumlah huruf – huruf dari surah alfatihah. Maka jika masih tidak mampu juga, maka hendaklah ia baca surah alfatihah semampunya saja. ( jika hanya mampu baca basmalah, maka cukup baginya, dengan catatan harus  cepat belajar fatihah ).
5. Ruku’.
Sedikit – dikitnya membungkuk dengan menyentuhkan ke – 2 telapak tangannya ke lututnya. ( Adapun yang paling afdhol adalah membentuk sudut 90o dan meluruskan tulang belakang dengan lehernya )
Maka, jika seseorang itu tidak mampu membungkukkan badannya seperti cara diatas, maka cukuplah baginya dengan membungkuk semampu dirinya.
6. Thuma’ninah dalam ruku’.
Yaitu berhenti dengan menenangkan diri, sewaktu dalam keadaan ruku’. Mushannif ( pengarang kitab ) menjadikan tuma’ninah sebagai rukun tersendiri dalam deretan rukun – rukun sholat. Hal ini sejalan dengan pendapat imam Nawawi sebagaimana tersebut dalam kitab at – tahqiq. Sedangkan selain mushannif menjadikannya sebagai suatu sifat yang mengikuti pada sederet beberapa rukun sholat. Adapun paling sedikitnya lama tuma’ninah itu adalah sekiranya membaca “ subhanallah “ dengan sangat pelan.
7. Bangun dari ruku’ ( I’tidal ).
Sebagaimana keadaan semula sebelum ruku’. Yaitu berdirinya bagi orang yang tidak mampu berdiri dan duduknya orang yang tidak mampu berdiri.
8Tuma’ninah dalam i’tidal.
9. Sujud sebanyak 2 kali setiap rakaat.
Paling sedikit batasan sujud itu adalah menyentuhnya bagian kulit keningnya orang yang melakukan sholat pada tempat sujudnya ( tanpa ada penghalang kopiah atau mukenah ).
Dan yang paling sempurna dari sujud itu adalah bertakbir untuk melakukan sujud, hal itu dilakukan tanpa mengangkat ke – 2 tangannya dan meletakkan ke – 2 lututnya dahulu kemudian ke – 2 tangannya, kemudian kening dan hidungnya.
10.  Tuma’ninah sewaktu dalam keadaan sujud.
Dan tidak dianggap sempurna yaitu sekedar menyentuhkan kepalanya pada tempat sujud. tapi harus ditekan, yakni sekiranya apabila dibawah keningnya itu ada kapas, maka kapas itu terdapat tanda – tanda tindihan ( pipih ) dan begitu juga dengan ke – 2 tangannya. (bila umpamanya ada kapas juga di bawah telapaknya).
11.  Duduk diantara 2 sujud
pada tiap – tiap rakaat, baik sholat dalam keadaan berdiri atau duduk atau berbaring.
Barang siapa yang saking cepatnya duduknya, hingga posisi duduknya tidak tegak, namun mendekati sujudnya ( sehingga berkesan seperti tidak duduk ), maka tidak dianggap sah duduknya, sehingga sholatnya pun dianggap tidak sah.
12. Tuma’ninah dalam duduk diantara 2 sujud.
13. Duduk yang terakhir ( tawarruk ).
14.  Membaca doa tahiyyat akhir dalam duduk terakhir.
Paling sedikitnya do’a tahiyyat adalah : “ ATTAHIYYATUL MUBARAKATUS SHOLAWATUTH THOYYIBATU LILLAH, ASSALAMUA ALAIKA AYYUHANNABIYYU WARAHMATULLAHI WABARAKATUH, ASSLALAMU’ALAINA WA’ALA IBADILLAHIS SHOLIHIN, ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSULULLAH “ ( kehormatan , keberkahan, kesejahteraan dan kebaikan hanya bagi allah, semoga salam sejahtera melimpah padamu wahai nabi dan rahmat Allah beserta keberkahan-Nya. Semoga selamatlah kami dan sekalian hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.dan aku bersaksi bahwa nabi muhammad adalah utusan Allah ).
15.  Membaca sholawat atas nabi Muhammad S.A.W sewaktu dalam duduk terakhir.
Paling sedikitnya adalah : “ ALLAHUMMA SHALLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD “. Sedangkan membaca sholawat atas keluarga nabi muhammad dan nabi ibrohim adalah sunnah.
16.  Mengucapkan salam yang pertama dalam duduk terakhir.
Paling sedikitnya adalah : “ ASSALMU’ALAYKUM “ sebanyak 1 kali. Adapun yang paling sempurna adalah : “ ASSALU’ALAYKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH “ sebanyak 2 kali, saat berpaling ke kanan dan ke kiri.
17.  Tartib ( berurutan ) sewaktu mengerjakan rukun – rukun sholat.
Maka tidak sah sholatnya  orang yang tidak urut dalam pengerjaan rukun – rukun sholat yang tersebut diatas. ( والله اعلم بالصواب )

(PASAL)
Perbedaan pria dan wanita di dalam salat
PRIA.
Mengangkat siku dan merenggang, jauh dari lambungnya, perut diangkat, juga merenggang jauh dari paha sewaktu ruku’ ketika sujud, serta bersuara keras pada tempatnya (pada shalat jahr). Jika terjadi sesuatu kekeliruan imam dalam shalat, maka bertashbih dengan mengucapkan
سبحان الله dengan maksud dzikir, atau dengan maksud pemberitahuan (kepada Imam). Maka hal ini tidak membatalkan shalat, berbeda jika memang bermaksud memberitahu saja, maka batal shalatnya.
Aurat pria (batasannya dalam shalat) mulai dari anggota tubuh diantara pusar sampai lutut, tapi bukan berarti pusar dan lutut itu aurat, dan tidak pula anggota tubuh di luar batasan tersebut.
WANITA
Wanita berbeda dengan pria dalam 5 perkara, yaitu :
Bahwasanya wanita itu menghimpitkan setengah anggota tubuh pada anggota lain, baik ketika ruku’ maupun sujud, yakni perut berhimpit dengan pahanya.
Suaranya dipelankan, sewaktu melakukan shalat di sebelahnya banyak pria lain (bukan suami/bukan mahramnya), berbeda jika shalat munfarid yang jauh dari mereka (kaum pria), maka boleh jahr/bersuara keras.
Sewaktu shalat berjamaah, terjadi sesuatu kekeliauran pada Imam, maka wanita mengingatkannya dengan bertepuk tangan, yakni perut telapak tangan kanan (bagian dalam telapak tangan kanan) memukul punggung (bagian luar telapak tangan kiri).
Jika melenceng dari ketentuan tersebut, maka batal shalatnya, misalnya bertepuk tangan dengan perut kedua telapak tangannya dengan maksud main-main (bergurau) walaupun pelan, padahal ia telah mengetahui bahwa tindakan tersebut terlarang, maka batal shalatnya. Dan ketentuan pada wanita berlaku pula pada banci (
الخنثى ).
Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat yang wajib ditutupi selain wajah dan telapak tangan, apabila mengerjakan shalat, bahkan seluruh tubuhnya adalah aurat di luar shalat (kepada selain mahramnya).
Berbeda dengan wanita budak ( امة ), maka auratnya sama dengan pria, yaitu anggota tubuh diantara pusar sampai lutut.
Sekilas mengenai, Syekh Syamsuddin Abu Abdillah, Muhammad bin Qosim.
Beliau adalah
الامام العالم العلامة شمس الدين أبو عبد الله محمد بن قاسم الشافعى
Seorang Syekh (guru besar) yang ’alim, luas lagi mendalam ilmu yang diberikan oleh Allah kepada beliau. Beliau terkenal dengan sebutan Syamsuddin.
Beliau diangkat oleh para ulama dan kaum muslimin semasa hidup beliau, sebagai Imamul Muslimin oleh para ulama sepeninggalnya. Beliau tetap Imam Mujtahid yang berorisntasi pada Imam Mujtahid Mutlak, Imam Syafi’i.
PASAL
Perkara yang membatalkan salat
Perkara yang membatalkan shalat ada empat belas, yaitu:
1. Berhadats (seperti kencing dan buang air besar).
2. Terkena najis, jika tidak dihilangkan seketika, tanpa dipegang atau diangkat (dengan tangan atau selainnya).
3. Terbuka aurat, jika tidak dihilangkan seketikas.
4. Mengucapkan dua huruf atau satu huruf yang dapat difaham.
5. Mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa dengn sengaja.
6. Makan yang banyak sekalipun lupa.
7. Bergerak dengan tiga gerakan berturut-turut sekalipun lupa.
8. Melompat yang luas.
9. Memukul yang keras.
10. Menambah rukun fi’li dengan sengaja.
11. Mendahului imam dengan dua rukun fi’li dengan sengaja.
12. Terlambat denga dua rukun fi’li tanpa udzur.
13. Niat yang membatalkan shalat.
14. Mensyaratkan berhenti shalat dengan sesuatu dan ragu dalam memberhentikannya.
PASAL
Hukum beberapa perkara yang di tinggal dalam salat
Perkara yang di tinggal dalam salat ada 3:
  1. Fardzu atau rukun salat
  2. Sunah ab’ad
  3. Sunah hai’ad
Rukun salat adalah  perkara yang tidak bias dig anti dengan sujud syahwi jika seorang meninggalkan rukun salat di dalam salatnya .tetapi apabila seseorang baru saja mengucapkan salam dan ingat rukun salat yang tertinggal maka orang itu wajib meneruskan salatnya dan mengganti rukun yang telah di tinggal
  •    sujud syahwi adalah sujud yang di sunahkan apabila seorang meninggalkan perkara yang di perintah atau menjalankan perkara yang dicegah dalam salat.
  • Sunah ab’ad adalah perkara yang tidak di hitung pada saat setelah melakukan fardzu atau rukun salat.
Contoh ,pada saat melakukan seorang lupa melakukan tasyahud awal dan ingat  pada saat I’tidal maka tasyahudnya tidak dihitung ,dan jika seorang itu sengaja meninggalkan tasyahud maka salatnya batal  dan apabila seorang itu lupa atau tidak tahu maka salatnya tidak batal dan dan jika orang itu ma’mum maka wajib berdiri karena untuk mengikuti imam.
Adapun yang termasuk sunah ab’ad adalah :
  1. Tasyahud awal
  2. Duduk tasyahud awal
  3. Qunut dalam salat subuh  dan pada pertengahan akhir bulan ramadzan pada salat witir
  4. Berdiri karena qunut
  5. Sholawat pada  nabi Muhammad di tasyahud awal
  6.  Sholawat pada  nabi Muhammad  dan keluarga nabi di tasyahud akhir.
  • Sunah hai’at seperti tasbih adalah perkara yang tidak perlu melakukan sujud syahwi apa bila meninggalkanya baik sengaja ataupun tidak dan apabila seorang ragu dalam hitunganrokaat salat seperti empat rokaat atau tiga rokaat maka lebih baik meneruskan salat dan melakukan sujud syahwi.
PASAL
Waktu yang di makruhkan untuk salat
Waktu-waktu yang di Makruhkan Untuk Melaksanakan Sholat
Ada lima waktu yang tidak diperkenankan melakukan sholat bahkan sebagian Ulama diantaranya penulis kitab Al-Mabadi’ Al-Fiqhiyah (Bab II) mengatakan haram melakukan sholat kecuali sholat yang memiliki sebab. Kapan sajakah waktu itu? Yaitu :
  1. Setelah sholat shubuh dan berakhir sampai dengan terbitnya matahari.
  2. Ketika terbitnya matahari dan berakhir sampai dengan matahari naik dengan perkiraan seukuran satu tombak (masuk waktu sholat Dhuha).
  3. Ketika matahari berada di tengah-tengah langit (istiwa’) dengan sekiranya tidak ada bayang-bayang suatu benda dan berakhir sampai tergelincirnya matahari (bergesernya matahari ke barat dan munculnya bayangan ke arah timur).
  4. Setelah sholat ashar dan berakhir sampai terbenamnya matahari.
  5. Ketika terbenamnya matahari sampai dengan sempurna terbenamnya.

Catatan :
Waktu-waktu yang dimakruhkan dalam melakukan sholat yang tidak memiliki sebab ada lima, yang tiga berhubungan dengan waktunya, yaitu waktu terbitnya matahari sampai matahari mulai naik seukuran satu tombak, waktu istiwa’ sampai tergelincirnya matahari, dan waktu ketika matahari terbenam (tampak kuning) sampai sempurna terbenamnya. Adapun dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin Amir RA, ia berkata :
Tiga waktu yang telah Rosulullah larang kepada kami untuk melakukan sholat dalam waktu tersebut atau mengubur orang-orang yang meninggal : ketika terbitnya matahari (tampak jelas) sampai matahari mulai naik, ketika orang berdiri (tidak nampak bayangan dirinya) dampai matahari tergelincir (mulai tampak bayangan sebelah timur), dan ketika matahari mulai condong untuk terbenam (merah kekuning-kuningan)”.
Adapun alasan dimakruhkannya tiga waktu itu untuk melakukan sholat, karena ada dalil Hadits Nabi yang diriwayatkan Asy-Syafi’i, yaitu :
Sesungguhnya bersamaan dengan terbitnya matahari terdapat tanduk setan, maka ketika matahari mulai naik maka hilang, ketika matahari istiwa’ terdapat setan yang bersamaan, ketika matahari mulai tergelincir maka menghilang, ketika matahari mulai mendekati terbenam maka terdapat setan, maka ketika matahari sudah sempurna tenggelam setan hilang”.
Yang dua yang terakhir berhubungan dengan perbuatan yaitu sholat shubuh atau sholat ashar, kalau kita melakukan sholat shubuh atau sholat ashar diawal waktu maka waktu makruh melalukan sholat setelah dua sholat tersebut menjadi panjang, tapi sebaliknya bila kita melakukan sholat shubuh atau sholat ashar diakhir waktu maka waktu makruhnya semakin pendek dan sempit. Dalil yang menerangkan hal tersebut adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Shohabat Abu Hurairah RA, yaitu :
Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang untuk melakukan sholat setelah sholat ashar sampai terbenamnya matahari dan melakukan sholat setelah sholat shubuh sampai terbitnya matahari”.
Adapun maksud ungkapan para Ulama tentang hal ini, apabila ada orang menjama’ taqdim (mengumpulkan dua sholat diwaktu sholat pertama) seperti mengumpulkan sholat dhuhur dna ashar dilakukan pada waktunya sholat dhuhur dengan alasan bepergian atau sakit atau hujan misalnya, maka waktu makruh untuk melakukan sholat setelah sholat ashar tetap berlaku seperti hukum semula.
Namun Imam Al-Bandayanji menjelaskan tentang hal ini yang dinukil dari sahabatnya yang ia ambil dari Imam Syafi’i, ya, menurut Imam Ammad bin Yunus bahwa melakukan sholat setelah sholat ashar ketika dijama’ taqdim itu tidak dimakruhkan. Ungkapan seperti ini pun diikuti oleh sebagian Ulama, namun menurut Imam Al-Asnai, hal ini tertolak dari Nash Imam Syafi’i.
Pelarangan sholat pada waktu-waktu tersebut itu mengecualikan waktu dan tempat, yaitu :
  • Waktu ketika Istiwa’ pada hari jum’at, diantara alasannya adalah bahwa pada waktu istiwa’ itu adalah waktu dimana rasa kantuk mulai menyerang hebat, maka untuk menolaknya adalah dianjurkan untuk sholat sunnahh agar wudhunya tidak menjadi batal.
  • Kalau tempat adalah Kota Makkah, jadi tidak ada kemakruhan sama sekali untuk melakukan sholat apapun atau kapan pun di Kota Makkah ini, alasannya adalah untuk mengagungkan dan menghormati kota ini. Tapi menurut qaul yang shahih bahwa kota Makkah itu maksudnya adalah tanah Haram (kota Makkah dan Madinah), ada qaul lain yang menyatakan hanya kota Makkah saja. Bahkan ada qaul lagi bahwa kota Makkahnya hanya di Masjidil Haramnya saja, jadi selainnya itu tidak meskipun termasuk kata Makkah.
Pelarangan sholat itu pun hanya berlaku bagi sholat-sholat yang tidak memiliki sebab, jadi kalau memang sholat tersebut memiliki sebab maka sama sekali tidak ada pelarangan (makruh) dan sebabnya terletak di awal atau bersamaan, seperti :
  • Mengqodhoi sholat wajib yang tertinggal
  • Melakukan sholat sunnah yang dijadikan kebiasaan (wirid)
  • Sholat Jenazah, Sujud Tilawah, Sujud Syukur
  • Sholat gerhana matahari atau rembulan
  • Sholat Istisqo’ (sholat minta hujan) manurut qaul Ashoh.
Namun ada beberapa sholat yang memiliki sebab tapi tetap dimakruhkan sholat, seperti :
  • Sholat Istikhoroh (minta kepada Alloh supaya dimantapkan memilih salah satu dari 2 hal yang sama-sama dianggap baik), dengan alasan bahwa sebabnya terletak di akhir.
  • Sholat dua rokaat Ihram (menurut qaul Ashoh), dengan alasan bahwa sebabnya terletak di akhir.
Adapun mengenai sholat tahiyatul masjid (penghormatan pada masjid), apabila masuk masjidnya karena ada tujuan seperti i’tikaf atau belajar atau juga menunggu sholat maka tidak dimakruhkan, dengan alasan sebabnya adalah bersamaan, tapi apabila masuk masjidnya bukan karena tujuan apapun, maka dalam kitab Raudhoh dan syarahnya tergolong makruh.
PASAL
Salat Jamaah

1. Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain atas setiap individu kecuali yang mempunyai udzur.
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya hendak menyuruh untuk dicarikan kayu bakar, saya akan menyuruh (para sahabat) mengerjakan shalat, lalu ada yang mengumandangkan adzan untuk shalat (berjama’ah), kemudian saya menyuruh sahabat (lain) agar mengimami mereka, kemudian aku akan berkeliling memeriksa orang-orang (yang tidak shalat berjama’ah), kemudian akan aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata seorang diantara mereka mengetahui bahwa dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua paha unta yang baik, niscaya ia akan hadir dalam shalat isya’ (berjama’ah).”  (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 125 no: 644 dan lafadz ini lafadz, Muslim 1: 451 no: 651 sema’na, ‘Aunul Ma’bud II: 251 no: 544, Ibnu Majah I: 259 no: 79l Ibnu Majah tidak ada kalimat terakhir, dan Nasa’i II: 107 persis dengan lafadz Imam Bukhari).
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, telah datang kepada Nabi saw. seorang sahabat buta seraya berkata, “ Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai penuntun yang akan menuntunku ke masjid.”  Kemudian ia memohon kepada Rasulullah agar beliau memberi rukhsah (keringanan) kepadanya, sehingga ia boleh shalat (wajib) di rumahnya. Maka beliau pun kemudian memberi rukhsah kepadanya. Tatkala ia berpaling (hendak pulang), beliau memanggilnya, lalu bertanya, “Kamu mendengar suara adzan untuk shalat?” Jawabnya,”Iya, betul.”  Sabda beliau (lagi), “ (Kalau begitu) wajib kamu memenuhi seruan adzan itu!“ (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 320, Muslim I: 452 no: 653, dan Nasa’i II: 109).
Dari Abdullah (Ibnu Mas’ud) r.a, ia berkata, “Barang siapa senang bertemu Allah di hari kiamat kelak dalam keadaan muslim, maka hendaklah dia memperhatikan shalat lima waktu ketika dia diseru mengerjakannya, karena sesungguhnya Allah telah mensyairi’atkan kepada Nabimu sunanul huda (sunnah sunnah yang berdasar petunjuk), dan sesungguhnya shalat lima waktu (dengan berjama’ah) termasuk sunnanul huda. Andaikata kamu sekalian shalat di rumah kalian (masing-masing), sebagaimana orang yang menyimpang ini shalat (wajib) dirumahnya, berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu, manakala kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu, berarti kamu telah sesat. Tak seorang pun bersuci dengan sempurna, kemudian berangkat ke salah satu masjid dan sekian banyak masjid-masjid ini, melainkan pasti Allah menulis baginya untuk setiap langkah yang ia lakukan satu kebaikan dan dengannya Dia mengangkatnya satu derajat dan dengannya (pula) Dia menghapus satu kesalahannya. Saya telah melihat kamu (dahulu), dan tidak ada yang seorangpun yang meninggalkan shalat berjama’ah dan kalangan sahabat, kecuali orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya, dan sungguh telah ada seorang laki-laki dibawa ke masjid dengan dipapah oleh dua orang laki-laki hingga didirikannya di shaf.” (Shahih: Shahih Jinu Majah no: 631, Muslim I : 453 no: 257 dan 654, Nasa’i II: 108, unul Ma’bud II: 254 no: 546 dan Ibnu Majah I: 255 no: 777).
Dari Ibnu Abbas dan Nabi saw., beliau bersabda, “Barang siapa mendengar panggilan (adzan), lalu tidak memenuhinya, maka sama sekali tiada shalat baginya, kecuali orang-orang yang berudzur.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 645, Ibnu Majah I: 260 no: 793, Mustadrak Hakim I: 245 dan Baihaqi III: 174)
2. Keutamaan Shalat Berjama’ah
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Shalat jama’ah melebihi shalat sendirian dengan (pahala) dua puluh tujuh derajat.” (Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari II: 131 no: 645, Muslim I: 450 no: 650, Tirmidzi I: 138 no: 215, Nasa’i II no: 103 dan Ibnu Majah I: 259 no: 789).
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Shalatnya seseorang dalam jama’ah melebihi shalatnya di rumahnya dan di pasarnya dua puluh lima lebih, yang demikian itu terjadi yaitu apabila ia berwudhu’ dengan sempurna lalu pergi ke masjid hanya untuk shalat (jama’ah). Maka ia tidak melangkah satu langkahpun, kecuali karenanya diangkat satu derajat untuknya dan karenanya dihapus satu kesalahan darinya. Manakala para malaikat senantiasa mencurahkan rahmat kepadanya (dengan berdo’a kepada Allah), ALLAHUMMA SHALlI ‘ALAIH, ALLAHUMMARHAMHU (ya Allah limpahkanlah barakah kepadanya, dan curahkanlah barakah kepadanya).” Dan senantiasa seorang di antara kamu dianggap berada dalam shalat selama menunggu (pelaksanaan) shalat berjama’ah.” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 131 no: 647, Muslim I :459 no: 649 dan ‘Aunul Ma’bud 11:265 no: 555).
Dari Abu Hurairah r.a dan Nabi saw. bersabda, “Barang siapa berangkat sore dan pagi ke masjid (untuk shalat jama’ah), niscaya Allah menyediakan baginya tempat tinggal di surga setiap kali ia berangkat sore dan pagi (ke masjid).” Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 148 no: 662 dan Muslim I : 463 no: 669)
3. Bolehkah Kaum Wanita Pergi Shalat Berjamah Di Masjid?
Kaum wanita boleh pergi ke masjid untuk mengikuti shalat jama’ah dengan syarat mereka harus menjauhkan diri dan hal-hal yang dapat menimbulkan gejolak syahwat dan yang kiranya mengumandang fitnah, yaitu berupa perhiasan dan wangi-wangian (Fiqhus Sunnah I: 193).
Dari Ibnu Umar r.a. dan Nabi saw. bersabda, “Janganlah kamu sekalian mencegah istri-istrimu (pergi ke) masjid-masjdi namun (ingat) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Shahih : Shahih Abu Daud no: 530, ‘Aiunul Ma’bud II: 274 no: 563 dan al Fathur Rabbani V : 195 no: 1333).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Setiap wanita yang memakai wangi-wangian, maka jangan hadir shalat Isya’ bersama kami.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2702, Muslim I: 328 no: 444, ‘Aunul Ma’bud XI: 231 no: 4157, dan Nasa’I VIII: 154).
Darinya (Abu Hurairah) r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Janganlah kami menghalangi hamba-hamba Allah yang perempuan untuk (pergi ke) masjid-masjid Allah, namun (ingat) hendaklah mereka berangkat (ke masjid) tanpa memakai parfum.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 529, ‘Aunul Ma’bud 11:273 no: 561, al-Fathur Rabbani V: 193 no: 1328).
4. Rumah-Rumah Mereka Lebih Baik Bagi Mereka
Kaum perempuan, sekalipun boleh pergi ke masjid, namun shalat wajib di rumahnya adalah lebih utama.
Dari Ummu Humaid as-Sa’idiyah bahwa ia perah datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Ya Rasulullah, sejatinya saya ingin shalat bersamamu.“ Jawab beliau, “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau ingin sekali shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu, shalatmu di dalam kamarmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kampungmu, shalatmu di kampungmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik bagimu daripada shalatmu dimasjidku ini.” (Hasan: al-Fathur Rabbani V: 198 no: 1337 dan Shahih Ibnu Khuzai’mah III: 95 no: 1689).
5. Adab Berangkat Ke Masjid
Dari Abu Qatadah r.a. ia berkata, “Ketika kami sedang shalat bersama Nabi saw., tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh orang-orang (yang berangkat ke masjid). Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada kalian?” Jawab mereka, “Kami terburu-buru ingin ikut shalat jama’ah.” Sabda beliau, “Janganlah kamu berbuat (begitu lagi). Apabila kalian hendak datang (ke masjid untuk) shalat jamaah, maka kamu harus (berangkat) dengan tenang. Apa yang kamu dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa yang terlewatkan darimu, naka sempurnakanlah!” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 116 no: 635, dan Muslim 1: 421 no: 603).
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. bersabda, “Apabila kamu mendengar iqamah, maka berjalanlah (ke masjid untuk) shalat berjama’ah, dengan tenang dan penuh kewibawaan serta janganlah tergesa-gesa, apa yang kamu dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa yang terlewatkan darimu, maka sempurnakanlah.” (Muttafaqun ‘Alaih : Fathul Bari II : 117 no: 636, dan lafadz ini baginya, Muslim I: 420 no: 602, ‘Aunul Ma’bud II: 278 no: 568, Tarmidzi I: 205 no: 326, an-Nasa’I II: 114 dan Ibnu Majah I: 255 no: 775).
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang di antara kamu berwudhu’ dengan sempurna, kemudian berangkat menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mencengkeram jari-jarinya, karena sesungguhnya ia dianggap berada dalam shalat.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 316, Sunan Tirmidzi I: 239 no: 384 dan ‘Aunul Ma’bud II: 268 no: 558).
6. Do’a Keluar Dari Rumah
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa-yakni orang yang keluar dan rumahnya mengucapkan, “BISMILLAH, TAWAKKALTU ALALLAH, WA LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH (Dengan (menyebut) nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah tiada daya upaya kecuali dengan (idzin) Allah),” Maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah diberi petunjuk dan telah dicukupi serta dilindungi.” Dan syaitan menjauh darinya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6419, ‘Aunul Ma’bud XIII: 437 no: 5073, dan Tirmidzi V: 154 no: 3486)
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia pernah tidur di rumah Rasulullah saw. Kemudian dia menerangkan sifat shalat malam beliau, lalu berkata, “Muadzin mengumandangkan adzan, lalu beliau keluar ke (masjid untuk) shalat berjama’ah sambil berdo’a, “ALLAHUMMAJ ‘AL FII QALBII NUURAA, WA FII LISANII NUURAA, WAJ’AL FII SAM’II NUURAA, WAJ’AL FII BASHARII NUURAA, WAJ’AL MIN KHALFII NUURA, WAMIN AMAMII NUURAA, WAJ’AL MIN FAUQII NUURAA, WA MIN TAHTII NUURAA, ALLAHUMMA A’THINII NUURA (= Ya Allah, jadikanlah hatiku bercahaya dan lisanku bercahaya, dan jadikan pendengaranku bercahaya, jadikanlah penglihatanku bercahaya, jadikanlah belakangku bercahaya, depanku bercahaya dan bawahku bercahaya. Ya Allah, berilah pada diriku cahaya).” (Shahih: Mukhtasar Muslim no : 379, Muslim I: 530 no: 191 dan 763 dan t’inul Ma’bud IV: 230 no: 1340).
7. Do’a Ketika Akan Masuk Masjid
Dari Abdullah bin Amr al-’Ash r.a. dan Nabi saw., bahwa apabila beliau akan masuk masjid beliau mengucapkan, “AA’UUDZU BILLAHIL ‘AZHIM WA BIWAJHIHILL KARIIM WA SULTHANIHIL QADIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIM (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, Kepada Wajah-Nya Yang Mulia, dan kepada kekuasaan-Nya yang azali dari godaan yaitan yang terkutuk).” (Shahih: Shahih Abu Daud no : 441 dan ‘Aunul Ma’bud II: 132 no: 462).
Dari Fathimah binti Rasulullah saw., ia berkata: Adalah Rasulullah saw. apabila hendak masuk masjid, beliau mengucapkan “BISMILLAAH, WASSALAAMU ‘ALAA RASULILLAH, ALLAHUMMAGH FIRLII DZUNUUBII WAFTAHLII ABWAABA RAHMATIK (Dengan menyebut nama Allah, dan kesejahteraan mudah-mudahan tercurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukalah untukku pintu-pintu rahma-Mu). “Dan apabila beliau hendak keluar (dan masjid), beliau mengucapkan, “BlSMILLAAH, WASSALAAMU ‘ALAA RASUULILLAAH, ALLAHUMMAGH FIRLII DZUNUUBI WAFTAHLII ABWAABA FADHLIK (Dengan (menyebut) nama Allah, dan kesejahteraan mudah-mudahan dilimpahkan kepada Rasulullah Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu-pintu karunia-Mu). (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 625, Ibnu Majah I: 253 no: 771 dan Tirmidzi l:197 no: 313).
8. Shalat Tahiyatul Masjid
Apabila seorang masuk masjid, ia wajib shalat tahiyatul masjid dua raka’at sebelum duduk.
Dari Abu Qatadah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang di antara kamu masuk masjid maka janganlah (langsung) duduk sebelum shalat (tahiyatul masjid) dua raka’at.” (Murtafaqun ‘Alaih: Fathul Bari III: 48 no: 1163, Muslim I: 495 no: 714, ‘Aunul Ma’bud II: 133 no: 463, Tirmidzi I: 198 no: 315 dan Ibnu Majah I: 24 no:1013 dan Nasa’i II: 53).
Kami penulis mengatakan wajib shalat tahiyatul masjid berdasarkan dzahir perintah hadits di atas yang tidak ada qarinah-qarinah (indikasi indikasi) yang memalingkannya dan dzahirnya sebagai sebuah kewajiban, kecuali hadits Thalhah bin Ubaidullah:
Dari Thalhah bin ’Ubaidullah r.a. bahwa ada seorang arab badwi datang kepada Rasulullah saw. dengan rambut kusut seraya berkata, ”Ya Rasulullah (tolong) informasikan kepadaku, shalat apa saja yang Allah fardhukan kepadaku?”Jawab beliau, “Shalat lima waktu, kecuali jika kamu mengerjakan shalat tathatwwu’.” Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari I: 106 no: 46, Muslim I: 40 no: 11, ‘Aunul Ma’bud II: 53 no: 387 dan Nasa’i IV: 121).
Di dalam Nailul Authar I : 364, Imam Asy-Syaukani menulis sebagai berikut, “Upaya menjadikan hadits Thalhah ini sebagai dalil yang menunjukkan tidak wajibnya shalat tahiyatul masjid harus dikaji ulang, menurut hemat saya (asy-Syaukani), sebab apa saja yang terdapat pada Mabadi Ta’lim (dasar-dasar ajaran Islam) tidak boleh dilibatkan dalam memalingkan dalil yang datang sesudahnya. Jika tidak, maka kewajiban-kewajiban syari’at seluruhnya hanya terbatas pada shalat lima waktu saja. Ini jelas-jelas berbenturan dengan ijma’ ulama’ dan mementahkan mayoritas kandungan svari’at Islam. Yang haq, bahwa dalil yang shahih yang datang belakangan yang harus sesuai dengan ketentuannya, baik yang wajib, sunnah, ataupun lainnya. Dan, memang dalam masalah ini terdapat khilaf, namun pendapat orang mewajibkanlah yang paling kuat diantara dua pendapat.” Selesai.
Pendapat yang mengokohkan mewajibkan shalat tahiyatul masjid ini diperkuat oleh perintah Nabi walaupun beliau sedang berkhutbah:
Dari Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata, “Telah datang seorang sahabat di saat. Nabi saw. berkhutbah di hadapan jama’ah shalat Jum’at, lalu beliau bertanya (kepadanya), “Hai fulan, sudahkah engkau shalat (tahiyatul masjid)?” Jawabnya, “Belum.” Sabda beliau lagi, “(Kalau begitu bangunlah lalu ruku’lah (shalatlah).” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 407 no: 930, Muslim II: 596 no: 875, ‘Aunul Ma’bud IV: 464 no: 1102, Tirmidzi II: 10 no: 508, Ibnu Majah I: 353 no: 1112 dan Nasa’i III: 107).
9. Bila Iqamah Telah Dikumandangkan, Tiada Shalat Lagi, Kecuali Shalat Wajib
Dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi saw., beliau bersabda, “Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka sama sekali tiada shalat, kecuali shalat wajib.” (Shahih: Mukhtsar Muslim no: 263, Muslim I: 493 no: 710, ‘Aunul Ma’bud IV: 142-143 no: 1252, Tirmidzi 1:264 no: 419, Ibnu Majah 1:364 no: 1151 dan Nasa’i II no: 116).
Dari Malik bin Buhainah bahwa Rasulullah pernah melihat seorang sahabat sedang mengerjakan shalat dua raka’at diwaktu iqamah dikumandangkan. Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau dikerumuni oleh para sahabat. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah shalat subuh empat rakaat?! Apakah shalat shubuh empat raka’at?!” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 148 no: 663 dan lafadz mi baginya, dan Muslim I: 493 no: 711)
10. Fadhilah Mendapatkan Takbiratul Ihram Bersama Imam
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah mendapatkan takbiratul ihram, niscaya ditetapkan baginya dua kebebasan: bebas dan siksa neraka dan (kedua) bebas dan sifat nifak.” (Hasan: Shahih Triniidzi no: 200 dan Tirmidzi I: 152 no: 241).
11. Orang Yang Datang Ke Masjid Di Saat Imam Sudah Selesai Shalat
Dari Sa’id bin al-Musayyab r.a. bahwa ada seorang sahabat dan Anshar berada dalam detik-detik kematian, berkata: Sesungguhnya aku akan menceritakan hadits kepada kamu sekalian yang tidak akan kusampaikan kepadamu, kecuali mendapatkan ridha Allah. Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu berwudhu’ dengan sempurna, kemudian pergi ke (masjid untuk) shalat jama’ah, ia tidak mengangkat kaki kanannya, melainkan Allah Azza Wa Jalla pasti menulis baginya satu kebaikan, dan tidak meletakkan kaki kirinya melainkan pasti Allah Azza Wa Jalla menghapus satu kesalahan darinya. Maka hendaklah seorang diantara kamu memilih (tempat) yang jauh atar dekat (ke masjid). Jika ia datang ke masjid, lalu shalat berjama’ah, niscaya diampuni dosa-dosanya. Jika ia datang ke masjid sedangkan mereka sudah mengerjakan sebagian (dari shalat wajib) dan tinggal sebagian yang lain, maka hendaklah ia shalat mengikuti mereka, lalu sempurnakan sisanya maka demikian itu pahalanya sama dengan mereka. Dan jika dia datang ke masjid, sementara mereka sudah selesai mengerjakan shalat, lalu dia menyempurnakan shalat (yang ketinggalan), maka yang demikian itu sama pahalanya den mereka.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 527 dan ‘Aunul Ma’bud II: 270 n 559).
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa berwudhu’
dengan sempurna, kemudian berangkat (ke masjid), lalu ia mendapati jama’ah sudah selesai shalat, niscaya Allah Azza Wa Jalla memberinya sebesar pahala orang yang mengerjakannya dan mengikutinya, Hal itu tidak mengurangi sedikitpun pahala mereka.”
(Shahih: Shahih Abu Daud no: 528, ‘Aunul Ma’bud II: 272 no: 560 dan Nasa’i II: 111).
12. Orang Yang Masbuq Harus Mengikuti Imam Dalam Keadaan Apapun Ia
Dari Ali bin Abi Thalib dan Mu’adBab Shalat Jama’ahz bin Jabal r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu datang (ke masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan imam berada dalam satu gerakan, maka lakukanlah sebagaimana yang dikerjakan oleh imam itu !“ (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 484, Shahihul Jami’us Shaghir no: 261 dan Tirmidzi II no: 51 no: 588).
13. Kapan Dianggap Mendapatkan Satu Raka’at
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kamu datang ke (masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka sujudlah, namun janganlah kamu menghitungnya sebagai satu raka’at, barang siapa yang yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia mendapatkan shalat mendapatkan 1 raka’at tersebut).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 468 n’Aunu1 Ma’bud III: 145 no: 875).
14. Orang Yang Ruku’ Di Belakang Shaf
Dari Abu Bakrah r.a. bahwa ia pernah mendapati Nabi saw. sedang ruku’, lalu iapun ruku’ sebelum sampai shaf. Kemudian kejadian tersebut sampai kepada Nabi saw., maka beliau bersabda, “Mudah-mudahan Allah menambah antusiasmu, maka jangan kau ulangi lagi (ruku’ di belakang shaf itu).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3565, Fathul Bari II: 267 no: 783, Aunul Ma’bud II: 378 no: (-79-680, dan Nasa’i II: 118).
Dari Atha’ bahwa ia mendengar Ibnu Zubair menegaskan di atas mimbar, “Apabila seorang kamu masuk masjid, sementara jama’ah sedang ruku’ maka ruku’lah sampai kamu masuk (ke dalam masjid), kemudian kamu berjalanlah sambil ruku’ hingga masuk ke shaf, karena yang demikian itu sunnah Nabi. “(Shahihul Isnad : ash-Shahihah no: 229).
Dari Zaid bin Wahb, ia bercerita, “Saya pernah keluar bersama Abdullah bin Mas’ud dari rumahnya menuju masjid. Tatkala kami sampai dipertengahan masjid, imam ruku’ maka Ibnu Mas’ud bertakbir dan ruku’ aku ikut jugs bersamanya, kemudian kami berjalan (terus) dan kami sampai-sampai ke shaf ketika jama’ah mengangkat kepalanya (dan ruku’). Tatkala imam selesai dari shalatnya, aku berdiri (lagi) karena saya berpendapat bahwa saya tidak mendapatkan (raka’at pertama) , maka kemudian Abdullah bin Mas’ud menarik tanganku dan mendudukkanku. Kemudian dia menyatakan, “Sesungguhnya engkau benar-benar telah mendapat (‘shalat dan raka’at pertama).” (Shahih: ash. Shahihah II: 52 dan Baihaqi II: 90).
15. Imam Diperintah Memperpendek Bacaan
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat untuk para makmum, maka perpendeklah karena diantara makmum itu ada yang lemah, ada yang sakit, dan ada (pula) yang tua renta. Namun apabila ia shalat untuk dirinya sendirian, maka perpanjanglah semuanya!’ (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 199 no: 703 dan lafadz ini baginya, Muslim I: 341 no: 467, Aunul Ma’bud III: 11 no: 780, Tirmidzi I: 150 no: 236 dan Nasa’i II: 94).
16. Imam Lebih Memanjangkan Rakaat Pertama
Dari Abu Sa’id r.a., berkata, “Sungguh shalat dzuhur sedang dimulai, lalu ada diantara jama’ah yang (keluar) pergi ke Baqi’ untuk buang hajat. (Setelah selesai) kemudian ia berwudhu’ lalu berangkat (ke masjid lagi) sedangkan Rasulullah masih berada pada raka’at pertama, karena beliau sangat memanjangkan raka’at pertama.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 930, Muslim I: 35 no: 454 dan Nasa’i II: 164)
17. Wajib Mengikuti Imam dan Larangan Mendahuluinya
Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dijadikan imam itu hanyalah untuk diikuti. Karena itu, apabila ia sudah takbir, maka hendaklah kamu takbir, apabila sujud maka sujudlah kamu, dan apabila ia mengangkat (kepala), maka angkatlah (kepalamu)…” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim 1: 3( no: 411, Fathul Bari II: 173 no: 689, ‘Annul Ma’bud II: 310 no: 587, Tirmidzi I: 225 no: 358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1: 92 no: 12.38).
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Tidaklah seorang diantara kamu merasa khawatir, bila (mengangkat kepalanya), Allah akan menjadikan kepalanya sebagai kepala keledai, atau Allah akan menjadikan raut wajahnya seperti wajah keledai?!“ (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 182 no: 691, Muslim I: 320 no: 427, ‘Aunul Ma’bud II: 330 no: 609, Tirmidzi U: 48 no: 579, Nasa’i II: 96 dan Ibnu Majah I: 308 no: 961).
18. Orang Yang Berhak Menjadi Imam
Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Yang menjadi imam di suatu kaum ialah yang lebih mengerti isi kitab Allah, kalau mereka dalam hal mengerti kitabullah sama, maka yang lebih mengerti tentang sunnah Nabi di antara mereka, jika dalam hal pemahaman sunnah Nabi sama, maka yang dahulu hijrah di antara mereka, apabila dalam hal hijrah mereka sama, maka yang lebih dulu masuk Islam di antara mereka, dan janganlah menjadi imam bagi orang lain di daerah kekuasaan orang itu dan janganlah duduk di rumahnya di tempatnya yang khusus, kecuali dengan idzinnya.” (Shahih Mukhtasar Muslim no: 316, Muslim I: 465 no: 673, Tirmidzi I: 149 no: 235, ‘Aunul Ma’bud II: 289 no: 578, Nasa’i II: 76, Ibnu Majah I: 313 no: 980.\
Dalam riwayat mereka ada tambahan begini, “Jika dalam hal hijrah mereka sama, maka yang lebih tua diantara mereka yang menjadi imam.” Riwayat ini salah satu dari riwayat Imam Muslim.
Dalam hadits ini terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa tuan rumah dan imam rawatib (imam tetap) serta semisalnya lebih berhak menjadi imam shalat daripada selain mereka, kecuali mendapat izin dan mereka ini didasarkan pada sabda Nabi saw, “Dan janganlah seorang menjadi imam bagi orang di tempat kekuasaan orang itu.”
19. Anak Kecil Menjadi Imam
Dari Amr bin Salamah r.a., ia berkata: Tatkala terjadi Fathul Mekkah, setiap kaum berlomba-lomba menyatakan keislamannya dan ayahku telah mendahului keislaman kaumku. Tatkala ia datang (kepada mereka , ia berkata, “Demi Allah, aku benar-benar datang kepada kamu sekalian dan sisi Nabi, maka beliau berkata: Shalatlah begini pada waktu begini, dan shalatlah begini pada waktu begini. Apabila (waktu) shalat tiba, hendaklah seorang diantara kamu mengumandangkan adzan dan hendaklah yang paling banyak hafalan Qur’annya yang menjadi iman kamu. “Kemudian para sahabat melihat-lihat, ternyata tidak ada hafalan Qur’annya lebih banyak dan saya, karena sebelumnya saya pernah belajar al-Qur’an kepada sejumlah musafir, kemudian mereka menunjuk saya sebagai imam mereka, padahal saya masih berusia enam atau tujuh tahun.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 761, Fathul Bari VIII: 22 no: 4302, ‘Aunul Ma’bud 293 no: 581, Nasa’i II: 80).

20. Orang Yang Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Yang Shalat Sunnah Atau Sebaliknya
Dari jabir bahwa Mu’adz bin Jabal shalat bersama Nabi, kemudian kembali (pulang), lalu menjadi imam bagi kaumnya.” (Shahih: Mukhtasar Halaman 278 Bukhari no:387, Fathul Bari II: 192 no:700, Muslim I:339 no:465, ‘Aunul Ma’bud III:776, Nasa’i II:102).
Dari Yazid bin al-Aswad bahwa ia pada waktu menginjak usia remaja pernah shalat bersama Nabi saw.. Tatkala beliau selesai shalat, ternyata ada dua sahabat yang tidak ikut shalat jama’ah di pojok masjid, lalu dipanggil oleh beliau, kemudian dibawalah mereka berdua kepada beliau dengan menggigil ketakutan beliau bertanya “Gerangan apakah yang menghalangi kalian untuk shalat jama’ah dengan kami?” Jawab mereka berdua,” Sungguh kami telah shalat jama’ah di perjalanan kami.” Sabda beliau (lagi), “Jangan begitu, manakala seorang diantara kamu sudah shalat jama’ah di perjalanannya, kemudian ia mendapatkan imam (sedang shalat), sedangkan ia tidak termasuk yang shalat, maka shalatlah bersamanya, karena sejatinya shalat kedua itu sunnah baginya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 538, ‘Aunul Ma’bud II: 283 no: 571, Tarmidzi I: 140 no: 2 dan Nasa’i II 112)
21. Orang Muqim Bermakmum Kepada Musafir Atau Sebaliknya
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Umar shalat dzuhur dengan masyarakat Mekkah, dan beliau mengucapkan salam pada raka’at kedua, kemudian berkata, “Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian, karena sesungguhnya kami adalah orang-orang musafir!” (Shahih: Jami’ul Ushul V: 708 yang ditahqiq oleh Al-Anaa uth dan Mushnaf Abdur Razzaq no: 4369).
22. Apabila Musafir Bermakmum Kepada Orang Yang Muqim Harus Menyempurnakan
Dari Musa bin Salamah al Hudzali r.a. berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., bagaimana cara shalat sendirian bila berada di Makkah jawab Ibnu Abbas, “(Shalatlah) dua raka’at, ini adalah sunnah Abul Qasim (Shahih : Irwa ul Ghalil no: 571 dan Muslim I : 479 no: 688 serta Nasa’I : 119)
Dari Abu Mujalazi, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar, seorang musafir mendapatkan dua raka’at dari shalat kaum setempat, yaitu orang-orang yang muqim apakah cukup baginya dua raka’at itu, ataukah ia harus shalat (lengkap) seperti shalat mereka?” Ibnu Umar tertawa, lalu berujar,” Ia harus shalat (lengkap) seperti shalat mereka.” (Shahih Isnad : Irwa-ul Ghalil no : 22 dan Baihaqi III : 157).
23. Orang Yang Mampu Berdiri Bermakmum Kepada Orang Yang Shalat Dengan Duduk Dan Ia Pun Duduk Bersamanya
Dari Aisyah r.a., berkata, “Rasulullah saw. shalat dirumahnya karena sakit yaitu beliau shalat duduk, sementara sejumlah sahabat shalat di belakangnya dengan berdiri. kemudian beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk (juga). Tatkala selesai shalat, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam itu hanya untuk diikuti. Karena itu, apabila imam ruku’ maka ruku’lah, apabila dia mengangkat (kepalanya) maka angkatlah (kepalamu), dan apabila dia shalat dengan duduk maka shalatlah kamu dengan duduk (juga)!” (Muttafaqun ‘Alaih Fathul Bari II: 173 no: 688, Muslim I: 309 no: 412 dan ‘Aunul Ma’bud I 315 no: 591).Yaitu di rumah Aisyah, bukan di rumah istri yang lain. Lihat Fathul Bari II:175 (pent.)
Dari Anas r.a., ia bercerita: (Pada suatu saat) Nabi terjatuh dari atas kudanya hingga lambung kanannya bengkak. Maka kami membesuknya, lalu tiba waktu shalat, kemudian Rasulullah shalat dengan kami dalam keadaan duduk, lantas kami shalat di belakangnya dengan duduk (pula). Tatkala usai shalat, beliau bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam hanyalah untuk diikuti. Karena itu, manakala ia telah takbir, maka bertakbirlah kamu, apabila ia telah sujud maka sujudlah kamu dan apabila ia telah mengangkat (kepalanya) maka angkatlah (kepalamu juga), apabila ia mengucapkan, SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah, RABBANAA WALAKAL HAMDU, dan apabila ia shalat dengan duduk maka shalatlah kamu semua dengan duduk (juga).” (Muttafaqun ‘alaih: Muslim 1:308 no:4 11, Fathul Bari 11:173 no:689, ‘Aunul Ma’bud II: 310 no: 587, Tirmidzi I: 125 no:358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1:392 no: 1238).
24. Makmum Sendirian Harus Berdiri Persis Di Sejajarkan Imam (Sejajar Dengannya).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya pernah bermalam di rumah bibiku, Maimunah lalu Rasulullah saw. shalat isya’, kemudian shalat empat rakaat, lalu kemudian bangun (shalat lagi), lalu ia datang berdiri di sebelah kirinya, maka beliau menempatkanku di sebelah kanannya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil 540, Shahih Ibnu Majah no: 792, Tarmidzi I: 147 no: 232, Nasa’i II: 104 Ibnu Majah I: 312 no: 973).
25. Makmum Dua Orang Atau Lebih Berdiri Dengan Membuat Shaf Di Belakang Imam.
Dari Jabir berkata, “Rasulullah saw. berdiri hendak shalat, lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya, lalu Rasulullah memegang tanganku kemudian memutarku hingga menempatkan di sebelah kanannya. Tak lama kemudian datanglah Jabbar bin Shakhr, lantas berdiri disebelah kiri Rasulullah, lalu beliau memegang tangan kami semua, lantas mendorong kami hingga kami berdiri di (shaf) belakangnya.” (Shahih : Ihwa-ul Ghalil no : 540, Muslim I: 458 no: 269-660, ‘Aunul Ma’bud II: 318 no: 595, dan Ibnu Majah I: 312 no: 975).
26. Jika Makmum Seorang Perempuan Harus Berdiri Di Belakang Imam
Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. shalat dengannya dan dengan ibunya atau bibinya ia berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan menempatkan perempuan di belakang kami.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 192 no: 700, Muslim I: 339 no: 465, ‘Aunul Ma’bud III: 4 no: 776, dan Nasa’i II: 102)
27. Kewajiban Meluruskan Shaf
Wajib bagi sang imam untuk tidak memulai shalatnya sebelun mengontrol shaf, yaitu ia sendiri menyuruh jama’ah meluruskan shaf, atau menunjuk seseorang yang meluruskan shaf:
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Luruskanlah shaf  kalian karena sesungguhnya kelurusan shaf itu termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim I : 324 no: 433 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari II: 209 no: 723, ‘Aunul Ma’bud (II: 367 no: 654, dan Ibnu Majah 1:317 no: 993)
Dari Abu Mas’ud r.a. berkata, adalah Rasulullah saw. meluruskan bahu-bahu kami ketika akan memulai shalat sambil bersabda, “Luruskanlah, jangan sampai tidak lurus, (kalau tidak lurus) niscaya hati-hati kalian akan berselisih pula.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 961, Muslim I: 323 no: 432).
Dari an-Nu’man bin Basyir r.a., berkata, adalah Rasulullah saw. meluruskan shaf-shaf kami seolah-olah beliau meluruskan tangkai anak panah ini sampai kami melihat kami diikat padanya. Kemudian pada suatu hari, beliau berdiri hampir memulai takbir, lalu melihat dada seorang sahabat yang menonjol dari shaf, maka beliau bersabda, “Wahai hamba-hamba Allah, kalian benar-benar meluruskan shaf kalian, atau (kalau tidak), Allah benar-benar menjadikan wajah-wajah berbeda-beda.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3972, I: 324 no: 128 dan 436, ‘Aunul Ma’bud II: 363 no: 649, Tirmidzi no: 227, Nasa’i II: 89 dan Ibnu Majah I: 318 no: 994)
Penggunaan kata qidah (tangkai anak panah), adalah menunjukkan akan lurus dan rapatnya shaf itu. Syarah Muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tegakkanlah shaf-shaf, luruskan antara bahu-bahu, penuhilah yang kosong dan bersikap lemah lembutlah kepada saudaramu, janganlah kamu biarkan celah-celah untuk syaithan, barang siapa yang menyambung shaf niscaya Allah menjalin hubungan dengannya barangsiapa memutus shaf, tentu Allah memutus hubungan dengannya.” Shahih: Shahih Abu Daud no: 620 dan ‘Aunul Ma’bud II: 365 no : 652).
Dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Rapatkanlah dan dekatkan shaf-shaf kalian serta luruskanlah antara sesama leher, Demi Dzat yang diriku berada di genggaman-Nya, sesungguhnya aku benar-benar melihat syaithan masuk ke shaf melalui celah-celah shaf seperti anak kambing hitam.” (Shahih: Shabi Abu Daud no: 621, ‘Aunul Ma’bud II: 366 no: 653, Nasa’i II: 92).
28. Cara Meluruskan Shaf
Dari Anas r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya saya melihat kamu dan belakang punggungmu.” Dan (kata Anas), “Adalah seorang diantara kami menempelkan bahunya dengan bahu saudaranya, dan kakinya dengan kaki saudaranya.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari no: 393 dan Fathul Bari II: 211 no:725).
An-Nu’man bin Basyir menegaskan, “Aku melihat seorang laki-laki diantara kita menempelkan mata kaki dengan mata kaki rekannya.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari no: 124 hal. 184 dan Fathul Bari II: 211 secara mu’allaq).
29. Shaf Laki-Laki Dan Perempuan
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling akhir dan yang paling jelek adalah yang terdepan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3310, Muslim I: 326 no: 440, ‘Aunul Ma’bud II: 374 no: 663, Tirmidzi I: 143 no: 224, Nasa’i II: 93 dan Ibnu Majah I: 319 no: 1000).
30. Keutamaan Shaf Pertama Dan Shaf Sebelah Kanan
Dari Bara’ bin Azib ra ia berkata: Adalah Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bershalawat kepada jama’ah yang berada pada shaf pertama.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 618, ‘Aunul Ma’bud 11364 no: 650, Nasa’i II: 90 dan dalam Sunan Nasa’i memakai kata, “ASH SIUFUFUL MUTAQADDIMAH (= shaf-shaf terdepan).”)
Darinya (yakni Bara’ bin Azib) r.a., ia berkata, “Apabila kami shalat bermakmum kepada Rasulullah saw., kami ingin berada di sebelah kanannya. Rasulullah menghadap kepada kami dengan raut wajahnya, lalu saya dengar darinya bersabda, “Ya Rabbku peliharalah aku dan adzab-Mu pada hari engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” (Shahih: at-Targhib: 500, Muslim I: 492 dan 493no: 709)
31. Makmum Yang Lebih Pantas Berdiri Di Belakang Imam
Dari Abu Mas’ud al-Anshari r.a. bahwa Rasulullah saw.  bersabda, “Hendaklah yang berada yang berada di belakangku di antara kamu ialah orang-orang yang sudah dewasa dan matang pikirannya, kemudian yang sesudah mereka, lalu sesudah mereka.” (Shahih:Shahih Abu Daud no: 626, Muslim I: 323 no: 432, “Aunul Ma’bud II: 371 no: 660, Ibnu Majah I: 312 no: 976 dan Nasa’I II: 90)
32. Makruh Shaf Yang Dihalangi Tiang
Dari Muawiyah bin Qurrah dari bapaknya, ia berkata, “Pada masa Rasulullah kami dilarang (oleh beliau) membentuk shaf yang dihalangi tiang dan kami jauhkan darinya sejauh-jauhnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:821, Ibnu Majah I:320 no:1002, Mustadrak Hakim I:218, dan Baihaqi III:104)
Larangan di atas berlaku pada shalat jama’ah, adapun shalat munfarid sendirian, maka tidak mengapa seseorang shalat di antara beberapa tiang sebagai sutrah baginya.
Dari Ibnu Umar r.a., berkata, Nabi saw., Usamah bin Zaid, ‘Utsman bin Thalhah, dan Bilal masuk ke suatu rumah. Kemudian Nabi saw. lama di dalamnya, lalu keluar. Saya adalah orang yang pertama masuk mengikuti jejaknya. Kemudian saya bertanya pada Bilal, “Di mana beliau shalat?” Jawabnya, “Beliau (shalat) di antara dua tiang terdepan.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari hal 139, Fathul Bari I:578 no:504).
33. Sejumlah ‘Udzur Yang Membolehkan Meninggalkan Shalat Jama’ah
1. Terlalu dingin dan hujan
Dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar r.a pernah mengumandangkan adzan untuk shalat jama’ah pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berseru, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing-masing lalu beliau berkata bahwasanya Rasulullah pernah menyuruh muadzin apabila beradzan pada malam yang dingin dan hujan untuk mengungkapkan, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing masing !” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 156 no: 666, Muslim I: 4 no: 697, ‘Aunul Ma’bud III: 391 no: 1050 dan Nasa’i II: 15).
2. Tersiapnya hidangan makan
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila hidangan makan malam seseorang diantara kamu sudah disiapkan dan iqamah sudah dikumandangkan, maka mulailah dengan makan malam, dan janganlah tergesa-gesa untuk (shalat isya’) sebelum selesai dan makannya.” Dan adalah Ibnu Umar apabila disiapkan hidangan makan untuknya dan iqamah sedang dikumandangkan, maka ia tidak mau menghadirinya sebelum selesai makan, dan ia benar-benar mendengar bacaan imam. (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 159 no: 673, Muslim I: 392 no: 459, tanpa kalimat terakhir dan ‘Aunul Ma’bud X: 229 no: 3739)
3. Selalu terdorong oleh rasa ingin berak dan kencing.
Dari Aisyah r.a, ia bertutur, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw.  bersabda, “Sama sekali tiada shalat bila hidangan makan sudah tersedia dan tiada (pula) bagi orang yang terdorong oleh berak dan kencing.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7509, Muslim I: 393 no: 560 dan ‘Aunul Ma’bud I: 160 no : 89).
PASAL
Solat Jama’ Dan Qasar
Solat Jamak
Yang dimaksud dengan solat Jama adalah penggabungan dua waktu solat dan dikerjakan dalam satu waktu, misalnya solat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya.
Bila solat Zuhur dikerjakan bersama-sama dengan Ashar di waktu Ashar, maka dinamakan Jama Ta’khir. Sebaliknya bila solat Ashar dikerjakan bersama-sama dengan Zuhur di waktu Zuhur disebut Jama Taqdin. Demikian juga bila solat Maghrib dan Isya dikerjakan bersama-sama pada waktu Maghrib, ia disebut Jama Taqdim, sebaliknya solat Maghrib dengan Isya dikerjakan bersama-sama pada waktu Isya, ia dinamakan Jama Ta’khir.
Zuhur, Ashar, Isya dan Maghrib, rakaatnya tetap, 4,4,4, dan 3. Dalam solat Jama’ baik yang taqdim maupun takhir, maka solat yang didahulukan mengerjakannya adalah solat yang lebih dulu waktunya. Jadi, bila selesai dengan shalat Zuhur, harus dilanjutkan dengan solat Ashar; begitu pula dengan solat Maghrib dan Isya.
Solat Jama boleh dikerjakan oleh orang-orang yang:
* Kerana dalam perjalanan atau musafir, iaitu sejak ia berangkat hingga kembali ke kampung
* Kerana sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang betul-betul sulit ditinggalkan.
* Ataupun sebab-sebab lain yang seseorang tidak mampu menunaikan solat tersebut tepat pada waktunya.
Harus ada niat dalam hati bahawa ia mengerjakan solat Jama’.
Shalat Qasar
Yang dimaksud dengan solat Qashar ialah mengerjakan solat yang empat rakaat menjadi 2 rakaat sahaja, yakni solat Zhuhur, Ashar, dan Isya. Dalam Al Quran disebutkan:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (An Nisa 101).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud dari Yahya bin Mazid r.a. katanya:
“Saya telah bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat. Jawabnya: Rasulullah s.a.w. “Apabila ia berjalan jauh 3 mil atau 33 farskah (25,92 km), maka beliau solat dua rakaat”
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Umar r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w. :”Apakah halnya kita, sedangkan kita telah aman”.
Rasulullah s.a.w. menjawab: “Itu adalah sadakah yang diberikan Allah s.w.t. kepada kamu, maka terimalah sedekahnya itu” (HR Ja’la bin Umayyah)
Solat Qashar boleh dikerjakan oleh seseorang yang tengah berpergian (musafir) baik dalam keadaan aman, maupun dalam keadaan ketakutan; baik perjalanan wajib atau biasa, asalkan perjalanan yang bukan maksiat. Dalam perjalanan Haji, menuntut ilmu, berdagang, mengunjungi sahabat dan lain-lain, halal untuk
mengqasharkan solat.
Adapun solat qashar saja, maupun qasahar dan jama’ yang dilakukan seseorang selama masa perjalanan, maka setelah ia tiba dirumah kembali, solatnya tidak perlu diulangi.
Seorang musafir, boleh mengerjakan jama’ dan qashar sekaligus. Bila ingin mengerjakan jama, dan qashar, jika ingin azan, maka azannya cukup satu kali saja dan iqamahnya dua kali. Caranya, mula-mula azan, lalu iqamah dan solat. Bila telah selesai ia iqamah sekali lagi untuk solat berikutnya. Solat qashar adalah
bagian dari ketetapan agama Islam.
Boleh jama’ di dalam negeri
“Telah berkata Ibnu Abbas: Rasulullah s.a.w. pernah sembahyang jama’ antara Zuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya, bukan diwaktu ketakutan dan bukan di dalam pelayaran (safa). Lantas ada orang bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa Rasulullah s.a.w. berbuat begitu? Ia menjawab: “Rasulullah s.a.w. berbuat begitu kerana tidak mahu memberatkan seorangpun daripada umatnya”. (HR Imam Muslim)
Boleh Seketika, Tetapi Bukan Leluasa
Bila anda berpergian sebelum tergelincir matahari (yaitu sebelum Zuhur dan ternyata Zuhur tidak dapat dikerjakan pada waktunya kerana ada kerumitan atau halangan yang susah dielakkan), maka Zuhur dapat dikerjakan pada waktu Ashar, bersama-sama dengan solat Ashar. Bila anda keluar sesudah tergelincir matahari, yakni sudah dalam Zuhur, sedangkan anda sendiri memperkirakan tidak mungkin ada kesempatan untuk mengerjakan solat Ashar tepat pada waktunya, maka Ashar dapat anda kerjakan bersama-sama solat Zuhur di waktu Zuhur itu juga, demikian halnya dengan solat Maghrib dan Isya.
Yang Penting Niat
Bagi seorang yang betul-betul sibuk dengan tugas yang tidak dapat ditinggalkan (atau bila ditinggalkan dapat merosak), maka baginya ada keizinan/keringanan untuk mengerjakan solat jama’ (Zuhur dengan Ashar di waktu Zuhur atau Zuhur dengan Ashar di waktu Ashar. Begitu juga Maghrib dengan Isya, sekali pun ia berada di dalam kota atau negeri. Tetapi, cara yang demikian bukanlah untuk dijadikan kebiasaan, namun dibenarkan bagi yang memang memerlukan, baik dalam solat atau diluar solat.
Pada waktu sujud dianjurkan membaca:
Sajada wajhiya lilladzii khalaqahu wasyaqqa sam’ahu wabasharahu bihawlihi waquwwatihi. (Aku bersujud kepada Allah yang menciptakannya, memberikan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan kekuatan-Nya)
Catatan:
Bila diluar solat, pembacaan ayat yang ditentukan melakukan sujud tilawah, maka pendengar (menyaksikan) dianjurkan ikut bersujud; bila mereka tidak ikut bersujud, maka tidak akan berdosa.
Bila dalam solat jamaah, Imam bersujud tilawah, maka makmum wajib ikut bersujud, bila makmum tidak bersujud, maka gugurlah kedudukannya sebagai anggota solat berjamaah.
PASAL
Salat Jum’at
Syarat wajib sholat Jum’at
Orang-orang yang wajib mengerjakan shalat Jum’at adalah orang-orang yang telah memenuhi 7 syarat berikut:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Sehat badan
g. Menetap (bukan musafir, tidak dalam perjalanan jauh).
Sedangkan orang-orang yang tidak wajib mengerjakan shalat Jum’at adalah :
a. Orang kafir
b. Anak kecil (yang belum baligh)
c. Orang gila
d. Budak
e. Orang perempuan
f. Musafir A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat
Sholat Jum’at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari jum’at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.
B. Hukum Sholat Jum’at
Shalah Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Dalil Al-qur’an Surah Al Jum’ah ayat 9 :
” Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat
1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum’at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum’at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
D. Ketentuan Shalat Jumat
Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.
E. Hikmah Solat Jum’at
1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.
F. Sunat-Sunat Shalat Jumat
1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
Syarat Khutbah 1. Khutbah dilakukan sebelum salat Jum’at 2. Niat 3. Disampaikan dengan bahasa yang bisa dipaham oleh Jamaah. 4. Antara khutbah satu dan khutbah dua dilakukan dalam satu waktu. (antara keduanya tidak boleh dipisahkan dengan salat Jum’at ). 5. Disampaikan dengan suara yang bisa didengar oleh jamaah, minimal sejumlah orang yang wajib dipenuhi sebagai syarat sahnya salat Jum’at, 40 orang. 6. Salat Jum’at segera dilakukan begitu khutbah usai, tidak boleh diselingi dengan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan salat Jum’at. B. Rukun Khutbah 1. Memuji kepada Allah (Dengan membaca: “al-hamdulillah, atau, ahmadullah, atau hamdan lillah, dan sesamanya”) dalam setiap khutbah pertama dan kedua. 2. Membaca salawat untuk Nabi Muhammad saw dalam setiap khutbah, satu dan dua (salawatnya: “Allahumma sholli ‘ala Muhammad, dan atau semacamnya”) 3. Berwasiat untuk melakukan ketakwaan dalam setiap khutbah (pesannya: “ittaqullah, atau athi’ullah, atau ushikum bitaqwallah, dan atau semisalnya”) 4. Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur`an. 5. Doa untuk kebaikan dan ampunan bagi orang-orang beriman pada khutbah kedua. Rukun di atas adalah rukun khutbah dalam Mazhab Syafi’i. Menurut mazhab ini, semua rukun tersebut harus disampaikan dalam bahasa Arab, adapun pesan-pesan lain yang tidak termasuk rukun bisa disampaikan dengan bahasa yang dipahami oleh jamaah. Adapun Mazhab-mazhab lainnya adalah sebagai berikut: 1. Mazhab Hanafi, rukun khutbah adalah satu hal, yaitu dzikir secara mutlak, baik panjang maupun pendek. Menurut Mazhab ini bahkan bacaan tahmid, atau tasbih, atau tahlil, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban khutbah. Mazhab ini berpendapat bahwa khutbah bisa disampaikan dalam bahasa apa saja, tidak harus bahasa Arab. 2. Mazhab Maliki, rukun khutbah menurut mazhab ini adalah satu hal, yaitu ungkapan yang memuat kabar gembira (dengan janji-janji pahala dari Tuhan) atau peringatan (bagi orang-orang yang suka melanggar aturan Tuhan). Mazhab ini berpendapat bahwa keseluruhan khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab. Jika tidak ada yang mampu menggunakan bahasa Arab maka kewajiban salat Jum’at gugur untuk dilaksanakan. 3. Mazhab Hanbali, rukun khutbah menurut mazhab ini ada empat hal, yaitu: a. Bacaan “alhamdulillah” dalam setiap khutbah, satu dan dua. b. Salawat atas Nabi Muhammad. c. Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur’an. d. Wasiat untuk melakukan ketakwaan. Mazhab ini juga berpendapat bahwa khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab bagi yang mampu. Bagi yang tak bisa berbahasa Arab maka menggunakan bahasa yang dimampui, khusus untuk ayat al-Qur`an tidak boleh digantikan dengan bahasa lain. Demikian, rincian syarat dan rukun khutbah menurut mazhab-mazhab besar yang banyak berlaku. Memang hampir tidak ada perbedaan antara khutbah dengan ceramah yang biasa dilakukan para dai. Yang membedakan hanya waktu penyampaiannya. Wa ‘l-Lah-u a’lam. Demikian, semoga membantu. Salam, Shocheh Ha
PASAL
Salat Gerhana
 Pengertian Gerhana
Gerhana dalam istilah syar’I disebut dengan khusuf atau kusuf, yang maknanya adalah : hilangnya sebagian cahaya matahari dan bulan atau hilangnya secara keseluruhan dikarenakan proses alam, yang menyebabkan kondisi pada saat itu mengarah ke warna gelap atau hitam.
Gerhana itu sendiri terdiri dari dua macam gerhana yaitu “gerhana matahari” yang dikenal dengan “kusuf” dan “gerhana bulan” yang dikenal dengan istilah “khusuf”
Shalat dua gerhana adalah Shalat yang dikerjakan pada saat terjadinya gerhana matahari atau bulan dengan cara dan ketentuan tertentu sesuai dengan yang dicontohkan oleh rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam.
Dasar Hukum Perintah Shalat dua gerhana
“Telah terjadi gerhana matahari pada hari wafatnya Ibrahim putera Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Berkatalah manusia: Telah terjadi gerhana matahari kerana wafatnya Ibrahim. Maka bersabdalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam “Bahwasanya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah mempertakutkan hamba-hambaNya dengan keduanya. Matahari gerhana, bukanlah kerana matinya seseorang atau lahirnya. Maka apabila kamu melihat yang demikian, maka hendaklah kamu shalat dan berdoa sehingga habis gerhana.” (HR. Bukhari & Muslim).
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”. Setelah itu, beliau bersabda : “Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang yang lebih cemburu dari Allah jika hambaNya, laki-laki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis” (Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani).
Waktu Shalat
Waktu shalat dua gerhana dimulai sejak terjadinya gerhana sampai berakhirnya masa gerhana, hal ini  berdasarkan sabda beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam , “Apabila kalian melihat (artinya: sesuatu dari peristiwa tersebut), maka shalatlah“. (Mutafaqqun ‘Alaih).
Dan dalam hadits lainnya , “Dan jika kalian melihat yang demikian itu maka sholatlah hingga matahari kelihatan”. (Diriwayatkan oleh Muslim)
Tidak ada qadha pada shalat gerhana, jika masa waktu gerhana telah hilang maka tidak disyariatkan untuk melakukan shalat gerhana.
Tata Cara Shalat Gerhana
Jumlah rakaat shalat gerhana adalah 2 rakaat dengan 2 kali membaca alfatihah dan 2 kali rukuk dan 2 kali sujud di tiap rakaatnya.
Yang membedakan antara shalat gerhana dengan shalat lainnya adalah pada jumlah rukuk ditiap rakaat yaitu sebanyak 2 kali.
Berikut ini tata cara shalat gerhana :
  1. Shalat dengan jumlah 2 rakaat, bacaan shalat di keraskan.
  2. Membaca surat al-fatihah dilanjutkan dengan membaca surat pilihan lain, di sunnahkan membaca surat-surat yang panjang.
  3. Selanjutnya rukuk, dengan rukuk yang panjang.
  4. Setelah itu mengangkat kepala dari ruku dan membaca “Sami’ Allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu”
  5. Lalu dia kembali membaca Al-Fatihah dan surat panjang yang lebih pendek dari surat pertama.
  6. Kemudian ruku’ dengan waktu ruku’ lebih pendek dari waktu ruku’ pertama.
  7. Setelah itu mengangkat kepala dari ruku’ dan membaca, “Sami’ Allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu”
  8. Lalu sujud pertama
  9. Selanjutnya bangkit dari sujud dan melakukan duduk di antara dua sujudnya
  10. Sujud kembali untuk melakukan sujud yang kedua.
  11. setelah itu kembali berdiri dan memulai rakaat yang kedua
  12. Kemudian lakukan shalat rakaat kedua seperti rakaat pertama dengan dua ruku dan dua sujud yang panjang.
  13. Lalu setelah sujud yang kedua dilanjutkan dengan bertasyahud, dan terakhir
  14. Salam
Sunnah-sunnah Shalat dua gerhana
  1. Memperbanyak dzikir, istighfar, bertakbir, sodaqoh dan melakukan amal shalih lainnya.
  2. Keluar menuju masjid untuk melakukan shalat gerhana secara berjamaah
  3.  Shalat gerhana tidak di mulai dengan adzan dan iqamah, melainkan dengan seruan “ashsholatu jami’ah” (shalat akan didirikan)
  4. Khutbah setelah shalat gerhana
PASAL
.        Shalat Istisqa
Defenisi
Istisqa’ artinya minta diturunkan hujan oleh Allah swt untuk sejumlah negeri atau hamba-hambaNya yang membutuhkannya melalui shalat, berdoa dan beristighfar ketika terjadi kemarau.
Hukumnya
Shalat Istisqa’ termasuk shalat sunnah yang sangat dianjurkan sekali (sunnah muakkadah), di mana Rasulullah saw pun telah melaksanakannya dan beliau juga memberitahukannya kepada orang-orang agar ikut serta untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat istisqa’.
Oleh karena itu apabila hujan sangat lama tidak turun dan tanah menjadi gersang, maka dianjurkan bagi kaum muslimin pergi ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat istisqa’ dua rekaat di pimpin seorang iman, memperbanyak do’a dan istighfar dan memutar selendangnya yang sebelah kanan diletakkan  ke sebelah kiri. Sebagaiamana sabda Nabi saw dari Abdullah bin Zaid ia berkata
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“Saya melihat Nabi saw tatkala pergi ke tanah lapang untuk shalat istisqa’ beliau palingkan punggungnya menghadap para sahabat dan kiblat sambil berdo’a, lalu beliau palingkan selendangnya, kemudian shalat dengan kami du’a rekaat dengan suara yang keras ketika membaca ayat.”
Tata cara shalat istisqa’
Pergi ke tanah lapang kemudian shalat berjama’ah bersama orang-orang yang dipimpin seorang imam tanpa adzan dan iqomah akan tetapi hendaknya mengucapakan الصلاة جامعة. Kemudian shalat dua rekaat, jika imam berkenan maka ia dapat membacca takbir sebanyak tujuh kali pda rekaat pertama dan lima kali pada rekaat keduaseperti  pada shalat hari raya. Pada rekaat perama imam membaca surat al-’Ala setelah ia membaca surat Al-Fatihah dengan suara yag nyaring, sedang pada rekaat yang kedua membaca surat al-Ghasiyah. Setelah selesai shalat hendaknya imam menghadap ke arah jama’ah kemudian ia berkhutbah di hadapan mereka dengan menghimbau mereka supaya banyak bersitighfar, lalu imam berdoa yang diamini oleh jama’ah, lalu imam menghadap kiblat serta mengubah posisi selendangnya, sehingga bagian sebelah kanan berpindah ke bagian sebelah kiri, serta bagian sebelah kiri berpindah ke bagian sebelah kanan dan kemudian mengangkat tangannya, lalu orang-orangpun harus mengubah posisi selendang mereka sebagaimana yang dilakukan seorang imam. Selanjutya mereka berdoa sesaat kemudian bubar  Dan disunnahkan ketika berdo’a istisqa’ mengangkat  tangannya dengan posisi punggung tangan di atas.
Beberapa bentuk istisqa’
  1. Seorang imam shalat dua rekaat bersama makmum, waktunya kapan saja, kecuali waktu yang dilarang untuk shalat. Dengan mengeraskan bacaan, rekaat pertama membaca surat Al-’Ala dan yang kedua dengan surat Al-Ghasiyah Selesai shalat Imam berkhutbah di hadapan manusia kemudian berdo’a kepda Allah agar diturunkan hujan. Dan ini adalah cara yang paling sempurna dan lengkap.
  2. Ketika khutbah jum’at kemudian di akhir khutbah khatib berdo’a supaya diturunkan hujan, kemudian makmum mengamini do’anya. Sebagaiamana sabda Nabi saw, Dari Anas ra bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari jum’at, sedangkan Rasulullah saw sedang berdiri berkhutbah, lalu laki-laki tadi berkata, “Wahai Rasulullah saw hartaku telah binasa, bekalku telah habis, maka berdo’alah kepada Allah agar menolong (menurunkan hujan) kepada kita, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berdo’a,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
  1. Hanya dengan berdo’a saja, bukan pada hari jum’at dan tidak pula melaksanakan shalat di masjid atau di tanah lapang.
Waktu pelaksanaan istisqa’
Waktu pelaksanaan istisqa’ sama seperti shalat hari raya ini adalah pendapat Malikiyah, berdasarkan keterangan dari Aisyah, “Rasulullah saw pergi menunaikan shalat istisqa’ ketika tampak penghalang matahari.” Namun dalam hadits ini bukan membatasi bahwa waktu shalat istisqa’ itu hanya seperti keterangan dalam hadits, akan tetapi waktu pelaksanaan shalat istisqa’ dapat dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang untuk shalat. Karena shalat istisqa’ memiliki waktu yang panjang, namun yang lebih afdhal adalah dilaksanakan pada awal hari sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, karena shalat istisqa’ menyerupai (hampir sama) dengan  shalat ‘ied tata cara dan tempatnya.
Hal-hal yang disunnahkan sebelum shalat istisqa’
Disunnahkan kepada imam untuk mengumumkan pelaksanaan shalat istisqa’ beberapa hari sebelumnya, menghimbau orang-orang supaya bertaubat dari kemaksiatan dan menjauhkan diri dari kedzaliman. Juga menganjurkan mereka supaya berpuasa, bersedekah, meninggalkan permusuhan  dan memperbanyak amal kebaikan, karena kemaksiatan itu penyebab kemarau dan tidak diturunkannya hujan, sebagaimana ketaatan menjadi penyebab kebaikan dan keberkahan sehingga Allah swt akan menurunkan hujan dari langit
Khutbah Istisqa’
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai waktu khutbah pada shalat istisqa’, Sebagian ulama’ berpendapat dan ini adalah merupakan riwayat dari Imam Ahmad, bahwasanya Imam berkhutbah sebelum shalat istisqa’.
Namun mayoritas ulama’ di antaranya adalah Malik, Syafi’I dan Muhammad bin Hasan dan ini juga riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal dari jalur yang lain, bahwasanya khutbah istisqa’ dilaksanakan setelah shalat istisqa’  dan ini merupakan pendapat yang benar,  sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalm Al-Mughni berdasarkan perkataan dari Abu Hurairah di dalam hadits yang shahih,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah r keluar pada waktu istisqa’ maka kemudian ia shalat bersama kami dua raka’at tanpa adzan dan iqamah kemudian berkhutbah pada kami dan berdo’a kepada Allah U dan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat dengan mengangkat tangannya kemudian membalik selendangnya dan menjadikan selendang sebelah kanan pada pundak yang kiri dan selendang sebelah kiri diletakkan di pundak yang kanan.” (HR. Ibnu Majah)
“Rasulullah saw shalat dua rakaat kemudian berkhutbah kepada kami.”
Do’a-do’a istisqa’
Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa do’a di dalam istisqa’ yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw :
  1. Sebagaimana hadits yang telah lalu ketika seoang laki-laki datang ke masjid dan Rasulullah saw sedang berkhutbah, kemudian ia minta supaya Rasulullah saw berdo’a, اللهم أغثنا اللهم أغثنا اللهم أغثنا   sebanyak tiga kali.
  2. Sebagaimana sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا طَبَقًا مَرِيعًا غَدَقًا عَاجِلًا غَيْرَ رَائِثٍ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong, menyegarkan tubuh dan menyuburkan tanaman dan segera tanpa ditunda-tunda.”
  1. Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwasanya Nabi saw ketika dalam istisqa’ beliau membaca, اللهم اسقنا اللهم اسقنا اللهم اسقناYa Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami”.
  2. Salah satu do’a dalam istisqa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالْآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Ya Allah turunkanlah hujan disekitar kami, bukan pada kami. Ya Allah berilah hujan ke dataran tinggi, pegunungan, anak bukit, dan lembah serta di tempat tumbuhnya pepohonan.”
  1. Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan di antara do’a yang dibaca Nabi saw ketika istisqa’
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ قَالَ فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ السَّمَاءُ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong. Menyegarkan tubuh, dan menyuburkan tanaman, bermanfaat dan tidak membahayakan dengan segera tanpa ditunda-tunda.”

PASAL
Berpakaian
        Di haramkan bagi seorang laki-laki  memakai pakaian yang terbuat dari sutra dan memakai cincin yang terbuat dari emas  didalam tingkah permilih seperti digunakan untuk tempat tidur dan lain sebagainya ,kecuali dalam keadaan dzorurot seperti panas atau dingin yang membahayakan .dihalalkan bagi perempuan dan anak yang di bawah umur 7 tahun  memakai sutra dan cicin emas .
Hukumnya Haram :
A.Tidak boleh shalat dengan aurat terbuka,
Masalah terbukanya aurat ini terjadi pada beberapa klasifikasi manusia:-Pertama; Seseorang mengenakan celana ketat yang membentuk lekuk tubuh (aurat) kemudian memakai baju yang pendek, sehingga ketika rukuk atau sujud pakaiannya tersingkap, maka kelihatan bagian bawah punggungnya dan bentuk auratnya karena ketatnya celana yang dipakai dan pendeknya baju.
Maka dengan pakaian seperti ini berarti dia membuka auratnya, padahal dia sedang rukuk dan sujud di hadapan Allah swt, semoga Allah menjaga kita semua dari hal itu. Terbukanya aurat dalam keadaan shalat dapat menyebabkan batalnya shalat, dan inilah salah satu efek negatif mengimpor pakaian dari negri kafir.
Perhatian juga kepada para wanita, jangan sampai shalat dalam keadaan sebagian rambutnya terlihat, atau tidak tertutup keseluruhannya. Jangan pula tersingkap lengan atau betisnya. Karena menurut jumhur (mayoritas) ulama kalau sampai demikian, maka hendaknya ia mengulang shalatnya tersebut.
Salah satu pakaian yang dikhawatirkan menjadi sebab terbukanya aurat wanita adalah jilbab kecil yang sangat memungkinkan apabila shalat dengan tanpa tutup lain yang lebih lebar akan tersingkap bagian rambutnya.
B, Shalat dengan pakaian tipis
Pakaian yang menampakkan anggota badan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di masa ini. Dengan sengaja memakainya maka berarti sengaja memperlihatkan bagian auratnya yang seharusnya tertutup.
Mereka telah tergiring oleh syahwat sehingga menjadi pengikut mode dan adat, mereka juga telah terbius oleh para penyeru permisivisme yang membolehkan manusia berkreasi dan melakukan apa saja tanpa mengindah kan norma dan aturan syari’at. Suatu ketika Rasululah n ditanya oleh seseorang tentang shalat dengan memakai satu pakaian (misal: celana panjang saja tanpa memakai baju atau memakai gamis tanpa mengenakan celana-red), maka beliau menjawab, “Bukankah masing masing kalian mendapati dua pakaian?
Maka dengan demikian orang yang shalat dengan baju tidur termasuk dalam kategori ini, karena tentu dia akan merasa malu apabila bepergian atau ke pasar dengan memakai piyama tersebut.
Dan bagi wanita, shalat dengan pakaian yang tipis urusannya lebih berat dari pada laki-laki.
Maka jangan sampai para wanita shalat dengan pakaian yang terbuat dari kain yang tipis atau transparan, karena meskipun menutup seluruh tubuh namun tetap memperlihatkan kulit dan badannya.
C. Shalat dalam keadaan isbal ( khusus pria )
Banyak sekali dalil yang menjelaskan haramanya isbal, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Namun masih banyak kaum muslimin yang kurang perhatian dengan masalah ini, padahal ada sebuah riwayat marfu’ dari Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah tidak menerima shalat seseorang yang musbil (menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki).
Hadits ini dinyatakan hasan oleh An-Nawawi di dalam kitab Riyadhus Shalihin dan oleh Ahmad Syakir dalam ta’liqnya terhadap kitab Al Mahalli. Namun berdasar penelitian, hadits tersebut adalah dha’if karena rawi dari tabi’in adalah majhul (tidak dikenal). Andaikan hadits tersebut shahih,
maka amat banyak kaum muslimin yang berada dalam bahaya besar karena melakukan shalat dalam keadaan isbal. Namun tetap saja shalat dengan kondisi isbal adalah sebuah kesalahan, sehingga meskipun shalatnya sah, pelakunya mendapatkan dosa.
D. Shalat Berpakaian Sutra dan memakai cicin emas
Khusus untuk seorang Peia dilarang shalat memakai pakaian yang terbuat dari sutra ataupun pakaian yang dibordil memakai benang sutra, hal ini dapat dibaca dari hadisdz seperti dibawah ni
1. Sesungguhnya pria yang pakaian sutera tidak akan memperoleh bagiannya di akhirat. (HR. Bukhari)
2. Rasulullah Saw melarang kami minum dan makan dengan perkakas makan dan minum dari emas dan perak. Beliau juga melarang kami berpakaian sutera dan yang dibordir dengan benang sutera dengan sabdanya, “Itu untuk kaum musyrikin di dunia dan untuk kamu di akhirat. (Mutafaq’alaih)
3. Rasulullah Saw melarang kami mengenakan pakaian dari sutera, memakai cincin emas dan minum dengan tempat yang biasa dipakai untuk minum arak (seperti kendi). (HR. An-Nasaa’i)
4. Uqbah bin Amir berkata, “Dihadiahkan pakaian kurung sutra kepada Nabi Muhammad saw., lalu beliau mengenakannya dan shalat dengan memakainya. Beliau lalu berpaling dan melepaskannya dengan keras seperti orang yang benci kepadanya, lalu beliau bersabda, ‘Ini (sutra) tidak layak bagi orang-orang yang bertakwa.’”
5. Khusus untuk kaum wanita (muslimah) diperkenankan untuk menggunakan perhiasan dari emas dan perak, serta memakai pakaian sutera dan pakaian yang dibordir dengan sutera (yang terdapat suteranya), namun hal tersebut diharamkan untuk kaum pria (muslimin).
HUKUMNYA MAKRUH
1. Shalat dengan pakaian ketat,
Memakai pakaian ketat dalam shalat adalah makruh dalamtinjauan syar’i dan tidak baik dari segi kesehatan. Jika ketika memakainya sampai tingkat meninggalkan shalat (dengan alasan susah untuk melakukan gerakan ini dan itu), maka hukum memakainya menjadi haram.
Celana panjang (ketat, red) itu membentuk aurat, dan aurat laki-laki adalah dari lutut sampai pusar.
Seorang yang sedang shalat harus semaksimal mungkin menjauhi segala kemaksiatan ketika dia sedang sujud, yakni dengan terlihat bentuk kedua pantatnya karena sempitnya celana itu, atau bahkan membentuk aurat yang ada di antara keduanya (kemaluan). Maka bagaimana orang seperti ini berdiri di hadapan Rabb seru sekalian alam?
Jika celana yang dipakai adalah longgar maka menurut Syaikh al-Albani tidak apa-apa, namun yang lebih utama adalah dengan mengenakan gamis (baju panjang) hingga menutupi lutut, atau setengah betis dan boleh dijulurkan maksimal hingga mata kaki.
2. Menyingsingkan atau melipat lengan baju,
Termasuk kesalahan dalam pakaian shalat adalah menyingsingkan atau melipat lengan baju ketika akan shalat.Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk sujud di atas tuju anggota badan, tidak menahan rambut dan menyingsingkan pakaian.”
3. Shalat dengan pundak terbuka,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah bersabda, “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian shalat hanya dengan satu pakaian tanpa adanya penutup sedikit pun di atas pundaknya.” (HR Muslim).Larangan di atas menunjukkan atas makruhnya hal itu, bukan keharamannya. Sebab jika seseorang telah menutup auratnya, maka shalatnya sah meskipun tidak meletakkan sesuatu di atas pundaknya, namun perbuatan ini dibenci.
4. Shalat dengan pakaian yang bergambar,
Diriwayatkan dari Aisyah ra dia berkata, Suatu ketika Rasulullah shalat dengan memakai qamishah (gamis) yang terdapat gambar, tatkala selesai shalat beliau bersabda, “Bawalah qamishah ini kepada Abu Jahm bin Khudzaifah dan bawakan untukku anbijaniyah, karena qamishah tadi telah mengganggu shalatku.”Anbijaniyah adalah jenis kain yang agak tebal yang tidak bermotif dan tidak ada gambar ataupun tulisan (kain polos).
Dari Anas Radhiallaahu anha dia berkata, Aisyah ra pernah memasang sehelai kain untuk menutup salah satu dinding sisi rumahnya. Maka Nabi n bersabda kepadanya, ” Singkirkan dia dariku karena selalu terlintas dalam pandanganku ketika aku melakukan shalat.”
5. Shalat dengan pakaian kuning,
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra bahwa Rasulullah melihat dua pakaian dicelup (diwenter) dengan warna kuning, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya itu termasuk pakaian orang kafir, maka engkau jangan memakainya.”Dari Anas ra dia berkata, “Rasulullah melarang seseorang untuk mewarnai bajunya dengan warna kuning (za’faran, semisal warna kunyit-red).
Dan dalam hadits yang bersumber dari Ali ra dia berkata, “Rasulullah n melarang pakaian mu’ashfar (yang di celup dengan warna kuning).”Ada pun bagi wanita maka tidak apa-apa mengenakan pakaian dengan warna tersebut.
6. Shalat Tanpa Tutup Kepala untuk Pria
Apabila yang melakukan demikian adalah orang laki-laki maka dibolehkan, namun tidak dibolehkan bagi kaum wanita, karena kepala bagi seorang wanita adalah aurat. Akan tetapi yang mustahab(dianjurkan) adalah shalat dengan menutup kepala karena lebih sempurna dan pantas.Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata, “Saya berpendapat bahwa shalat dengan kepala terbuka adalah makruh, karena merupakan hal yang bisa diterima jika seorang muslim masuk masjid untuk shalat dengan penampilan islami yang semaksimal mungkin, berdasarkan hadits, “Sesungguhnya berhias (rapi) di hadapan Allah adalah lebih berhak (dilakukan).”
Perlu diketahui bahwa shalat dengan kepala terbuka adalah makruh, maka tidak dibenarkan seseorang tidak mau shalat dibelakang orang (imam) yang tidak memakai tutup kepala.
Demikianlah beberapa hokum berpakaian dalam shalat maupun dalam aktipitas manusia sehari hari, yang harus dilaksanakan sesuai hukum hukumnya, sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT.

PASAL
Kewajiban Terhadap Jenazah
Adapun soal-soal yang bersangkutan dengan jenazah ada empat. Jenazah tersebut hendaklah dimandikan,dikafankan,disolatkan dan dikuburkan .
Keempat- empat perkara ini ‘ Fardu Kifayah’ hukumnya bagi umat Islam, apabila yang mati itu orang yang beragama Islam. Bila pekerjaan itu ditinggalkan berdosalah semua orang Islam di negeri itu tetapi bila ada di antara mereka yang mengerjakannya, maka sekalian umat Islam di negara itu lepaslah dari dosa.
1. Memandikan Mayat
Syarat sah-nya mandi :
  • · Mayat itu orang Islam (muslim)
  • · Belum dimandikan
  • · Didapati tubuhnya walaupun sedikit
  • · Mayat itu bukan mati syahid/ syuhada (mati dalam peperangan untuk membela agama Allah).
Rukunnya adalah menyeluruhkan air suci kepada segenap tubuhnya. Tata caranya secara sunnah adalah memulai dengan mewudhukannya, lalu memulai dengan bagian kanan dari tubuhnya, dan kemudian kiri tubuhnya, air untuk memandikan dicampur dengan daun sidir (bidara), setelah selesai maka diulang demikian hingga 3X, atau 5X atau 7X, dan pada kali yg terakhir dicampur dengan kafur. (shahih Bukhari hadits no.1196)
Para fuqaha menambahkan, adalah mengurut dada dan perutnya kebawah, untuk berusaha pelahan-lahan mengeluarkan kotoran yg masih tersimpan di perutnya, lalu membersihkan tubuhnya dan Qubul dan Dubur dengan kain basah, lalu membersihkan giginya, menyiwakinya, lalu mebersihkan hidungnya dan telinganya, lalu baru mewudhukannya, lalu memandikannya. Sunnah menggunakan wewangian pada mayyit bila selesai dimandikan sebelum dikafani.
Bagi yg memandikan, tak ada syarat tertentu, boleh bahkan dimandikan oleh anak anak dibawah umur dewasa, bahkan dijelaskan oleh Imam Arramly diperbolehkan dimandikan oleh Jin pun sah, namun disunnahkan adalah keluarga terdekat, dan hukum memandikan jenazah muslim adalah fardhu kifayah
Sekurang-kurangnya mandi untuk melepaskan kewajiban itu adalah sekali,merata ke seluruh badannya, setelah dihilangkan najis yang ada pada badannya. Sebaiknya mayat itu diletakkan di tempat yang tinggi,seperti balai, di tempat yang sunyi, berserta tidak ada orang yang masuk ke tempat itu melainkan orang yang memandikan dan orang yang menolong mengurus keperluan yang bersangkutan dengan mandi itu.
Pakaiannya diganti dengan kain basahan (kain mandi), untuk kain mandi itu sebaiknya kain sarung, supaya auratnya tidak mudah terbuka. Sesudah diletakkan di atas tempatnya, kemudian didudukkan dan disandarkan punggungnya kepada sesuatu, lantas disapu perutnya dengan tangan dan ditekankan sedikit, supaya keluar kotorannya.
Perbuatan itu hendaklah diikuti dengan air dan harum-haruman agar menghilangkan bau kotoran yang keluar. Sesudah itu, mayat dilentangkan lantas dicebokkan dengan tangan kiri yang memakai sarung tangan sesudah cebok, sarung tangan hendaklah diganti dengan yang bersih, lantas dimasukkan anak jari kiri ke mulutnya,digosak giginya dan dibersihkan mulutnya, dan diwu’dhukan.
Kemudian dibasuhkan kepala, janggut dan disisir rambut dan janggutnya perlahan-lahan. Rambut yang tercabut hendaklah dicampur kembali ketika mengkafankannya. Lantas dibasuh sebelah kanannya, kemudian dibaringkan ke sebelah kirinya dan dibasuh badannya sebelah kanannya kemudian dibaringkan lagi sebelah kanannya dan dibasuh sebelah kiri. Peraturan sekalian yang tersebut dihitung satu kali. Disunatkan tiga atau lima kali .
Air pemandian mayat ini sebaliknya air dingin, terkecuali jika berhajat kepada air panas karena sangat dingin atau karena susah menghilangkan kotoran. Baik juga pakai sabun atau sebagainya, dan membasuhnya. Adapun air pembasuh penghabisan (pembilasan) itu, baik dicampur dengan kapur barus sedikit atau harum-haruman yang lain.
Dari Ummi Athiyah : Nabi SAW telah masuk kepada kami sewaktu kami memandikan anak beliau yang perempuan, lalu beliau berkata: Mandikanlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih kalau kamu pandang baik lebih dari itu dengan air serta daun bidara, dan basuh yang penghabisan hendaklah dicampur dengan kapur barus, mulailah oleh kamu dengan bagian badan sebelah kanan dan anggota wudhu-nya. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Yang berhak memandikan mayat.
Kalau mayat itu lelaki hendaklah yang memandikannya lelaki, tidak boleh perempuan memandikan mayat lelaki, terkecuali isteri dan mahramnya. Sebaliknya jika mayat itu perempuan hendaklah dimandikan oleh perempuan pula; tidak boleh lelaki memandikan mayat perempuan terkecuali suami atau mahramnya. Jika suami dan mahramnya sama-sama ada suami lebih berhak memandikan isterinya. Begitu juga jika isteri dan mahramnya sama-sama ada, maka isteri lebih berhak untuk memandikan suaminya.
Bila meninggal seseorang perempuan, dan tempat itu tidak ada perempuan, suami atau mahramnya, maka mayat itu hendaklah ditayammumkan saja, tidak dimandikan oleh lelaki lain. Begitu juga sebaliknya jika lelaki yang meninggal. Kalau mayat anak-anak lelaki atau perempuan maka boleh dimandikan oleh lelaki dan perempuan.
Jika ada beberapa orang yang berhak memandikan, maka yang lebih berhak ialah keluarga yang terdekat kepada mayat. Kalau ia mengetahui akan kewajiban mandi serta dipercayai, kalau tidak berpindahlah hak tersebut kepada yang lebih jauh yang berpengetahuan serta amanah (dipercayai).
Dari Aisyah berkata Rasulullah SAW “Barang siapa memandikan mayat dan dijaga kepercayaan, tidak dibukakannya kepada orang lain apa-apa yang dilihat pada mayat itu, bersihlah ia dari segala dosanya seperti keadaannya sewaktu dilahirkan oleh ibunya. Kata beliau lagi,hendaklah yang mengimaminya adalah keluarga yang terdekat dari mayat jika pandai memandikan mayat, jika ia tidak pandai maka siapa saja yang dipandang berhak karena amanahnya.” (Riwayat Ahmad)
2. Mengkafankan Mayat.
Hukum mengkafankan(membungkus) mayat itu adalah “Fardu Kifayah” atas orang yang hidup. Kafan itu diambil dari harta si mayat sendiri, jika ia meninggalkan harta, kalau ia tidak meninggalkan harta, maka kafan atas orang yang wajib memberi belanjanya ketika ia hidup. Kalau yang wajib memberikan belanja itu tidak pula mampu, hendaklah diambil dari Baitulmal, bila ada Baitulmal dan diatur menurut hukum agama Islam. Jika Baitulmal tidak ada atau tidak teratur, maka wajib atas orang Muslim yang mampu. Demikian pula belanja yang lain-lain yang bersangkutan dengan keperluan mayat.
Untuk lelaki
Kafan sekurang-kurangnya selapis kain yang menutupi sekalian badan mayat, baik mayat lelaki maupun perempuan. Sebaiknya untuk lelaki tiga lapis kain, tiap-tiap lapis daripadanya menutupi seluruh badannya. Sebagian ulama berpendapat , satu daripada tiga lapis itu, hendaklah izar (kain mandi) ,dua lapis menutupi sekalian badannya.
Cara Memakainya :
Dihamparkan sehelai-sehelai dan ditaburkan di atas tiap-tiap lapis itu harum-haruman seperti kapur barus dan sebagainya. Kedua tangannya diletakkan di atas dadanya. Tangan kanan di atas tangan kiri, dan boleh juga kedua tangan itu diluruskan menurut lambungnya(rusuknya). Dari Aisyah :” Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang dibuat dari kapas tidak ada dalamnya baju dan tiada pula serban.” (Muttafaqun alaih)
Untuk Perempuan
Adapun mayat perempuan maka sebaiknya dikafani dengan lima lembar, yaitu basahan (kain basah), baju, kepala, mukena dan kain yang menutupi seluruh badannya.
Cara Memakainya :
Dipakai kain basahan, baju, tutup kepala, lalu kekudung, kemudian dimasukkan dalam kain yang menutupi seluruh badannya. Di antara beberapa lapisan kain tadi sebaiknya diberi harum-haruman seperti kapur barus.
Dari Laila binti Qanif, katanya:”Saya salah seorang yang turut memandikan Ummi Kalsum binti Rasulullah SAW ketika wafatnya. Yang mula-mula diberikan olah Rasulullah SAW kepada kami ialah kain basahan, kemudian baju. Kemudian tutup kepala, lalu kekudung dan sesudah itu dimasukkan dalam kain yang lain (yang menutupi sekalian badannya).” Kata Laila,”Sedang Nabi berdiri di tengah pintu membawa kepadanya dan memberikannya kepada kami sehelai demi sehelai.”( Riwayat Ahmad dan Abu Daud).
Terkecuali dari itu, orang yang mati sedang dalam ihram haji atau umrah, tidak boleh diberi harum-haruman dan jangan pula ditutupkan kepalanya.
Dari Ibnu Abbas, katanya -”Ketika seorang lelaki sedang wukuf mengerjakan haji bersama-sama Rasulullah SAW di padang Arafah tiba-tiba laki-laki itu terjatuh dari kendaraannya lalu meninggal. Maka dikabarkan orang kejadian itu kepada Nabi SAW. Beliau berkata: Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara dan kafankanlah ia dengan dua kain ihramnya. Jangan kamu beri dia harum- haruman dan jangan ditutup kepalanya, maka sesungguhnya Allah akan membangkitkan dia nanti pada akhirat seperti keadaannya sewaktu berihram”.
Rosulullah saw bersabda: “Pakailah olehmu kain kamu yang putih ,karena sesungguhnya kain putih itu adalah sebaik-baiknya kain, dan kafanlah mayat kamu dengan kain putih itu” .(Riwayat Tirmidzi).
Membaikkan Pemakaian Kafan .
Dari jabir berkata Rasulullah SAW,” Apabila salah seorang kamu mengkafankan saudaranya, hendaklah dibaikkan kafannya itu.”(Riwayat Muslim)
Kafan yang baik, maksudnya,baik sifatnya dan baik cara memakainya,serta terjadi dari bahan yang baik. Sifat-sifatnya telah diterangkan yaitu kain yang putih. Begitu pula cara memakainya yang baik. Adapun baik yang bersangkut dengan dasar kain, ialah jangan sampai berlebih-lebihan memiliki dasar kain yang mahal-mahal harganya.
Dari Ali Abi Talib berkata Rasulullah SAW, janganlah kamu berlebih-lebihan memilih kain yang mahal-mahal untuk kafan,karena sesungguhnya kafan itu akan hancur dengan segera.”(Riwayat Abu Daud).
3. SHOLAT JENAZAH
Sholat Jenazah merupakan salah satu di antara perkara yang wajib yang dilakukan atas orang-orang yang hidup sebagai fardu kifayah dan disunatkan sholat berjamaah sebagaimana sabda Rasullullah SAW : “Tidaklah ada di antara seorang muslim yang mati kemudian sholat ke atasnya 40 orang lelaki yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun melainkan disyafaatkan Allah padanya” (HR. Muslim)
Jika yang shalat dengan imam hanya satu orang, maka orang itu tidak berdiri pas di samping imam sejajar seperti halnya dalam shalat-shalat lain, tapi ia berdiri di belakang imam. (Dari sini anda mengetahui kesalahan banyak orang bahkan orang-orang terpelajar yaitu dalam shalat-shalat biasa lainnya jika hanya berdua maka yang ma’mum mundur sedikit dari posisi yang sejajar imam).
Yang tidak wajib hukumnya dishalati (tapi boleh) :
  • · Anak yang belum baligh [Boleh dishalati meskipun lahir karena keguguran, yaitu yang gugur dari kandungan ibunya sebelum sempurna umur kandungan. Ini jika umurnya dalam kandungan ibunya sampai empat bulan. Jika gugur sebelum empat bulan maka ia tidak dishalati].
  • · Orang yang mati syahid
Disyariatkan menshalati :
  • · Orang yang meninggal karena dibunuh dalam pelaksaanaan huhud hukum Allah
    • · Orang yang berbuat dosa dan melakukan hal-hal yang haram. Orang ahlul ilmi dan ahlul diin tidak menshalati supaya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang seperti itu
    • · Orang yang berutang yang tidak meninggalkan harta yang bisa menutupi utang-utangnya, maka orang yang seperti ini dishalati
    • · Orang yang dikuburkan sebelum dishalati (atau sebagian orang sudah menshalati sementara yang lainnya belum menshalati) maka mereka boleh menshalati di kuburnya.
    • · Orang yang mati di suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang menshalati di sana, maka sekelompok kaum muslimin menshalatinya dengan shalat gaib. [Karena tidak semua yang meninggal dishalati dengan shalat gaib]
Adab-adab sholat Jenazah:
  • · Lebih afdhal jika shalat jenazah di luar masjid, yaitu di suatu tempat yang disiapkan untuk shalat jenazah, dan boleh juga di masjid karena semuanya ini pernah diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • · Jika kebetulkan banyak sekali jenazah terdiri dari jenazah laki-laki dan jenazah wanita, maka mereka dishalati sekali shalat. Jenazah laki-laki (meskipun masih anak-anak) diletakkan lebih dekat dengan imam, sedangkan jenazah wanita di arah kiblat atau boleh juga dishalati satu persatu, karena ini adalah hukum asalnya.
  • · Pemimpin umat atau wakilnya lebih berhak menjadi imam dalam shalat, jika keduanya tidak ada maka yang lebih pantas mengimami adalah yang lebih baik bacaan/hafalan Qur’an-nya, kemudian yang selanjutnya tersebutkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • · Imam berdiri di posisi kepala mayat laki-laki dan di posisi pertengahan mayat wanita.
  • · Jika yang shalat dengan imam hanya satu orang, maka orang itu tidak berdiri pas di samping imam sejajar seperti halnya dalam shalat-shalat lain, tapi ia berdiri di belakang imam. [Dari sini anda mengetahui kesalahan banyak orang bahkan orang-orang terpelajar yaitu dalam shalat-shalat biasa lainnya jika hanya berdua maka yang ma'mum mundur sedikit dari posisi yang sejajar imam]
  • · Disukai membuat shaf/baris di belakang imam tiga shaf ke atas dan Jumlah minimal jemaah yang tersebutkan dalam pelaksanaan shalat jenazah adalah tiga orang dan juga lebih banyak jumlah jemaah lebih afdhal bagi mayyit.
  • · Bacaan dalam shalat jenazah sifatnya sir [pelan].
  • · Orang yang berutang yang tidak meninggalkan harta yang bisa menutupi utang-utangnya, maka orang yang seperti ini dishalati
  • · Orang yang dikuburkan sebelum dishalati (atau sebagian orang sudah menshalati sementara yang lainnya belum menshalati) maka mereka boleh menshalati di kuburnya.
  • · Orang yang mati di suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang menshalati di sana, maka sekelompok kaum muslimin menshalatinya dengan shalat gaib. [Karena tidak semua yang meninggal dishalati dengan shalat gaib]
  • · Tidak boleh shalat pada waktu-waktu terlarang, kecuali karena darurat. [waktu-waktu terlarang; saat terbitnya matahari, tatkala matahari pas dipertengahan dan tatkala terbenam]
  • · Shalat jenazah tidak dilakukan dengan ruku’, sujud maupun iqamah, melainkan dalam posisi berdiri sejak takbiratul ihram hingga salam. Berikut adalah urutannya:
1. Berniat, niat shalat ini, sebagaimana juga shalat-shalat yang lain cukup diucapkan didalam hati dan tidak perlu dilafalkan, tidak terdapat riwayat yang menyatakan keharusan untuk melafalkan niat.
2. Takbiratul Ihram pertama kemudian membaca surat Al Fatihah
3. Takbiratul Ihram kedua kemudian membaca shalawat atas Rasulullah SAW minimal :“Allahumma Shalli ‘alaa Muhammadin” artinya : “Yaa Allah berilah shalawat atas nabi Muhammad”
4. Takbiratul Ihram ketiga kemudian membaca do’a untuk jenazah minimal:“Allahhummaghfir lahu warhamhu wa’aafihi wa’fu anhu” yang artinya : “Yaa Allah ampunilah dia, berilah rahmat, kesejahteraan dan ma’afkanlah dia”.Apabila jenazah yang dishalati itu perempuan, maka bacaan Lahuu diganti dengan Lahaa. Jika mayatnya banyak maka bacaan Lahuu diganti dengan Lahum.
5. Takbir keempat kemudian membaca do’a minimal:“Allahumma laa tahrimnaa ajrahu walaa taftinna ba’dahu waghfirlanaa walahu.”yang artinya : “Yaa Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepadanya atau janganlah Engkau meluputkan kami akan pahalanya, dan janganlah Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, serta ampunilah kami dan dia.” Atau Berdoa dengan doa yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti : “Alahumma ‘abduka wabna amatika ahyaaja ilaa rahmatika wa anta ghaniyyi an ‘adzabihi in kana muhsinan farid fii hasanaatihi, saayyian fatajawaja ‘an sayyiatihi” Artinya : “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, ia memerlukan rahmat-Mu, Engkau berkuasa untuk tidak menyiksanya, jika ia baik maka tambahlah kebaikannya, jika ia jahat maka maafkanlah kejahatannya”
6. Mengucapkan salam
Bila terdapat keluarga atau muslim lain yang meninggal di tempat yang jauh sehingga jenazahnya tidak bisa dihadirkan maka dapat dilakukan shalat ghaib atas jenazah tersebut. Pelaksanaannya serupa dengan sholat jenazah, perbedaan hanya pada niat sholatnya. Niat shalat ghaib :“Ushalli ‘alaa mayyiti (Fulanin) al ghaaibi arba’a takbiraatin fardlal kifaayati lillahi ta’alaa” Artinya : “aku niat shalat gaib atas mayat (fulanin) empat takbir fardu kifayah sebagai (makmum/imam) karena Allah””
kata fulanin diganti dengan nama mayat yang dishalati.
4. Menguburkan Mayat
Adab-adab menguburkan mayat:
  • · Wajib menguburkan mayyit, meskipun kafir.
  • · Tidak boleh menguburkan seorang muslim dengan seorang kafir, begitu pula sebaliknya, harus dipekuburan masing-masing.
  • · Menurut sunnah Rasul, menguburkan di tempat penguburan, kecuali orang-orang yang mati syahid mereka dikuburkan di lokasi mereka gugur tidak dipindahkan ke penguburan. [Hal ini memuat bantahan terhadap sebagian orang yang mewasiatkan supaya dikuburkan di masjid atau di makam khusus atau di tempat lainnya yang sebenarnya tidak boleh di dalam syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala]
  • · Tidak boleh menguburkan pada waktu-waktu terlarang [Lihat Bagian XII No 27] atau pada waktu malam, kecuali karena dalam keadaan darurat, meskipun dengan cara memakai lampu dan turun di lubang kubur untuk memudahkan pelaksanaan penguburan.
  • · Wajib memperdalam lubang kubur, memperluas serta memperbaiki.
  • · Penataan kubur tempat mayat ada dua cara yang dibolehkan :
[a] Lahad : yaitu melubangi liang kubur ke arah kiblat (ini yang afdhal).
[b] Syaq : Melubangi ke bawah di pertengahan liang kubur.
  • · Dalam kondisi darurat boleh menguburkan dalam satu lubang dua mayat atau lebih, dan yang
    lebih didahulukan adalah yang lebih afdhal di antara mereka.
  • · Yang menurunkan mayat adalah kaum laki-laki (mekipun mayatnya perempuan).
  • · Para wali-wali si mayyit lebih berhak menurunkannya.
  • · Boleh seorang suami mengerjakan sendiri penguburan istrinya.
  • · Dipersyaratkan bagi yang menguburkan wanita ; yang semalam itu tidak menyetubuhi isterinya.
  • · Menurut sunnah : memasukkan mayat dari arah belakang liang kubur.
  • · Meletakkan mayat di atas sebelah kanannya, wajahnya menghadap kiblat, kepala dan kedua kakinya melentang ke kanan dan kekiri kiblat.
  • · Orang yang meletakkan mayat di kubur membaca : “bismillahi wa’alaa sunnati rasuulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallama” -Artinya : ‘(Aku meletakkannya) dengan nama Allah dan menurut sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” atau : “bismillahi wa ‘alaa millati rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallama” – Artinya : “(Aku meletakkan) dengan nama Allah dan menurut millah (agama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
  • · Setelah menimbun kubur disunahkan hal-hal sebagai berikut:
a. Meninggikan kubur sekitar sejengkal dari permukaan tanah, tidak diratakan, supaya Dapat dikenal dan dipelihara serta tidak dihinakan.
b. Meninggikan hanya dengan batas yang tersebut tadi.
c. Memberi tanda dengan batu atau selain batu supaya dikenali.
d. Berdiri di kubur sambil mendoakan dan memerintahkan kepada yang hadir supaya mendoakan dan memohonkan ampunan juga. (Inilah yang tersebutkan di dalam sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun talqin yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam pada zaman ini maka hal itu tidak ada dalil landasannya di dalam sunnah).
  • · Boleh duduk saat pemakaman dengan maksud memberi peringatan orang-orang yang hadir akan kematian serta alam setelah kematian. [Hadits Al-Barra bin 'Aazib]
  • · Menggali kuburan sebagai persiapan sebelum mati, yang dilakukan oleh sebagian orang adalah perbuatan yang tidak dianjurkan dalam syari’at, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal itu, para sahabat beliaupun tidak melakukannya. Seorang hamba tidak mengetahui di mana ia akan mati. Jika ia melakukan hal itu dengan dalih supaya bersiap-siap mati atau untuk mengingat kematian maka itu dapat dilakukan dengan cara memperbanyak amalan shaleh, berziarah ke kubur, bukan dengan cara melakukan hal-hal yang hanya dibikin-bikin oleh orang [Disalin dari kitab Muhtasar Kitab Ahkaamul Janaaiz wa Bid'auha, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, diringkas oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan diterjemahkan oleh Muhammad Dahri Komaruddin]
Tambahan:
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengebumikan mayat pada waktu malam itu sama saja dengan menguburkan mayat pada waktu siang.
Rasulullah s.a.w pernah menguburkan seorang lelaki yang selalu berzikir dengannya pada waktu malam. Syaidina Ali juga menguburkan Syaidatina Fatimah pada malam hari. Saidina Abu Bakar, Usman, Syaidatina Aishah dan Ibn Masud juga dikebumikan pada waktu malam.
Walaupun demikian menguburkan mayat pada waktu malam itu dibolehkan sekiranya hak-hak yang berkaitan dengan mayat itu telah sempurna dilakukan. Sekiranya hal seperti ini tidak dipenuhi maka perbuatan itu dilarang.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan bahwa nabi pada satu hari telah memberi penerangan kepada orang ramai dan menyebut tentang seorang lelaki sahabatnya yang meninggal lalu dikafankan dengan kain kafan yang tidak mencukupi dan dikebumikan pada waktu malam. Nabi telah mencela amalan menguburkan mayat pada waktu malam kecuali seseorang itu terpaksa melakukannya. Begitu juga keterangan daripada sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh ibnu Majah daripada Jabir.
Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan as-sahibus Sunan daripada Uqbah katanya, ada tiga waktu di mana nabi mencegah kami mensholatkan mayat, yaitu ketika tepat waktu terbitnya matahari, ketika tepat tengah hari dan ketika hampir terbenam matahari hingga terbenam.
Meskipun begitu, sekiranya keadaan memaksa, seperti dikhawatirkan mayat menjadi busuk, maka mengebumikan mayat pada waktu itu boleh dilakukan dengan sengaja tanpa sebab darurat seperti yang dijelaskan, hukumnya adalah makruh.
Perlu dijelaskan bahwa dalam pengebumian ini, setiap orang perlu memastikan bahwa mayat yang dikubur itu tidak dapat digali oleh binatang buas. Kerana itu kubur perlu digali dalam sekira-kira bau mayat itu tidak dapat dicium oleh manusia juga binatang termasuk burung-burung.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Nasai daripada Hisyam bin Amir, juga oleh Tirmidzi katanya: Kami telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w ketika perang Uhud. “Ya Rasulullah, adalah sukar bagi kami untuk menggali kubur untuk setiap mayat.’’
Mendengar kata itu, Rasulullah bersabda: Galilah kamu semua, dalamkan dan perelokkan, kuburlah dua atau tiga mayat dalam satu kubur.
Mereka bertanya: Siapakah yang kami hendak dahulukan ya Rasulullah? Baginda menjawab: Dulukan yang banyak hafal al-Quran. Bapakku adalah termasuk dalam salah seorang yang dikuburkan dalam sebuah kubur yang memuat tiga jenazah.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Munzir daripada Umar ra bahwa ia berpesan: Galilah kubur itu setinggi ketika mayat tegak dan selebar badan.
Satu perkara lain yang perlu juga kita fahami adalah tentang bentuk lubang kubur itu sendiri. Ada kubur yang digali yang diberi liang di sisi kubur pada arah kiblat. Di atasnya diletakkan papan-papan menjadikan bentuknya seakan-akan rumah yang beratap. Satu bentuk lain dinamakan syaq, yaitu liang yang dibuat di tengah-tengah kubur.
Mengenai cara memasukkan mayat dalam kubur, hendaklah dilakukan pada bagian belakangnya, yaitu sekiranya ia tidak mengalami masalah. Sekiranya menghadapi masalah untuk berbuat demikian, maka ia boleh dimasukkan bagian mana saja.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah dan Bayhaqi daripada keterangan Abdullah bin Aid, bahawa ia memasukkan mayat dalam kubur dari arah kedua-dua kakinya, katanya: Ini adalah sunnah.
Menurut Ibnu Hazim, memasukkan mayat dalam kubur itu boleh dilakukan dari bagian mana saja, sama dengan bagian arah kiblat atau sebaliknya atau dari arah kepala, ataupun dari arah kaki, karena tidak ada satu keterangan yang tegas mengenainya.
Menurut sunnah, mayat hendaklah dibaringkan dalam kuburnya pada sisinya yang kanan dengan mukanya ke arah kiblat. Orang yang berbuat demikian hendaklah membaca Bismillah wa’ala millati rasulillah (dengan nama Allah dan menurut agama (sunnah) Rasulullah. Tali yang mengikat mayat hendaklah diuraikan.
Menurut sebuah hadis yang diterima daripada Ibnu Umar ia berkata: Bahwa nabi apabila meletakkan mayat dalam kubur, baginda mengucapkan: Bismillah wa’ala millati rasulullah atau wa’ala sunnati rasulillah.
Sebagian periwayat menganggap makruh meletakkan kain, selimut dan sebagainya untuk mayat dalam kubur. Manurut Ibnu Hazim tidak salah meletakkan kain hamparan di bawah mayat, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, daripada Ibnu Abbas, katanya: Pada makam Rasulullah telah dihamparkan permaidani merah. Ia berkata: Dan Allah telah membiarkan perbuatan ini dalam upacara pengebumian Rasulullah seorang manusia yang maksum dan tidak mencegahnya. Dilakukan oleh manusia pilihan di muka bumi secara ijmak, tanpa seorang pun yang menentangnya.
Ada ulama menganggap sunat meletakkan kepala mayat di atas bantal yang diperbuat daripada tanah liat, batu atau tanah biasa dalam keadaan pipi kanannya dicecahkan pada bantal tanah dan sebagainya setelah kain kapan dibuka daripada pipinya. Syaidina Umar ra pernah berkata: Andainya kamu menurunkan mayatku ke liang lahad nanti, tempelkan pipiku ke tanah.
Memang benar bahwa amalan akan mengendalikan mayat dan akan memberi kemudahan, yaitu bagi mereka yang dapat mengambil ikhtibarnya.
Wallahu ‘alam bishowab
KITABUL AHKAMIZZAKATI
Definisi
Secara bahasa, zakat berarti tumbuh berkembang. Secara syariat, zakat adalah istilah untuk harta khusus yang diambil dari harta tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu dan disalurkan hanya kepada pihak-pihak tertentu.
Lima Jenis Harta Wajib Zakat
Zakat diwajibkan kepada 5 (lima) jenis harta orang muslim: (i) Hewan ternak, (ii) Barang berharga, maksudnya adalah emas dan perak, (iii) Tanaman, (iv) Biji-bijian, dan (v) Barang perdagangan. Tentang ke lima jenis harta tersebut akan kami detailkan nanti.
Adapun hewan ternak, maka zakatnya wajib atas 3 (tiga) jenis hewan, yaitu: (i) Unta, (ii) Sapi/kerbau, dan (Kambing). Maka, tidak ada kewajiban zakat atas kuda, budak, dan hewan hasil persilangan antara kambing dengan kijang, misalnya.
Syarat Wajib Zakat
Ada 6 (enam) point persyaratan, yaitu:
  1. Islam, maka tidak wajib zakat atas orang-orang kafir asli (kafir asli adalah orang yang terlahir sebagai orang kafir karena kedua orang tuanya kafir dan tidak pernah masuk Islam). Adapun orang yang murtad, maka yang terbenar dari berbagai pandangan ulama adalah hartanya mauquf (disita oleh pemerintahan Islam -pent). Jika ia kembali masuk Islam, maka zakat wajib atasnya, jika ia tetap dalam kemurtadannya, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya.
  2. Merdeka, maka zakat tidak wajib atas seorang budak. Adapun seseorang yang memiliki dua status secara bersamaan, yaitu merdeka dan budak, maka zakat diwajibkan kepada hartanya yang berstatus merdeka.
  3. Milik sempurna, maksudnya adalah dimiliki secara penuh. Maka, kepemilikan yang belum sempurna tidak wajib zakat, semisal seseorang yang membeli barang, namun ia belum menerima barang tersebut. Ini selaras dengan qaul qadim-nya Imam Syafi’iy. Namun qaul jadid-nya Imam Syafi’iy menyatakan tetap wajib zakat walaupun barang tersebut belum ia terima. (Qaul Jadid atau perkataan baru, maksudnya adalah semua pandangan dan fatwa Imam Syafi’iy yang dikemukakan semenjak beliau tinggal Di Mesir hingga akhir hayatnya -pent).
  4. Nishab dan Haul. Jika seseorang memiliki sesuatu harta, namun belum mencapai jumlah nishab atau belum sampai satu tahun (12 bulan), maka tidak ada zakatnya.
  5. Padang bebas. Ini khusus hewan ternak. Maksudnya adalah hewan ternak yang digembalakan di padang bebas atau di hutan yang tidak ada biaya dalam hal tersebut. Hewan ternak yang demikianlah yang ada kewajiban zakatnya. Maka, jika ada ternak yang digemukkan di dalam kandangnya dalam hampir sebagian besar waktunya selama satu tahun, maka tidak ada zakatnya. Namun jika dikandangkan selama 6 bulan atau kurang sedikit dan digembalakan selama 6 bulan, maka tidak apa-apa jika ia menunaikan zakatnya atau tidak membayarnya.
Barang berharga, maksudnya adalah emas dan perak, akan kami detailkan kemudian. Adapun persyaratan wajib zakat emas dan perak ada 5 point, yaitu:
  1. Islam
  2. Merdeka
  3. Milik sempurna
  4. Nishab
  5. Haul
Tentang ini, akan kami detailkan kemudian.
Adapun tanaman, maka yang dimaksud adalah biji-bijian seperti gandum, adas, dan beras. Demikian juga seperti jewawut dan kacang hijau.
Wajibnya zakat atas tanaman, harus menuhi tiga syarat, yaitu:
  1. Ditanam oleh manusia, maka jika ia tumbuh dengan sendirinya, seperti terbawa oleh air atau angin lalu ia tumbuh di lahan tersebut, maka tidak ada zakatnya.
  2. Berupa biji-bijian yang bisa disimpan lama. Maka, tanaman yang bukan biji-bijian dan tidak bisa disimpan, tidak wajib zakat.
  3. Mencapai nishab, yaitu 5 (lima) wasaq (include zakatnya) dan sudah bersih siap dikonsumsi. Pada sebagian naskah disebutkan: Harus mencapai 5 wasaq tidak termasuk zakatnya.
Adapun buah-buahan, maka ia wajib zakat atas dua jenis buah, yaitu: (i) kurma dan buah anggur. Syarat wajib zakat atas buah-buahan ada 4 (empat) point adalah:
  1. Islam
  2. Merdeka
  3. Milik sempurna
  4. Nishab
Maka, kapanpun buah-buahan tidak memenuhi salah satu dari 4 syarat di atas, maka tidak wajib zakat.
Adapun barang dagangan, maka kewajiban zakatnya ditentukan berdasarkan persyaratan yang berlaku pada zakat barang berharga (emas dan perak) sebagaimana sudah kami sebutkan terdahulu. Dan perdagangan maksudnya adalah mendayagunakan harta, memutar modal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Nishab Unta
  • Awal nishab unta adalah 5 ekor, zakatnya seekor kambing dha’n (kambing yang memiliki bulu lebat/domba -pent) yang berumur satu tahun dan masuk tahun ke dua, atau kambing yang berumur dua tahun dan masuk tahun ke tiga.
  • 10 ekor unta, zakatnya dua ekor kambing
  • 15 ekor unta, zakatnya 3 kambing
  • 20 ekor unta, zakatnya 4 ekor kambing
  • 25 ekor unta, zakatnya 1 bintu makhadh
  • 36 ekor unta, zakatnya 1 bintu labun
  • 46 ekor unta, zakatnya 1 hiqqah
  • 61 ekor unta, zakatnya 1 jadza’ah
  • 76 ekor unta, zakatnya 2 bintu labun
  • 91 ekor unta, zakatnya 2 hiqqah
  • 121 ekor unta, zakatnya 3 bintu labun
  • Dan seterusnya.
Ini sangat gamblang, tidak perlu lagi akan penjelasan.
Bintu makhadh adalah unta yang berumur 1 tahun dan masuk tahun ke dua.
Bintu labun adalah unta yang berumur 2 tahun dan masuk tahun ke tiga.
Hiqqah adalah unta yang berumur 3 tahun dan masuk tahun ke empat
Jadza’ah adalah unta yang berumur 4 tahun dan masuk tahun ke lima.
Dan pada setiap kelipatan 40 ekor, setelah 121, zakatnya 1 ekor bintu labun
Dan setiap kelipatan 50 ekor, setelah 121, zakatnya 1 hiqqah. Maka, jika unta 140, zakatnya 2 hiqqah dan 1 bintu labun, dan jika unta 150, zakatnya 3 hiqqah. Demikian.
Nishab Sapi/Kerbau
  • Awal nishab sapi adalah 30 ekor, maka ia sudah wajib zakat. Pada sebagian naskah, disebutkan zakatnya 1 tabi’, yaitu sapi (jantan) yang berusia 1 tahun dan masuk tahun kedua. Disebut tabi’ karena pada usia itu ia masih ikut kemanapun induknya pergi. Namun, jika ia menunaikan zakatnya 1 ekor tabi’ah (betina), sah.
  • 40 ekor sapi, zakatnya 1 musannah, yaitu yang berusia 2 tahun dan masuk tahun ke 3. Disebut musannah karena pada usia ini, giginya sudah lengkap. Namun, jika ia menunaikan zakatnya 2 ekor tabi’ (jantan) maka sah, menurut pandangan yang terbenar dari pandangan ulama.
  • 120 ekor sapi, zakatnya 3 ekor musannah (betina) atau 4 ekor tabi’ah (betina).
Nishab Kambing
  • Awal nishab untuk kambing adalah 40 ekor, baik berupa dha’n (kambing yang memiliki bulu lebat/domba -pent). Zakatnya 1 ekor jadza’ah domba (usia 6 bulan) atau kambing biasa yang berusia 1 tahun.
  • 121 ekor kambing, zakatnya 2 kambing
  • 201 ekor kambing, zakatnya 3 kambing
  • 400 ekor kambing, zakatnya 4 kambing
  • Dan setiap kelipatan 100, zakatnya 1 ekor kambing. Ini demikian gamblang dan tidak memerlukan penjelasan lagi.
Jika Dua Pemilik Bercampur Dalam Penggembalaan
Jika dua orang berserikat dalam sebuah ternak sebanyak 80 ekor kambing, masing-masing 40 ekor, maka zakatnya 1 ekor. Jika dua orang berserikat dalam sebuah ternak sebanyak 40 ekor kambing, masing-masing 20 ekor, maka zakatnya 1 ekor kambing. Atau jumlahnya tidak sama, seperti dua orang yang berserikat dalam 60 ekor kambing, satu orang memiliki sepertiganya (20 ekor) dan seorang lagi memiliki dua pertiganya (40 ekor). Atau jumlahnya sama atas masing-masing dari dua orang tersebut, seperti 200 ekor kambing, masing-masing memiliki 100 ekor. Kesemuanya, zakatnya dihukumi sebagai satu kesatuan.
Syarat dalam perserikatan ini ada tujuh, yaitu:
  1. Marah waidah. Satu lahan gembalaan
  2. Masrah wahidan. Satu tempat tinggal ketika di malam hari
  3. Ra’iy wahidan. Digembalakan oleh satu orang dan satu jenis hewan.
  4. Fihl wahidan. Satu jenis hewan. Jika beragam, seperti antara domba dan kambing kacang, maka boleh secara masing-masing.
  5. Syarab wahidan. Satu tempat minum, baik sumur, sungai, atau danau atau yang lainnya.
  6. Haalib wahidan. Satu dalam pemerah susunya. Dan ini adalah salah satu dari dua pandangan ulama. Yang terbenarnya adalah tidak ada syarat harus satu dalam pemerahan susunya.
  7. Maudhi’ul halab. (difatahkan lam). Dan satu wadah/tempat perahan susu. Imam Nawawi menghikayatkan bahwa halb (dengan disukunkan lam) artinya adalah nama untuk susu yang sudah diperah. Para ulama lainnya juga menjelaskan hal yang sama dengan Imam Namawy.
Nishab Barang Berharga
Nishab untuk emas adalah 20 mitsqal, dengan standar mitsqal penduduk Mekkah. Zakatnya adalah seperempatnya yaitu sama dengan setengah mitsqal. Dan jika jumlahnya lebih dari 20 mitsqal, walaupun sedikit, maka zakatnya juga seperempatnya (2,5%). (Konversi 20 mitsqal/20 dinar dengan standar sekarang adalah 85 gram emas murni (24K/99% -pent).
Dan nishab untuk perak adalah 200 dirham, zakatnya 2,5%, yaitu sama dengan 5 dirham. Jika lebih dari 200 dinar, walaupun sedikit, maka cara penghitungannya sama, yaitu 2,5%-nya. Tidak ada kewajiban zakat atas maghsyusy, baik emas maupun perak, jika tidak sampai mencapai nishab (Maghsyusy artinya emas atau perak yang tidak murni -pent). Dan tidak wajib zakat atas perhiasan yang diperbolehkan. Adapun perhiasan yang diharamkan, seperti emas pada laki-laki dan yang berjenis kelamin ganda, maka ada zakatnya.
Nishab Tanaman dan Biji-bijian
Nishab untuk tanaman dan biji-bijian adalah 5 wasaq. Lima wasaq sama dengan 1600 ritel Iraq atau Baghdad. Jika jumlahnya lebih dari 5 wasaq maka penghitungannya adalah sesuai dengannya. Dan ritel Baghdad, menurut Imam Nawawi, adalah sama dengan 128 dirham dan 4 saba’. Tanaman dan biji-bijian itu adalah jika diairi dengan air hujan dan air sungai, maka zakatnya adalah sepersepuluhnya (10%). Dan jika pengairannya dengan menggunakan hewan, untuk mengangkut air tersebut dari sungai atau sumur, baik sapi atau unta, maka zakatnya adalah 5 %. (5 wasaq dalam konversi standar kilogram adalah 900 kg atau 9 kwintal, sebab 5 wasaq sama dengan 300 sha’, sedangkan satu sha sama dengan 3 kg -pent).
Nishab Barang Dagangan, Mineral, dan Rikaz
Dan barang dagangan harus dihitung pada akhir tahun (haul), baik mencapai nishab atau belum. Maka, jika ternyata pada akhir tahun, mencapai nishab, ia harus dizakati, dan jika tidak sampai nishab maka tidak dizakati. Zakatnya adalah 2,5%-nya.
Dan Ma’aadin/barang mineral/tambang yang dieksplorasi dari dalam bumi, baik berupa emas atau perak, jika mencapai nishab, maka zakatnya adalah 2,5%-nya pada saat ia diperoleh jika orang yang melakukan eksplorasinya adalah orang yang termasuk wajib zakat (maksudnya adalah muslim -pent).
Ma’aadin adalah bentuk jamak dari ma’dan, yang artinya adalah tempat atau lahan kosong atau lahan milik seseorang dimana Allah menciptakan harta-benda atau barang berharga padanya.
Adapun rikaz, yaitu harta karun peninggalan orang kafir pada zaman dahulu, yaitu keadaan seperti keadaan bangsa Arab sebelum datangnya Islam, seperti tidak tahu akan Allah, Rasul-Nya, dan berbagai syariat Islam, maka rikaz tersebut ada kewajiban zakatnya, yaitu seperlimanya (20 %) dan disalurkan kepada 8 ashnaf, menurut pendapat yang masyhur dari kalangan pada ulama. Sebagian ulama lainnya berpandangan disalurkan kepada mustahiq fai’, sebagaimana disebutkan dalam ayat tentang fai’.
Zakat fithrah
Dan zakat fithri atau zakat fithrah –fithrah artinya asal-muasal penciptaan manusia– diwajibkan dengan tiga hal di dalam Islam. Maka, tidak wajib fithrah atas orang kafir ashliy, kecuali budaknya dan kerabatnya yang muslim. Ditunaikan sejak tenggelamnya matahari di akhir Ramadhan. Maka, pada keadaan ini, ditunaikanlah zakat fithrah walaupun pada orang yang meninggal setelah maghribnya. Namun, bayi yang lahir setelah maghrib pada akhir Ramadhan, tidak wajib zakat. Dan ada sisa kelebihan merupakan syarat zakat fithrah. Sisa kelebihan artinya adalah sisa dari kebutuhan pribadi dan keluarganya serta orang-orang yang wajib ia nafkahi untuk seukuran satu hari satu malam Iedul fithri.
Zakat fithrah ditunaikan atas dirinya dan atas orang-orang yang dalam tanggungannya, dengan syarat muslimin. Maka, seorang muslim tidak diwajibkan untuk menunaikan zakat budaknya, kerabatnya, dan isterinya yang kafir, walaupun mereka adalah orang yang wajib dinafkahinya.
Jika seseorang sudah ditetapkan wajib menunaikan zakat fithrah, maka ia tunaikanlah ia sebanyak 1 sha’ berupa bahan makanan pokok daerahnya. Jika di daerahnya ada beragam bahan makanan pokok, maka gunakanlah yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Jika seseorang tinggal di daerah terpencil yang tidak ada bahan makanan pokok yang berupa biji-bijian, maka zakatnya berupa jenis biji-bijian bahan makanan pokok daerah yang terdekat dengan daerah dimana ia tinggal.
Jika seseorang memiliki bahan makanan pokok, sebagai sisa dari kebutuhan sehari semalam Iedul fithri, namun tidak sampai satu sha’ dan hanya sebagiannya, maka tunaikanlah ia walaupun tidak sampai 1 sha’. Satu sha’ sama dengan 5,35 ritel Iraq. (Jika dikonversikan dengan ukuran kilogram sama dengan 2,5 atau 3 kg -pent).
Mustahiq Zakat
Zakat diberikan kepada mustahiqnya yang berjumlah 8 ashnaf (golongan), sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Qur’an yang mulia. Allah berfirman: Dan sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk fakir, miskin, amil, muallaf, fii riqab, gharim, fii sabilillah, dan ibnu sabil; Sebagai sebuah kewajiban dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. At-Taubah: 60).
Detail ini demikian jelas sehingga tidak perlu saya terangkan lagi, kecuali ashnaf saja:
  1. Fakir, dalam topic zakat, adalah artinya orang yang tidak punya harta sama sekali dan tidak punya penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Adapun fakir secara umum adalah orang yang tidak punya uang di tangan.
  2. Miskin adalah orang yang memiliki sejumlah harta atau penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya, namun tidak cukup. Misalnya, seseorang yang membutuhkan biaya hidup sehari 10 dirham, namun ia hanya memiliki 7 dirham. Maka, yang demikian adalah dikategorikan miskin.
  3. Amil adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Imam (Khalifah atau pemimpin) untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada para mustahiq.
  4. Muallaf, ada 4 kategori, diantaranya adalah orang yang baru masuk Islam, ruh keislamannya masih lemah. Maka, ia diberi zakat. Adapun tiga jenis muallaf lainnya sudah kami sebutkan dalam Al-Mabsuthat.
  5. Fii riqab adalah adalah budak-budak yang sedang mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk mendapatkan kemerdekaan, secara benar. Adapun jika perjanjiannya secara tidak benar/bathil, maka tidak berhak mendapatkan zakat.
  6. Gharim, maka ia ada 3 jenis: (i) Seseorang yang berhutang untuk meredam fitnah antara dua kelompok muslimin tentang seseorang yang terbunuh namun belum diketahui siapa pelakunya. Ia berhutang dengan tujuan tersebut, maka ia diberi dana zakat dari hak gharim. Adapun dua jenis gharim lainnya sudah kami sebutkan dalam Al-Mabsuthat.
  7. Fii sabilillah, maka maksudnya adalah perang, dimana ia ikut berperang karena keinginan dirinya sendiri, dan bukan termasuk orang-orang yang ditanggung kebutuhan hidupnya.
  8. Ibnu sabil, maka maksudnya adalah orang yang hendak bepergian dari daerah dimana zakat itu diambil atau ia sedang melakukan perjalanan di negerinya. Dan syarat seseorang ibnu sabil memperoleh zakat adalah (i) membutuhkan, (ii) safarnya bukan berupa maksiat kepada Allah.
Dan juga, zakat diberikan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam salah satu ashnaf tersebut, walaupun tidak 8 ashnaf seluruhnya. Sebab, terkadang sebagian ashnaf tidak ada. Jika seluruh ashnaf tidak ada, maka harta zakat tersebut disimpan hingga ada mustahiq zakat di waktu mendatang.
Dan tidak boleh menyalurkan harta zakat hanya kepada orang kurang dari 3 orang pada setiap jenis mustahiq, kecuali amil. Sebab, amil boleh hanya berupa seorang saja, jika ternyata sudah cukup. Dan jika zakat hanya disalurkan kepada 2 orang pada setiap jenis ashnafnya, maka orang ketiganya dihutangkan.
Ada lima golongan yang haram menerima zakat, yaitu: (i) Orang kaya, baik karena hartanya atau pekerjaannya, (ii) Budak, (iii) Bani Hasyim, (iv) Bani Muththalib, baik dilarang dari menerima seperlima dari hak khumus atau bukan, dan hanya dibolehkan mengambil dari harta shadaqah, berdasarkan pendapat yang masyhur dari para ulama. (v) Orang kafir. Orang kafir tidak berhak mendapatkan zakat. Dan pada sebagian naskah disebutkan juga, dan orang-orang yang ada dalam tanggungan pezakat, maka ia haram menerima zakatnya dengan alasan mereka fakir atau miskin, namun boleh diberi zakat jika mereka ikut perang (jihad) atau termasuk gharim.***
Kitabul akhkamissiyami
Definisi
Puasa ialah menahan diri dari makan, minum dan bersenggama mulai dari terbit fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari. Firman Allah Ta’ala: ”….dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam….” (Al-Baqarah:187)
Kapan dan bagaimana puasa Ramadhan diwajibkan?
Puasa Ramadhan wajib dikerjakan setelah terlihatnya hilal, atau setelah bulan Sya’ban genap 30 hari. Puasa Ramadhan wajib dilakukan apabila hilal awal bulan Ramadhan disaksikan seorang yang dipercaya, sedangkan awal bulan-bulan lainnya ditentukan dengan kesaksian dua orang yang dipercaya.
Siapa yang wajib berpuasa Ramadhan?
Puasa Ramadhan diwajibkan atas setiap muslim yang baligh (dewasa), aqil (berakal), dan sanggup untuk berpuasa. Adapun syarat-syarat wajibnya puasa Ramadhan ada empat, yaitu Islam, berakal, dewasa dan mampu. Para ulama mengatakan anak kecil disuruh berpuasa jika kuat, hal ini untuk melatihnya, sebagaimana disuruh shalat pada umur 7 tahun dan dipukul pada umur 10 tahun agar terlatih dan membiasakan diri.
Syarat sahnya puasa
Syarat-syarat sahnya puasa ada enam:
  1. Islam: tidak sah puasa orang kafir sebelum masuk Islam.
  2. Akal: tidak sah puasa orang gila sampai kembali berakal.
  3. Tamyiz: tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan (yang balk dengan yang buruk).
  4. Tidak haid: tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti haidnya.
  5. Tidak nifas: tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari nifas.
  6. Niat: menyengaja dari malam hari untuk setiap hari dalam puasa wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi. Ia adalah hadits mauquf menurut At-Tirmidzi). Dan hadits ini menunjukkan tidak sahnya puasa kecuali diiringi dengan niat sejak malam hari yaitu di salah satu bagian malam. Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid’ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya): “Apakah engkau punya santapan siang? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” [Hadits Riwayat Muslim 1154].
Sunah Puasa
Sunah puasa ada enam:
  1. Mengakhirkan sahur sampai akhir waktu malam, selama tidak dikhawatirkan terbit fajar.
  2. Segera berbuka puasa bila benar-benar matahari terbenam.
  3. Memperbanyak amal kebaikan, terutama menjaga shalat lima waktu pada waktunya dengan berjamaah, menunaikan zakat harta benda kepada orang-orang yang berhak, memperbanyak shalat sunat, sedekah, membaca Al-Qur’an dan amal kebajikan lainnya.
  4. Jika dicaci maki, supaya mengatakan: “Saya berpuasa,” dan jangan membalas mengejek orang yang mengejeknya, memaki orang yang memakinya, membalas kejahatan orang yang berbuat jahat kepadanya; tetapi membalas itu semua dengan kebaikan agar mendapatkan pahala dan terhindar dari dosa.
  5. Berdo’a ketika berbuka sesuai dengan yang diinginkan. Seperti membaca do’a: “Ya Allah hanya untuk-Mu aku beupuasa, dengan rizki anugerah-Mu aku berbuka. Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, terimalah amalku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
  6. Berbuka dengan kurma segar, jika tidak punya maka dengan kurma kering, dan jika tidak punya cukup dengan air.
Hukum orang yang tidak berpuasa Ramadhan
Diperbolehkan tidak puasa pada bulan Ramadhan bagi empat golongan:
  1. Orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang bepergian yang boleh baginya mengqashar shalat. Tidak puasa bagi mereka berdua adalah afdhal, tapi wajib mengqadhanya. Namun jika mereka berpuasa maka puasa mereka sah (mendapat pahala). Firman Allah Ta’ala: ” ….Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…. ” (Al-Baqarah:184). Maksudnya, jika orang sakit dan orang yang bepergian tidak berpuasa maka wajib mengqadha (menggantinya) sejumlah hari yang ditinggalkan itu pada hari lain setelah bulan Ramadhan.
  1. Wanita haid dan wanita nifas: mereka tidak berpuasa dan wajib mengqadha. Jika berpuasa tidak sah puasanya. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “Jika kami mengalami haid, maka diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan menggadha shalat.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).
  2. Wanita hamil dan wanita menyusui, jika khawatir atas kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus meng-qadha serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Jika mereka berpuasa maka sah puasanya. Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan harus meng-gadha saja. Demikian dikatakan Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan o!eh Abu Dawud. Lihat kitab Ar Raudhul Murbi’, 1/124.
  3. Orang yang tidak kuat berpuasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Boleh baginya tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Demikian kata Ibnu Abbas menurut riwayat Al-Bukhari. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 1/215. Sedangkan jumlah makanan yang diberikan yaitu satu mud (genggam tangan) gandum, atau satu sha‘ (+ 3 kg) dari bahan makanan lainnya. Lihat kitab ‘Umdatul Fiqh, oleh Ibnu Qudamah, him. 28.
Hukum jima’ pada siang hari bulan Ramadhan
Diharamkan melakukan jima’ (bersenggama) pada siang hari bulan Ramadhan. Dan siapa yang melanggarnya harus meng-qadha dan membayar kaffarah mughallazhah (denda berat) yaitu membebaskan hamba sahaya. Jika tidak mendapatkan, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut; jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin; dan jika tidak punya maka bebaslah ia dari kaffarah itu. Firman Allah Ta’ala: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al-Baqarah: 285). Lihat kitab Majalisu Syahri Ramadhan, hlm. 102-108.
Hal-hal yang membatalkan puasa
  1. Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya.
  2. Jima’ (bersenggama).
  3. Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah.
  4. Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluamya tanpa sengaja.
  5. Keluamya darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam matahari.
  6. Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dalam lafazh lain disebutkan: “Barangsiapa muntah tanpa disengaja, maka ia tidak (wajib) mengganti puasanya.” Diriwayatkan oleh Al-Harbi dalam Gharibul Hadits (5/55/1) dari Abu Hurairah secara maudu’ dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah No. 923.
  7. Murtad dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya. Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah Ta’ala: “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam: 88).
Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa disengaja. Jika wanita nifas telah suci sebelum sempurna empat puluh hari, maka hendaknya ia mandi, shalat dan berpuasa.
Kewajiban orang yang berpuasa
Orang yang berpuasa, juga lainnya, wajib menjauhkan diri dari perbuatan dusta, ghibah (menyebutkan kejelekan orang lain), namimah (adu-domba), laknat (mendo’akan orang dijauhkan dari rahmat Allah) dan mencaci-maki. Hendaklah ia menjaga telinga, mata, lidah dan perutnya dari perkataan yang haram, penglihatan yang haram, pendengaran yang haram, makan dan minum yang haram.
Puasa yang disunatkan
Disunatkan puasa 6 hari pada bulan Syawwal, 3 hari pada setiap bulan (yang afdhal yaitu tanggal 13, 14 dan 15; disebut shaum al-biidh), hari Senin dan Kamis, 9 hari pertama bulan Dzul Hijjah (lebih ditekankan tanggal 9, yaitu hari Arafah), hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram) ditambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia serta menyelisihi kaum Yahudi.
A. Arti Definisi / Pengertian Ibadah Haji
Ibadah haji adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh umat islam yang mampu atau kuasa untuk melaksanakannya baik secara ekonomi, fisik, psikologis, keamanan, perizinan dan lain-lain sebagainya. Pergi haji adalah ibadah yang masuk dalam rukun islam yakni rukun islam ke lima yang dilakukan minimal sekali seumur hidup.
B. Syarat Sah Haji
1. Agama Islam
2. Dewasa / baligh (bukan mumayyis)
3. Tidak gila / waras
4. Bukan budak (merdeka)
C. Persyaratan Muslim yang Wajib Haji
1. Beragama Islam (Bukan orang kafir/murtad)
2. Baligh / dewasa
3. Waras / berakal
4. Merdeka (bukan budak)
5. Mampu melaksanakan ibadah haji
Syarat “Mampu” dalam Ibadah Haji
1. Sehat jasmani dan rohani tidak dalam keadaan tua renta, sakit berat, lumpuh, mengalami sakit parah menular, gila, stress berat, dan lain sebagainya. Sebaiknya haji dilaksanakan ketika masih muda belia, sehat dan gesit sehingga mudah dalam menjalankan ibadah haji dan menjadi haji yang mabrur.
2. Memiliki uang yang cukup untuk ongkos naik haji (onh) pulang pergi serta punya bekal selama menjalankan ibadah haji. Jangan sampai terlunta-lunta di Arab Saudi karena tidak punya uang lagi. Jika punya tanggungan keluarga pun harus tetap diberi nafkah selama berhaji.
3. Keamanan yang cukup selama perjalanan dan melakukan ibadah haji serta keluarga dan harta yang ditinggalkan selama berhaji. Bagi wanita harus didampingi oleh suami atau muhrim laki-laki dewasa yang dapat dipercaya.
D. Rukun Haji
Rukun haji adalah hal-hal yang wajib dilakukan dalam berhaji yang apabila ada yang tidak dilaksanakan, maka dinyatakan gagal haji alias tidak sah, harus mengulang di kesempatan berikutnya.
  1. Ihram
    2. Wukuf
    3. Thawaf
    4. Sa’i
    5. Tahallul
PASAL
Larangan saat ikhram
Larangan semasa Ihram secara umumnya bolehlah dibahagikan kepada 5 kategori:
  • Pakaian
  • Wangian
  • Kecantikan
  • Alam sekitar
  • Hubungan kelamin
Pakaian
1. Muslim lelaki yang sedang berihram adalah sama sekali dilarang untuk memakai pakaian yang berjahit, bertenun, bercantum, bersarung dan sebagainya. Misalnya: seluar, baju, kemeja, stokin, kasut, sepatu berjahit yang boleh menutup badan-badan jari kaki dan tumit belakang kaki, tuala berjahit tepi mahupun kain pelikat dan seumpama dengannya yang berkaitan.
Namun berikut lelaki Muslim yang sedang berihram dibenarkan/diharuskan untuk mengenakan pakaian berikut sewaktu berihram tanpa dikenakan dam:
  • Memakai kain pelikat berjahit tepi atau selimut berjahit tepi dengan cara tidak disarungkan ke badan(sekadar dibuat lapik tikar ataupun selimut ringan sahaja adalah dibenarkan) (sebaiknya kain pelikat atau selimut itu diceraikan dan dilepaskan dari jahitan ataupun cantumannya).
  • Memakai tali pinggang, cincin, jam tangan, beg galas, gelang pengenalan Haji dan Gelang Pengenalan Pesakit serta Gelang Logam Kesihatan (sekiranya diperlukan untuk tujuan meditasi dan perubatan sahaja).
  • Memakai sepatu yang boleh menampakkan jari-jari kaki yang terbebas dan mempunyai tali pengikat diatas urat keting yang boleh menampakkan tumit belakang (misalnya memakai selipar Jepun, selipar Hawaii dan seumpama dengannya).
  • Menutup kaki dengan kain Ihram.
  • Menyemat pin kain pada kain ihram di sebelah bawah sahaja bagi mengelakkan ia mudah tertanggal jika dirempuh orang (kebenarannya hanya boleh diletakkan di aras pinggang sahaja pada bilangan pin yang munasabah).
  • Bercawat (berseluar dalam) dengan kain ihram yang tidak berjahit ataupun bercantum.
  • Memakai lampin pakai buang kerana ingin membuang hajat tidak berdosa dan tidak dikenakan dam jika tidak menyusahkan orang lain dan membelakangi peraturan ihram.
Nota: Jika seseorang lelaki Muslim yang berihram membuat sebaliknya dari perkara diatas secara tidak sengaja ataupun terlupa, maka dia tidak dikira berdosa dan tidak dikenakan Dam tetapi ia perlulah menanggalkan pakaian tersebut secepat mungkin. Tetapi jika membuatnya dengan maksud yang jahat maka berdosa serta dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Tidak berdosa bagi yang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggari hukum berpakaian dalam Ihram jika disebabkan oleh keperluan terdesak serta menjaga keselamatan dan kesihatan seperti:
  • Memakai sarung lutut untuk melegakan sakit lutut yang tidak melekap dan melekat namun dikenakan Dam. Namun jika sarung lutut itu melekap secara melekat maka ia tidak dikenakan Dam kerana sarung lutut jenis itu tidak dijahit.
  • Memakai kasut pada kaki sihat demi mengimbangi badan dan perjalanan adalah dibenarkan tetapi akan dikenakan Dam.
2. Lelaki Muslim yang sedang berihram adalah dilarang untuk menutup kepala dengan cara meletakkan apa-apa kain atau penutup diatas rambut dan kulit kepala. Seperti: songkok, kopiah, serban, selendang, malah kain Ihram sekalipun. Jika dilakukan juga tanpa ada keperluan yang mustahak maka ia berdosa dan dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Tetapi diharuskan melakukan keperluan berikut dalam Ihram tanpa dikenakan Dam:
  • Menggunakan payung
  • Berteduh di bawah pokok
  • Berteduh di bawah khemah
Menutup muka, larangan ini hanya dikenakan kepada wanita Muslim yang dalam keadaan berihram serta dalam solat. Jika ia dilakukan dengan sengaja maka dikira berdosa dan perlu dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Jika tidak sengaja maka perlu menanggalkannya dengan kadar segara tanpa dikenakan Dam dan tidak berdosa. Menutup muka hanya boleh dilakukan oleh wanita sekiranya dia:
  • Ingin menutup fitnah dan ingin mengawal situasi dan kondisi syahwat bagi lelaki yang terpandang bagi mengelakkan terjatuhnya fitnah yang keterlaluan akibat kecantikan wajahnya.
  • Ingin menutup rongga-rongga mulut, telinga, kulit, mata dan hidung sekiranya diserangi dengan debu akibat ribut debu yang keterlaluan dan kemasukan anasir luar yang merbahaya yang dicurigai mampu mendatangkan kemudaratan pada wajah sekiranya tidak ditutup seperti serangga dan bahan kimia yang merbahaya.
Wanita dan lelaki yang sedang berihram adalah dilarang untuk memakai sarung tangan tanpa ada keperluan khusus yang terdesak seperti penyakit pada tangan dan lain-lain yang dianggap keperluan penting.
Namun wanita dan lelaki yang berihram adalah dibenarkan untuk memasukkan tangan ke dalam beg plastik atau kantung kain. Boleh juga melindungi tangan disebalik tudung, skarf dan kain Ihram.
Wangian
1.Bagi setiap Jemaah Haji atau Umrah yang Muslim (lelaki dan wanita) serta yang mengenakan pemakaian Ihram, mereka dilarang sama sekali bagi mereka untuk memakai wangi-wangian sama ada di badan, rambut, janggut dan sebagainya serta makanan, minuman atau menghidunya ke dalam hidung. Namun:
•Seseorang yang berada dalam Ihram adalah dibenarkan untuk menggunakan ubat gigi, sabun mandi, syampu rambut, pencuci muka dan minyak angin, minyak urut walaupun ia berbau wangi. Hal ini kerana penggunaannya adalah untuk niat menjaga kebersihan dan kesihatan. Bukannya untuk berwangi-wangian. Tetapi perlu diingatkan penggunaan bahan tersebut janganlah disengajakan untuk dilebih-lebihkan kerana jika ia bertujuan sengaja untuk merancakkan bauan wangi di badan, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Begitu juga dalam penggunaan bahan minuman dan makanan yang berperisa dan berbau-bauan.
•Jika seseorang itu dalam keadaan berihram, lantas secara tidak sengaja dia telah menyembur wangian (minyak attar dan minyak wangi) ke atas dirinya ataupun orang lain yang telah menyembur wangian atas tubuhnya secara sengaja ataupun tidak sengaja. Maka perlulah orang itu menghilangkan kesan wangian atas badannya dengan kadar segera. Jika tidak menghilangkannya dengan segera sedangkan sudah mengetahui, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
•Seseorang yang sedang mengucup/mencium Hajar Aswad, perlulah berhati-hati ketika mengucupnya supaya ia tidak cedera kerana dirempuh oleh orang ramai serta ia juga perlu berhati-hati agar wangian dari batu Hajar Aswad itu tidak melekat pada mulut dan wajahnya. Hal ini kerana Hajar Aswad sering diletakkan wangian kepadanya. Seseorang apabila sudah melekatnya wangian Hajar Aswad padanya secara tidak sengaja maka perlulah ia segera menghilangkannya. Jika tidak, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
•Jika seseorang itu memakai wagian pada kain Ihram sebelum dia berniat Ihram, serta wangian itu masih wujud pada pakaian Ihramnya walaupun sesudah dia berniat Ihram maka disini terdapat 2 pendapat yang boleh diikuti:
  1. Menurut pendapat Al-Asah, maka perbuatan itu tidak berdosa tetapi dikenakan Dam.
  2. Menurut pendapat Muqabil Asah, maka perbuatan itu tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam, kerana pada kebiasaannya pakaian dipakai dan kemudian ditanggalkan. Dan perkara ini merupakan suatu kebiasaan.
•Wangian yang dipakai pada badan (sebelum berniat Ihram) dan kemudian ia cair kerana akibat tindakan perpeluhan. Lalu melekat pada kain Ihram, maka oleh yang demikian, kain Ihram itu boleh dipakai semula walaupun telah ditanggal dan masih berbau harum dan wangi. Perbuatan itu tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam.
Kiswah atau Kelambu Kaabah turut dilumurkan minyak wangi, maka perlulah berhati-hati ketika menghampirinya supaya ia tidak cedera kerana dirempuh oleh orang ramai serta ia juga perlu berhati-hati agar wangian dari Kiswah itu tidak melekat pada mulut dan wajahnya serta tubuh badan. Hal ini Kiswah sering diletakkan wangian kepadanya. Seseorang apabila sudah melekatnya wangian Kiswah padanya secara tidak sengaja maka perlulah ia segera menghilangkannya. Jika tidak, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
•Memakai losyen pelindung sinaran matahari UV adalah dibenarkan kerana ia bertujuan untuk perubatan dan kesihatan.
Kecantikan
Setiap umat Islam (lelaki dan perempuan) yang menunaikan Haji dan Umrah di Baitullah serta di dalam keadaan Ihram adalah dilarang sama sekali menanggalkan, mencabut dam mengetip rambut dan kuku dengan sengaja. Sekiranya dia tetap melakukan larangan demikian maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Jika dia tidak sengaja dan memohon keampunan dari Allah SWT secara langsung maka perbuatan itu tidak berdosa tetapi dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
Sekiranya dia bersyampu atau atau berkait dengannya (seperti berwuduk) lantas rambutnya gugur sedangkan dia tidak menghendaki akan perkara tersebut terjadi (rambut gugur) atau mungkin rambutnya dari jenis gen yang cepat gugur, maka dia tidak berdosa tetapi dikenakan Dam.
Tetapi, jika kuku atau rambut, bulu tubuh itu jatuh atau tercabut dengan sendiri sedangkan dia tidak menghendakinya untuk terjatuh maka perbuatan itu tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam.
Wanita Muslim yang memakai serkup dan tudung sepanjang waktu Ihram dan dia mendapati terdapatnya rambut didalam serkupnya (apabila dibuka) maka dia tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam kerana perkara itu terjadi bukan atas kehendaknya.
Sekiranya dia (jemaah yang dalam Ihram itu) adalah orang yang dalam keadaan mudah untuk rambutnya gugur akibat penyakit ataupun gen keturunannya, maka adalah diperlukan untuk orang itu memendekkan rambutnya sebelum dia berniat Ihram.
Sekiranya dia ada dikesan berpenyakit oleh pakar perubatan atau amat berkeperluan untuk bercukur sewaktu dia berIhram dan diminta serta dikehendakinya untuk mencukur rambut atau membotakkan rambut pada waktu itu juga dan tidak boleh dilewatkan sesudah dia bertahallul, maka di perlu melakukan perkara tersebut seperti yang diarahkan demi menjaga kesihatan dan keselamatan dirinya. Maka dari itu, dia dan penyuruh pelaksanaan itu tidak berdosa tetapi jemaah yang berihram itu diperlukan untuknya membayar Dam (Takhyir dan Taqdir).
Jika jemaah yang sedang dalam Ihram itu mendapati terpatnya kulit mati kerak kulit dan sebagainya diatas bulu/rambutnya dan dia menghilangkannya, maka dia tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam kerana bulu tersebut mengikut kulit.
Jemaah yang dalam Ihram juga boleh untuk mencabut kukunya jika dia mendapati kukunya itu menyebabkan kemudharatan padanya seperti kuku terbelah atau cengkam dan ia tidak dikenakan Dam. Harus baginya untuk mencabut kulit bibir, tangan, kaki yang mengelupas ketika dia berihram. Dan dia tidak dikenakan Dam. Jika dipotong anak jari yang masih ada kukunya, maka dia tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam kerana kuku tersebut mengikut jarinya.
Nota: Jemaah yang sedang berIhram juga adalah diminta untuk menjauhi perbuatan (seperti bersyampu, menggaru kepala, bersikat dan sebagainya) yang boleh menyebabkan rambut, bulu atau kukunya untuk tertanggal ketika dia masih belum lagi boleh bertahallul, hal ini adalah untuk kebaikan dan kemudahan mereka jua.
Alam sekitar
1. Adalah dilarang bagi setiap jemaah Haji dan Umrah ketika dalam Ihramnya laki-laki dan perempuan untuk mencabut, memotong, mematah dan mengerat dahan pokok dan pohon yang ditanam hidup dan tumbuh di Tanah Haram. Larangan ini adalah turut tidak boleh dilakukan oleh mana-mana orang yang hadir di Tanah Haram (al-Haramain: Makkah,Madinah, Masyair Haram: Arafah, Muzdalifah dan Mina, Al Haram Al Sharif: Baitul Maqdis). Hal ini kerana, pokok yang hidup subur di Tanah Haram adalah “Pohon-pohon yang diberkati”.
2. Adalah dilarang bagi setiap jemaah Haji dan Umrah ketika dalam Ihramnya laki-laki dan perempuan untuk memburu, menembak, membunuh, mengorbankan, menangkap, mengurung, membinasakan dan mengasari setiap haiwan darat yang boleh atau dilarang untuk dimakan. Larangan ini melibatkan setiap jenis haiwan darat, burung dan serangga selain daripada haiwan laut.
Jika seseorang itu memijak atau terbunuh haiwan/serangga kecil seperti semut hitam kecil, belalang dan sebagainya dengan tidak sengaja maka dia tidak dikira berdosa akan tetapi ia amat perlu membayar Dam mengikut nilai serangga yang terhapus.
Seseorang itu dibenarkan untuk membunuh haiwan dan serangga yang boleh menyebabkan dia mungkin akan mengalami kemudharatan dan terancam kemaslihatannya dan jemaah lain jika terus dibiarkannya ketika dalam Ihram seperti nyamuk, ular, kala jengking dan labah-labah. Dan dia tidak dikenakan Dam. Namun sebaiknya dia hanya perlu menghalau serangga atau haiwan itu terlebih dahulu sekiranya ada kemampuan bagi dirinya kerana itu adalah lebih baik.
Hubungan kelamin
1. Melakukan mukaddimah kepada persetubuhan
Setiap jemaah (lelaki dan wanita) Haji atau Umrah yang dalam Ihram adalah dilarang untuk melakukan mukaddimah (Permulaan/Pendahuluan) kepada persetubuhan sama ada dalam bentuk perkataan, perbuataan, layanan isyarat tubuh atau sebagainya.
Namun demikian, adalah tidak dikenakan Dam bagi mereka yang dalam Ihram yang keluar air Mani akibat melihat wanita dan dilamun khayal seks.
Suami isteri atau mahram@muhrim dibolehkan untuk memegang tangan (bukan anggota sulit) ketika dalam Ihram dengan syarat mereka perlulah dalam keadaan dimana disebut “Masyaqqah” iaitu: Keperluan dengan Tanpa Rasa Syahwat (ingin melakukan seks).
Suami isteri atau mahram adalah dibolehkan untuk berpelukan dengan tujuan keperluan terdesak (bukan ingin melakukan seks) serta tujuan keselamatan seperti kesakitan dll ketika dalam Ihram dengan syarat mereka perlulah dalam keadaan dimana disebut “Masyaqqah”iaitu: Keperluan dengan Tanpa Rasa Syahwat (ingin melakukan seks).
2. Melakukan persetubuhan
Perbuatan persetubuhan (seks) adalah suatu yang dilarang keras dan mampu untuk merosakkan ibadah Haji seseorang khususnya ketika jemaah itu ternyata dalam keadaan berIhram sebelum Tahallul Awwal. Keadaan larangan ini adalah berada pada kedudukan di mana:
  • Sengaja bersama (dengan rela hati) melakukan persetubuhan (seks) tanpa dipaksa
  • Tahu hukum melakukan seks ketika berIhram adalah Haram
  • Sudah Mumaiyiz (tahu membezakan perbuatan baik dan buruk yakni bermula sekitar umur 7 atau 9 tahun dan keatas)
Apabila telah ternyata suami dan isteri melakukan perbuatan diatas, maka wajib bagi mereka untuk meneruskan baki ibadah-ibadah haji yang belum terlaksana untuk dilaksanakan sesempurna yang mungkin sehingga selesai, dan seterusnya segera mengqadakkan (mengantikan kembali) Haji(pada kali kedua) tersebut walaupun ianya adalah sekadar Haji Sunat (secara umumnya ibadah Haji yang dilakukan untuk kali kedua dan seterusnya, adalah Haji yang dalam kategori Sunat sahaja) kecuali jika ada keuzuran diantara keduanya. Hanya suami yang dikenakan Dam (Tertib dan Taadil). Kedua-dua (suami dan isteri) perlu memohon keampunan dari Allah SWT jua hendaknya.
Namun, jika berlakunaya lagi bersetubuhan (yang bersambungan dengannya) selepas persetubuhan yang merosakkan Haji pada kali pertama, maka suami dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir) pula. Jika berlaku persetubuhan selepas Tahallul Awwal tetapi sebelum Tahallul Thani, ibadah Hajinya tidak batal, tetapi suami dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir) pula.
Suami dan isteri adalah dibolehkan untuk bersetubuh selepas (kedua-dua jenis Tahallul Awwal dan Tahallul Thani) telah dilangsaikan dengan sempurna.Namun lebih afdhal(lebih baik dan digalakkan) untuk menangguh perbuatan tersebut sehingga selesai segala rukun dan aktiviti Haji dilaksanakan.
3. Larangan berkahwin, mengahwinkan atau menerima wakil kahwin
Semua perbuatan berkahwin, mengahwinkan atau menerima wakil kahwin adalah dilarang sama sekali ketika jemaah itu dalam keadaan BerIhram. Bahkan, aktiviti pra-perkahwinan dan pasca perkahwinan seperti merisik, meminang dan bernikah adalah tidak sah. Akad nikah juga dikira Haram. Namun, orang yang terlibat tidak dikenakan Dam.
PASAL
Macam-macam dam
a. Dam haji tamattu’ dan haji qiran, yaitu dam yang wajib dibayar oleh orang yang mengerjakan umrah sebelum haji (dalam bulan-bulan haji) atau yang membaca talbiyah untuk haji dan umrah sekaligus. Hal ini didasarkan pada firman Allah, yang artinya, ”Maka barangsiapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan-bulan haji), (wajiblah ia menyembelih binatang hadyu) yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang hadyu atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) bila kamu telah pulang kembali.” (Al-Baqarah:106).

b.      Dam fidyah, yang wajib atas jama’ah yang mencucuk rambutnya karena sakit atau karena tertimpa sesuatu yang menyakitkan. Ini mengacu kepada firman Allah:
Jika ada di antara kamu yang sakit atau gangguna di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bershadaqah atau menyembelih binatang ternak sebagai dam. (Al-Baqarah:196).
c.       Dam Jaza’, yaitu dam yang wajib dibayar oleh orang yang sedang berihram bila membunuh binatang buruan darat. Adapun binatang buruan itu, maka tidak ada dendanya. (tentang dam ini telah dijelaskan pada beberapa halaman sebelumnya).
d.      Dam Ihshar, yaitu dam yang wajib dibayar oleh jama’ah haji yang tertahan, sehingga tidak mampu menyempurnakan manasik hajinya, karena sakit, karena terhalang oleh musuh atau karena kendala yang lain. Dan ia tidak menentukan syarat ketika memulai ihramnya. Hal ini berpijak pada firman Allah:
Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), sembelihlah binatang hadyu yang mudah didapat. (Al-Baqarah).
e.       Dam Jima’ yaitu dan yang difardhukan atas jama’ah haji yang sengaja menggauli isterinya di tengah pelaksanaan ibadah haji (ini telah dijelaskan).
PENUTUP
       Alhamdulillahirobbil alamin dengan berkat rahmat allah yang maha kuasa penulis dapat menyelesaikan buku ini yang guna untuk menjalalankan tugas dari ustadz Abdul ghorar Spd.i (pondok pesantren miftakhul huda peron).
Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca baik di dunia maupun di akhirat ,
Penulis adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan maka dari itu apa bila ada kesalahan saya minta maaf yang sebesar besarnya
penulis
nama : akhmad ula khabib munir
santri pp miftahul huda peron

Sumber : http://pondokpesantrenmifdaperon.wordpress.com/terjemah-kitab-fatkul-qorib/


Share This Article


8 komentar:

  1. assalamu'alaikum...
    semoga alloh memberkati akhi...
    terimakasih ilmunya akhi

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum, wr. wb.

    mohon izin kopas,
    semoga bermanfaat

    BalasHapus
  3. Mohon idzin dan terima kasih telah meng-COPAS tulisan panjenengan Ustadz...!!!

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum.. izin download dan kopas ustadz..terima ksih

    BalasHapus
  5. Yg terjemahnya belum ada pdf nya ustadz? Izin mengamalkannya. Maturnuwun.
    Wassalamualaikum

    BalasHapus
  6. Yg terjemahnya belum ada pdf nya ustadz? Izin mengamalkannya. Maturnuwun.
    Wassalamualaikum

    BalasHapus