TERJEMAH FATHUL QORIB
SYAIKH MUHAMMAD QOSIM AL GHAZI
(SYARAH MATAN TAQRIB)
AL IMAM AL ALLAMAH AHMAD BIN HUSAIN
AL MASYHUR BI ABI SUJA’
ROHIMAHULLAHUTAALA
AMIN
PENGANTAR
Pujian dan sanjungan hanya hak dan milik Alloh
yang telah berfirman : “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al Qur’an), sebagai
kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah
kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS.
Al An’aam : 115). Benar dalam seluruh beritanya dan adil dalam setiap perintah
dan laranganNya.
Sholawat dan salam bagi kekasih Ar Rohman;
Muhammad bin Abdillah yang telah bersabda : “Barangsiapa yang dikendaki baiknya
oleh Alloh Ta’ala, maka Dia Ta’ala akan memfaqihkan dia pada agama”.
Tulisan yang akan kami sajikan kehadapan
pembaca merupakan kitab fiqih dalam Madzhab Imam As Syafi’i rohimahulloh, yakni
kitab FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB . Kami akan tampilkan
secara bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya saya berharap bisa
memberikan gambaran secara utuh lagi umum tentang fiqih Madzhab. Amin.
Metode yang saya kerjakan sangatlah sederhana,
yakni :
- Menterjemahkan kitab, dengan memberi tanda […] pada matan asli yakni kitab At Taqriib dan membiarkannya tanpa tanda […] untuk terjemah syarh/penjelasan.
- Memberi
catatan pada beberapa kalimat yang Alloh Ta’ala taqdirkan mudah bagiku.
Catatan ini terkadang berupa
a. Menyebutkan pengertian dan penjelasan ringkas.
b. Penyebutan dalil yang menjadi saksi bagi permasalahan atau pendapat tersebut.
c. Penetapan pendapat yang kuat pada suatu permasalahan, hal ini dilakukan ketika pendapat madzhab merupakan
pendapat lemah secara tinjuan dalil dan alasan.
Demikian pengantar ini saya sampaikan, semoga
pekerjaan ini menjadi amal sahalih bagi penulis, pensyarah, penerjemah dan
seluruh pembaca. Amin.
Sholawat dan salam bagi Rosululloh, keluarga,
sahabat dan seluruh manusia yang menempuh sunnah-nya. Aamiin.
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Syaikh Al Imam Al ‘Alim Al ‘Alamah
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim As Syafi’i -Semoga Alloh
melimpahkan rahmat dan keridlhoannya amin- berkata :
Seluruh pujian hanya hak Alloh, memulainya
dengan hamdalah karena berharap berkah, karena merupakan permulaan setiap
urusan yang penting, penutup setiap puji yang diijabah, dan akhir ungkapan
orang-orang mu’min di surga, kampung pahala. Aku memujiNya yang telah
memberikan taufiq kepada setiap yang Dia kehendaki dari kalangan para hambanya,
untuk tafaquh di dalam Agama sesuai dengan yang dikehendakiNya.
Aku bersholawat dan memohonkan keselamatan bagi makhluk termulia, Muhammad
penghulu para utusan, yang bersabda :
مَنْ يُرِدِ اللّهُ بهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki kebaikannya
maka Dia Ta’ala akan memahamkannya pada agama” (HR. Bukhori[71], Muslim[1037]),
demikian pula sholawat dan salam bagi seluruh pengikut dan sahabatnya, selama
ada orang-orang yang berdzikir dan adanya orang-orang yang lalai.
Kemudian, kitab ini sangatlah ringkas dan
runtut, kitab ini saya berinama At Taqrib, dengan harapan para pemula bisa
mengambil manfa’at dalam masalah cabang syari’at dan agama, dan supaya menjadi
media bagi kebahagiaanku pada hari pembalasan, serta bermanfa’at bagi para
hambanya dari orang-orang Islam. Sesungguhnya Dia maha Mendengar permintaan
hambanya, Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan, orang yang memaksudkanNya tidak
akan sia-sia “Jika hambaku bertanya kepada mu, maka sesungguhnya Aku sangatlah
Dekat”. (QS. Al Baqoroh : 186).
Ketahuilah!, dalam sebagian naskah kitab pada
muqoddimahnya terkadang penamaanya dengan AT TAQRIB dan terkadang pula dengan
GHOYATUL IKHTISHOR, oleh karena itu saya pun manamainya dengan dua nama,
pertama FATHUL QORIB AL MUJIB FI SYARHI ALFADZI AT TAQRIB, kedua AL QAUL AL
MUKHTAR FI SYARHI GHOYATIL IKHTISHOR.
***
As Syaikh Al Imam Abu Thoyyib, dan terkenal
pula dengan nama Abi Suja’ Syihabul millah wad dien Ahmad bin Al Husain bin
Ahmad Al Ashfahaniy –semoga Alloh memperbanyak curahan rahmat dan keridlhoan
kepadanya, dan menempatkannya di surga tertinggi– berkata:
[Bismillahirrohmaanirrohim] Aku memulai
tulisan ini Alloh merupakan nama bagi Dzat Yang Wajib Adanya ‘wajibul
wujud’ Ar Rohman lebih menyampaikan daripada Ar Rohim.
[Al Hamdu] merupakan pujian kepada Alloh
Ta’ala dengan keindahan/kebaikan disertai pengagungan. [Robbi] yaitu Yang Maha
Menguasai. [Al ‘Aalamin] dengan difatahkan, ia sebagimana pendapat Ibnu Malik :
Kata benda jamak yang khusus digunakan bagi yang berakal, bukan seluruhnya.
Kata tunggalnya ‘aalam dengan difathahkan huruf lam, ia merupakan nama
bagi selain Alloh Ta’ala dan jamaknya khusus bagi yang berakal.
[Dan sholawat Alloh] serta salam [atas pengulu
kita, Muhammad sang Nabi] ia dengan hamzah dan tidak dengan hamzah adalah
manusia yang diberikan wahyu kepadanya dengan syari’at yang dia beramal
dengannya walaupun tidak diperintahkan menyampaikannya, maka jika diperintahkan
menyampaikan maka dia Nabi dan Rosul. Maknanya curahkanlah sholawat dan salam kepadanya.
Muhammad adalah nama yang diambil dari isim maf’ul al mudlho’af al
‘ain. Dan Nabi merupakan badal dari nya atau ‘athof bayan.
[Dan] bagi [keluarganya yang suci], mereka sebagaimana diungkapkan As Syafi’i :
Keluarganya yang beriman dari Bani Hasyim dan Bani Al Mutholib, dikatakan
dan An Nawawi memilihnya : Mereka adalah seluruh orang muslim. Mudah-mudahan
perkataanya ath thohirin diambil dari firmanNya Ta’ala : “dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS. Al Ahzab : 33). [Dan] bagi [para
sahabatnya], ia jamak dari shohibun nabi . Dan perkataanya [seluruhnya]
merupakan takid ‘penegas’ dari shohabat.
Kemudian penulis menyebutkan bahwa dia menulis
ringkasan ini karena suatu permintaan, dalam perkataannya : [sebagian ‘al
asdhiqo’ sahabat-sahabtku memintaku], ia jamak dari shodiiq. Dan
perkataanya : [semoga Alloh Ta’ala menjaga mereka], ia merupakan kalimat du’a.
[supaya aku membuat suatu ringkasan], ia adalah sesuatu yang sedikit lafadznya
dan banyak maknanya [dalam fiqih], ia secara bahasa bermakna pemahaman, adapun
secara istilah adalah pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’iyah ‘amaliyah yang
diusahakan dari dalil-dailnya yang rinci. [Madzhab Al Imam] yang mulia,
mujtahid, penolong sunnah dan agama, Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al
Abbas bin Utsman bin Syafi’i. [Asy Syafi’i] dilahirkan di Gaza tahun 150 H dan
wafat [semoga kepadanya tercurah rahmat dan keridlhoanNya] hari Jum’at akhir
bulan Rajab tahun 204 H.
Penulis mensifati ringkasannya dengan ragam
sifat, diantaranya [pada puncak ringkasan dan akhir rangkuman] dan kata-kata al
ghoyah dan nihayah memiliki kedekatan makna, demikian pula al
ikhtisor dan al ijaz, diantara sifatnya pula [mendekatkan pemahaman
pada pelajar] kepada cabang fiqih [untuk mempelajarinya dan mempermudah para
pemula untuk menghafalnya] yakni menghadirkannya dari hafalan bagi orang-orang
yang berkeinginan menghafal ringkasan ilmu fiq. [Dan] sebagian sahabat meminta
pula supaya aku [memperbanyak didalamnya] yakni di dalam ringkasan tersebut
[pembagian-pembagian] ahkam fiqhiyyah [dan] dari [membatasi] yakni seksama
[dalam menentukan] yang wajib, mandzub dan selain keduanya. [Maka aku
berkeinginan mengabulkan pada] permintaannya karena [mengharap pahala] dari
Alloh Ta’ala atas usaha menulis ringkasan ini. [Harapan hanya kepada Alloh yang
maha suci lagi maha tinggi] di dalam bantuan –dari keutamaanNya– untuk
menuntaskan ringkasan ini, dan [harapan pula hanya kepada Alloh, untuk
mendafatkan taufiq pada kebenaran], ia merupakan lawan dari salah.
[SesungguhNya] Ta’ala [atas segala sesuatu yang dikehendakiNya yakni
diinginkannya [Maha Mampu] yakni Maha Sanggup [dan Dia kepada para hambanya
Maha Lembut lagi Maha Mengetahui] keadaan para hambanya. Yang pertama diambil
dari firmanNya Ta’ala “Alloh Maha Lembut kepada para hambanya” (QS. Asy
Syuro : 19), yang kedua diambil dari firmanNya Ta’ala “Dan Dia Maha
Bijaksana lgi Maha Mengetahui” (QS. Al An’am : 18), al lathif dan al
Khobir merupakan dua nama diantara nama-nama Alloh Ta’ala. Makna yang
pertama ‘al lathif’ yang mengetahui segala sesuatu secara detil dan
permasalahan-permasalahannya, ia kadang dimutlakan pula pada makna Maha lembut
kepada mereka, maka Alloh Maha Mengetahui tentang para hambanya dan
tempat-tempat kebutuhan/kehendak/keinginan mereka lagi Maha lembut kepada
mereka. Makna yang kedua memiliki kedekatan makna dengan yang pertama,
dikatakan : khobartu asysyaia akhbarohu fa anaa bihi khobiirun, yakni
mengetahui.
***
[1]
Syaikh merupakan masdar dari syaa-kho, dikatakan syaa-ko – yasyii-ku –
syaikhon, ia secara bahasa orang yang telah melewati usia empat puluh tahun.
Manusia selama berada di perut ibunya dinamakan janin, karena
tersembunyi dan terhalanginya, setelah dilahirkan disebut athiflu, dzuriyyah,
dan shobiy. Setelah baligh disebut syaab dan fataa.
Setelah usia tigapuluh tahun disebut kahul. Setelah empat puluh tahun
jika laki-laki disebut syaikh, dan bila perempuan disebut syaikhoh.
Adapun secara istilah adalah orang yang telah mencapai kedudukan oranr-orang
yang memiliki keutamaan, walaupun masih anak-anak. (Lihat Hasyiyah Baajuuriy
Qosim, Daaru Ihya al Kutub al ‘Arobiyyah, h. 3).
[2]
Secara bahasa al muttaba’ (yang diikuti), adapun secara istilah orang
yang sah untuk dijadikan contoh. (ibid).
[3]
Maknanya yang memiliki banyak ilmu. (ibid).
[4]
Beliau wafat pada tahun 918 H.
[5]
Qodiy Abu Suja lahir pada tahun 434 H (1041 M), dan wafat tahun 592 H (1197 M) semoga
Alloh merahmati dan meninggikan derajatnya, Amin
[6]
Penulis rohimahulloh memulai risalahnya dengan bismillah karena :
- Mengikuti kitab Alloh Ta’ala, ia merupakan ayat pertama dari surat al Fatihah, bagian dari surat an Naml dan merupakan ayat mustaqillah dari surat-surat yang lainnya; yakni sebagai pemisah diantara surat, kecuali antara surat al Anfal dan surat Al Baroah.
- Mengikuti sunnah Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, sebagimana dalam sahih al Bukhori hadits dari Abi Sufyan tentang surat baginda sholallohu ‘alaihi wa sallam kepada pemdesar negeri Romwai, demikian pula hadits Miswar tentang perjanjian Hudaibiyah.
- Mengikuti kebiasaan para Imam dalam menulis kitab dan risalah, demikian diungkapkan Ibnu Hajar Al Asqolaniy dalam Fathul Bari Syarh Sahih Al Bukhori[6].
Adapun hadits yang menyebutkan : “Setiap
urusan penting yang tidak diawali dengan bismillahirrohmanirrohim maka
terputus” dan yang semakna atau semisal dengannya maka haditsnya Dlhoif/lemah.
Diantara yang menghukuminya Al Hafidz Ibnu Hajar As Syafi’i, As Syakhowiy dan
yang lain-lainnya.
Hukum Membaca Bismillah.
Ia terbagi pada hukum yang lima :
Ia terbagi pada hukum yang lima :
- Sunnah dalam segala urusan yang memiliki nilai penting, kita tidak menyandarkannya pada hadits di atas, namun sebagai bentuk ikutan pada perbuatan Rosul dan kebiasaan para ulama; pewaris para nabi. Dan yang pertama menulis kalimat bismillahirrohmanirrohim secara lengkap pada permulaan risalah/surat nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
- Haram tatkala akan mengerjakan sesuatu yang haram secara dzatnya, seperti tatkala akan minum khomr/minuman memabukan, zina dan lain sebagainya. Bahkan dikhawatirkan riddahnya karena ada bentuk pelecehan pada kalimat bissmillah itu sendiri.
- Makruh tatkala akan mengerjakan yang makruh secara dzatnya, seperti tatkala mau merokok bagi yang berpendapat makruhnya. Atau tatkala akan melihat kemaluan istrinya menurut madzhab; namun pendapat ini lemah, akan datang penjelasannya pada Kitab Nikah insya Alloh.
- Wajib ketika sedang sholat, karena ia bagian dari surat al Fatihah.
- Mubah ketika akan mengerjakan sesuatu yang tidak memiliki nilai penting, seperti ketika akan memindahkan barang dan yang lain-lainnya.
Demikianlah diantara penjelasan yang
disampaikan sebagian para ulama, semoga Alloh merahmati yang telah meninggal
dunia, dan menjaga yang masih di hidup di alam fana.
[7]
Lafadz الله merupakan a’rofu lma’arif ‘alal ithlaq, yakni nama
yang paling diketahui disemua tempat dan waktu; sehingga ketika disebutkan nama
الله maka pikiran-pun mengerti tentang siapakah
Dia; Dia-lah Alloh Rabb semesta Alam; Pencipta, Pengatur Alam Semesta, Pemberi
Rizki; Serta Dia-lah yang berhaq di sembah. Dikatakan pula lafadz الله merupakan ismun ‘a-dzom, karena
ia merupakan nama yang paling banyak disebutkan di dalam al Qur’an, atau karena
setiap nama yang datang setelahnya merupakan sifat baginya.
[8]
Sebagaimana telah diketahui oleh para pencari ilmu, tatkala kita beriman kepada
Alloh maka kita menetapkan adanya Alloh Ta’ala, maka ketahuilah bahwa adanya
Alloh Ta’ala wajibul wujud li dzatihi, yakni tidak didahului dengan
ketiadaan dan tidak diakhiri dengan ketiadaan I. Dia Y merupakan wajibul
wujud lidzatihi [ini bab khobar], berbeda dengan makhluk, karena
adanya makhluk bukan-lah sesuatu yang wajib dan bukan pula sesuatu yang
terlarang; Karena, andaikan saja adanya makhluk itu merupakan sesuatu yang
wajib maka tidak akan didahului dengan ketiadaan, ketiadaan yang mendahului
adanya makhluk merupakan petunjuk bahwa keberadaannya itu bukanlah sesuatu yang
wajib, bahkan merupakan sesuatu yang jaiz (boleh), (dan) bukan pula
sesuatu yang terlarang; Karena Alloh telah menciptakan dan mengadakannya. Maka
sesuatu yang mumtani’ (terlarang) tidak dijadikan\diciptakan, maka ini
menunjukan bahwa adanya makhluk merupakan wujudun jaizun (adanya itu
merupakan sesuatu yang boleh), ketiadaan telah mendahuluinya, ketiadaan akan
menjumpainya, kelemahan dan kekurangan akan menyertainya.
[9]
Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berpendapat bahwa [الرحمن] menunjukkan atas sifat yang ada pada
Dzat U. Adapun [الرحيم] adalah
menunjukkan pada keterkaitannya dengan yang dirahmati; Oleh karenanya tidaklah
terdapat di dalam Al-Qur’an nama Ar-rohman dalam kedaan muta’adi;
Alloh U berfirman : (( وكان الله بالمؤمنين رحيما )) [Al Ahzab : 43]. Dan tidaklah dikatakan
“ رحمانا ”. Inilah sebaik-baik pendapat yang
dikatakan dalam masalah perbedaan antara keduanya.
[10]
( ال ) “Alif
dan lam” dalam kata الحمد adalah lil-istighroq. Selain
itu ada juga yang berpendapat bahwa ال tersebut liljinsi, maknanya :
Bahwa seluruh (jenis) pujian yang sempurna adalah bagi Alloh; Jika demikian,
maka mengandung konsekwensi tetapnya segala yang dipuji dari sifat-sifat yang
sempurna nan Maha Indah bagi Alloh U.
Dimanakah Alloh dipuji ?. Imam As Syanqhity rohimahulloh
ketika menafsirkan surat Al Fatihah berkata : “Dalam hamd (pujian) di
sini tidak disebutkan dzorof zaman atau pun dzorof makan.
Telah disebutkan dalam surat Ar Rum bahwa dzhorof makan-nya adalah
langit dan bumi : “Baginyalah pujian di langit dan di bumi”;
Disebutkan pula dalam surat Al Qhosos bahwa dzhorof-nya adalah dzhorof
zaman, yakni di dunia dan di akhirat, Dia U berfirman : “Dan Dia-lah
Alloh yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagi-Nya lah pujian di
dunia dan di akhirat.
Ragam pujian terkumpul dalam lima simpul :
- Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam kemandirian dalam rububiyahNya yang tiada sekutu baginya; dan terpuji pula dalam jejak-jejak rububiyahNya pada seluruh makhluknya.
- Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam uluhiyyahNya (hak-hak ketuhanan) dari seluruh makhlukNya; Dan Alloh-lah satu-satunya yang berhak untuk disembah, tanpa sekutu di dalamya.
- Alloh jalla wa ‘ala terpuji dikarenakan nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang tinggi.
- Alloh jalla wa ‘ala dipuji karena syari’at, perintah dan larangan-Nya.
- Alloh jalla wa ‘ala terpuji dalam ketentuan-ketentuan dan taqdir-Nya serta semua hal yang bejalan dalam sunnah kauniyahnya (hukum alam –pen).
Perbedaan Antara Hamdu dengan Madhu.
Al Hamdu mengabarkan kebaikan yang dipuji
dengan disertai kecintaan dan pengagungan. Sedangkan Al Madhu hanya
mengabarkan saja tanpa dibarengi dengan kecintaan dan pengagungan.
Perbedaan Antara hamad (pujian) dan tsana
(sanjungan). Sebagian
para ulama tidak membedakan antara hamd dengan tsana. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata : “Al-hamdu
adalah mensifati yang dipuji dengan kesempurnaan dibarengi dengan kecintaan dan
pengagungan, jika sifat kesempurnaan itu diulang maka menjadi tsana
(sanjungan).
[11]
(عالم) ‘aalam’, ia merupakan isim jenis,
ia bisa jadi mustaq dari ‘alamah atau dari kata ‘ilmu.
Keduanya merupakan makna yang bisa diterima, sebagimana diungkapkan oleh al
Baghowi rohimahulloh dalam kitab tafsirnya. Jika di ambil dari yang
pertama maka dikatakan : ‘Alam merupakan ‘alamah (tanda) adanya
Alloh Ta’ala. Jika di ambil dari yang kedua (‘ilmu) maka dikatakan :
Dengan adanya alam manusia menjadi tahu adanya Alloh subhanahu wa Ta’ala,
atau : «Alloh tidak menciptakan ‘alam kecuali dilandasi ilmu yang
sempurna». Kedua makna ini sahih/benar.
[12]
Bila dengan hamzah maka yang dimaksud (النبيء) maka ia diambil dari (النبأ) an-naba yang berarti al khobar ‘berita ;
Karena nabi dikabari dan mengabarkan, dikabari dari sisi Alloh dan mengabarkan
kepada makhluk. Bila tanpa hamzah maksudnya (النبي), ia diambil dari (النبوة) yang bermakna (الإرتفاع) al irtifa’, karena nabi memiliki
kedudukan yang tinggi. Jadi kedua makna ini bisa dipakai. Allohu ‘alam.
[13]
Yakni penegas dari kata Muhammad.
[14]
Setiap orang yang pernah berkumpul dengan nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam
dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan seperti itu, walaupun pernah
diselangi dengan riddah.
[15]
Perkataan penulis rohimahulloh : Sesungguhnya Dia (Alloh Ta’ala) atas
setiap yang dikehendakiNya Maha Mampu. Alangkah baiknya jika penulis
mengatakan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala
Sesuatu » karena bebrapa alasan :
- Perkataan : « Sesungguhnya Alloh Maha Mampu Atas Segala Sesuatu » merupakan kalimat yang Alloh sebutkan di dalam al Qur’an, misal lihat surat ath Tholaq : 21.
- Perkataan seperti ini merupakan perkataan yang terkenal dan dipopulerkan oleh kelompok yang menyimpang. Sedangkan kewajiban kita menyelisihi penyimpangan mereka.
- Perkataan seperti ini mengandung konsekwensi bathil, yaitu menetapkan bahwa Alloh hanya mampu mengerjakan yang Dia kehendaki, adapun yang tidak dikehendakiNya maka Alloh tidak mampu mengerjakannya. Padahal di dalam ayat Al Qur’an Alloh Ta’ala mengaitkan Maha Mampunya kepada sesuatu yang dikehendaki dan kepada yang tidak dikehendaki terjadinya, silahkan lihat surat Al An’am ayat 65). Perincian masalah ini silahkan merujuk pada penjelasan para ulama salaf dalam kitab-kitab aqidah.
Kitabu ahkami thoharoh
- Pengertian
1 Kitab menurut bahasa berarti
mengumpulkan
Sedangkan menurut istilah adalah kumpulan dari
beberapa hukum
2 Thoharoh berasal dari kata anadhofatu yang
berarti bersuci
Sedangkan menurut istilah artinya suatu
perbuatan yang menjadikan sah nya shalat seperti wudzu,mandi,tayamum,dan
menghilangkan najis.sedangkan tuharo dengan di baca dzumah to’nya berarti alat
untuk bersuci.
# Air
Air yang sah di gunakan untuk toharoh ada 7:
- Air langit(air yang turan dari langit/air hujan)
- Air laut(air asin)
- Air sungai (air tawar)
- Air mata air(air yang keluar dari bumi)
- Air salju/air es
- Air sumur
- Air embun
Ketujuh air itu di katakan air yang turun dari
langit dan keluar dari bumi dari beberapa sifat asal terciptanya air tersebut.
Kemudian air dibagi menjadi 4 bagian:
- Air suci mensucikan yaitu air yang belum isti’mal (belum digunakan sesuci wajib) atau air mutlaq
- Air suci mensucikan tetapi makruh digunakan di badan tidak di pakaian yaitu air yang dipanaskan menggumakan wadah yang tidak terbuat dari emas atau perak. Tetapi apabila sudah dingin maka hilanglah sifat kemakruhanya , menurut imam nawawi juga dimakruhkan menggunakan air yang sangat panas atau sangat dingin karna menjadikan tidak sempurnanya bersuci.
- Air suci tapi tidak mensucikan yaitu air musta’mal .air yang sudah digunakan untuk menghilangkan najis atau untuk bersuci.walaupun tidak berubah ukuran air tersebut .Seprti air mawar yang berbau.
- Air najis air yang sudah terkena najis air najis ada dua bagian :
- Air yang terkena najis wlapun tidak berubah yaitu air yang kurang dari dua kolah.
- Air yang lebih dari dua kolah tetapi berubah baik banyak maupun sedikit.
Dua kolah menurut ukuran baghdat yaitu 500
kathi, sedangkan menurut imam nawawi adalah 180 dirham .
menurut pengarang kitab ada air yang suci tapi
haram digunakan atau diminum yaitu air yang di ghosob.
(PASAL)
Suatu yang terkena najis dan suatu yang suci
dengan di sama’dan suatu yang tidak bisa suci
Kulit binatang bisa suci dangan cara di sama’
sama juga binatang yang dimakan daging nya atau tidak.
Tata cara menyamak menggunakan barang yang
bisa menghilangkan darah atau sejenisnya,dengan menggunakan suatu yang
sepet,seperti kayu trenggali walaupun yang digunakan itu najis seperti kotoran
merpati maka barang tersebut sudah dapat digunakan untuk menyama’.
Adapun tatacara menyamak yaitu:
- Menghilangkan sisa daging dan bau bacin sedangkan cara manghilangkan bau bacin tersebut dengan menghilangkan darah atau daging yang menempel di kulit.
- Memakai sesuatu yang mempunyai rasa kesat atau sepet.
- Kulit anjing dan kulit babi tidak bisa suci walaupun sudah di sama’
(PASAL)
Siwak
Siwak adalah sebagian dari sunah nya wudzu
adapun alat yang di gunakan antuk siwak adalah kayu iro’.
Hukum siwak adalah sunah di setiap
waktu, namun makruh bagi orang yang berpuasa baik fardzu atau sunah yaitu
setelah matahari tegak lurus hangga bergeser sedikit ke barat. Sifat makruh
tersebut bias hilang setelah matahari terbenam.
Siwak di sunah kan di dalam 4 perkara:
- Ketika bau mulut,dikarenakan diam dalam waktu yang lama (tidur),meninggalkan makan yang lama (puasa)dan meakan sesuatu yang berbau tidak enak seperti,bawang,bawang merah,petai dan lain-lain.
- Ketika bangun tidur
- Ketika akan mengerjakan shalat
- Ketika akan membaca al qur’an
Disunahkan dalam memegang siwa’ itu dengan
tangan kanan dan dalam memulai dari sisi kanan.
( PASAL)
Fardzunya wudzu
Fardzunya wudzu ada 6:
- Niat menurut syara’ artinya menyengaja melakukan sesuatu (azam) dan disertai melakukan sesuatu . niat dalam wudzu di lakukan saat membasuh muka yang paling awal.niat dilakukan karena untuk menghilangkan najis atau untuk berwudzu atau untuk mensucikan dari hadas
- Membasuh muka , batasnya mulai dari tumbuhnya rambut kepala hingga tulang rahang bawah.dan dari pentil telinga kanan hingga pentil telanga kiri.
- Membasuh tangan hingga kedua siku-siku ,apabila orang tidak mempunyai siku-siku maka orang tersebut mengira-ngira dalam membasuh tangan, seorang juga wajib menghilangkan sesuatu yang manghalangi meresapnya air kedalam kulit.
- Mengusap sebagian kepala .
- Membasuh kedua kaki hingga mata kaki,walupun orang yang berwudzu memakai kaos kaki (muzah) ,maka wajib membasuh dan mengusap jari-jari kaki.
- Tartib,ketika orang yang berwudzu lupa atau tidak tartib maka wudzunya tidak sah.
(PASAL)
Sunah nya wudzu
Sunah nya wudzu ada 10 perkara:
- Membaca basmalah,ketika seorang lupa membaca basmalah dan teringat di tengah-tengah wudzu dan membaca basmalah di tengah-tengah wudzu mak a masih mendapat sunahnya wudzu,tetepi apabila teringat ketika wudzu telah selesai dan membaca basmalah maka basmalah tidak di hitung.
- Membasuh telapak tangan hingga pergelangan tangan subelam berkumur sebanyak tiga kali.
- Berkumur setelah membasuh telapak tangan.
- Menghisap air ke hidung lalu di keluarkan.
- Mengusap seluruh kepala ,ketika orang yang memakai serban maka wajib di lepas.
- Mengusap bagian dalam dan luar telinga dengan menggunakan air adapun caranya yaitu jari-jari tangan di masukan ke daun telinga dan memutar jari tersebut,hingga lipatan-lipatan telinga.
- Membasuh sela-sela rambut janggut.
- Membasuh sela-sela jari-jari tangan.
- Membasuh sela-sela jari kaki.,adapun tatacaranya mengawali dengan meletakkan jari kelingking tangan yang kiri di bawah telapak kaki kiri dan sebalik nya.
- Mendahulukan anggota yang sebelah kanan.
Mushanef menambahkan sunah-sunahnya wudzu
yaitu:
- Membasuh anggota wudzu sebanyak 3 kali
- Terus menerus,apabila anggota satu sudah di basuh maka meneruskan basuhan selanjutnya anggota tersebut jangan sampai kering
(PASAL)
Istinja’ dan tatacara masuk wc
A Pengertian
Istinjak adalah membersihkan diri dari segala
kotoran yang keluar dari qubul dan dubur manusia yaitu air kecil dan air besar
dengan menggunakan air atau batu .
-
Di utamakan ketika beristinjak yaitu dengan menggunakan batu dan baru
menggunakan air sebanyak tiga kali siraman.
-
Dan diperbolehkan orang yang beristinjak meringkas air atau beberapa batu atau
disunahkan menigakalikan ketika beristinjak.
-
Orang yang beristinjak itu lebih utama menggunakan air dari pada menggunakan
batu karena air bias menghilangkan keadaan najis (warna,baud an rasa) sehingga
menjadi suci.
* Syarat beristinjak menggunakan
batu
v Barang atau najis yang keluar belum
kering
v Belum pindah dari tempatnya
v Tidak bersifat baru
“ Larangan-Larangn Dalam Membuang Hajat”
- Tidak boleh menghadap kiblat dan membelakang kiblat ketika buang hajad di tanah lapang
- Dan di perbolehkan ketika buang hajat di tempat yang sudah di sediakan (wc)
- Hukumnya sunah ketika menjauhkan diri dari buang hajat di air yang diam atau tenang
- Dan dimakruhkan buang hajat di tempat atau air yang sedikit
- Di larang duang hajat di bawah pohon yang berbuah
- Di larang buang hajat di jalan yang sering di lewati manusia
- Di larang buang hajat di tempat istirahat manusia
- Di larang buang hajat menghadap matahari dan di lubang dalam bumi (leng)
- Tidak boleh berbicara ketika buang hajat kecuali dzorurot seperti melihat ular dan ular tersebut mendekati .
Imam nawawi (kitab roudzoh)
- Dimakruhkan ketika buang hajat menghadap matahari dan rembulan
- Dalam kitab washit tidak di makruhkan
- Di kitab tahqiq dimakruhkan
(PASAL)
Perkara yang merusak wudzudi sebabkan oleh
hadas
Perkara yang membatalkan wudzu itu ada lima :
- Keluarnya sesuatu dari salah satu jalan dua (duburdan qubul) dari orang yang berwudzu dan hidup,yang biasanya seperti buang air kecil atau besar,atau sesuatu yang langka seperti darah’batu itu juga najis atau yang keluar itu barang yang suci seperti belatung ,kecuali mani yang keluar di sebabkan orang tang mimpidalam keadaan duduk
- Hilang akal disebabkan karena mabuk,sakit gila,ayan
- Tidur yang tidak menetapkan duduknya
- Bertemunya kulit laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ,meskipun itu sudah mati.Yang dimaksud adalah bertemunya kulit laki-laki dan perumpuan yang sudah baligh .Muhrim adalah seorang yang haram di nikah karena tunggal nasab,suson ataupun tunggal mertua. (tanpa menggunakan penghalang)
- Menyentuh farji anak adam menggunakan telapak tangan,dari diri sendiri atau orang lain ,laki-laki atau perempuan, besar atau kecil,hidup atau mati. Dan menyentuh kolongan dubur juga membatalkan wudzu .
(PASAL)
Perkara yang mewajibkan mandi
Perkara yang mewajibkan mandi ada 6:
- Bertemunya alat kelamin laki-laki dengan perempuan walaupun tidak mengeluarkan mani
- Mengeluarkan mani walaupun sedikit atau banyak ,dengan jima’ atau tidak jima’ ,dalam keadaan tidur atau sadar ,dengan syahwat atau tidak ,dari jalan yang di adatkan atau tidak.
- Mati kecuali mati sahid (matinya orang dalam menegakkan agama islam)
- Haid bagi wanita ,Haid adalah darah yang keluar dari farji wanita yang sudah berusia Sembilan tahun
- Nifas ,darah yang keluar sesudah melahirkan
- Melahirkan
(PASAL)
Fardzunya mandi
Fardzunya mandi itu ada 2:
- Niat, maka niatnya orang junub itu untuk menghilngkan hadas junub dan niatnya orang haid dan nifas itu untuk menghilangkan hadas haid atau nifas.niat dilakukan pada saat melakukan basuhan atau siraman yang pertama kali.jika orang yang mandi melakukan niat sesudah menyiram badan maka mandi nya harus di ulang .Sebelum kita mandi wajib,kita dianjurkan menghilangkan najis yang ada di badan kita (menurut imam rofi’i),sedangkan menurut imam nawawi tidak menghilangkan najis itu tidak apa apa
- Menyiram seluruh anggota badan (dari pucuk rambut sampai pucuk jari-jari kaki)dan jika orang memakai gelung maka wajib untuk melepas gelung tersebut .dan wajib untuk membasuh perkara atau bagian yang kelihatan seperti daun telinga ,hidung pesek,sela-sela badan iqud (kelamin laki-laki yang belum sunat) farjinya perempuan yang kelihatan ketika jongkok.
(PASAL)
Mandi sunah
Mandi yang di sunahkan ada 14 :
- Mandi jum’at (mandi yang di lakukan karena akan melakukan salat jum’at ) adapun waktunya untuk melakukan mandi adalah mulai dari terbit fajar sodiq sampai akan salat jum’at
- Mandi hari raya idul fitri dan idul adha ,waktunya dari tengah malam idul fitri atau idul adha hingga akan salat hari raya
- Mandi saat gerhana matahari dan gerhana bulan
- Mandi karena kita memandikan mayit islam atau kafir
- Mandi orang yang baru masuk islam
- Mandi bagi orang yang akan ihram .dan ketika akan ihram tidak ada air maka sebagai penggantanya adalah tayamum,hokum tersebut diperbolehkan
- Mandi ketika akan masuk ke kota makkah untuk ihram dalam ibadah haji atau umroh.
- Mandi ketika akan wuquf di arafah pada tanggal 9 dzulhijah
- Mandi karena menginap di muzdalifah
- Mandi ketika akan melampar jumroh pada hari tasrik (11,12,13 dzulhijah)
- Mandi ketika akan melempar jumrah aqobah pada hari qurban (yaumul nahr)
- Mandi ketika akan wuquf
- Mandi akan towaf (ifadzah,wada’,qudum)
- Mandi saat terbitnya matahari
(PASAL)
tayamum
Menurut bahasa tayamum artinya menyengaja,sedangkan menurut istilah artinya
mengusap wajah dan dua telapak tangan dengan menggunakan debu yang suci dan
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan,sebagai gantinya wudzu atau mandi.
Starat-syarat tayamum :
- Adanya udzur yang di sebabkan bepergian atau sakit
- Dalam melakukan tayamum harus sudah masuk waktu salat sehingga jika tayamum dilakukan sebelum masuk waktu salat maka salatnya tidak sah
- Adanya udzur menggunakan air,dikarenakan khawatir jika menggunakan air pada saat bepergian atau hawatir jika ada hewan buas ,musuh atau terhadap hartanya dari pencuri
- Harus menggunakan debu yang suci dan mensucikan kecuali debu yang basah ,debu diperoleh dari ghosob ,debu kuburan,debu yang dicampur dengan barang yang suci seperti debu yang di campur dengan tepung,pasir,kapurpecahan genting,kerikil dan juga tidak boleh menggunakan debu yang sudah musta’mal
Fardzunya tayamum ada 4:
- Niat,dilakukan pada saat mengusap wajah dan diucapkan di dalam hati
- Mengusap wajah
- Mengusap kedua tangan sampai siku-siku
- Tartib(urut-urut) apabila tidak tertib maka tayamumnya tidak sah.
Sunah tayamum:
- Membaca basmallah
- Mendahulukan anggota yang kanan dan mengahirkan anggota yang kiri
- Mendahulukan bagian wajah yang atas
- Mualah (urut/tartib)
Perkara yang membatalkan tayamum:
- Semua Perkara yang membatalkan wudzu juga membatalkan tayamum
- Melihat atau menemukan air sebelum salat ,apabila melihat air sebelum tekbirotul ikhram maka tayamumnya sah dan salatnya boleh di lanjukkan
- Murtad (keluar dari islam)
- Apabila orang yang tayamum pakai perban ,maka perban tersebut harus dilepas ,dan bila membahayakana untuk melepas perban maka cukup mengusap perban tersebut
Tayamum hanya di lakukan untuk melakukan satu
kali salat fardzu,antara thawaf satu dengan yang lain,antara salat jum’at dan
dua khotbah jum’at
(PASAL)
Macam-macam najis dan cara menghilangkanya
Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikan ,sedangkan menurut istilah
adalah sesuatu yang haram seperti
- Perkara yang berwujud cair(darah muntah muntahan dan nanah),setiap perkara yang keluar dari dubur dan qubul kecuali mani
- Bangkai dan semua bagian kulit,rambut,serta tulangnya kecuali bangkai manusia,ikan dan belalang
- Bagian dari hawan yang hidup yang terpisah kecuali yang asal dari manusia ,ikan dan belalang
Membasuh air kencing dan kotoran itu hukumnya
wajib kecuali air kencing bayi laki-laki yang yang belum makan dan belum minum
kecuali air asi,dan belum makan sesuatu yang menambah kekuatan.
Air kencing bayi laki-laki dapat di hilangkan
dengan cara menyiram air ke badan yang terkena najis tersebut,tetapi lain
halnya dengan bayi perempuan karena termasuk najis mukhafafah.
Darah atau nanah yang mengenai pakaian atau
badan tetapi hanya sedikit tetap sah untuk salat.
Hewan yang tidak mempunyai darah yang menalir
di dalam tubuhnya seperti lalat yag mati tercebur ke dalam air maka air tersebut
tidak najis ,akan tetapi apabila bangkai lalat itu banyak dan hingga dapat
merubah warna air maka air tersebut akan menjadi najis,dan apabila air muncul
hewan seperti uget-uget maka air tersebut tidak najis
Semua hewan itu pada dasarnya itu suci kecuali
anjing dan babidan segala sesuatu yang di keliarkan anjing dan babi itu
hukumnya najis mughaladhah
Semua mayat itu najis kecuali mayat
manusia,iakn,dan belalang,ketiga mayat itu suci .
Sedangkan cara menghilangkan najis karena di
jilat anjing atau babi yaitu membasuh dengan air yang suci 7 kali dan salah
satu dari 7 tersebut menggunakan debu yang suci.
Dan apabila dibasuh dengan menggunakan air
yang mengalir dan keruh ,maka sudah mencukupi dan tidak perlu menggunakan debu
lagi,lebih utama membasuh tiga kali pada terahir ,setelah di basuh 7 kali
dengan di campur debu .
Perkara yang najis bias menjadi suci yaitu
dengan cara mendiamkan sesuatu hingga berubah wujud nya (membusuk)seperti arak
ketika menjadi cukak dengan sendirinya tanpa diberi sesuatu di dalam arak
tersebut ,dan ketika arak tersebut sudah menjadi suci maka wadah arak tersebut
ikut menjadi suci.
(PASAL)
Mengusap kaos kaki(muzah)
Mengusap kaos kaki (muzah) di dalam wudzu itu hukumnya boleh,tetapi di dalam
mandi ferdzu atau sunah hukumnya tidak di perbolehkan serta di dalam
menghilangkan najis juga tidak diperbolehkan apabila seorang edang junub atau
kakinya terluka apbila orang tersebut berharap atau mengharap untuk di usap
sebagai gantinya membasuh kaki ,maka hukumnya tidak boleh akan tetapi di
wajibkan membasuh kakinya ,mengusap dua muzah itu hukumnya
diperbolehkan ,tetapi jika hanya satu muzah yang di usap itu tidak di
perbolehkan kecuali orang yang tidak mempunyai kaki (cacat)
Syarat membasuh dua muzah:
- Seorang yang memakai muzah harus dalam keaadaan suci,jika orang yang memakai muzah dalam keadaan hadas dan berhadas sebelum telapak kaki menyentuh muzah maka jika mengusap muzah hukumnya tidak sah .
- Muzah harus dapat menutupi talapak kaki dan mata kaki dan jika muzah kurang (tidak mencukupi)hingga mata kaki maka hukumnya tidak boleh untuk mengusap muzah.
- Muzah harus di pakai orang yang dalam bepergian atau buru-buru atas kebutuhanya seperti istirahat dalam bepergian.
- Muzah harus dapat menahan air atau tidak menyerap air
- Muzah yang di pakai harus suci.
Adapun orang yang boleh mengusap muzah dua
adalah
- Orang yang bertempet tinggal dan waktunya satu hari
- Orang yang dalam perjalanan dan waktunya tiga hari berturut-turut
Adapun hitungan waktu tersebut adalah dari
orang itu hadas dan hadasnya berahir setelah memakai muzah.
Sedangkan orang yang dalam perjalanan tetapi
untuk tujuan maksiat,itu boleh mengusap kaso kaki/muzah sperti halnya orang
yang mukim / brtenpat tinggal.
Adapun orang yang tetap atau langgeng
hadastnyasetelah memakai kaoskaki dan sebelum solat. Orang tersebut hadast maka
ketika berwudhu boleh untuk mengusap muzah.
Apabila seorang masih di dalam rumah &
mengusap muzah kemudian orang itu pergi/ orang yang mengusap tersebut dalam
perjalanan, kemudian bertampat tinggal / mukim belum ada satu hari satu malam,
maka orang tersebut harus menyempurnakan usapan tadi seperti halnya orang yang
mukim.
Perkara yang wajib di usap ketika mengusap
muzah yaitu mengusap luarnya kaos& usapan tersebut mencukupi hingga
dalamnya tetapi tidak pada tumitnya kaos bagian samping kaos / bawahnya kaos.
Sunahnya mengusapkaoskaki ketika berwudhu
yaitu melebarkan jari-jari kaki
Mengusap muzah bias menjadi batal ketika
- Orang yang mengusap tersebut melepas muzah
- Orang yang mengusap tersebut melepas muzah karena sobek.
- Orang yang mengusap junub/haid/nifas
- Darah haid
Darah yang kelar pada masa haid. Yaitu anak
yang berumur 9 tahun atau lebih dan anak yang mengeluarkan darah haid dalam
keadaan sehat tidak karena penyakit & tidak di sebabkan melahirkan
Adapun warnanya darah haid yaitu sangat merah
sehingga menjadi hitam dan panas yang sangat menyakitkan.
- Darah nifas
Darah yang dikeluarkan wanita stelah
melahirkan , adapun darah yang keluar bersama lahirnya anak atau sebelum
lahirnya anak tersebut tidak bias tersebut tidak bias dikatakan darah nifas.
- Darah istikhadhoh
Darah yang dikeluarkan alat kelamin wanita di
luar waktu haid dan nifas dan orang yang mengeluarkan darah istihadhoh dalam
keadaan tidak sehat(sakit).
- Waktunya darah haid , nifas ,istihadhoh.
- Darah haid
Darah haid keluar sedikitnya satu hari satu
malam (24 jam)tanpa berhenti darah haid keluarpaling lama 15 hari 15 malam
dalam syarat keluarnya darah dalam 15 hari tersebut di hitung dan dijumlah
kalau sudah ada 24 jam maka dikatakan dara haid. Dan jika beluma da 24
jam maka dikatakan darahistihadhoh pada umumnya darah haid keluar 6a hari
atau 7 hari
- Darah nifas
Darah nifas paling sedikit keluar satu
kecrotan dan paling lam 60 hari pada umumnya darah nifas keluar 40 hari
- Waktunya suci
Sedikitnya waktu suci antara dua haid itu 15
hari dan tidak ada batasnya untuk lamanya suci. Biasanya jika haidnya 6 hari
mak sucinya 24 hari dan kalau haidnya 7 hari maka sucinya 23 hari. Adapun
sedikitnya umur wanita yang haid adalah 9 tahun.
Adapun sedikitnya wanita hamil adalah 6 bulan
dua hari dan lamanya hamil adalah 4 tahun dan pada umumnya 9 bulan
Bebrapa perkara bagi seorang yang haid dan
nifas
- Haram membaca al qur’an
- Haram menyentuh dan membawa al qur’an
- Haram masuk masjid
- Haram towaf baik wajib ataupun sunah
- Haram bersetubuh
- Haram dinikmati barang antara lutut dan pusar
- Haram menjalankan solat baik wajib atau sunnah
- Haram berpuasa baik wajib ataupun sunnah.
Perkara yang diharamkan bagi orang yang junub
- Haram menjalankan solat wajib atau sunah
- Haram membaca al qur’an
- Haram menyantuh dan membawa al qur’an
- Haram towaf wajib atau sunnah
- Haram masuk dalam masjid
Perkara yang diharamkan bagi orang yang
berhadast
- Haram solat baik wajib atau sunnah
- Haram towaf baik wajib atau sunnah
- Haram membawa atau menyentuh al qur’an
Kitabu ahkamis solat
A pengertian
Salat menurut bahasa artinya adalah doa
,sedangkan menurut istilah artinya adalah ucapan dan gerakan yang diawali
takbirotul ikhrom dan diahiri dangan salam dengan syarat-syarat yang telah di
tentukan .
Salat yang di wajibkan itu ada 5 waktu
- Salat dzuhur.(dinamakan dzuhur karena matahari jelas di tengah-tengah langit ). Mulainya waktu dzuhur adalah dari condongnya matahari dari tengah-tengah langit dan bayangan sebuah benda berada di timur.sedangkan akhirnya waktu dzuhur adalah apbila ada barang yang bayangan barang tersebut sama panjangnya dengan barang yang asli ,bayangan secara bahasa berarti penghalang
- Ashar(mendekati terbenamnya mata hari).salat ashar mempunyai 5 waktu
- waktu utama (awal waktu ashar)
- waktu yang di perboleh (mendekati waktu terbenamnya matahri)
- waktu memilih
- waktu boleh tanpa dimakruhkan
- waktu haram
- maghrib (waktu dari terbenamnya matahari) dari terbenamnya matahari smpai hilangnya awan berwarna merah.
- Isha’ ( dimulai dari terbenamnya awan merah sampai terbitnya fajar shodiq) waktu sholat isha’ ada dua
- Waktu ihtiyar : dari waktu isha’ sampai 1/3 malam
- Waktu yang diperbolehkan: dari 1/3 malam sampai terbitnya fajar shodiq
- Shubuh (dimulai dari awalnya hari)
Shubuh mempunyai seperti hanya sholat asyar
i. Waktu fadhilah : awal waktu shubuh
- Waktu permilih : dari waktu shubuh sampai ada terang
- Waktu boleh dengan dimakruhkan sampai terbitnya matahari
- Waktu boleh dengan tidak dimakruhkan: sampai adanya kemerah-merahan
- Waktu haram
(PASAL)
Syarat wajib salat
Syarat wajib salat
ada tiga:
- Islam
Orang yang beragama non islam tidak wajib
menjalankan salat seperti orang kafir ,dan apabila orang kafir masuk islam maka
ia wajib salat tetapi tidak wajib mengqodzo salat .dan bagi orang murtad wajib
salat dan mengqodzo salat jika masuk islam lagi.
- Baligh
Seorang yang belum baligh atau anak-anak tidak
wajib untuk salat tetapi kalau umurnya sudah mencapai 7 tahun anak itu harus
sudah di suruh untuk menjalankan salat .dan jika anak sudah berusia 10 tahun
kalau meninggalkan salat boleh di pukul
- Orang yang berakal
Orang yang tidak mempunyai akal tidak wajib
menjalankan salat seperti orang gila ,ayan dan lain-lain.
Macam-macam salat sunah:
- Salat id(idul adha dan idul fitri)
- Salat gerhana(matahari dan rembulan)
- Salat istisqoq
- Salat rowatib(ada 17 rokaat)
-2 rokaat salat fajar
-4 rokaat sebelum dzuhur
-2 rokaat sesudah dzuhur
-4 rokaat sebelum ashar
-2 rokaat sebelum maghrib
-3 rokaat sebelum isha’
e. salat witir
Banyaknya rokaat salat witir ada 11 rokaat
dan
waktunya yaitu setelah salat asha’ sampai sebelum fajar
(PASAL)
Syarat –syarat salat
Syarat-syrat sebelum melakukan salat ada 5 :
Syarat adalah sesuatu yang harus di penuhi
sebelum melakukan sesuatu .
Sarat salat:
- Suci dari hadas baik besar atau kecil dan suci dari beberapa najis ,yang tidak diampuni baik di badan,pakaian maupun tempat
- Menutup aurot apabila mampu ,dan apabila ada seorang yang sendiri dan di dalam kegelapan jika salatnya itu telanjang bulat dan tidak umak-umik dalam rukuk dan sujut maka salatnya tidak perlu di ulang ,pakaian untuk menutupi aurot harus suci ,adapun aurot orang laki-laki adalah antara pusar dan lutut,dan aurot perempuan amat(budak)sama dengan aurot orng laki-laki ,sedangkan aurot perempuan yang merdeka adalah semua badan kecuali wajah dan telapak tangan.semua itu aurot di dalam salat ,adapun aurot perempuan yang merdeka diluar salat adalah semua badan dan jika dalam keadaan sendiri sama seperti aurot orang laki-laki .aurot menurut bahasa artinya kurang ,sedangkan menurut istilah artinya sesuatu yang harus di tutupi dan haram apabila di lihat meskipun itu milik sendiri.
- Harus berada dalam tempat yang suci
- Mengetahui masuknya waktu salat
Apabila salat dilakukan tanpa mengetahui
waktunya maka salatnya tidak sah .
- Menghadap qibkat(ka’bah)
Orang menghadap itu bukan karena mulyanya
ka’bah .yang haru dihadapkan ke ka’bah adalah dadanya orang yang salat.
Seorang boleh salat dengan tidak menghadap
qiblat apabila menalami hal-hal seperti ini:
- Apabila dalam keadaan takut did alam peperang an baik salat fardzu ataupun sunah.
- Dalam keadaan bepergian yang diperbolehkan tidak untuk maksiat dan berada di kendaraan.
(PASAL)
Rukun salat
Rukun salat ada 17:
1. Niat.
Yaitu hendak ingin melakukan suatu pekerjaan
sambil dibarengi dengan waktu melakukan suatu pekerjaan itu. Sedangkan
tempatnya niat itu dalam hati. Maka, bila niat sholat itu sholat fardhu,
wajiblah berniat hendak berniat melakukan fardhunya sholat tersebut. Dan wajib
pula bersengaja melakukannya dengan tegas lagi gamblang yaitu subuh atau dhuhur
misalnya.
Contoh : saya niat sholat fardhu subuh 2
rakaat karena allah ( dilafadzkan dalam hati bersamaan dengan takbirotul ihrom
).
Atau sholatnya itu berupa sholt sunnah yang
mempunyai waktu – waktu tertentu seperti sholat sunnah rowatib atau sholat yang
mempunnyai sebab ( dikerjakan karena ada sesuatu), seperti sholat istisqo’ ,
maka wajib bersengaja melakukan dengan tegas dan jelas.
Contoh : saya niat sholat sunnah
istisqo’ karena allah ( dilafadzkan dalam hati bersamaan dengan takbirotul
ihrom ).
2. Berdiri pada waktu yang
memungkinkannya untuk dapat melakukannya.
Maka jika seseorang tidak mampu berdiri, ia
diperkenankan untuk sholat dalam keadaan duduk sesuka hatinya, sedangkan duduk
yang lebih utama adalah duduk iftirosy bagi orang yang sholat duduk.
3. Takbiratul ihrom.
Maka, bagi orang yang mampu mengucapkan
kalimat takbir, adalah wajib baginya untuk mengucapkan : “Allahu
akbar”.
Dan tidak sah hukumya dalam selain kalimah
diatas ( misal subhanallah, alhamdulillah, dst).
Dan wajib pula hukumnya sewaktu bertakbir
bersama – sama niat melakukan sholat. Adapun imam Nawawi rahimahullah cenderung
menganggap cukup tentang masalah penyertaan niat dalam sewaktu bertakbir dengan
cara yang lazim dibenarkanan oleh kebanyakan orang.
4. Membaca Alfatihah.
Serta membaca basmalah yang mana ( menurut
pandangan imam syafi’i rahimahullah )adalah bagian dari fatihah. Barang siapa
menggugurkan satu tasydid atau satu huruf dari bacaan fatihah, atau mengganti
satu huruf dari bacaan fatihah dengan huruf yang lain dengan kesengajaan,
maka bacaanya tidaak dianggap sah, dan sholatnya juga tidak sah. Namun jika
tidak sengaja, maka hukumnya wajib mengulang kembali bacaan fatihahnya. Barang
siapa yang tidak mampu membaca fatihah ( dikarenakan baru masuk islam ), maka
ia boleh membaca dzikir sebagai ganti dari bacaan fatihahnya, sekiranya
dzikirnya itu tidak berkurang dari jumlah huruf – huruf dari surah alfatihah.
Maka jika masih tidak mampu juga, maka hendaklah ia baca surah alfatihah
semampunya saja. ( jika hanya mampu baca basmalah, maka cukup baginya, dengan
catatan harus cepat belajar fatihah ).
5. Ruku’.
Sedikit – dikitnya membungkuk dengan
menyentuhkan ke – 2 telapak tangannya ke lututnya. ( Adapun yang paling afdhol
adalah membentuk sudut 90o dan meluruskan tulang belakang dengan
lehernya )
Maka, jika seseorang itu tidak mampu
membungkukkan badannya seperti cara diatas, maka cukuplah baginya dengan
membungkuk semampu dirinya.
6. Thuma’ninah dalam ruku’.
Yaitu berhenti dengan menenangkan diri,
sewaktu dalam keadaan ruku’. Mushannif ( pengarang kitab ) menjadikan
tuma’ninah sebagai rukun tersendiri dalam deretan rukun – rukun sholat. Hal ini
sejalan dengan pendapat imam Nawawi sebagaimana tersebut dalam kitab at –
tahqiq. Sedangkan selain mushannif menjadikannya sebagai suatu sifat yang
mengikuti pada sederet beberapa rukun sholat. Adapun paling sedikitnya lama
tuma’ninah itu adalah sekiranya membaca “ subhanallah “ dengan sangat pelan.
7. Bangun dari ruku’ ( I’tidal ).
Sebagaimana keadaan semula sebelum ruku’.
Yaitu berdirinya bagi orang yang tidak mampu berdiri dan duduknya orang yang
tidak mampu berdiri.
8. Tuma’ninah dalam
i’tidal.
9. Sujud sebanyak 2 kali setiap rakaat.
Paling sedikit batasan sujud itu adalah
menyentuhnya bagian kulit keningnya orang yang melakukan sholat pada tempat
sujudnya ( tanpa ada penghalang kopiah atau mukenah ).
Dan yang paling sempurna dari sujud itu adalah
bertakbir untuk melakukan sujud, hal itu dilakukan tanpa mengangkat ke – 2
tangannya dan meletakkan ke – 2 lututnya dahulu kemudian ke – 2 tangannya,
kemudian kening dan hidungnya.
10. Tuma’ninah sewaktu dalam keadaan
sujud.
Dan tidak dianggap sempurna yaitu sekedar
menyentuhkan kepalanya pada tempat sujud. tapi harus ditekan, yakni sekiranya
apabila dibawah keningnya itu ada kapas, maka kapas itu terdapat tanda – tanda
tindihan ( pipih ) dan begitu juga dengan ke – 2 tangannya. (bila umpamanya ada
kapas juga di bawah telapaknya).
11. Duduk diantara 2 sujud
pada tiap – tiap rakaat, baik sholat dalam
keadaan berdiri atau duduk atau berbaring.
Barang siapa yang saking cepatnya duduknya,
hingga posisi duduknya tidak tegak, namun mendekati sujudnya ( sehingga
berkesan seperti tidak duduk ), maka tidak dianggap sah duduknya, sehingga
sholatnya pun dianggap tidak sah.
12. Tuma’ninah dalam duduk diantara 2
sujud.
13. Duduk yang terakhir ( tawarruk ).
14. Membaca doa tahiyyat akhir dalam
duduk terakhir.
Paling sedikitnya do’a tahiyyat adalah : “ ATTAHIYYATUL
MUBARAKATUS SHOLAWATUTH THOYYIBATU LILLAH, ASSALAMUA ALAIKA AYYUHANNABIYYU
WARAHMATULLAHI WABARAKATUH, ASSLALAMU’ALAINA WA’ALA IBADILLAHIS SHOLIHIN,
ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSULULLAH “ (
kehormatan , keberkahan, kesejahteraan dan kebaikan hanya bagi allah, semoga
salam sejahtera melimpah padamu wahai nabi dan rahmat Allah beserta
keberkahan-Nya. Semoga selamatlah kami dan sekalian hamba Allah yang shalih.
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah.dan aku bersaksi bahwa nabi
muhammad adalah utusan Allah ).
15. Membaca sholawat atas nabi
Muhammad S.A.W sewaktu dalam duduk terakhir.
Paling sedikitnya adalah : “ ALLAHUMMA
SHALLI ALA SAYYIDINA MUHAMMAD “. Sedangkan membaca sholawat atas
keluarga nabi muhammad dan nabi ibrohim adalah sunnah.
16. Mengucapkan salam yang pertama
dalam duduk terakhir.
Paling sedikitnya adalah : “ ASSALMU’ALAYKUM “
sebanyak 1 kali. Adapun yang paling sempurna adalah : “ ASSALU’ALAYKUM
WARAHMATULLAHI WABARAKATUH “ sebanyak 2 kali, saat berpaling ke kanan dan ke
kiri.
17. Tartib ( berurutan ) sewaktu
mengerjakan rukun – rukun sholat.
Maka tidak sah sholatnya orang yang
tidak urut dalam pengerjaan rukun – rukun sholat yang tersebut diatas. ( والله اعلم بالصواب )
(PASAL)
Perbedaan pria dan wanita di dalam salat
PRIA.
Mengangkat siku dan merenggang, jauh dari lambungnya, perut diangkat, juga merenggang jauh dari paha sewaktu ruku’ ketika sujud, serta bersuara keras pada tempatnya (pada shalat jahr). Jika terjadi sesuatu kekeliruan imam dalam shalat, maka bertashbih dengan mengucapkan سبحان الله dengan maksud dzikir, atau dengan maksud pemberitahuan (kepada Imam). Maka hal ini tidak membatalkan shalat, berbeda jika memang bermaksud memberitahu saja, maka batal shalatnya.
Mengangkat siku dan merenggang, jauh dari lambungnya, perut diangkat, juga merenggang jauh dari paha sewaktu ruku’ ketika sujud, serta bersuara keras pada tempatnya (pada shalat jahr). Jika terjadi sesuatu kekeliruan imam dalam shalat, maka bertashbih dengan mengucapkan سبحان الله dengan maksud dzikir, atau dengan maksud pemberitahuan (kepada Imam). Maka hal ini tidak membatalkan shalat, berbeda jika memang bermaksud memberitahu saja, maka batal shalatnya.
Aurat pria (batasannya dalam shalat) mulai
dari anggota tubuh diantara pusar sampai lutut, tapi bukan berarti pusar dan
lutut itu aurat, dan tidak pula anggota tubuh di luar batasan tersebut.
WANITA
Wanita berbeda dengan pria dalam 5 perkara, yaitu :
Bahwasanya wanita itu menghimpitkan setengah anggota tubuh pada anggota lain, baik ketika ruku’ maupun sujud, yakni perut berhimpit dengan pahanya.
Wanita berbeda dengan pria dalam 5 perkara, yaitu :
Bahwasanya wanita itu menghimpitkan setengah anggota tubuh pada anggota lain, baik ketika ruku’ maupun sujud, yakni perut berhimpit dengan pahanya.
Suaranya dipelankan, sewaktu melakukan shalat
di sebelahnya banyak pria lain (bukan suami/bukan mahramnya), berbeda jika
shalat munfarid yang jauh dari mereka (kaum pria), maka boleh jahr/bersuara
keras.
Sewaktu shalat berjamaah, terjadi sesuatu
kekeliauran pada Imam, maka wanita mengingatkannya dengan bertepuk tangan,
yakni perut telapak tangan kanan (bagian dalam telapak tangan kanan) memukul
punggung (bagian luar telapak tangan kiri).
Jika melenceng dari ketentuan tersebut, maka batal shalatnya, misalnya bertepuk tangan dengan perut kedua telapak tangannya dengan maksud main-main (bergurau) walaupun pelan, padahal ia telah mengetahui bahwa tindakan tersebut terlarang, maka batal shalatnya. Dan ketentuan pada wanita berlaku pula pada banci ( الخنثى ).
Jika melenceng dari ketentuan tersebut, maka batal shalatnya, misalnya bertepuk tangan dengan perut kedua telapak tangannya dengan maksud main-main (bergurau) walaupun pelan, padahal ia telah mengetahui bahwa tindakan tersebut terlarang, maka batal shalatnya. Dan ketentuan pada wanita berlaku pula pada banci ( الخنثى ).
Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat yang
wajib ditutupi selain wajah dan telapak tangan, apabila mengerjakan shalat,
bahkan seluruh tubuhnya adalah aurat di luar shalat (kepada selain mahramnya).
Berbeda dengan wanita budak ( امة ), maka auratnya sama dengan pria, yaitu anggota tubuh diantara
pusar sampai lutut.
Sekilas mengenai, Syekh Syamsuddin Abu
Abdillah, Muhammad bin Qosim.
Beliau adalah الامام العالم العلامة شمس الدين أبو عبد الله محمد بن قاسم الشافعى
Seorang Syekh (guru besar) yang ’alim, luas lagi mendalam ilmu yang diberikan oleh Allah kepada beliau. Beliau terkenal dengan sebutan Syamsuddin.
Beliau diangkat oleh para ulama dan kaum muslimin semasa hidup beliau, sebagai Imamul Muslimin oleh para ulama sepeninggalnya. Beliau tetap Imam Mujtahid yang berorisntasi pada Imam Mujtahid Mutlak, Imam Syafi’i.
Beliau adalah الامام العالم العلامة شمس الدين أبو عبد الله محمد بن قاسم الشافعى
Seorang Syekh (guru besar) yang ’alim, luas lagi mendalam ilmu yang diberikan oleh Allah kepada beliau. Beliau terkenal dengan sebutan Syamsuddin.
Beliau diangkat oleh para ulama dan kaum muslimin semasa hidup beliau, sebagai Imamul Muslimin oleh para ulama sepeninggalnya. Beliau tetap Imam Mujtahid yang berorisntasi pada Imam Mujtahid Mutlak, Imam Syafi’i.
PASAL
Perkara yang membatalkan salat
Perkara yang membatalkan shalat ada empat
belas, yaitu:
1. Berhadats (seperti kencing dan buang air besar).
2. Terkena najis, jika tidak dihilangkan seketika, tanpa dipegang atau diangkat (dengan tangan atau selainnya).
3. Terbuka aurat, jika tidak dihilangkan seketikas.
4. Mengucapkan dua huruf atau satu huruf yang dapat difaham.
5. Mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa dengn sengaja.
6. Makan yang banyak sekalipun lupa.
7. Bergerak dengan tiga gerakan berturut-turut sekalipun lupa.
8. Melompat yang luas.
9. Memukul yang keras.
10. Menambah rukun fi’li dengan sengaja.
11. Mendahului imam dengan dua rukun fi’li dengan sengaja.
12. Terlambat denga dua rukun fi’li tanpa udzur.
13. Niat yang membatalkan shalat.
14. Mensyaratkan berhenti shalat dengan sesuatu dan ragu dalam memberhentikannya.
1. Berhadats (seperti kencing dan buang air besar).
2. Terkena najis, jika tidak dihilangkan seketika, tanpa dipegang atau diangkat (dengan tangan atau selainnya).
3. Terbuka aurat, jika tidak dihilangkan seketikas.
4. Mengucapkan dua huruf atau satu huruf yang dapat difaham.
5. Mengerjakan sesuatu yang membatalkan puasa dengn sengaja.
6. Makan yang banyak sekalipun lupa.
7. Bergerak dengan tiga gerakan berturut-turut sekalipun lupa.
8. Melompat yang luas.
9. Memukul yang keras.
10. Menambah rukun fi’li dengan sengaja.
11. Mendahului imam dengan dua rukun fi’li dengan sengaja.
12. Terlambat denga dua rukun fi’li tanpa udzur.
13. Niat yang membatalkan shalat.
14. Mensyaratkan berhenti shalat dengan sesuatu dan ragu dalam memberhentikannya.
PASAL
Hukum beberapa perkara yang di tinggal dalam
salat
Perkara yang di tinggal dalam salat ada 3:
- Fardzu atau rukun salat
- Sunah ab’ad
- Sunah hai’ad
Rukun salat adalah perkara yang tidak
bias dig anti dengan sujud syahwi jika seorang meninggalkan rukun salat di
dalam salatnya .tetapi apabila seseorang baru saja mengucapkan salam dan ingat
rukun salat yang tertinggal maka orang itu wajib meneruskan salatnya dan
mengganti rukun yang telah di tinggal
- sujud syahwi adalah sujud yang di sunahkan apabila seorang meninggalkan perkara yang di perintah atau menjalankan perkara yang dicegah dalam salat.
- Sunah ab’ad adalah perkara yang tidak di hitung pada saat setelah melakukan fardzu atau rukun salat.
Contoh ,pada saat melakukan seorang lupa
melakukan tasyahud awal dan ingat pada saat I’tidal maka tasyahudnya
tidak dihitung ,dan jika seorang itu sengaja meninggalkan tasyahud maka
salatnya batal dan apabila seorang itu lupa atau tidak tahu maka salatnya
tidak batal dan dan jika orang itu ma’mum maka wajib berdiri karena untuk
mengikuti imam.
Adapun yang termasuk sunah ab’ad adalah :
- Tasyahud awal
- Duduk tasyahud awal
- Qunut dalam salat subuh dan pada pertengahan akhir bulan ramadzan pada salat witir
- Berdiri karena qunut
- Sholawat pada nabi Muhammad di tasyahud awal
- Sholawat pada nabi Muhammad dan keluarga nabi di tasyahud akhir.
- Sunah hai’at seperti tasbih adalah perkara yang tidak perlu melakukan sujud syahwi apa bila meninggalkanya baik sengaja ataupun tidak dan apabila seorang ragu dalam hitunganrokaat salat seperti empat rokaat atau tiga rokaat maka lebih baik meneruskan salat dan melakukan sujud syahwi.
PASAL
Waktu yang di makruhkan untuk salat
Waktu-waktu yang di Makruhkan Untuk
Melaksanakan Sholat
Ada lima waktu yang tidak diperkenankan
melakukan sholat bahkan sebagian Ulama diantaranya penulis kitab Al-Mabadi’
Al-Fiqhiyah (Bab II) mengatakan haram melakukan sholat kecuali sholat yang
memiliki sebab. Kapan sajakah waktu itu? Yaitu :
- Setelah sholat shubuh dan berakhir sampai dengan terbitnya matahari.
- Ketika terbitnya matahari dan berakhir sampai dengan matahari naik dengan perkiraan seukuran satu tombak (masuk waktu sholat Dhuha).
- Ketika matahari berada di tengah-tengah langit (istiwa’) dengan sekiranya tidak ada bayang-bayang suatu benda dan berakhir sampai tergelincirnya matahari (bergesernya matahari ke barat dan munculnya bayangan ke arah timur).
- Setelah sholat ashar dan berakhir sampai terbenamnya matahari.
- Ketika terbenamnya matahari sampai dengan sempurna terbenamnya.
Catatan :
Waktu-waktu yang dimakruhkan dalam melakukan
sholat yang tidak memiliki sebab ada lima, yang tiga berhubungan dengan waktunya,
yaitu waktu terbitnya matahari sampai matahari mulai naik seukuran satu tombak,
waktu istiwa’ sampai tergelincirnya matahari, dan waktu ketika matahari
terbenam (tampak kuning) sampai sempurna terbenamnya. Adapun dalil yang
menunjukkan hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin
Amir RA, ia berkata :
“Tiga waktu yang telah Rosulullah larang
kepada kami untuk melakukan sholat dalam waktu tersebut atau mengubur
orang-orang yang meninggal : ketika terbitnya matahari (tampak jelas) sampai
matahari mulai naik, ketika orang berdiri (tidak nampak bayangan dirinya)
dampai matahari tergelincir (mulai tampak bayangan sebelah timur), dan ketika
matahari mulai condong untuk terbenam (merah kekuning-kuningan)”.
Adapun alasan dimakruhkannya tiga waktu itu
untuk melakukan sholat, karena ada dalil Hadits Nabi yang diriwayatkan
Asy-Syafi’i, yaitu :
“Sesungguhnya bersamaan dengan terbitnya
matahari terdapat tanduk setan, maka ketika matahari mulai naik maka hilang,
ketika matahari istiwa’ terdapat setan yang bersamaan, ketika matahari mulai
tergelincir maka menghilang, ketika matahari mulai mendekati terbenam maka
terdapat setan, maka ketika matahari sudah sempurna tenggelam setan hilang”.
Yang dua yang terakhir berhubungan dengan
perbuatan yaitu sholat shubuh atau sholat ashar, kalau kita melakukan sholat
shubuh atau sholat ashar diawal waktu maka waktu makruh melalukan sholat
setelah dua sholat tersebut menjadi panjang, tapi sebaliknya bila kita
melakukan sholat shubuh atau sholat ashar diakhir waktu maka waktu makruhnya
semakin pendek dan sempit. Dalil yang menerangkan hal tersebut adalah Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari Shohabat Abu Hurairah RA,
yaitu :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang
untuk melakukan sholat setelah sholat ashar sampai terbenamnya matahari dan
melakukan sholat setelah sholat shubuh sampai terbitnya matahari”.
Adapun maksud ungkapan para Ulama tentang hal
ini, apabila ada orang menjama’ taqdim (mengumpulkan dua sholat diwaktu sholat
pertama) seperti mengumpulkan sholat dhuhur dna ashar dilakukan pada waktunya
sholat dhuhur dengan alasan bepergian atau sakit atau hujan misalnya, maka
waktu makruh untuk melakukan sholat setelah sholat ashar tetap berlaku seperti
hukum semula.
Namun Imam Al-Bandayanji menjelaskan tentang
hal ini yang dinukil dari sahabatnya yang ia ambil dari Imam Syafi’i, ya,
menurut Imam Ammad bin Yunus bahwa melakukan sholat setelah sholat ashar ketika
dijama’ taqdim itu tidak dimakruhkan. Ungkapan seperti ini pun diikuti oleh sebagian
Ulama, namun menurut Imam Al-Asnai, hal ini tertolak dari Nash Imam Syafi’i.
Pelarangan sholat pada waktu-waktu tersebut
itu mengecualikan waktu dan tempat, yaitu :
- Waktu ketika Istiwa’ pada hari jum’at, diantara alasannya adalah bahwa pada waktu istiwa’ itu adalah waktu dimana rasa kantuk mulai menyerang hebat, maka untuk menolaknya adalah dianjurkan untuk sholat sunnahh agar wudhunya tidak menjadi batal.
- Kalau tempat adalah Kota Makkah, jadi tidak ada kemakruhan sama sekali untuk melakukan sholat apapun atau kapan pun di Kota Makkah ini, alasannya adalah untuk mengagungkan dan menghormati kota ini. Tapi menurut qaul yang shahih bahwa kota Makkah itu maksudnya adalah tanah Haram (kota Makkah dan Madinah), ada qaul lain yang menyatakan hanya kota Makkah saja. Bahkan ada qaul lagi bahwa kota Makkahnya hanya di Masjidil Haramnya saja, jadi selainnya itu tidak meskipun termasuk kata Makkah.
Pelarangan sholat itu pun hanya berlaku bagi
sholat-sholat yang tidak memiliki sebab, jadi kalau memang sholat tersebut
memiliki sebab maka sama sekali tidak ada pelarangan (makruh) dan sebabnya
terletak di awal atau bersamaan, seperti :
- Mengqodhoi sholat wajib yang tertinggal
- Melakukan sholat sunnah yang dijadikan kebiasaan (wirid)
- Sholat Jenazah, Sujud Tilawah, Sujud Syukur
- Sholat gerhana matahari atau rembulan
- Sholat Istisqo’ (sholat minta hujan) manurut qaul Ashoh.
Namun ada beberapa sholat yang memiliki sebab
tapi tetap dimakruhkan sholat, seperti :
- Sholat Istikhoroh (minta kepada Alloh supaya dimantapkan memilih salah satu dari 2 hal yang sama-sama dianggap baik), dengan alasan bahwa sebabnya terletak di akhir.
- Sholat dua rokaat Ihram (menurut qaul Ashoh), dengan alasan bahwa sebabnya terletak di akhir.
Adapun mengenai sholat tahiyatul masjid
(penghormatan pada masjid), apabila masuk masjidnya karena ada tujuan seperti
i’tikaf atau belajar atau juga menunggu sholat maka tidak dimakruhkan, dengan
alasan sebabnya adalah bersamaan, tapi apabila masuk masjidnya bukan karena
tujuan apapun, maka dalam kitab Raudhoh dan syarahnya tergolong makruh.
PASAL
Salat Jamaah
1. Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain atas setiap individu kecuali yang mempunyai udzur.
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya hendak menyuruh untuk dicarikan kayu bakar, saya akan menyuruh (para sahabat) mengerjakan shalat, lalu ada yang mengumandangkan adzan untuk shalat (berjama’ah), kemudian saya menyuruh sahabat (lain) agar mengimami mereka, kemudian aku akan berkeliling memeriksa orang-orang (yang tidak shalat berjama’ah), kemudian akan aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata seorang diantara mereka mengetahui bahwa dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua paha unta yang baik, niscaya ia akan hadir dalam shalat isya’ (berjama’ah).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 125 no: 644 dan lafadz ini lafadz, Muslim 1: 451 no: 651 sema’na, ‘Aunul Ma’bud II: 251 no: 544, Ibnu Majah I: 259 no: 79l Ibnu Majah tidak ada kalimat terakhir, dan Nasa’i II: 107 persis dengan lafadz Imam Bukhari).
Shalat berjama’ah adalah fardhu ‘ain atas setiap individu kecuali yang mempunyai udzur.
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya hendak menyuruh untuk dicarikan kayu bakar, saya akan menyuruh (para sahabat) mengerjakan shalat, lalu ada yang mengumandangkan adzan untuk shalat (berjama’ah), kemudian saya menyuruh sahabat (lain) agar mengimami mereka, kemudian aku akan berkeliling memeriksa orang-orang (yang tidak shalat berjama’ah), kemudian akan aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikata seorang diantara mereka mengetahui bahwa dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua paha unta yang baik, niscaya ia akan hadir dalam shalat isya’ (berjama’ah).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 125 no: 644 dan lafadz ini lafadz, Muslim 1: 451 no: 651 sema’na, ‘Aunul Ma’bud II: 251 no: 544, Ibnu Majah I: 259 no: 79l Ibnu Majah tidak ada kalimat terakhir, dan Nasa’i II: 107 persis dengan lafadz Imam Bukhari).
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, telah datang
kepada Nabi saw. seorang sahabat buta seraya berkata, “ Ya Rasulullah, sesungguhnya
saya tidak mempunyai penuntun yang akan menuntunku ke masjid.” Kemudian
ia memohon kepada Rasulullah agar beliau memberi rukhsah (keringanan)
kepadanya, sehingga ia boleh shalat (wajib) di rumahnya. Maka beliau pun
kemudian memberi rukhsah kepadanya. Tatkala ia berpaling (hendak pulang),
beliau memanggilnya, lalu bertanya, “Kamu mendengar suara adzan untuk
shalat?” Jawabnya,”Iya, betul.” Sabda beliau (lagi), “ (Kalau
begitu) wajib kamu memenuhi seruan adzan itu!“ (Shahih: Mukhtashar Muslim
no: 320, Muslim I: 452 no: 653, dan Nasa’i II: 109).
Dari Abdullah (Ibnu Mas’ud) r.a, ia berkata,
“Barang siapa senang bertemu Allah di hari kiamat kelak dalam keadaan muslim,
maka hendaklah dia memperhatikan shalat lima waktu ketika dia diseru
mengerjakannya, karena sesungguhnya Allah telah mensyairi’atkan kepada Nabimu
sunanul huda (sunnah sunnah yang berdasar petunjuk), dan sesungguhnya shalat
lima waktu (dengan berjama’ah) termasuk sunnanul huda. Andaikata kamu sekalian
shalat di rumah kalian (masing-masing), sebagaimana orang yang menyimpang ini
shalat (wajib) dirumahnya, berarti kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu,
manakala kamu telah meninggalkan sunnah Nabimu, berarti kamu telah sesat. Tak
seorang pun bersuci dengan sempurna, kemudian berangkat ke salah satu masjid
dan sekian banyak masjid-masjid ini, melainkan pasti Allah menulis baginya
untuk setiap langkah yang ia lakukan satu kebaikan dan dengannya Dia
mengangkatnya satu derajat dan dengannya (pula) Dia menghapus satu
kesalahannya. Saya telah melihat kamu (dahulu), dan tidak ada yang seorangpun
yang meninggalkan shalat berjama’ah dan kalangan sahabat, kecuali orang munafik
yang sudah dikenal kemunafikannya, dan sungguh telah ada seorang laki-laki
dibawa ke masjid dengan dipapah oleh dua orang laki-laki hingga didirikannya di
shaf.” (Shahih: Shahih Jinu Majah no: 631, Muslim I : 453 no: 257 dan 654,
Nasa’i II: 108, unul Ma’bud II: 254 no: 546 dan Ibnu Majah I: 255 no: 777).
Dari Ibnu Abbas dan Nabi saw., beliau
bersabda, “Barang siapa mendengar panggilan (adzan), lalu tidak memenuhinya,
maka sama sekali tiada shalat baginya, kecuali orang-orang yang berudzur.”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 645, Ibnu Majah I: 260 no: 793, Mustadrak Hakim
I: 245 dan Baihaqi III: 174)
2. Keutamaan Shalat Berjama’ah
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Shalat jama’ah melebihi shalat sendirian dengan (pahala) dua puluh tujuh derajat.” (Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari II: 131 no: 645, Muslim I: 450 no: 650, Tirmidzi I: 138 no: 215, Nasa’i II no: 103 dan Ibnu Majah I: 259 no: 789).
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Shalat jama’ah melebihi shalat sendirian dengan (pahala) dua puluh tujuh derajat.” (Muttafaqun ‘alaih Fathul Bari II: 131 no: 645, Muslim I: 450 no: 650, Tirmidzi I: 138 no: 215, Nasa’i II no: 103 dan Ibnu Majah I: 259 no: 789).
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Shalatnya seseorang dalam jama’ah melebihi shalatnya di rumahnya
dan di pasarnya dua puluh lima lebih, yang demikian itu terjadi yaitu apabila
ia berwudhu’ dengan sempurna lalu pergi ke masjid hanya untuk shalat (jama’ah).
Maka ia tidak melangkah satu langkahpun, kecuali karenanya diangkat satu
derajat untuknya dan karenanya dihapus satu kesalahan darinya. Manakala para
malaikat senantiasa mencurahkan rahmat kepadanya (dengan berdo’a kepada Allah),
ALLAHUMMA SHALlI ‘ALAIH, ALLAHUMMARHAMHU (ya Allah limpahkanlah barakah
kepadanya, dan curahkanlah barakah kepadanya).” Dan senantiasa seorang di
antara kamu dianggap berada dalam shalat selama menunggu (pelaksanaan) shalat
berjama’ah.” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 131 no: 647, Muslim I :459
no: 649 dan ‘Aunul Ma’bud 11:265 no: 555).
Dari Abu Hurairah r.a dan Nabi saw. bersabda,
“Barang siapa berangkat sore dan pagi ke masjid (untuk shalat jama’ah),
niscaya Allah menyediakan baginya tempat tinggal di surga setiap kali ia
berangkat sore dan pagi (ke masjid).” Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II:
148 no: 662 dan Muslim I : 463 no: 669)
3. Bolehkah Kaum Wanita Pergi Shalat Berjamah
Di Masjid?
Kaum wanita boleh pergi ke masjid untuk mengikuti shalat jama’ah dengan syarat mereka harus menjauhkan diri dan hal-hal yang dapat menimbulkan gejolak syahwat dan yang kiranya mengumandang fitnah, yaitu berupa perhiasan dan wangi-wangian (Fiqhus Sunnah I: 193).
Kaum wanita boleh pergi ke masjid untuk mengikuti shalat jama’ah dengan syarat mereka harus menjauhkan diri dan hal-hal yang dapat menimbulkan gejolak syahwat dan yang kiranya mengumandang fitnah, yaitu berupa perhiasan dan wangi-wangian (Fiqhus Sunnah I: 193).
Dari Ibnu Umar r.a. dan Nabi saw. bersabda, “Janganlah
kamu sekalian mencegah istri-istrimu (pergi ke) masjid-masjdi namun (ingat)
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (Shahih : Shahih Abu Daud no:
530, ‘Aiunul Ma’bud II: 274 no: 563 dan al Fathur Rabbani V : 195 no: 1333).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Setiap wanita yang memakai wangi-wangian, maka jangan hadir
shalat Isya’ bersama kami.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2702,
Muslim I: 328 no: 444, ‘Aunul Ma’bud XI: 231 no: 4157, dan Nasa’I VIII: 154).
Darinya (Abu Hurairah) r.a. bahwa Nabi saw.
bersabda, “Janganlah kami menghalangi hamba-hamba Allah yang perempuan untuk
(pergi ke) masjid-masjid Allah, namun (ingat) hendaklah mereka berangkat (ke
masjid) tanpa memakai parfum.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 529,
‘Aunul Ma’bud 11:273 no: 561, al-Fathur Rabbani V: 193 no: 1328).
4. Rumah-Rumah Mereka Lebih Baik Bagi Mereka
Kaum perempuan, sekalipun boleh pergi ke masjid, namun shalat wajib di rumahnya adalah lebih utama.
Dari Ummu Humaid as-Sa’idiyah bahwa ia perah datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Ya Rasulullah, sejatinya saya ingin shalat bersamamu.“ Jawab beliau, “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau ingin sekali shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu, shalatmu di dalam kamarmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kampungmu, shalatmu di kampungmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik bagimu daripada shalatmu dimasjidku ini.” (Hasan: al-Fathur Rabbani V: 198 no: 1337 dan Shahih Ibnu Khuzai’mah III: 95 no: 1689).
Kaum perempuan, sekalipun boleh pergi ke masjid, namun shalat wajib di rumahnya adalah lebih utama.
Dari Ummu Humaid as-Sa’idiyah bahwa ia perah datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Ya Rasulullah, sejatinya saya ingin shalat bersamamu.“ Jawab beliau, “Sungguh aku mengetahui bahwa engkau ingin sekali shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di dalam kamarmu, shalatmu di dalam kamarmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kampungmu, shalatmu di kampungmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik bagimu daripada shalatmu dimasjidku ini.” (Hasan: al-Fathur Rabbani V: 198 no: 1337 dan Shahih Ibnu Khuzai’mah III: 95 no: 1689).
5. Adab Berangkat Ke Masjid
Dari Abu Qatadah r.a. ia berkata, “Ketika kami sedang shalat bersama Nabi saw., tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh orang-orang (yang berangkat ke masjid). Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada kalian?” Jawab mereka, “Kami terburu-buru ingin ikut shalat jama’ah.” Sabda beliau, “Janganlah kamu berbuat (begitu lagi). Apabila kalian hendak datang (ke masjid untuk) shalat jamaah, maka kamu harus (berangkat) dengan tenang. Apa yang kamu dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa yang terlewatkan darimu, naka sempurnakanlah!” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 116 no: 635, dan Muslim 1: 421 no: 603).
Dari Abu Qatadah r.a. ia berkata, “Ketika kami sedang shalat bersama Nabi saw., tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh orang-orang (yang berangkat ke masjid). Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada kalian?” Jawab mereka, “Kami terburu-buru ingin ikut shalat jama’ah.” Sabda beliau, “Janganlah kamu berbuat (begitu lagi). Apabila kalian hendak datang (ke masjid untuk) shalat jamaah, maka kamu harus (berangkat) dengan tenang. Apa yang kamu dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa yang terlewatkan darimu, naka sempurnakanlah!” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 116 no: 635, dan Muslim 1: 421 no: 603).
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw.
bersabda, “Apabila kamu mendengar iqamah, maka berjalanlah (ke masjid untuk)
shalat berjama’ah, dengan tenang dan penuh kewibawaan serta janganlah
tergesa-gesa, apa yang kamu dapati, maka shalatlah (seperti mereka) dan apa
yang terlewatkan darimu, maka sempurnakanlah.” (Muttafaqun ‘Alaih : Fathul
Bari II : 117 no: 636, dan lafadz ini baginya, Muslim I: 420 no: 602, ‘Aunul
Ma’bud II: 278 no: 568, Tarmidzi I: 205 no: 326, an-Nasa’I II: 114 dan Ibnu
Majah I: 255 no: 775).
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Apabila seorang di antara kamu berwudhu’ dengan sempurna,
kemudian berangkat menuju masjid, maka janganlah sekali-kali mencengkeram
jari-jarinya, karena sesungguhnya ia dianggap berada dalam shalat.” (Shahih:
Shahih Tirmidzi no: 316, Sunan Tirmidzi I: 239 no: 384 dan ‘Aunul Ma’bud II:
268 no: 558).
6. Do’a Keluar Dari Rumah
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa-yakni orang yang keluar dan rumahnya mengucapkan, “BISMILLAH, TAWAKKALTU ALALLAH, WA LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH (Dengan (menyebut) nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah tiada daya upaya kecuali dengan (idzin) Allah),” Maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah diberi petunjuk dan telah dicukupi serta dilindungi.” Dan syaitan menjauh darinya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6419, ‘Aunul Ma’bud XIII: 437 no: 5073, dan Tirmidzi V: 154 no: 3486)
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa-yakni orang yang keluar dan rumahnya mengucapkan, “BISMILLAH, TAWAKKALTU ALALLAH, WA LAA HAULAA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH (Dengan (menyebut) nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah tiada daya upaya kecuali dengan (idzin) Allah),” Maka dikatakan kepadanya, “Engkau telah diberi petunjuk dan telah dicukupi serta dilindungi.” Dan syaitan menjauh darinya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6419, ‘Aunul Ma’bud XIII: 437 no: 5073, dan Tirmidzi V: 154 no: 3486)
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia pernah tidur di
rumah Rasulullah saw. Kemudian dia menerangkan sifat shalat malam beliau, lalu
berkata, “Muadzin mengumandangkan adzan, lalu beliau keluar ke (masjid untuk)
shalat berjama’ah sambil berdo’a, “ALLAHUMMAJ ‘AL FII QALBII NUURAA, WA FII
LISANII NUURAA, WAJ’AL FII SAM’II NUURAA, WAJ’AL FII BASHARII NUURAA, WAJ’AL
MIN KHALFII NUURA, WAMIN AMAMII NUURAA, WAJ’AL MIN FAUQII NUURAA, WA MIN TAHTII
NUURAA, ALLAHUMMA A’THINII NUURA (= Ya Allah, jadikanlah hatiku bercahaya dan
lisanku bercahaya, dan jadikan pendengaranku bercahaya, jadikanlah
penglihatanku bercahaya, jadikanlah belakangku bercahaya, depanku bercahaya dan
bawahku bercahaya. Ya Allah, berilah pada diriku cahaya).” (Shahih: Mukhtasar
Muslim no : 379, Muslim I: 530 no: 191 dan 763 dan t’inul Ma’bud IV: 230 no:
1340).
7. Do’a Ketika Akan Masuk Masjid
Dari Abdullah bin Amr al-’Ash r.a. dan Nabi saw., bahwa apabila beliau akan masuk masjid beliau mengucapkan, “AA’UUDZU BILLAHIL ‘AZHIM WA BIWAJHIHILL KARIIM WA SULTHANIHIL QADIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIM (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, Kepada Wajah-Nya Yang Mulia, dan kepada kekuasaan-Nya yang azali dari godaan yaitan yang terkutuk).” (Shahih: Shahih Abu Daud no : 441 dan ‘Aunul Ma’bud II: 132 no: 462).
Dari Abdullah bin Amr al-’Ash r.a. dan Nabi saw., bahwa apabila beliau akan masuk masjid beliau mengucapkan, “AA’UUDZU BILLAHIL ‘AZHIM WA BIWAJHIHILL KARIIM WA SULTHANIHIL QADIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIM (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, Kepada Wajah-Nya Yang Mulia, dan kepada kekuasaan-Nya yang azali dari godaan yaitan yang terkutuk).” (Shahih: Shahih Abu Daud no : 441 dan ‘Aunul Ma’bud II: 132 no: 462).
Dari Fathimah binti Rasulullah saw., ia
berkata: Adalah Rasulullah saw. apabila hendak masuk masjid, beliau mengucapkan
“BISMILLAAH, WASSALAAMU ‘ALAA RASULILLAH, ALLAHUMMAGH FIRLII DZUNUUBII
WAFTAHLII ABWAABA RAHMATIK (Dengan menyebut nama Allah, dan kesejahteraan
mudah-mudahan tercurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku
dan bukalah untukku pintu-pintu rahma-Mu). “Dan apabila beliau hendak keluar
(dan masjid), beliau mengucapkan, “BlSMILLAAH, WASSALAAMU ‘ALAA RASUULILLAAH,
ALLAHUMMAGH FIRLII DZUNUUBI WAFTAHLII ABWAABA FADHLIK (Dengan (menyebut) nama
Allah, dan kesejahteraan mudah-mudahan dilimpahkan kepada Rasulullah Ya Allah,
ampunilah dosa-dosaku dan bukalah pintu-pintu karunia-Mu). (Shahih: Shahih Ibnu
Majah no: 625, Ibnu Majah I: 253 no: 771 dan Tirmidzi l:197 no: 313).
8. Shalat Tahiyatul Masjid
Apabila seorang masuk masjid, ia wajib shalat tahiyatul masjid dua raka’at sebelum duduk.
Dari Abu Qatadah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang di antara kamu masuk masjid maka janganlah (langsung) duduk sebelum shalat (tahiyatul masjid) dua raka’at.” (Murtafaqun ‘Alaih: Fathul Bari III: 48 no: 1163, Muslim I: 495 no: 714, ‘Aunul Ma’bud II: 133 no: 463, Tirmidzi I: 198 no: 315 dan Ibnu Majah I: 24 no:1013 dan Nasa’i II: 53).
Apabila seorang masuk masjid, ia wajib shalat tahiyatul masjid dua raka’at sebelum duduk.
Dari Abu Qatadah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang di antara kamu masuk masjid maka janganlah (langsung) duduk sebelum shalat (tahiyatul masjid) dua raka’at.” (Murtafaqun ‘Alaih: Fathul Bari III: 48 no: 1163, Muslim I: 495 no: 714, ‘Aunul Ma’bud II: 133 no: 463, Tirmidzi I: 198 no: 315 dan Ibnu Majah I: 24 no:1013 dan Nasa’i II: 53).
Kami penulis mengatakan wajib shalat tahiyatul
masjid berdasarkan dzahir perintah hadits di atas yang tidak ada
qarinah-qarinah (indikasi indikasi) yang memalingkannya dan dzahirnya sebagai
sebuah kewajiban, kecuali hadits Thalhah bin Ubaidullah:
Dari Thalhah bin ’Ubaidullah r.a. bahwa ada
seorang arab badwi datang kepada Rasulullah saw. dengan rambut kusut seraya
berkata, ”Ya Rasulullah (tolong) informasikan kepadaku, shalat apa saja yang
Allah fardhukan kepadaku?”Jawab beliau, “Shalat lima waktu, kecuali jika
kamu mengerjakan shalat tathatwwu’.” Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari I: 106
no: 46, Muslim I: 40 no: 11, ‘Aunul Ma’bud II: 53 no: 387 dan Nasa’i IV: 121).
Di dalam Nailul Authar I : 364, Imam
Asy-Syaukani menulis sebagai berikut, “Upaya menjadikan hadits Thalhah ini
sebagai dalil yang menunjukkan tidak wajibnya shalat tahiyatul masjid harus
dikaji ulang, menurut hemat saya (asy-Syaukani), sebab apa saja yang terdapat
pada Mabadi Ta’lim (dasar-dasar ajaran Islam) tidak boleh dilibatkan dalam
memalingkan dalil yang datang sesudahnya. Jika tidak, maka kewajiban-kewajiban
syari’at seluruhnya hanya terbatas pada shalat lima waktu saja. Ini jelas-jelas
berbenturan dengan ijma’ ulama’ dan mementahkan mayoritas kandungan svari’at
Islam. Yang haq, bahwa dalil yang shahih yang datang belakangan yang harus
sesuai dengan ketentuannya, baik yang wajib, sunnah, ataupun lainnya. Dan,
memang dalam masalah ini terdapat khilaf, namun pendapat orang mewajibkanlah
yang paling kuat diantara dua pendapat.” Selesai.
Pendapat yang mengokohkan mewajibkan shalat tahiyatul masjid ini diperkuat oleh perintah Nabi walaupun beliau sedang berkhutbah:
Pendapat yang mengokohkan mewajibkan shalat tahiyatul masjid ini diperkuat oleh perintah Nabi walaupun beliau sedang berkhutbah:
Dari Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata,
“Telah datang seorang sahabat di saat. Nabi saw. berkhutbah di hadapan jama’ah
shalat Jum’at, lalu beliau bertanya (kepadanya), “Hai fulan, sudahkah engkau
shalat (tahiyatul masjid)?” Jawabnya, “Belum.” Sabda beliau lagi, “(Kalau
begitu bangunlah lalu ruku’lah (shalatlah).” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari
II: 407 no: 930, Muslim II: 596 no: 875, ‘Aunul Ma’bud IV: 464 no: 1102,
Tirmidzi II: 10 no: 508, Ibnu Majah I: 353 no: 1112 dan Nasa’i III: 107).
9. Bila Iqamah Telah Dikumandangkan, Tiada
Shalat Lagi, Kecuali Shalat Wajib
Dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi saw., beliau bersabda, “Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka sama sekali tiada shalat, kecuali shalat wajib.” (Shahih: Mukhtsar Muslim no: 263, Muslim I: 493 no: 710, ‘Aunul Ma’bud IV: 142-143 no: 1252, Tirmidzi 1:264 no: 419, Ibnu Majah 1:364 no: 1151 dan Nasa’i II no: 116).
Dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi saw., beliau bersabda, “Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka sama sekali tiada shalat, kecuali shalat wajib.” (Shahih: Mukhtsar Muslim no: 263, Muslim I: 493 no: 710, ‘Aunul Ma’bud IV: 142-143 no: 1252, Tirmidzi 1:264 no: 419, Ibnu Majah 1:364 no: 1151 dan Nasa’i II no: 116).
Dari Malik bin Buhainah bahwa Rasulullah
pernah melihat seorang sahabat sedang mengerjakan shalat dua raka’at diwaktu
iqamah dikumandangkan. Tatkala Rasulullah selesai shalat, beliau dikerumuni
oleh para sahabat. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah shalat subuh empat
rakaat?! Apakah shalat shubuh empat raka’at?!” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari
II: 148 no: 663 dan lafadz mi baginya, dan Muslim I: 493 no: 711)
10. Fadhilah Mendapatkan Takbiratul Ihram
Bersama Imam
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah mendapatkan takbiratul ihram, niscaya ditetapkan baginya dua kebebasan: bebas dan siksa neraka dan (kedua) bebas dan sifat nifak.” (Hasan: Shahih Triniidzi no: 200 dan Tirmidzi I: 152 no: 241).
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah mendapatkan takbiratul ihram, niscaya ditetapkan baginya dua kebebasan: bebas dan siksa neraka dan (kedua) bebas dan sifat nifak.” (Hasan: Shahih Triniidzi no: 200 dan Tirmidzi I: 152 no: 241).
11. Orang Yang Datang Ke Masjid Di Saat Imam
Sudah Selesai Shalat
Dari Sa’id bin al-Musayyab r.a. bahwa ada seorang sahabat dan Anshar berada dalam detik-detik kematian, berkata: Sesungguhnya aku akan menceritakan hadits kepada kamu sekalian yang tidak akan kusampaikan kepadamu, kecuali mendapatkan ridha Allah. Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu berwudhu’ dengan sempurna, kemudian pergi ke (masjid untuk) shalat jama’ah, ia tidak mengangkat kaki kanannya, melainkan Allah Azza Wa Jalla pasti menulis baginya satu kebaikan, dan tidak meletakkan kaki kirinya melainkan pasti Allah Azza Wa Jalla menghapus satu kesalahan darinya. Maka hendaklah seorang diantara kamu memilih (tempat) yang jauh atar dekat (ke masjid). Jika ia datang ke masjid, lalu shalat berjama’ah, niscaya diampuni dosa-dosanya. Jika ia datang ke masjid sedangkan mereka sudah mengerjakan sebagian (dari shalat wajib) dan tinggal sebagian yang lain, maka hendaklah ia shalat mengikuti mereka, lalu sempurnakan sisanya maka demikian itu pahalanya sama dengan mereka. Dan jika dia datang ke masjid, sementara mereka sudah selesai mengerjakan shalat, lalu dia menyempurnakan shalat (yang ketinggalan), maka yang demikian itu sama pahalanya den mereka.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 527 dan ‘Aunul Ma’bud II: 270 n 559).
Dari Sa’id bin al-Musayyab r.a. bahwa ada seorang sahabat dan Anshar berada dalam detik-detik kematian, berkata: Sesungguhnya aku akan menceritakan hadits kepada kamu sekalian yang tidak akan kusampaikan kepadamu, kecuali mendapatkan ridha Allah. Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu berwudhu’ dengan sempurna, kemudian pergi ke (masjid untuk) shalat jama’ah, ia tidak mengangkat kaki kanannya, melainkan Allah Azza Wa Jalla pasti menulis baginya satu kebaikan, dan tidak meletakkan kaki kirinya melainkan pasti Allah Azza Wa Jalla menghapus satu kesalahan darinya. Maka hendaklah seorang diantara kamu memilih (tempat) yang jauh atar dekat (ke masjid). Jika ia datang ke masjid, lalu shalat berjama’ah, niscaya diampuni dosa-dosanya. Jika ia datang ke masjid sedangkan mereka sudah mengerjakan sebagian (dari shalat wajib) dan tinggal sebagian yang lain, maka hendaklah ia shalat mengikuti mereka, lalu sempurnakan sisanya maka demikian itu pahalanya sama dengan mereka. Dan jika dia datang ke masjid, sementara mereka sudah selesai mengerjakan shalat, lalu dia menyempurnakan shalat (yang ketinggalan), maka yang demikian itu sama pahalanya den mereka.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 527 dan ‘Aunul Ma’bud II: 270 n 559).
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw.
bersabda, “Barangsiapa berwudhu’
dengan sempurna, kemudian berangkat (ke masjid), lalu ia mendapati jama’ah sudah selesai shalat, niscaya Allah Azza Wa Jalla memberinya sebesar pahala orang yang mengerjakannya dan mengikutinya, Hal itu tidak mengurangi sedikitpun pahala mereka.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 528, ‘Aunul Ma’bud II: 272 no: 560 dan Nasa’i II: 111).
dengan sempurna, kemudian berangkat (ke masjid), lalu ia mendapati jama’ah sudah selesai shalat, niscaya Allah Azza Wa Jalla memberinya sebesar pahala orang yang mengerjakannya dan mengikutinya, Hal itu tidak mengurangi sedikitpun pahala mereka.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 528, ‘Aunul Ma’bud II: 272 no: 560 dan Nasa’i II: 111).
12. Orang Yang Masbuq Harus Mengikuti Imam
Dalam Keadaan Apapun Ia
Dari Ali bin Abi Thalib dan Mu’adBab Shalat Jama’ahz bin Jabal r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu datang (ke masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan imam berada dalam satu gerakan, maka lakukanlah sebagaimana yang dikerjakan oleh imam itu !“ (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 484, Shahihul Jami’us Shaghir no: 261 dan Tirmidzi II no: 51 no: 588).
Dari Ali bin Abi Thalib dan Mu’adBab Shalat Jama’ahz bin Jabal r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu datang (ke masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan imam berada dalam satu gerakan, maka lakukanlah sebagaimana yang dikerjakan oleh imam itu !“ (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 484, Shahihul Jami’us Shaghir no: 261 dan Tirmidzi II no: 51 no: 588).
13. Kapan Dianggap Mendapatkan Satu Raka’at
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kamu datang ke (masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka sujudlah, namun janganlah kamu menghitungnya sebagai satu raka’at, barang siapa yang yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia mendapatkan shalat mendapatkan 1 raka’at tersebut).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 468 n’Aunu1 Ma’bud III: 145 no: 875).
Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila kamu datang ke (masjid untuk) shalat berjama’ah, sedangkan kami dalam keadaan sujud, maka sujudlah, namun janganlah kamu menghitungnya sebagai satu raka’at, barang siapa yang yang mendapatkan ruku’ bersama imam, maka ia mendapatkan shalat mendapatkan 1 raka’at tersebut).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 468 n’Aunu1 Ma’bud III: 145 no: 875).
14. Orang Yang Ruku’ Di Belakang Shaf
Dari Abu Bakrah r.a. bahwa ia pernah mendapati Nabi saw. sedang ruku’, lalu iapun ruku’ sebelum sampai shaf. Kemudian kejadian tersebut sampai kepada Nabi saw., maka beliau bersabda, “Mudah-mudahan Allah menambah antusiasmu, maka jangan kau ulangi lagi (ruku’ di belakang shaf itu).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3565, Fathul Bari II: 267 no: 783, Aunul Ma’bud II: 378 no: (-79-680, dan Nasa’i II: 118).
Dari Abu Bakrah r.a. bahwa ia pernah mendapati Nabi saw. sedang ruku’, lalu iapun ruku’ sebelum sampai shaf. Kemudian kejadian tersebut sampai kepada Nabi saw., maka beliau bersabda, “Mudah-mudahan Allah menambah antusiasmu, maka jangan kau ulangi lagi (ruku’ di belakang shaf itu).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3565, Fathul Bari II: 267 no: 783, Aunul Ma’bud II: 378 no: (-79-680, dan Nasa’i II: 118).
Dari Atha’ bahwa ia mendengar Ibnu Zubair
menegaskan di atas mimbar, “Apabila seorang kamu masuk masjid, sementara
jama’ah sedang ruku’ maka ruku’lah sampai kamu masuk (ke dalam masjid),
kemudian kamu berjalanlah sambil ruku’ hingga masuk ke shaf, karena yang
demikian itu sunnah Nabi. “(Shahihul Isnad : ash-Shahihah no: 229).
Dari Zaid bin Wahb, ia bercerita, “Saya pernah
keluar bersama Abdullah bin Mas’ud dari rumahnya menuju masjid. Tatkala kami
sampai dipertengahan masjid, imam ruku’ maka Ibnu Mas’ud bertakbir dan ruku’
aku ikut jugs bersamanya, kemudian kami berjalan (terus) dan kami sampai-sampai
ke shaf ketika jama’ah mengangkat kepalanya (dan ruku’). Tatkala imam selesai
dari shalatnya, aku berdiri (lagi) karena saya berpendapat bahwa saya tidak
mendapatkan (raka’at pertama) , maka kemudian Abdullah bin Mas’ud menarik
tanganku dan mendudukkanku. Kemudian dia menyatakan, “Sesungguhnya engkau
benar-benar telah mendapat (‘shalat dan raka’at pertama).” (Shahih: ash.
Shahihah II: 52 dan Baihaqi II: 90).
15. Imam Diperintah Memperpendek Bacaan
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat untuk para makmum, maka perpendeklah karena diantara makmum itu ada yang lemah, ada yang sakit, dan ada (pula) yang tua renta. Namun apabila ia shalat untuk dirinya sendirian, maka perpanjanglah semuanya!’ (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 199 no: 703 dan lafadz ini baginya, Muslim I: 341 no: 467, Aunul Ma’bud III: 11 no: 780, Tirmidzi I: 150 no: 236 dan Nasa’i II: 94).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu shalat untuk para makmum, maka perpendeklah karena diantara makmum itu ada yang lemah, ada yang sakit, dan ada (pula) yang tua renta. Namun apabila ia shalat untuk dirinya sendirian, maka perpanjanglah semuanya!’ (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 199 no: 703 dan lafadz ini baginya, Muslim I: 341 no: 467, Aunul Ma’bud III: 11 no: 780, Tirmidzi I: 150 no: 236 dan Nasa’i II: 94).
16. Imam Lebih Memanjangkan Rakaat Pertama
Dari Abu Sa’id r.a., berkata, “Sungguh shalat dzuhur sedang dimulai, lalu ada diantara jama’ah yang (keluar) pergi ke Baqi’ untuk buang hajat. (Setelah selesai) kemudian ia berwudhu’ lalu berangkat (ke masjid lagi) sedangkan Rasulullah masih berada pada raka’at pertama, karena beliau sangat memanjangkan raka’at pertama.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 930, Muslim I: 35 no: 454 dan Nasa’i II: 164)
Dari Abu Sa’id r.a., berkata, “Sungguh shalat dzuhur sedang dimulai, lalu ada diantara jama’ah yang (keluar) pergi ke Baqi’ untuk buang hajat. (Setelah selesai) kemudian ia berwudhu’ lalu berangkat (ke masjid lagi) sedangkan Rasulullah masih berada pada raka’at pertama, karena beliau sangat memanjangkan raka’at pertama.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 930, Muslim I: 35 no: 454 dan Nasa’i II: 164)
17. Wajib Mengikuti Imam dan Larangan
Mendahuluinya
Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dijadikan imam itu hanyalah untuk diikuti. Karena itu, apabila ia sudah takbir, maka hendaklah kamu takbir, apabila sujud maka sujudlah kamu, dan apabila ia mengangkat (kepala), maka angkatlah (kepalamu)…” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim 1: 3( no: 411, Fathul Bari II: 173 no: 689, ‘Annul Ma’bud II: 310 no: 587, Tirmidzi I: 225 no: 358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1: 92 no: 12.38).
Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya dijadikan imam itu hanyalah untuk diikuti. Karena itu, apabila ia sudah takbir, maka hendaklah kamu takbir, apabila sujud maka sujudlah kamu, dan apabila ia mengangkat (kepala), maka angkatlah (kepalamu)…” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim 1: 3( no: 411, Fathul Bari II: 173 no: 689, ‘Annul Ma’bud II: 310 no: 587, Tirmidzi I: 225 no: 358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1: 92 no: 12.38).
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw.
bersabda, “Tidaklah seorang diantara kamu merasa khawatir, bila (mengangkat
kepalanya), Allah akan menjadikan kepalanya sebagai kepala keledai, atau Allah
akan menjadikan raut wajahnya seperti wajah keledai?!“ (Muttafaqun ‘alaih:
Fathul Bari II: 182 no: 691, Muslim I: 320 no: 427, ‘Aunul Ma’bud II: 330 no:
609, Tirmidzi U: 48 no: 579, Nasa’i II: 96 dan Ibnu Majah I: 308 no: 961).
18. Orang Yang Berhak Menjadi Imam
Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Yang menjadi imam di suatu kaum ialah yang lebih mengerti isi kitab Allah, kalau mereka dalam hal mengerti kitabullah sama, maka yang lebih mengerti tentang sunnah Nabi di antara mereka, jika dalam hal pemahaman sunnah Nabi sama, maka yang dahulu hijrah di antara mereka, apabila dalam hal hijrah mereka sama, maka yang lebih dulu masuk Islam di antara mereka, dan janganlah menjadi imam bagi orang lain di daerah kekuasaan orang itu dan janganlah duduk di rumahnya di tempatnya yang khusus, kecuali dengan idzinnya.” (Shahih Mukhtasar Muslim no: 316, Muslim I: 465 no: 673, Tirmidzi I: 149 no: 235, ‘Aunul Ma’bud II: 289 no: 578, Nasa’i II: 76, Ibnu Majah I: 313 no: 980.\
Dari Ibnu Mas’ud al-Anshari r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Yang menjadi imam di suatu kaum ialah yang lebih mengerti isi kitab Allah, kalau mereka dalam hal mengerti kitabullah sama, maka yang lebih mengerti tentang sunnah Nabi di antara mereka, jika dalam hal pemahaman sunnah Nabi sama, maka yang dahulu hijrah di antara mereka, apabila dalam hal hijrah mereka sama, maka yang lebih dulu masuk Islam di antara mereka, dan janganlah menjadi imam bagi orang lain di daerah kekuasaan orang itu dan janganlah duduk di rumahnya di tempatnya yang khusus, kecuali dengan idzinnya.” (Shahih Mukhtasar Muslim no: 316, Muslim I: 465 no: 673, Tirmidzi I: 149 no: 235, ‘Aunul Ma’bud II: 289 no: 578, Nasa’i II: 76, Ibnu Majah I: 313 no: 980.\
Dalam riwayat mereka ada tambahan begini,
“Jika dalam hal hijrah mereka sama, maka yang lebih tua diantara mereka yang
menjadi imam.” Riwayat ini salah satu dari riwayat Imam Muslim.
Dalam hadits ini terdapat indikasi yang
menunjukkan bahwa tuan rumah dan imam rawatib (imam tetap) serta semisalnya
lebih berhak menjadi imam shalat daripada selain mereka, kecuali mendapat izin
dan mereka ini didasarkan pada sabda Nabi saw, “Dan janganlah seorang menjadi
imam bagi orang di tempat kekuasaan orang itu.”
19. Anak Kecil Menjadi Imam
Dari Amr bin Salamah r.a., ia berkata: Tatkala terjadi Fathul Mekkah, setiap kaum berlomba-lomba menyatakan keislamannya dan ayahku telah mendahului keislaman kaumku. Tatkala ia datang (kepada mereka , ia berkata, “Demi Allah, aku benar-benar datang kepada kamu sekalian dan sisi Nabi, maka beliau berkata: Shalatlah begini pada waktu begini, dan shalatlah begini pada waktu begini. Apabila (waktu) shalat tiba, hendaklah seorang diantara kamu mengumandangkan adzan dan hendaklah yang paling banyak hafalan Qur’annya yang menjadi iman kamu. “Kemudian para sahabat melihat-lihat, ternyata tidak ada hafalan Qur’annya lebih banyak dan saya, karena sebelumnya saya pernah belajar al-Qur’an kepada sejumlah musafir, kemudian mereka menunjuk saya sebagai imam mereka, padahal saya masih berusia enam atau tujuh tahun.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 761, Fathul Bari VIII: 22 no: 4302, ‘Aunul Ma’bud 293 no: 581, Nasa’i II: 80).
Dari Amr bin Salamah r.a., ia berkata: Tatkala terjadi Fathul Mekkah, setiap kaum berlomba-lomba menyatakan keislamannya dan ayahku telah mendahului keislaman kaumku. Tatkala ia datang (kepada mereka , ia berkata, “Demi Allah, aku benar-benar datang kepada kamu sekalian dan sisi Nabi, maka beliau berkata: Shalatlah begini pada waktu begini, dan shalatlah begini pada waktu begini. Apabila (waktu) shalat tiba, hendaklah seorang diantara kamu mengumandangkan adzan dan hendaklah yang paling banyak hafalan Qur’annya yang menjadi iman kamu. “Kemudian para sahabat melihat-lihat, ternyata tidak ada hafalan Qur’annya lebih banyak dan saya, karena sebelumnya saya pernah belajar al-Qur’an kepada sejumlah musafir, kemudian mereka menunjuk saya sebagai imam mereka, padahal saya masih berusia enam atau tujuh tahun.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 761, Fathul Bari VIII: 22 no: 4302, ‘Aunul Ma’bud 293 no: 581, Nasa’i II: 80).
20. Orang Yang Shalat Fardhu Bermakmum Kepada
Yang Shalat Sunnah Atau Sebaliknya
Dari jabir bahwa Mu’adz bin Jabal shalat bersama Nabi, kemudian kembali (pulang), lalu menjadi imam bagi kaumnya.” (Shahih: Mukhtasar Halaman 278 Bukhari no:387, Fathul Bari II: 192 no:700, Muslim I:339 no:465, ‘Aunul Ma’bud III:776, Nasa’i II:102).
Dari jabir bahwa Mu’adz bin Jabal shalat bersama Nabi, kemudian kembali (pulang), lalu menjadi imam bagi kaumnya.” (Shahih: Mukhtasar Halaman 278 Bukhari no:387, Fathul Bari II: 192 no:700, Muslim I:339 no:465, ‘Aunul Ma’bud III:776, Nasa’i II:102).
Dari Yazid bin al-Aswad bahwa ia pada waktu
menginjak usia remaja pernah shalat bersama Nabi saw.. Tatkala beliau selesai
shalat, ternyata ada dua sahabat yang tidak ikut shalat jama’ah di pojok
masjid, lalu dipanggil oleh beliau, kemudian dibawalah mereka berdua kepada
beliau dengan menggigil ketakutan beliau bertanya “Gerangan apakah yang
menghalangi kalian untuk shalat jama’ah dengan kami?” Jawab mereka berdua,”
Sungguh kami telah shalat jama’ah di perjalanan kami.” Sabda beliau (lagi), “Jangan
begitu, manakala seorang diantara kamu sudah shalat jama’ah di perjalanannya,
kemudian ia mendapatkan imam (sedang shalat), sedangkan ia tidak termasuk yang
shalat, maka shalatlah bersamanya, karena sejatinya shalat kedua itu sunnah
baginya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 538, ‘Aunul Ma’bud II: 283 no: 571,
Tarmidzi I: 140 no: 2 dan Nasa’i II 112)
21. Orang Muqim Bermakmum Kepada Musafir Atau
Sebaliknya
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Umar shalat dzuhur dengan masyarakat Mekkah, dan beliau mengucapkan salam pada raka’at kedua, kemudian berkata, “Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian, karena sesungguhnya kami adalah orang-orang musafir!” (Shahih: Jami’ul Ushul V: 708 yang ditahqiq oleh Al-Anaa uth dan Mushnaf Abdur Razzaq no: 4369).
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Umar shalat dzuhur dengan masyarakat Mekkah, dan beliau mengucapkan salam pada raka’at kedua, kemudian berkata, “Wahai penduduk Makkah, sempurnakanlah shalat kalian, karena sesungguhnya kami adalah orang-orang musafir!” (Shahih: Jami’ul Ushul V: 708 yang ditahqiq oleh Al-Anaa uth dan Mushnaf Abdur Razzaq no: 4369).
22. Apabila Musafir Bermakmum Kepada Orang
Yang Muqim Harus Menyempurnakan
Dari Musa bin Salamah al Hudzali r.a. berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., bagaimana cara shalat sendirian bila berada di Makkah jawab Ibnu Abbas, “(Shalatlah) dua raka’at, ini adalah sunnah Abul Qasim (Shahih : Irwa ul Ghalil no: 571 dan Muslim I : 479 no: 688 serta Nasa’I : 119)
Dari Musa bin Salamah al Hudzali r.a. berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., bagaimana cara shalat sendirian bila berada di Makkah jawab Ibnu Abbas, “(Shalatlah) dua raka’at, ini adalah sunnah Abul Qasim (Shahih : Irwa ul Ghalil no: 571 dan Muslim I : 479 no: 688 serta Nasa’I : 119)
Dari Abu Mujalazi, ia berkata, “Saya pernah
bertanya kepada Ibnu Umar, seorang musafir mendapatkan dua raka’at dari shalat
kaum setempat, yaitu orang-orang yang muqim apakah cukup baginya dua raka’at
itu, ataukah ia harus shalat (lengkap) seperti shalat mereka?” Ibnu Umar
tertawa, lalu berujar,” Ia harus shalat (lengkap) seperti shalat mereka.”
(Shahih Isnad : Irwa-ul Ghalil no : 22 dan Baihaqi III : 157).
23. Orang Yang Mampu Berdiri Bermakmum Kepada
Orang Yang Shalat Dengan Duduk Dan Ia Pun Duduk Bersamanya
Dari Aisyah r.a., berkata, “Rasulullah saw. shalat dirumahnya karena sakit yaitu beliau shalat duduk, sementara sejumlah sahabat shalat di belakangnya dengan berdiri. kemudian beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk (juga). Tatkala selesai shalat, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam itu hanya untuk diikuti. Karena itu, apabila imam ruku’ maka ruku’lah, apabila dia mengangkat (kepalanya) maka angkatlah (kepalamu), dan apabila dia shalat dengan duduk maka shalatlah kamu dengan duduk (juga)!” (Muttafaqun ‘Alaih Fathul Bari II: 173 no: 688, Muslim I: 309 no: 412 dan ‘Aunul Ma’bud I 315 no: 591).Yaitu di rumah Aisyah, bukan di rumah istri yang lain. Lihat Fathul Bari II:175 (pent.)
Dari Aisyah r.a., berkata, “Rasulullah saw. shalat dirumahnya karena sakit yaitu beliau shalat duduk, sementara sejumlah sahabat shalat di belakangnya dengan berdiri. kemudian beliau memberi isyarat kepada mereka untuk duduk (juga). Tatkala selesai shalat, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam itu hanya untuk diikuti. Karena itu, apabila imam ruku’ maka ruku’lah, apabila dia mengangkat (kepalanya) maka angkatlah (kepalamu), dan apabila dia shalat dengan duduk maka shalatlah kamu dengan duduk (juga)!” (Muttafaqun ‘Alaih Fathul Bari II: 173 no: 688, Muslim I: 309 no: 412 dan ‘Aunul Ma’bud I 315 no: 591).Yaitu di rumah Aisyah, bukan di rumah istri yang lain. Lihat Fathul Bari II:175 (pent.)
Dari Anas r.a., ia bercerita: (Pada suatu
saat) Nabi terjatuh dari atas kudanya hingga lambung kanannya bengkak. Maka
kami membesuknya, lalu tiba waktu shalat, kemudian Rasulullah shalat dengan kami
dalam keadaan duduk, lantas kami shalat di belakangnya dengan duduk (pula).
Tatkala usai shalat, beliau bersabda, “Sesungguhnya dijadikannya imam
hanyalah untuk diikuti. Karena itu, manakala ia telah takbir, maka bertakbirlah
kamu, apabila ia telah sujud maka sujudlah kamu dan apabila ia telah mengangkat
(kepalanya) maka angkatlah (kepalamu juga), apabila ia mengucapkan, SAMI’ALLAHU
LIMAN HAMIDAH, maka ucapkanlah, RABBANAA WALAKAL HAMDU, dan apabila ia shalat
dengan duduk maka shalatlah kamu semua dengan duduk (juga).” (Muttafaqun
‘alaih: Muslim 1:308 no:4 11, Fathul Bari 11:173 no:689, ‘Aunul Ma’bud II: 310
no: 587, Tirmidzi I: 125 no:358, Nasa’i III: 98, dan Ibnu Majah 1:392 no:
1238).
24. Makmum Sendirian Harus Berdiri Persis Di
Sejajarkan Imam (Sejajar Dengannya).
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya pernah
bermalam di rumah bibiku, Maimunah lalu Rasulullah saw. shalat isya’, kemudian
shalat empat rakaat, lalu kemudian bangun (shalat lagi), lalu ia datang berdiri
di sebelah kirinya, maka beliau menempatkanku di sebelah kanannya.” (Shahih:
Irwa-ul Ghalil 540, Shahih Ibnu Majah no: 792, Tarmidzi I: 147 no: 232, Nasa’i
II: 104 Ibnu Majah I: 312 no: 973).
25. Makmum Dua Orang Atau Lebih Berdiri Dengan
Membuat Shaf Di Belakang Imam.
Dari Jabir berkata, “Rasulullah saw. berdiri
hendak shalat, lalu aku datang dan berdiri di sebelah kirinya, lalu Rasulullah
memegang tanganku kemudian memutarku hingga menempatkan di sebelah kanannya.
Tak lama kemudian datanglah Jabbar bin Shakhr, lantas berdiri disebelah kiri
Rasulullah, lalu beliau memegang tangan kami semua, lantas mendorong kami
hingga kami berdiri di (shaf) belakangnya.” (Shahih : Ihwa-ul Ghalil no : 540,
Muslim I: 458 no: 269-660, ‘Aunul Ma’bud II: 318 no: 595, dan Ibnu Majah I: 312
no: 975).
26. Jika Makmum Seorang Perempuan Harus
Berdiri Di Belakang Imam
Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. shalat dengannya dan dengan ibunya atau bibinya ia berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan menempatkan perempuan di belakang kami.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 192 no: 700, Muslim I: 339 no: 465, ‘Aunul Ma’bud III: 4 no: 776, dan Nasa’i II: 102)
Dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. shalat dengannya dan dengan ibunya atau bibinya ia berkata, “Beliau menempatkanku di sebelah kanannya dan menempatkan perempuan di belakang kami.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 192 no: 700, Muslim I: 339 no: 465, ‘Aunul Ma’bud III: 4 no: 776, dan Nasa’i II: 102)
27. Kewajiban Meluruskan Shaf
Wajib bagi sang imam untuk tidak memulai shalatnya sebelun mengontrol shaf, yaitu ia sendiri menyuruh jama’ah meluruskan shaf, atau menunjuk seseorang yang meluruskan shaf:
Wajib bagi sang imam untuk tidak memulai shalatnya sebelun mengontrol shaf, yaitu ia sendiri menyuruh jama’ah meluruskan shaf, atau menunjuk seseorang yang meluruskan shaf:
Dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Luruskanlah shaf kalian karena sesungguhnya kelurusan shaf itu
termasuk kesempurnaan shalat.” (Muttafaqun ‘alaih : Muslim I : 324 no: 433
dan lafadz ini baginya, Fathul Bari II: 209 no: 723, ‘Aunul Ma’bud (II: 367 no:
654, dan Ibnu Majah 1:317 no: 993)
Dari Abu Mas’ud r.a. berkata, adalah
Rasulullah saw. meluruskan bahu-bahu kami ketika akan memulai shalat sambil
bersabda, “Luruskanlah, jangan sampai tidak lurus, (kalau tidak lurus)
niscaya hati-hati kalian akan berselisih pula.” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 961, Muslim I: 323 no: 432).
Dari an-Nu’man bin Basyir r.a., berkata,
adalah Rasulullah saw. meluruskan shaf-shaf kami seolah-olah beliau meluruskan
tangkai anak panah ini sampai kami melihat kami diikat padanya. Kemudian pada
suatu hari, beliau berdiri hampir memulai takbir, lalu melihat dada seorang
sahabat yang menonjol dari shaf, maka beliau bersabda, “Wahai hamba-hamba
Allah, kalian benar-benar meluruskan shaf kalian, atau (kalau tidak), Allah
benar-benar menjadikan wajah-wajah berbeda-beda.” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 3972, I: 324 no: 128 dan 436, ‘Aunul Ma’bud II: 363 no: 649,
Tirmidzi no: 227, Nasa’i II: 89 dan Ibnu Majah I: 318 no: 994)
Penggunaan kata qidah (tangkai anak panah),
adalah menunjukkan akan lurus dan rapatnya shaf itu. Syarah Muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Tegakkanlah shaf-shaf, luruskan antara bahu-bahu, penuhilah yang
kosong dan bersikap lemah lembutlah kepada saudaramu, janganlah kamu biarkan
celah-celah untuk syaithan, barang siapa yang menyambung shaf niscaya Allah
menjalin hubungan dengannya barangsiapa memutus shaf, tentu Allah memutus hubungan
dengannya.” Shahih: Shahih Abu Daud no: 620 dan ‘Aunul Ma’bud II: 365 no :
652).
Dari Anas r.a., bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Rapatkanlah dan dekatkan shaf-shaf kalian serta luruskanlah
antara sesama leher, Demi Dzat yang diriku berada di genggaman-Nya,
sesungguhnya aku benar-benar melihat syaithan masuk ke shaf melalui celah-celah
shaf seperti anak kambing hitam.” (Shahih: Shabi Abu Daud no: 621, ‘Aunul
Ma’bud II: 366 no: 653, Nasa’i II: 92).
28. Cara Meluruskan Shaf
Dari Anas r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya saya melihat kamu dan belakang punggungmu.” Dan (kata Anas), “Adalah seorang diantara kami menempelkan bahunya dengan bahu saudaranya, dan kakinya dengan kaki saudaranya.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari no: 393 dan Fathul Bari II: 211 no:725).
Dari Anas r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya saya melihat kamu dan belakang punggungmu.” Dan (kata Anas), “Adalah seorang diantara kami menempelkan bahunya dengan bahu saudaranya, dan kakinya dengan kaki saudaranya.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari no: 393 dan Fathul Bari II: 211 no:725).
An-Nu’man bin Basyir menegaskan, “Aku melihat
seorang laki-laki diantara kita menempelkan mata kaki dengan mata kaki
rekannya.” (Shahih: Mukhtasar Bukhari no: 124 hal. 184 dan Fathul Bari II: 211
secara mu’allaq).
29. Shaf Laki-Laki Dan Perempuan
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling akhir dan yang paling jelek adalah yang terdepan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3310, Muslim I: 326 no: 440, ‘Aunul Ma’bud II: 374 no: 663, Tirmidzi I: 143 no: 224, Nasa’i II: 93 dan Ibnu Majah I: 319 no: 1000).
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling akhir dan yang paling jelek adalah yang terdepan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3310, Muslim I: 326 no: 440, ‘Aunul Ma’bud II: 374 no: 663, Tirmidzi I: 143 no: 224, Nasa’i II: 93 dan Ibnu Majah I: 319 no: 1000).
30. Keutamaan Shaf Pertama Dan Shaf Sebelah
Kanan
Dari Bara’ bin Azib ra ia berkata: Adalah Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bershalawat kepada jama’ah yang berada pada shaf pertama.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 618, ‘Aunul Ma’bud 11364 no: 650, Nasa’i II: 90 dan dalam Sunan Nasa’i memakai kata, “ASH SIUFUFUL MUTAQADDIMAH (= shaf-shaf terdepan).”)
Dari Bara’ bin Azib ra ia berkata: Adalah Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya bershalawat kepada jama’ah yang berada pada shaf pertama.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 618, ‘Aunul Ma’bud 11364 no: 650, Nasa’i II: 90 dan dalam Sunan Nasa’i memakai kata, “ASH SIUFUFUL MUTAQADDIMAH (= shaf-shaf terdepan).”)
Darinya (yakni Bara’ bin Azib) r.a., ia
berkata, “Apabila kami shalat bermakmum kepada Rasulullah saw., kami ingin
berada di sebelah kanannya. Rasulullah menghadap kepada kami dengan raut
wajahnya, lalu saya dengar darinya bersabda, “Ya Rabbku peliharalah aku dan
adzab-Mu pada hari engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.” (Shahih:
at-Targhib: 500, Muslim I: 492 dan 493no: 709)
31. Makmum Yang Lebih Pantas Berdiri Di Belakang Imam
Dari Abu Mas’ud al-Anshari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah yang berada yang berada di belakangku di antara kamu ialah orang-orang yang sudah dewasa dan matang pikirannya, kemudian yang sesudah mereka, lalu sesudah mereka.” (Shahih:Shahih Abu Daud no: 626, Muslim I: 323 no: 432, “Aunul Ma’bud II: 371 no: 660, Ibnu Majah I: 312 no: 976 dan Nasa’I II: 90)
31. Makmum Yang Lebih Pantas Berdiri Di Belakang Imam
Dari Abu Mas’ud al-Anshari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hendaklah yang berada yang berada di belakangku di antara kamu ialah orang-orang yang sudah dewasa dan matang pikirannya, kemudian yang sesudah mereka, lalu sesudah mereka.” (Shahih:Shahih Abu Daud no: 626, Muslim I: 323 no: 432, “Aunul Ma’bud II: 371 no: 660, Ibnu Majah I: 312 no: 976 dan Nasa’I II: 90)
32. Makruh Shaf Yang Dihalangi Tiang
Dari Muawiyah bin Qurrah dari bapaknya, ia berkata, “Pada masa Rasulullah kami dilarang (oleh beliau) membentuk shaf yang dihalangi tiang dan kami jauhkan darinya sejauh-jauhnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:821, Ibnu Majah I:320 no:1002, Mustadrak Hakim I:218, dan Baihaqi III:104)
Dari Muawiyah bin Qurrah dari bapaknya, ia berkata, “Pada masa Rasulullah kami dilarang (oleh beliau) membentuk shaf yang dihalangi tiang dan kami jauhkan darinya sejauh-jauhnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:821, Ibnu Majah I:320 no:1002, Mustadrak Hakim I:218, dan Baihaqi III:104)
Larangan di atas berlaku pada shalat jama’ah,
adapun shalat munfarid sendirian, maka tidak mengapa seseorang shalat di antara
beberapa tiang sebagai sutrah baginya.
Dari Ibnu Umar r.a., berkata, Nabi saw.,
Usamah bin Zaid, ‘Utsman bin Thalhah, dan Bilal masuk ke suatu rumah. Kemudian
Nabi saw. lama di dalamnya, lalu keluar. Saya adalah orang yang pertama masuk
mengikuti jejaknya. Kemudian saya bertanya pada Bilal, “Di mana beliau shalat?”
Jawabnya, “Beliau (shalat) di antara dua tiang terdepan.” (Shahih: Mukhtasar
Bukhari hal 139, Fathul Bari I:578 no:504).
33. Sejumlah ‘Udzur Yang Membolehkan
Meninggalkan Shalat Jama’ah
1. Terlalu dingin dan hujan
Dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar r.a pernah mengumandangkan adzan untuk shalat jama’ah pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berseru, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing-masing lalu beliau berkata bahwasanya Rasulullah pernah menyuruh muadzin apabila beradzan pada malam yang dingin dan hujan untuk mengungkapkan, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing masing !” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 156 no: 666, Muslim I: 4 no: 697, ‘Aunul Ma’bud III: 391 no: 1050 dan Nasa’i II: 15).
Dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar r.a pernah mengumandangkan adzan untuk shalat jama’ah pada malam yang dingin dan berangin kencang, kemudian berseru, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing-masing lalu beliau berkata bahwasanya Rasulullah pernah menyuruh muadzin apabila beradzan pada malam yang dingin dan hujan untuk mengungkapkan, “Ketahuilah, shalatlah kamu sekalian di rumah masing masing !” (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 156 no: 666, Muslim I: 4 no: 697, ‘Aunul Ma’bud III: 391 no: 1050 dan Nasa’i II: 15).
2. Tersiapnya hidangan makan
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila hidangan makan malam seseorang diantara kamu sudah disiapkan dan iqamah sudah dikumandangkan, maka mulailah dengan makan malam, dan janganlah tergesa-gesa untuk (shalat isya’) sebelum selesai dan makannya.” Dan adalah Ibnu Umar apabila disiapkan hidangan makan untuknya dan iqamah sedang dikumandangkan, maka ia tidak mau menghadirinya sebelum selesai makan, dan ia benar-benar mendengar bacaan imam. (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 159 no: 673, Muslim I: 392 no: 459, tanpa kalimat terakhir dan ‘Aunul Ma’bud X: 229 no: 3739)
Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila hidangan makan malam seseorang diantara kamu sudah disiapkan dan iqamah sudah dikumandangkan, maka mulailah dengan makan malam, dan janganlah tergesa-gesa untuk (shalat isya’) sebelum selesai dan makannya.” Dan adalah Ibnu Umar apabila disiapkan hidangan makan untuknya dan iqamah sedang dikumandangkan, maka ia tidak mau menghadirinya sebelum selesai makan, dan ia benar-benar mendengar bacaan imam. (Muttafaqun ‘Alaih: Fathul Bari II: 159 no: 673, Muslim I: 392 no: 459, tanpa kalimat terakhir dan ‘Aunul Ma’bud X: 229 no: 3739)
3. Selalu terdorong oleh rasa ingin berak dan
kencing.
Dari Aisyah r.a, ia bertutur, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sama sekali tiada shalat bila hidangan makan sudah tersedia dan tiada (pula) bagi orang yang terdorong oleh berak dan kencing.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7509, Muslim I: 393 no: 560 dan ‘Aunul Ma’bud I: 160 no : 89).
Dari Aisyah r.a, ia bertutur, “Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sama sekali tiada shalat bila hidangan makan sudah tersedia dan tiada (pula) bagi orang yang terdorong oleh berak dan kencing.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7509, Muslim I: 393 no: 560 dan ‘Aunul Ma’bud I: 160 no : 89).
PASAL
Solat Jama’ Dan Qasar
Solat Jamak
Yang dimaksud dengan solat Jama adalah
penggabungan dua waktu solat dan dikerjakan dalam satu waktu, misalnya solat
Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya.
Bila solat Zuhur dikerjakan bersama-sama
dengan Ashar di waktu Ashar, maka dinamakan Jama Ta’khir. Sebaliknya bila solat
Ashar dikerjakan bersama-sama dengan Zuhur di waktu Zuhur disebut Jama Taqdin.
Demikian juga bila solat Maghrib dan Isya dikerjakan bersama-sama pada waktu
Maghrib, ia disebut Jama Taqdim, sebaliknya solat Maghrib dengan Isya
dikerjakan bersama-sama pada waktu Isya, ia dinamakan Jama Ta’khir.
Zuhur, Ashar, Isya dan Maghrib, rakaatnya
tetap, 4,4,4, dan 3. Dalam solat Jama’ baik yang taqdim maupun takhir, maka
solat yang didahulukan mengerjakannya adalah solat yang lebih dulu waktunya.
Jadi, bila selesai dengan shalat Zuhur, harus dilanjutkan dengan solat Ashar;
begitu pula dengan solat Maghrib dan Isya.
Solat Jama boleh dikerjakan oleh orang-orang
yang:
* Kerana dalam perjalanan atau musafir, iaitu
sejak ia berangkat hingga kembali ke kampung
* Kerana sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang betul-betul sulit ditinggalkan.
* Ataupun sebab-sebab lain yang seseorang tidak mampu menunaikan solat tersebut tepat pada waktunya.
* Kerana sedang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat yang betul-betul sulit ditinggalkan.
* Ataupun sebab-sebab lain yang seseorang tidak mampu menunaikan solat tersebut tepat pada waktunya.
Harus ada niat dalam hati bahawa ia
mengerjakan solat Jama’.
Shalat Qasar
Yang dimaksud dengan solat Qashar ialah
mengerjakan solat yang empat rakaat menjadi 2 rakaat sahaja, yakni solat Zhuhur,
Ashar, dan Isya. Dalam Al Quran disebutkan:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang
kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (An
Nisa 101).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud
dari Yahya bin Mazid r.a. katanya:
“Saya telah bertanya kepada Anas tentang
mengqashar shalat. Jawabnya: Rasulullah s.a.w. “Apabila ia berjalan jauh 3 mil
atau 33 farskah (25,92 km), maka beliau solat dua rakaat”
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Umar
r.a. bertanya kepada Rasulullah s.a.w. :”Apakah halnya kita, sedangkan kita
telah aman”.
Rasulullah s.a.w. menjawab: “Itu adalah
sadakah yang diberikan Allah s.w.t. kepada kamu, maka terimalah sedekahnya itu”
(HR Ja’la bin Umayyah)
Solat Qashar boleh dikerjakan oleh seseorang
yang tengah berpergian (musafir) baik dalam keadaan aman, maupun dalam keadaan
ketakutan; baik perjalanan wajib atau biasa, asalkan perjalanan yang bukan
maksiat. Dalam perjalanan Haji, menuntut ilmu, berdagang, mengunjungi sahabat
dan lain-lain, halal untuk
mengqasharkan solat.
mengqasharkan solat.
Adapun solat qashar saja, maupun qasahar dan
jama’ yang dilakukan seseorang selama masa perjalanan, maka setelah ia tiba
dirumah kembali, solatnya tidak perlu diulangi.
Seorang musafir, boleh mengerjakan jama’ dan
qashar sekaligus. Bila ingin mengerjakan jama, dan qashar, jika ingin azan,
maka azannya cukup satu kali saja dan iqamahnya dua kali. Caranya, mula-mula
azan, lalu iqamah dan solat. Bila telah selesai ia iqamah sekali lagi untuk
solat berikutnya. Solat qashar adalah
bagian dari ketetapan agama Islam.
bagian dari ketetapan agama Islam.
Boleh jama’ di dalam negeri
“Telah berkata Ibnu Abbas: Rasulullah s.a.w.
pernah sembahyang jama’ antara Zuhur dan Ashar, dan antara Maghrib dan Isya,
bukan diwaktu ketakutan dan bukan di dalam pelayaran (safa). Lantas ada orang
bertanya kepada Ibnu Abbas: “Mengapa Rasulullah s.a.w. berbuat begitu? Ia
menjawab: “Rasulullah s.a.w. berbuat begitu kerana tidak mahu memberatkan
seorangpun daripada umatnya”. (HR Imam Muslim)
Boleh Seketika, Tetapi Bukan Leluasa
Bila anda berpergian sebelum tergelincir
matahari (yaitu sebelum Zuhur dan ternyata Zuhur tidak dapat dikerjakan pada
waktunya kerana ada kerumitan atau halangan yang susah dielakkan), maka Zuhur
dapat dikerjakan pada waktu Ashar, bersama-sama dengan solat Ashar. Bila anda
keluar sesudah tergelincir matahari, yakni sudah dalam Zuhur, sedangkan anda
sendiri memperkirakan tidak mungkin ada kesempatan untuk mengerjakan solat
Ashar tepat pada waktunya, maka Ashar dapat anda kerjakan bersama-sama solat
Zuhur di waktu Zuhur itu juga, demikian halnya dengan solat Maghrib dan Isya.
Yang Penting Niat
Bagi seorang yang betul-betul sibuk dengan
tugas yang tidak dapat ditinggalkan (atau bila ditinggalkan dapat merosak),
maka baginya ada keizinan/keringanan untuk mengerjakan solat jama’ (Zuhur
dengan Ashar di waktu Zuhur atau Zuhur dengan Ashar di waktu Ashar. Begitu juga
Maghrib dengan Isya, sekali pun ia berada di dalam kota atau negeri. Tetapi,
cara yang demikian bukanlah untuk dijadikan kebiasaan, namun dibenarkan bagi
yang memang memerlukan, baik dalam solat atau diluar solat.
Pada waktu sujud dianjurkan membaca:
Sajada wajhiya lilladzii khalaqahu wasyaqqa
sam’ahu wabasharahu bihawlihi waquwwatihi. (Aku bersujud kepada Allah yang
menciptakannya, memberikan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan
kekuatan-Nya)
Catatan:
Bila diluar solat, pembacaan ayat yang
ditentukan melakukan sujud tilawah, maka pendengar (menyaksikan) dianjurkan
ikut bersujud; bila mereka tidak ikut bersujud, maka tidak akan berdosa.
Bila dalam solat jamaah, Imam bersujud
tilawah, maka makmum wajib ikut bersujud, bila makmum tidak bersujud, maka
gugurlah kedudukannya sebagai anggota solat berjamaah.
PASAL
Salat Jum’at
Syarat wajib sholat Jum’at
Orang-orang yang wajib mengerjakan shalat Jum’at adalah orang-orang yang telah memenuhi 7 syarat berikut:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Sehat badan
g. Menetap (bukan musafir, tidak dalam perjalanan jauh).
Orang-orang yang wajib mengerjakan shalat Jum’at adalah orang-orang yang telah memenuhi 7 syarat berikut:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki-laki
f. Sehat badan
g. Menetap (bukan musafir, tidak dalam perjalanan jauh).
Sedangkan orang-orang yang tidak wajib
mengerjakan shalat Jum’at adalah :
a. Orang kafir
b. Anak kecil (yang belum baligh)
c. Orang gila
d. Budak
e. Orang perempuan
f. Musafir A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat
a. Orang kafir
b. Anak kecil (yang belum baligh)
c. Orang gila
d. Budak
e. Orang perempuan
f. Musafir A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat
Sholat Jum’at adalah ibadah salat yang
dikerjakan di hari jum’at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah
khutbah.
B. Hukum Sholat Jum’at
Shalah Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi
laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri
atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit
dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Dalil Al-qur’an Surah Al Jum’ah ayat 9 :
” Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.”
C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat
1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang
diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat
jum’at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum’at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum’at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
D. Ketentuan Shalat Jumat
Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai
berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.
E. Hikmah Solat Jum’at
1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan
berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.
F. Sunat-Sunat Shalat Jumat
1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan
sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
Syarat Khutbah 1. Khutbah dilakukan sebelum
salat Jum’at 2. Niat 3. Disampaikan dengan bahasa yang bisa dipaham oleh
Jamaah. 4. Antara khutbah satu dan khutbah dua dilakukan dalam satu waktu.
(antara keduanya tidak boleh dipisahkan dengan salat Jum’at ). 5. Disampaikan
dengan suara yang bisa didengar oleh jamaah, minimal sejumlah orang yang wajib
dipenuhi sebagai syarat sahnya salat Jum’at, 40 orang. 6. Salat Jum’at segera
dilakukan begitu khutbah usai, tidak boleh diselingi dengan hal-hal yang tidak
ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan salat Jum’at. B. Rukun Khutbah 1. Memuji
kepada Allah (Dengan membaca: “al-hamdulillah, atau, ahmadullah, atau hamdan
lillah, dan sesamanya”) dalam setiap khutbah pertama dan kedua. 2. Membaca
salawat untuk Nabi Muhammad saw dalam setiap khutbah, satu dan dua (salawatnya:
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad, dan atau semacamnya”) 3. Berwasiat untuk
melakukan ketakwaan dalam setiap khutbah (pesannya: “ittaqullah, atau
athi’ullah, atau ushikum bitaqwallah, dan atau semisalnya”) 4. Membaca satu
atau sebagian ayat al-Qur`an. 5. Doa untuk kebaikan dan ampunan bagi
orang-orang beriman pada khutbah kedua. Rukun di atas adalah rukun khutbah
dalam Mazhab Syafi’i. Menurut mazhab ini, semua rukun tersebut harus
disampaikan dalam bahasa Arab, adapun pesan-pesan lain yang tidak termasuk
rukun bisa disampaikan dengan bahasa yang dipahami oleh jamaah. Adapun
Mazhab-mazhab lainnya adalah sebagai berikut: 1. Mazhab Hanafi, rukun khutbah
adalah satu hal, yaitu dzikir secara mutlak, baik panjang maupun pendek.
Menurut Mazhab ini bahkan bacaan tahmid, atau tasbih, atau tahlil, sudah cukup
untuk menggugurkan kewajiban khutbah. Mazhab ini berpendapat bahwa khutbah bisa
disampaikan dalam bahasa apa saja, tidak harus bahasa Arab. 2. Mazhab Maliki,
rukun khutbah menurut mazhab ini adalah satu hal, yaitu ungkapan yang memuat
kabar gembira (dengan janji-janji pahala dari Tuhan) atau peringatan (bagi
orang-orang yang suka melanggar aturan Tuhan). Mazhab ini berpendapat bahwa
keseluruhan khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab. Jika tidak ada yang
mampu menggunakan bahasa Arab maka kewajiban salat Jum’at gugur untuk
dilaksanakan. 3. Mazhab Hanbali, rukun khutbah menurut mazhab ini ada empat
hal, yaitu: a. Bacaan “alhamdulillah” dalam setiap khutbah, satu dan dua. b.
Salawat atas Nabi Muhammad. c. Membaca satu atau sebagian ayat al-Qur’an. d.
Wasiat untuk melakukan ketakwaan. Mazhab ini juga berpendapat bahwa khutbah
harus disampaikan dalam bahasa Arab bagi yang mampu. Bagi yang tak bisa
berbahasa Arab maka menggunakan bahasa yang dimampui, khusus untuk ayat
al-Qur`an tidak boleh digantikan dengan bahasa lain. Demikian, rincian syarat
dan rukun khutbah menurut mazhab-mazhab besar yang banyak berlaku. Memang hampir
tidak ada perbedaan antara khutbah dengan ceramah yang biasa dilakukan para
dai. Yang membedakan hanya waktu penyampaiannya. Wa ‘l-Lah-u a’lam. Demikian,
semoga membantu. Salam, Shocheh Ha
PASAL
Salat Gerhana
Pengertian Gerhana
Gerhana dalam istilah syar’I disebut dengan khusuf
atau kusuf, yang maknanya adalah : hilangnya sebagian cahaya
matahari dan bulan atau hilangnya secara keseluruhan dikarenakan proses alam,
yang menyebabkan kondisi pada saat itu mengarah ke warna gelap atau hitam.
Gerhana itu sendiri terdiri dari dua macam
gerhana yaitu “gerhana matahari” yang dikenal dengan “kusuf” dan
“gerhana bulan” yang dikenal dengan istilah “khusuf”
Shalat dua gerhana adalah Shalat yang dikerjakan pada
saat terjadinya gerhana matahari atau bulan dengan cara dan ketentuan tertentu
sesuai dengan yang dicontohkan oleh rasulullah salallahu ‘alaihi wasalam.
Dasar Hukum Perintah Shalat dua gerhana
“Telah terjadi gerhana matahari pada hari
wafatnya Ibrahim putera Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Berkatalah manusia:
Telah terjadi gerhana matahari kerana wafatnya Ibrahim. Maka bersabdalah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam “Bahwasanya matahari dan bulan adalah
dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah mempertakutkan hamba-hambaNya
dengan keduanya. Matahari gerhana, bukanlah kerana matinya seseorang atau
lahirnya. Maka apabila kamu melihat yang demikian, maka hendaklah kamu shalat
dan berdoa sehingga habis gerhana.” (HR. Bukhari & Muslim).
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan
dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana
karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh
karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a
kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”. Setelah itu, beliau bersabda :
“Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang yang lebih cemburu dari
Allah jika hambaNya, laki-laki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad,
seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis” (Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani).
Waktu Shalat
Waktu shalat dua gerhana dimulai sejak
terjadinya gerhana sampai berakhirnya masa gerhana, hal ini berdasarkan
sabda beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam , “Apabila kalian melihat
(artinya: sesuatu dari peristiwa tersebut), maka shalatlah“.
(Mutafaqqun ‘Alaih).
Dan dalam hadits lainnya , “Dan jika kalian
melihat yang demikian itu maka sholatlah hingga matahari kelihatan”.
(Diriwayatkan oleh Muslim)
Tidak ada qadha pada shalat gerhana, jika masa
waktu gerhana telah hilang maka tidak disyariatkan untuk melakukan shalat
gerhana.
Tata Cara Shalat Gerhana
Jumlah rakaat shalat gerhana adalah 2 rakaat
dengan 2 kali membaca alfatihah dan 2 kali rukuk dan 2 kali sujud di tiap
rakaatnya.
Yang membedakan antara shalat gerhana dengan
shalat lainnya adalah pada jumlah rukuk ditiap rakaat yaitu sebanyak 2 kali.
Berikut ini tata cara shalat gerhana :
- Shalat dengan jumlah 2 rakaat, bacaan shalat di keraskan.
- Membaca surat al-fatihah dilanjutkan dengan membaca surat pilihan lain, di sunnahkan membaca surat-surat yang panjang.
- Selanjutnya rukuk, dengan rukuk yang panjang.
- Setelah itu mengangkat kepala dari ruku dan membaca “Sami’ Allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu”
- Lalu dia kembali membaca Al-Fatihah dan surat panjang yang lebih pendek dari surat pertama.
- Kemudian ruku’ dengan waktu ruku’ lebih pendek dari waktu ruku’ pertama.
- Setelah itu mengangkat kepala dari ruku’ dan membaca, “Sami’ Allahu liman hamidah rabbana lakal hamdu”
- Lalu sujud pertama
- Selanjutnya bangkit dari sujud dan melakukan duduk di antara dua sujudnya
- Sujud kembali untuk melakukan sujud yang kedua.
- setelah itu kembali berdiri dan memulai rakaat yang kedua
- Kemudian lakukan shalat rakaat kedua seperti rakaat pertama dengan dua ruku dan dua sujud yang panjang.
- Lalu setelah sujud yang kedua dilanjutkan dengan bertasyahud, dan terakhir
- Salam
Sunnah-sunnah Shalat dua gerhana
- Memperbanyak dzikir, istighfar, bertakbir, sodaqoh dan melakukan amal shalih lainnya.
- Keluar menuju masjid untuk melakukan shalat gerhana secara berjamaah
- Shalat gerhana tidak di mulai dengan adzan dan iqamah, melainkan dengan seruan “ashsholatu jami’ah” (shalat akan didirikan)
- Khutbah setelah shalat gerhana
PASAL
Defenisi
Istisqa’ artinya minta diturunkan hujan oleh
Allah swt untuk sejumlah negeri atau hamba-hambaNya yang membutuhkannya melalui
shalat, berdoa dan beristighfar ketika terjadi kemarau.
Hukumnya
Shalat Istisqa’ termasuk shalat sunnah yang
sangat dianjurkan sekali (sunnah muakkadah), di mana Rasulullah saw pun telah
melaksanakannya dan beliau juga memberitahukannya kepada orang-orang agar ikut
serta untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat istisqa’.
Oleh karena itu apabila hujan sangat lama
tidak turun dan tanah menjadi gersang, maka dianjurkan bagi kaum muslimin pergi
ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat istisqa’ dua rekaat di pimpin seorang
iman, memperbanyak do’a dan istighfar dan memutar selendangnya yang sebelah
kanan diletakkan ke sebelah kiri. Sebagaiamana sabda Nabi saw dari
Abdullah bin Zaid ia berkata
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
“Saya melihat Nabi saw tatkala pergi ke tanah
lapang untuk shalat istisqa’ beliau palingkan punggungnya menghadap para
sahabat dan kiblat sambil berdo’a, lalu beliau palingkan selendangnya, kemudian
shalat dengan kami du’a rekaat dengan suara yang keras ketika membaca ayat.”
Tata cara shalat istisqa’
Pergi ke tanah lapang kemudian shalat
berjama’ah bersama orang-orang yang dipimpin seorang imam tanpa adzan dan
iqomah akan tetapi hendaknya mengucapakan الصلاة جامعة. Kemudian shalat dua rekaat, jika imam berkenan maka ia dapat
membacca takbir sebanyak tujuh kali pda rekaat pertama dan lima kali pada
rekaat keduaseperti pada shalat hari raya. Pada rekaat perama imam
membaca surat al-’Ala setelah ia membaca surat Al-Fatihah dengan suara yag
nyaring, sedang pada rekaat yang kedua membaca surat al-Ghasiyah. Setelah
selesai shalat hendaknya imam menghadap ke arah jama’ah kemudian ia berkhutbah
di hadapan mereka dengan menghimbau mereka supaya banyak bersitighfar, lalu
imam berdoa yang diamini oleh jama’ah, lalu imam menghadap kiblat serta mengubah
posisi selendangnya, sehingga bagian sebelah kanan berpindah ke bagian sebelah
kiri, serta bagian sebelah kiri berpindah ke bagian sebelah kanan dan kemudian
mengangkat tangannya, lalu orang-orangpun harus mengubah posisi selendang
mereka sebagaimana yang dilakukan seorang imam. Selanjutya mereka berdoa sesaat
kemudian bubar Dan disunnahkan ketika berdo’a istisqa’ mengangkat
tangannya dengan posisi punggung tangan di atas.
Beberapa bentuk istisqa’
- Seorang imam shalat dua rekaat bersama makmum, waktunya kapan saja, kecuali waktu yang dilarang untuk shalat. Dengan mengeraskan bacaan, rekaat pertama membaca surat Al-’Ala dan yang kedua dengan surat Al-Ghasiyah Selesai shalat Imam berkhutbah di hadapan manusia kemudian berdo’a kepda Allah agar diturunkan hujan. Dan ini adalah cara yang paling sempurna dan lengkap.
- Ketika khutbah jum’at kemudian di akhir khutbah khatib berdo’a supaya diturunkan hujan, kemudian makmum mengamini do’anya. Sebagaiamana sabda Nabi saw, Dari Anas ra bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari jum’at, sedangkan Rasulullah saw sedang berdiri berkhutbah, lalu laki-laki tadi berkata, “Wahai Rasulullah saw hartaku telah binasa, bekalku telah habis, maka berdo’alah kepada Allah agar menolong (menurunkan hujan) kepada kita, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berdo’a,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
- Hanya dengan berdo’a saja, bukan pada hari jum’at dan tidak pula melaksanakan shalat di masjid atau di tanah lapang.
Waktu pelaksanaan istisqa’
Waktu pelaksanaan istisqa’ sama seperti shalat
hari raya ini adalah pendapat Malikiyah, berdasarkan keterangan dari Aisyah, “Rasulullah
saw pergi menunaikan shalat istisqa’ ketika tampak penghalang matahari.”
Namun dalam hadits ini bukan membatasi bahwa waktu shalat istisqa’ itu hanya
seperti keterangan dalam hadits, akan tetapi waktu pelaksanaan shalat istisqa’
dapat dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang untuk shalat. Karena
shalat istisqa’ memiliki waktu yang panjang, namun yang lebih afdhal adalah
dilaksanakan pada awal hari sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, karena
shalat istisqa’ menyerupai (hampir sama) dengan shalat ‘ied tata cara dan
tempatnya.
Hal-hal yang disunnahkan sebelum shalat
istisqa’
Disunnahkan kepada imam untuk mengumumkan
pelaksanaan shalat istisqa’ beberapa hari sebelumnya, menghimbau orang-orang
supaya bertaubat dari kemaksiatan dan menjauhkan diri dari kedzaliman. Juga
menganjurkan mereka supaya berpuasa, bersedekah, meninggalkan permusuhan
dan memperbanyak amal kebaikan, karena kemaksiatan itu penyebab kemarau dan
tidak diturunkannya hujan, sebagaimana ketaatan menjadi penyebab kebaikan dan
keberkahan sehingga Allah swt akan menurunkan hujan dari langit
Khutbah Istisqa’
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai waktu
khutbah pada shalat istisqa’, Sebagian ulama’ berpendapat dan ini adalah
merupakan riwayat dari Imam Ahmad, bahwasanya Imam berkhutbah sebelum shalat
istisqa’.
Namun mayoritas ulama’ di antaranya adalah
Malik, Syafi’I dan Muhammad bin Hasan dan ini juga riwayat dari Imam Ahmad bin
Hambal dari jalur yang lain, bahwasanya khutbah istisqa’ dilaksanakan setelah
shalat istisqa’ dan ini merupakan pendapat yang benar, sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalm Al-Mughni berdasarkan perkataan dari Abu
Hurairah di dalam hadits yang shahih,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah r
keluar pada waktu istisqa’ maka kemudian ia shalat bersama kami dua raka’at
tanpa adzan dan iqamah kemudian berkhutbah pada kami dan berdo’a kepada Allah U
dan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat dengan mengangkat tangannya kemudian
membalik selendangnya dan menjadikan selendang sebelah kanan pada pundak yang
kiri dan selendang sebelah kiri diletakkan di pundak yang kanan.” (HR. Ibnu Majah)
“Rasulullah
saw shalat dua rakaat kemudian berkhutbah kepada kami.”
Do’a-do’a istisqa’
Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa do’a
di dalam istisqa’ yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw :
- Sebagaimana hadits yang telah lalu ketika seoang laki-laki datang ke masjid dan Rasulullah saw sedang berkhutbah, kemudian ia minta supaya Rasulullah saw berdo’a, اللهم أغثنا اللهم أغثنا اللهم أغثنا sebanyak tiga kali.
- Sebagaimana sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا طَبَقًا مَرِيعًا غَدَقًا عَاجِلًا غَيْرَ رَائِثٍ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong, menyegarkan
tubuh dan menyuburkan tanaman dan segera tanpa ditunda-tunda.”
- Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwasanya Nabi saw ketika dalam istisqa’ beliau membaca, اللهم اسقنا اللهم اسقنا اللهم اسقنا ” Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami”.
- Salah satu do’a dalam istisqa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالْآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Ya Allah turunkanlah hujan disekitar kami,
bukan pada kami. Ya Allah berilah hujan ke dataran tinggi, pegunungan, anak
bukit, dan lembah serta di tempat tumbuhnya pepohonan.”
- Dalam Sunan Abu Dawud disebutkan di antara do’a yang dibaca Nabi saw ketika istisqa’
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا مَرِيعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلًا غَيْرَ آجِلٍ قَالَ فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ السَّمَاءُ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong.
Menyegarkan tubuh, dan menyuburkan tanaman, bermanfaat dan tidak membahayakan
dengan segera tanpa ditunda-tunda.”
PASAL
Berpakaian
Di
haramkan bagi seorang laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra
dan memakai cincin yang terbuat dari emas didalam tingkah permilih
seperti digunakan untuk tempat tidur dan lain sebagainya ,kecuali dalam keadaan
dzorurot seperti panas atau dingin yang membahayakan .dihalalkan bagi perempuan
dan anak yang di bawah umur 7 tahun memakai sutra dan cicin emas .
Hukumnya Haram :
A.Tidak boleh shalat dengan aurat terbuka,
Masalah terbukanya aurat ini terjadi pada
beberapa klasifikasi manusia:-Pertama; Seseorang mengenakan celana ketat yang
membentuk lekuk tubuh (aurat) kemudian memakai baju yang pendek, sehingga
ketika rukuk atau sujud pakaiannya tersingkap, maka kelihatan bagian bawah
punggungnya dan bentuk auratnya karena ketatnya celana yang dipakai dan
pendeknya baju.
Maka dengan pakaian seperti ini berarti dia
membuka auratnya, padahal dia sedang rukuk dan sujud di hadapan Allah swt, semoga
Allah menjaga kita semua dari hal itu. Terbukanya aurat dalam keadaan shalat
dapat menyebabkan batalnya shalat, dan inilah salah satu efek negatif mengimpor
pakaian dari negri kafir.
Perhatian juga kepada para wanita, jangan
sampai shalat dalam keadaan sebagian rambutnya terlihat, atau tidak tertutup
keseluruhannya. Jangan pula tersingkap lengan atau betisnya. Karena menurut
jumhur (mayoritas) ulama kalau sampai demikian, maka hendaknya ia mengulang
shalatnya tersebut.
Salah satu pakaian yang dikhawatirkan menjadi
sebab terbukanya aurat wanita adalah jilbab kecil yang sangat memungkinkan
apabila shalat dengan tanpa tutup lain yang lebih lebar akan tersingkap bagian
rambutnya.
B, Shalat dengan pakaian tipis
Pakaian yang menampakkan anggota badan,
sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di masa ini. Dengan sengaja
memakainya maka berarti sengaja memperlihatkan bagian auratnya yang seharusnya
tertutup.
Mereka telah tergiring oleh syahwat sehingga
menjadi pengikut mode dan adat, mereka juga telah terbius oleh para penyeru
permisivisme yang membolehkan manusia berkreasi dan melakukan apa saja tanpa
mengindah kan norma dan aturan syari’at. Suatu ketika Rasululah n ditanya oleh
seseorang tentang shalat dengan memakai satu pakaian (misal: celana panjang
saja tanpa memakai baju atau memakai gamis tanpa mengenakan celana-red), maka
beliau menjawab, “Bukankah masing masing kalian mendapati dua pakaian?
Maka dengan demikian orang yang shalat dengan
baju tidur termasuk dalam kategori ini, karena tentu dia akan merasa malu
apabila bepergian atau ke pasar dengan memakai piyama tersebut.
Dan bagi wanita, shalat dengan pakaian yang tipis urusannya lebih berat dari pada laki-laki.
Dan bagi wanita, shalat dengan pakaian yang tipis urusannya lebih berat dari pada laki-laki.
Maka jangan sampai para wanita shalat dengan
pakaian yang terbuat dari kain yang tipis atau transparan, karena meskipun
menutup seluruh tubuh namun tetap memperlihatkan kulit dan badannya.
C. Shalat dalam keadaan isbal ( khusus pria )
Banyak sekali dalil yang menjelaskan haramanya
isbal, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Namun masih banyak kaum
muslimin yang kurang perhatian dengan masalah ini, padahal ada sebuah riwayat
marfu’ dari Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah tidak menerima shalat
seseorang yang musbil (menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki).
Hadits ini dinyatakan hasan oleh An-Nawawi di
dalam kitab Riyadhus Shalihin dan oleh Ahmad Syakir dalam ta’liqnya terhadap
kitab Al Mahalli. Namun berdasar penelitian, hadits tersebut adalah dha’if
karena rawi dari tabi’in adalah majhul (tidak dikenal). Andaikan hadits
tersebut shahih,
maka amat banyak kaum muslimin yang berada
dalam bahaya besar karena melakukan shalat dalam keadaan isbal. Namun tetap
saja shalat dengan kondisi isbal adalah sebuah kesalahan, sehingga meskipun
shalatnya sah, pelakunya mendapatkan dosa.
D. Shalat Berpakaian Sutra dan memakai cicin
emas
Khusus untuk seorang Peia dilarang shalat
memakai pakaian yang terbuat dari sutra ataupun pakaian yang dibordil memakai
benang sutra, hal ini dapat dibaca dari hadisdz seperti dibawah ni
1. Sesungguhnya pria yang pakaian sutera tidak
akan memperoleh bagiannya di akhirat. (HR. Bukhari)
2. Rasulullah Saw melarang kami minum dan
makan dengan perkakas makan dan minum dari emas dan perak. Beliau juga melarang
kami berpakaian sutera dan yang dibordir dengan benang sutera dengan sabdanya,
“Itu untuk kaum musyrikin di dunia dan untuk kamu di akhirat. (Mutafaq’alaih)
3. Rasulullah Saw melarang kami mengenakan pakaian dari sutera, memakai cincin emas dan minum dengan tempat yang biasa dipakai untuk minum arak (seperti kendi). (HR. An-Nasaa’i)
3. Rasulullah Saw melarang kami mengenakan pakaian dari sutera, memakai cincin emas dan minum dengan tempat yang biasa dipakai untuk minum arak (seperti kendi). (HR. An-Nasaa’i)
4. Uqbah bin Amir berkata, “Dihadiahkan
pakaian kurung sutra kepada Nabi Muhammad saw., lalu beliau mengenakannya dan
shalat dengan memakainya. Beliau lalu berpaling dan melepaskannya dengan keras
seperti orang yang benci kepadanya, lalu beliau bersabda, ‘Ini (sutra) tidak
layak bagi orang-orang yang bertakwa.’”
5. Khusus untuk kaum wanita (muslimah)
diperkenankan untuk menggunakan perhiasan dari emas dan perak, serta memakai
pakaian sutera dan pakaian yang dibordir dengan sutera (yang terdapat
suteranya), namun hal tersebut diharamkan untuk kaum pria (muslimin).
HUKUMNYA MAKRUH
1. Shalat dengan pakaian ketat,
Memakai pakaian ketat dalam shalat adalah
makruh dalamtinjauan syar’i dan tidak baik dari segi kesehatan. Jika ketika
memakainya sampai tingkat meninggalkan shalat (dengan alasan susah untuk
melakukan gerakan ini dan itu), maka hukum memakainya menjadi haram.
Celana panjang (ketat, red) itu membentuk aurat, dan aurat laki-laki adalah dari lutut sampai pusar.
Celana panjang (ketat, red) itu membentuk aurat, dan aurat laki-laki adalah dari lutut sampai pusar.
Seorang yang sedang shalat harus semaksimal
mungkin menjauhi segala kemaksiatan ketika dia sedang sujud, yakni dengan
terlihat bentuk kedua pantatnya karena sempitnya celana itu, atau bahkan
membentuk aurat yang ada di antara keduanya (kemaluan). Maka bagaimana orang
seperti ini berdiri di hadapan Rabb seru sekalian alam?
Jika celana yang dipakai adalah longgar maka
menurut Syaikh al-Albani tidak apa-apa, namun yang lebih utama adalah dengan
mengenakan gamis (baju panjang) hingga menutupi lutut, atau setengah betis dan
boleh dijulurkan maksimal hingga mata kaki.
2. Menyingsingkan atau melipat lengan baju,
Termasuk kesalahan dalam pakaian shalat adalah
menyingsingkan atau melipat lengan baju ketika akan shalat.Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk
sujud di atas tuju anggota badan, tidak menahan rambut dan menyingsingkan
pakaian.”
3. Shalat dengan pundak terbuka,
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah bersabda, “Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian shalat
hanya dengan satu pakaian tanpa adanya penutup sedikit pun di atas pundaknya.”
(HR Muslim).Larangan di atas menunjukkan atas makruhnya hal itu, bukan
keharamannya. Sebab jika seseorang telah menutup auratnya, maka shalatnya sah
meskipun tidak meletakkan sesuatu di atas pundaknya, namun perbuatan ini
dibenci.
4. Shalat dengan pakaian yang bergambar,
Diriwayatkan dari Aisyah ra dia berkata, Suatu
ketika Rasulullah shalat dengan memakai qamishah (gamis) yang terdapat gambar,
tatkala selesai shalat beliau bersabda, “Bawalah qamishah ini kepada Abu Jahm
bin Khudzaifah dan bawakan untukku anbijaniyah, karena qamishah tadi telah
mengganggu shalatku.”Anbijaniyah adalah jenis kain yang agak tebal yang tidak
bermotif dan tidak ada gambar ataupun tulisan (kain polos).
Dari Anas Radhiallaahu anha dia berkata,
Aisyah ra pernah memasang sehelai kain untuk menutup salah satu dinding sisi
rumahnya. Maka Nabi n bersabda kepadanya, ” Singkirkan dia dariku karena selalu
terlintas dalam pandanganku ketika aku melakukan shalat.”
5. Shalat dengan pakaian kuning,
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra bahwa
Rasulullah melihat dua pakaian dicelup (diwenter) dengan warna kuning, maka
beliau bersabda, “Sesungguhnya itu termasuk pakaian orang kafir, maka engkau
jangan memakainya.”Dari Anas ra dia berkata, “Rasulullah melarang seseorang
untuk mewarnai bajunya dengan warna kuning (za’faran, semisal warna
kunyit-red).
Dan dalam hadits yang bersumber dari Ali ra dia berkata, “Rasulullah n melarang pakaian mu’ashfar (yang di celup dengan warna kuning).”Ada pun bagi wanita maka tidak apa-apa mengenakan pakaian dengan warna tersebut.
Dan dalam hadits yang bersumber dari Ali ra dia berkata, “Rasulullah n melarang pakaian mu’ashfar (yang di celup dengan warna kuning).”Ada pun bagi wanita maka tidak apa-apa mengenakan pakaian dengan warna tersebut.
6. Shalat Tanpa Tutup Kepala untuk Pria
Apabila yang melakukan demikian adalah orang
laki-laki maka dibolehkan, namun tidak dibolehkan bagi kaum wanita, karena
kepala bagi seorang wanita adalah aurat. Akan tetapi yang mustahab(dianjurkan)
adalah shalat dengan menutup kepala karena lebih sempurna dan pantas.Syaikh
Nashiruddin al-Albani berkata, “Saya berpendapat bahwa shalat dengan kepala
terbuka adalah makruh, karena merupakan hal yang bisa diterima jika seorang
muslim masuk masjid untuk shalat dengan penampilan islami yang semaksimal
mungkin, berdasarkan hadits, “Sesungguhnya berhias (rapi) di hadapan Allah
adalah lebih berhak (dilakukan).”
Perlu diketahui bahwa shalat dengan kepala
terbuka adalah makruh, maka tidak dibenarkan seseorang tidak mau shalat
dibelakang orang (imam) yang tidak memakai tutup kepala.
Demikianlah beberapa hokum berpakaian dalam shalat maupun dalam aktipitas manusia sehari hari, yang harus dilaksanakan sesuai hukum hukumnya, sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT.
Demikianlah beberapa hokum berpakaian dalam shalat maupun dalam aktipitas manusia sehari hari, yang harus dilaksanakan sesuai hukum hukumnya, sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT.
PASAL
Kewajiban Terhadap Jenazah
Adapun soal-soal yang bersangkutan dengan
jenazah ada empat. Jenazah tersebut hendaklah dimandikan,dikafankan,disolatkan
dan dikuburkan .
Keempat- empat perkara ini ‘ Fardu Kifayah’
hukumnya bagi umat Islam, apabila yang mati itu orang yang beragama Islam. Bila
pekerjaan itu ditinggalkan berdosalah semua orang Islam di negeri itu tetapi
bila ada di antara mereka yang mengerjakannya, maka sekalian umat Islam di
negara itu lepaslah dari dosa.
1. Memandikan Mayat
Syarat sah-nya mandi :
- · Mayat itu orang Islam (muslim)
- · Belum dimandikan
- · Didapati tubuhnya walaupun sedikit
- · Mayat itu bukan mati syahid/ syuhada (mati dalam peperangan untuk membela agama Allah).
Rukunnya adalah menyeluruhkan air suci kepada
segenap tubuhnya. Tata caranya secara sunnah adalah memulai dengan
mewudhukannya, lalu memulai dengan bagian kanan dari tubuhnya, dan kemudian
kiri tubuhnya, air untuk memandikan dicampur dengan daun sidir (bidara),
setelah selesai maka diulang demikian hingga 3X, atau 5X atau 7X, dan pada kali
yg terakhir dicampur dengan kafur. (shahih Bukhari hadits no.1196)
Para fuqaha menambahkan, adalah mengurut dada
dan perutnya kebawah, untuk berusaha pelahan-lahan mengeluarkan kotoran yg
masih tersimpan di perutnya, lalu membersihkan tubuhnya dan Qubul dan Dubur
dengan kain basah, lalu membersihkan giginya, menyiwakinya, lalu mebersihkan
hidungnya dan telinganya, lalu baru mewudhukannya, lalu memandikannya. Sunnah
menggunakan wewangian pada mayyit bila selesai dimandikan sebelum dikafani.
Bagi yg memandikan, tak ada syarat tertentu,
boleh bahkan dimandikan oleh anak anak dibawah umur dewasa, bahkan dijelaskan
oleh Imam Arramly diperbolehkan dimandikan oleh Jin pun sah, namun disunnahkan
adalah keluarga terdekat, dan hukum memandikan jenazah muslim adalah fardhu
kifayah
Sekurang-kurangnya mandi untuk melepaskan
kewajiban itu adalah sekali,merata ke seluruh badannya, setelah dihilangkan
najis yang ada pada badannya. Sebaiknya mayat itu diletakkan di tempat yang
tinggi,seperti balai, di tempat yang sunyi, berserta tidak ada orang yang masuk
ke tempat itu melainkan orang yang memandikan dan orang yang menolong mengurus
keperluan yang bersangkutan dengan mandi itu.
Pakaiannya diganti dengan kain basahan (kain
mandi), untuk kain mandi itu sebaiknya kain sarung, supaya auratnya tidak mudah
terbuka. Sesudah diletakkan di atas tempatnya, kemudian didudukkan dan
disandarkan punggungnya kepada sesuatu, lantas disapu perutnya dengan tangan
dan ditekankan sedikit, supaya keluar kotorannya.
Perbuatan itu hendaklah diikuti dengan air dan
harum-haruman agar menghilangkan bau kotoran yang keluar. Sesudah itu, mayat
dilentangkan lantas dicebokkan dengan tangan kiri yang memakai sarung tangan
sesudah cebok, sarung tangan hendaklah diganti dengan yang bersih, lantas
dimasukkan anak jari kiri ke mulutnya,digosak giginya dan dibersihkan mulutnya,
dan diwu’dhukan.
Kemudian dibasuhkan kepala, janggut dan
disisir rambut dan janggutnya perlahan-lahan. Rambut yang tercabut hendaklah
dicampur kembali ketika mengkafankannya. Lantas dibasuh sebelah kanannya,
kemudian dibaringkan ke sebelah kirinya dan dibasuh badannya sebelah kanannya
kemudian dibaringkan lagi sebelah kanannya dan dibasuh sebelah kiri. Peraturan
sekalian yang tersebut dihitung satu kali. Disunatkan tiga atau lima kali .
Air pemandian mayat ini sebaliknya air dingin,
terkecuali jika berhajat kepada air panas karena sangat dingin atau karena
susah menghilangkan kotoran. Baik juga pakai sabun atau sebagainya, dan
membasuhnya. Adapun air pembasuh penghabisan (pembilasan) itu, baik dicampur
dengan kapur barus sedikit atau harum-haruman yang lain.
Dari Ummi Athiyah : Nabi SAW telah masuk
kepada kami sewaktu kami memandikan anak beliau yang perempuan, lalu beliau berkata:
Mandikanlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih kalau kamu pandang baik
lebih dari itu dengan air serta daun bidara, dan basuh yang penghabisan
hendaklah dicampur dengan kapur barus, mulailah oleh kamu dengan bagian badan
sebelah kanan dan anggota wudhu-nya. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Yang berhak memandikan mayat.
Kalau mayat itu lelaki hendaklah yang
memandikannya lelaki, tidak boleh perempuan memandikan mayat lelaki, terkecuali
isteri dan mahramnya. Sebaliknya jika mayat itu perempuan hendaklah dimandikan
oleh perempuan pula; tidak boleh lelaki memandikan mayat perempuan terkecuali
suami atau mahramnya. Jika suami dan mahramnya sama-sama ada suami lebih berhak
memandikan isterinya. Begitu juga jika isteri dan mahramnya sama-sama ada, maka
isteri lebih berhak untuk memandikan suaminya.
Bila meninggal seseorang perempuan, dan tempat
itu tidak ada perempuan, suami atau mahramnya, maka mayat itu hendaklah
ditayammumkan saja, tidak dimandikan oleh lelaki lain. Begitu juga sebaliknya
jika lelaki yang meninggal. Kalau mayat anak-anak lelaki atau perempuan maka
boleh dimandikan oleh lelaki dan perempuan.
Jika ada beberapa orang yang berhak
memandikan, maka yang lebih berhak ialah keluarga yang terdekat kepada mayat.
Kalau ia mengetahui akan kewajiban mandi serta dipercayai, kalau tidak
berpindahlah hak tersebut kepada yang lebih jauh yang berpengetahuan serta
amanah (dipercayai).
Dari Aisyah berkata Rasulullah SAW “Barang
siapa memandikan mayat dan dijaga kepercayaan, tidak dibukakannya kepada orang
lain apa-apa yang dilihat pada mayat itu, bersihlah ia dari segala dosanya
seperti keadaannya sewaktu dilahirkan oleh ibunya. Kata beliau lagi,hendaklah
yang mengimaminya adalah keluarga yang terdekat dari mayat jika pandai
memandikan mayat, jika ia tidak pandai maka siapa saja yang dipandang berhak
karena amanahnya.” (Riwayat Ahmad)
2. Mengkafankan Mayat.
Hukum mengkafankan(membungkus) mayat itu
adalah “Fardu Kifayah” atas orang yang hidup. Kafan itu diambil dari harta si
mayat sendiri, jika ia meninggalkan harta, kalau ia tidak meninggalkan harta,
maka kafan atas orang yang wajib memberi belanjanya ketika ia hidup. Kalau yang
wajib memberikan belanja itu tidak pula mampu, hendaklah diambil dari
Baitulmal, bila ada Baitulmal dan diatur menurut hukum agama Islam. Jika
Baitulmal tidak ada atau tidak teratur, maka wajib atas orang Muslim yang
mampu. Demikian pula belanja yang lain-lain yang bersangkutan dengan keperluan
mayat.
Untuk lelaki
Kafan sekurang-kurangnya selapis kain yang
menutupi sekalian badan mayat, baik mayat lelaki maupun perempuan. Sebaiknya
untuk lelaki tiga lapis kain, tiap-tiap lapis daripadanya menutupi seluruh
badannya. Sebagian ulama berpendapat , satu daripada tiga lapis itu, hendaklah
izar (kain mandi) ,dua lapis menutupi sekalian badannya.
Cara Memakainya :
Dihamparkan sehelai-sehelai dan ditaburkan di
atas tiap-tiap lapis itu harum-haruman seperti kapur barus dan sebagainya.
Kedua tangannya diletakkan di atas dadanya. Tangan kanan di atas tangan kiri,
dan boleh juga kedua tangan itu diluruskan menurut lambungnya(rusuknya). Dari
Aisyah :” Rasulullah SAW dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang
dibuat dari kapas tidak ada dalamnya baju dan tiada pula serban.” (Muttafaqun
alaih)
Untuk Perempuan
Adapun mayat perempuan maka sebaiknya dikafani
dengan lima lembar, yaitu basahan (kain basah), baju, kepala, mukena dan kain
yang menutupi seluruh badannya.
Cara Memakainya :
Dipakai kain basahan, baju, tutup kepala, lalu
kekudung, kemudian dimasukkan dalam kain yang menutupi seluruh badannya. Di
antara beberapa lapisan kain tadi sebaiknya diberi harum-haruman seperti kapur
barus.
Dari Laila binti Qanif, katanya:”Saya salah
seorang yang turut memandikan Ummi Kalsum binti Rasulullah SAW ketika wafatnya.
Yang mula-mula diberikan olah Rasulullah SAW kepada kami ialah kain basahan,
kemudian baju. Kemudian tutup kepala, lalu kekudung dan sesudah itu dimasukkan
dalam kain yang lain (yang menutupi sekalian badannya).” Kata Laila,”Sedang
Nabi berdiri di tengah pintu membawa kepadanya dan memberikannya kepada kami
sehelai demi sehelai.”( Riwayat Ahmad dan Abu Daud).
Terkecuali dari itu, orang yang mati sedang
dalam ihram haji atau umrah, tidak boleh diberi harum-haruman dan jangan pula
ditutupkan kepalanya.
Dari Ibnu Abbas, katanya -”Ketika seorang
lelaki sedang wukuf mengerjakan haji bersama-sama Rasulullah SAW di padang
Arafah tiba-tiba laki-laki itu terjatuh dari kendaraannya lalu meninggal. Maka
dikabarkan orang kejadian itu kepada Nabi SAW. Beliau berkata: Mandikanlah ia
dengan air dan daun bidara dan kafankanlah ia dengan dua kain ihramnya. Jangan
kamu beri dia harum- haruman dan jangan ditutup kepalanya, maka sesungguhnya
Allah akan membangkitkan dia nanti pada akhirat seperti keadaannya sewaktu
berihram”.
Rosulullah saw bersabda: “Pakailah olehmu kain
kamu yang putih ,karena sesungguhnya kain putih itu adalah sebaik-baiknya kain,
dan kafanlah mayat kamu dengan kain putih itu” .(Riwayat Tirmidzi).
Membaikkan Pemakaian Kafan .
Dari jabir berkata Rasulullah SAW,” Apabila
salah seorang kamu mengkafankan saudaranya, hendaklah dibaikkan kafannya
itu.”(Riwayat Muslim)
Kafan yang baik, maksudnya,baik sifatnya dan
baik cara memakainya,serta terjadi dari bahan yang baik. Sifat-sifatnya telah
diterangkan yaitu kain yang putih. Begitu pula cara memakainya yang baik.
Adapun baik yang bersangkut dengan dasar kain, ialah jangan sampai
berlebih-lebihan memiliki dasar kain yang mahal-mahal harganya.
Dari Ali Abi Talib berkata Rasulullah SAW,
janganlah kamu berlebih-lebihan memilih kain yang mahal-mahal untuk
kafan,karena sesungguhnya kafan itu akan hancur dengan segera.”(Riwayat Abu
Daud).
3. SHOLAT JENAZAH
Sholat Jenazah merupakan salah satu di antara
perkara yang wajib yang dilakukan atas orang-orang yang hidup sebagai fardu
kifayah dan disunatkan sholat berjamaah sebagaimana sabda Rasullullah SAW :
“Tidaklah ada di antara seorang muslim yang mati kemudian sholat ke atasnya 40
orang lelaki yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun melainkan
disyafaatkan Allah padanya” (HR. Muslim)
Jika yang shalat dengan imam hanya satu orang,
maka orang itu tidak berdiri pas di samping imam sejajar seperti halnya dalam
shalat-shalat lain, tapi ia berdiri di belakang imam. (Dari sini anda
mengetahui kesalahan banyak orang bahkan orang-orang terpelajar yaitu dalam shalat-shalat
biasa lainnya jika hanya berdua maka yang ma’mum mundur sedikit dari posisi
yang sejajar imam).
Yang tidak wajib hukumnya dishalati (tapi
boleh) :
- · Anak yang belum baligh [Boleh dishalati meskipun lahir karena keguguran, yaitu yang gugur dari kandungan ibunya sebelum sempurna umur kandungan. Ini jika umurnya dalam kandungan ibunya sampai empat bulan. Jika gugur sebelum empat bulan maka ia tidak dishalati].
- · Orang yang mati syahid
Disyariatkan menshalati :
- · Orang yang meninggal karena dibunuh dalam pelaksaanaan huhud hukum Allah
- · Orang yang berbuat dosa dan melakukan hal-hal yang haram. Orang ahlul ilmi dan ahlul diin tidak menshalati supaya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang seperti itu
- · Orang yang berutang yang tidak meninggalkan harta yang bisa menutupi utang-utangnya, maka orang yang seperti ini dishalati
- · Orang yang dikuburkan sebelum dishalati (atau sebagian orang sudah menshalati sementara yang lainnya belum menshalati) maka mereka boleh menshalati di kuburnya.
- · Orang yang mati di suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang menshalati di sana, maka sekelompok kaum muslimin menshalatinya dengan shalat gaib. [Karena tidak semua yang meninggal dishalati dengan shalat gaib]
Adab-adab sholat Jenazah:
- · Lebih afdhal jika shalat jenazah di luar masjid, yaitu di suatu tempat yang disiapkan untuk shalat jenazah, dan boleh juga di masjid karena semuanya ini pernah diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- · Jika kebetulkan banyak sekali jenazah terdiri dari jenazah laki-laki dan jenazah wanita, maka mereka dishalati sekali shalat. Jenazah laki-laki (meskipun masih anak-anak) diletakkan lebih dekat dengan imam, sedangkan jenazah wanita di arah kiblat atau boleh juga dishalati satu persatu, karena ini adalah hukum asalnya.
- · Pemimpin umat atau wakilnya lebih berhak menjadi imam dalam shalat, jika keduanya tidak ada maka yang lebih pantas mengimami adalah yang lebih baik bacaan/hafalan Qur’an-nya, kemudian yang selanjutnya tersebutkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- · Imam berdiri di posisi kepala mayat laki-laki dan di posisi pertengahan mayat wanita.
- · Jika yang shalat dengan imam hanya satu orang, maka orang itu tidak berdiri pas di samping imam sejajar seperti halnya dalam shalat-shalat lain, tapi ia berdiri di belakang imam. [Dari sini anda mengetahui kesalahan banyak orang bahkan orang-orang terpelajar yaitu dalam shalat-shalat biasa lainnya jika hanya berdua maka yang ma'mum mundur sedikit dari posisi yang sejajar imam]
- · Disukai membuat shaf/baris di belakang imam tiga shaf ke atas dan Jumlah minimal jemaah yang tersebutkan dalam pelaksanaan shalat jenazah adalah tiga orang dan juga lebih banyak jumlah jemaah lebih afdhal bagi mayyit.
- · Bacaan dalam shalat jenazah sifatnya sir [pelan].
- · Orang yang berutang yang tidak meninggalkan harta yang bisa menutupi utang-utangnya, maka orang yang seperti ini dishalati
- · Orang yang dikuburkan sebelum dishalati (atau sebagian orang sudah menshalati sementara yang lainnya belum menshalati) maka mereka boleh menshalati di kuburnya.
- · Orang yang mati di suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang menshalati di sana, maka sekelompok kaum muslimin menshalatinya dengan shalat gaib. [Karena tidak semua yang meninggal dishalati dengan shalat gaib]
- · Tidak boleh shalat pada waktu-waktu terlarang, kecuali karena darurat. [waktu-waktu terlarang; saat terbitnya matahari, tatkala matahari pas dipertengahan dan tatkala terbenam]
- · Shalat jenazah tidak dilakukan dengan ruku’, sujud maupun iqamah, melainkan dalam posisi berdiri sejak takbiratul ihram hingga salam. Berikut adalah urutannya:
1. Berniat, niat shalat ini, sebagaimana juga
shalat-shalat yang lain cukup diucapkan didalam hati dan tidak perlu
dilafalkan, tidak terdapat riwayat yang menyatakan keharusan untuk melafalkan niat.
2. Takbiratul Ihram pertama kemudian membaca
surat Al Fatihah
3. Takbiratul Ihram kedua kemudian membaca shalawat atas Rasulullah
SAW minimal :“Allahumma Shalli ‘alaa Muhammadin” artinya : “Yaa
Allah berilah shalawat atas nabi Muhammad”
4. Takbiratul Ihram ketiga kemudian membaca
do’a untuk jenazah minimal:“Allahhummaghfir lahu warhamhu wa’aafihi wa’fu
anhu” yang artinya : “Yaa Allah ampunilah dia, berilah rahmat,
kesejahteraan dan ma’afkanlah dia”.Apabila jenazah yang dishalati itu
perempuan, maka bacaan Lahuu diganti dengan Lahaa. Jika mayatnya
banyak maka bacaan Lahuu diganti dengan Lahum.
5. Takbir keempat kemudian membaca do’a
minimal:“Allahumma laa tahrimnaa ajrahu walaa taftinna ba’dahu waghfirlanaa
walahu.”yang artinya : “Yaa Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai
kepadanya atau janganlah Engkau meluputkan kami akan pahalanya, dan janganlah
Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, serta ampunilah kami dan dia.” Atau
Berdoa dengan doa yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti :
“Alahumma ‘abduka wabna amatika ahyaaja ilaa rahmatika wa anta ghaniyyi an
‘adzabihi in kana muhsinan farid fii hasanaatihi, saayyian fatajawaja ‘an
sayyiatihi” Artinya : “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu, ia
memerlukan rahmat-Mu, Engkau berkuasa untuk tidak menyiksanya, jika ia baik
maka tambahlah kebaikannya, jika ia jahat maka maafkanlah kejahatannya”
6. Mengucapkan salam
Bila terdapat keluarga atau muslim lain yang
meninggal di tempat yang jauh sehingga jenazahnya tidak bisa dihadirkan maka
dapat dilakukan shalat ghaib atas jenazah tersebut. Pelaksanaannya serupa
dengan sholat jenazah, perbedaan hanya pada niat sholatnya. Niat shalat ghaib :“Ushalli
‘alaa mayyiti (Fulanin) al ghaaibi arba’a takbiraatin fardlal kifaayati lillahi
ta’alaa” Artinya : “aku niat shalat gaib atas mayat (fulanin) empat takbir
fardu kifayah sebagai (makmum/imam) karena Allah””
kata fulanin diganti dengan nama mayat yang dishalati.
kata fulanin diganti dengan nama mayat yang dishalati.
4. Menguburkan Mayat
Adab-adab menguburkan mayat:
- · Wajib menguburkan mayyit, meskipun kafir.
- · Tidak boleh menguburkan seorang muslim dengan seorang kafir, begitu pula sebaliknya, harus dipekuburan masing-masing.
- · Menurut sunnah Rasul, menguburkan di tempat penguburan, kecuali orang-orang yang mati syahid mereka dikuburkan di lokasi mereka gugur tidak dipindahkan ke penguburan. [Hal ini memuat bantahan terhadap sebagian orang yang mewasiatkan supaya dikuburkan di masjid atau di makam khusus atau di tempat lainnya yang sebenarnya tidak boleh di dalam syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala]
- · Tidak boleh menguburkan pada waktu-waktu terlarang [Lihat Bagian XII No 27] atau pada waktu malam, kecuali karena dalam keadaan darurat, meskipun dengan cara memakai lampu dan turun di lubang kubur untuk memudahkan pelaksanaan penguburan.
- · Wajib memperdalam lubang kubur, memperluas serta memperbaiki.
- · Penataan kubur tempat mayat ada dua cara yang dibolehkan :
[a] Lahad : yaitu melubangi liang kubur ke
arah kiblat (ini yang afdhal).
[b] Syaq : Melubangi ke bawah di pertengahan liang kubur.
[b] Syaq : Melubangi ke bawah di pertengahan liang kubur.
- ·
Dalam kondisi darurat boleh menguburkan dalam satu lubang dua mayat atau
lebih, dan yang
lebih didahulukan adalah yang lebih afdhal di antara mereka. - · Yang menurunkan mayat adalah kaum laki-laki (mekipun mayatnya perempuan).
- · Para wali-wali si mayyit lebih berhak menurunkannya.
- · Boleh seorang suami mengerjakan sendiri penguburan istrinya.
- · Dipersyaratkan bagi yang menguburkan wanita ; yang semalam itu tidak menyetubuhi isterinya.
- · Menurut sunnah : memasukkan mayat dari arah belakang liang kubur.
- · Meletakkan mayat di atas sebelah kanannya, wajahnya menghadap kiblat, kepala dan kedua kakinya melentang ke kanan dan kekiri kiblat.
- · Orang yang meletakkan mayat di kubur membaca : “bismillahi wa’alaa sunnati rasuulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallama” -Artinya : ‘(Aku meletakkannya) dengan nama Allah dan menurut sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” atau : “bismillahi wa ‘alaa millati rasulillahi shallallahu ‘alaihi wa sallama” – Artinya : “(Aku meletakkan) dengan nama Allah dan menurut millah (agama) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
- · Setelah menimbun kubur disunahkan hal-hal sebagai berikut:
a. Meninggikan kubur sekitar sejengkal dari
permukaan tanah, tidak diratakan, supaya Dapat dikenal dan dipelihara serta
tidak dihinakan.
b. Meninggikan hanya dengan batas yang
tersebut tadi.
c. Memberi tanda dengan batu atau selain batu
supaya dikenali.
d. Berdiri di kubur sambil mendoakan dan
memerintahkan kepada yang hadir supaya mendoakan dan memohonkan ampunan juga.
(Inilah yang tersebutkan di dalam sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
adapun talqin yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam pada zaman ini maka
hal itu tidak ada dalil landasannya di dalam sunnah).
- · Boleh duduk saat pemakaman dengan maksud memberi peringatan orang-orang yang hadir akan kematian serta alam setelah kematian. [Hadits Al-Barra bin 'Aazib]
- · Menggali kuburan sebagai persiapan sebelum mati, yang dilakukan oleh sebagian orang adalah perbuatan yang tidak dianjurkan dalam syari’at, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hal itu, para sahabat beliaupun tidak melakukannya. Seorang hamba tidak mengetahui di mana ia akan mati. Jika ia melakukan hal itu dengan dalih supaya bersiap-siap mati atau untuk mengingat kematian maka itu dapat dilakukan dengan cara memperbanyak amalan shaleh, berziarah ke kubur, bukan dengan cara melakukan hal-hal yang hanya dibikin-bikin oleh orang [Disalin dari kitab Muhtasar Kitab Ahkaamul Janaaiz wa Bid'auha, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, diringkas oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan diterjemahkan oleh Muhammad Dahri Komaruddin]
Tambahan:
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengebumikan
mayat pada waktu malam itu sama saja dengan menguburkan mayat pada waktu siang.
Rasulullah s.a.w pernah menguburkan seorang
lelaki yang selalu berzikir dengannya pada waktu malam. Syaidina Ali juga
menguburkan Syaidatina Fatimah pada malam hari. Saidina Abu Bakar, Usman,
Syaidatina Aishah dan Ibn Masud juga dikebumikan pada waktu malam.
Walaupun demikian menguburkan mayat pada waktu
malam itu dibolehkan sekiranya hak-hak yang berkaitan dengan mayat itu telah
sempurna dilakukan. Sekiranya hal seperti ini tidak dipenuhi maka perbuatan itu
dilarang.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim menyatakan bahwa nabi pada satu hari telah memberi penerangan kepada
orang ramai dan menyebut tentang seorang lelaki sahabatnya yang meninggal lalu
dikafankan dengan kain kafan yang tidak mencukupi dan dikebumikan pada waktu
malam. Nabi telah mencela amalan menguburkan mayat pada waktu malam kecuali
seseorang itu terpaksa melakukannya. Begitu juga keterangan daripada sebuah
hadis lain yang diriwayatkan oleh ibnu Majah daripada Jabir.
Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Muslim dan as-sahibus Sunan daripada Uqbah katanya, ada tiga waktu di
mana nabi mencegah kami mensholatkan mayat, yaitu ketika tepat waktu terbitnya
matahari, ketika tepat tengah hari dan ketika hampir terbenam matahari hingga
terbenam.
Meskipun begitu, sekiranya keadaan memaksa,
seperti dikhawatirkan mayat menjadi busuk, maka mengebumikan mayat pada waktu
itu boleh dilakukan dengan sengaja tanpa sebab darurat seperti yang dijelaskan,
hukumnya adalah makruh.
Perlu dijelaskan bahwa dalam pengebumian ini,
setiap orang perlu memastikan bahwa mayat yang dikubur itu tidak dapat digali
oleh binatang buas. Kerana itu kubur perlu digali dalam sekira-kira bau mayat
itu tidak dapat dicium oleh manusia juga binatang termasuk burung-burung.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Nasai daripada Hisyam bin Amir, juga oleh Tirmidzi katanya: Kami telah mengadu
kepada Rasulullah s.a.w ketika perang Uhud. “Ya Rasulullah, adalah sukar bagi
kami untuk menggali kubur untuk setiap mayat.’’
Mendengar kata itu, Rasulullah bersabda:
Galilah kamu semua, dalamkan dan perelokkan, kuburlah dua atau tiga mayat dalam
satu kubur.
Mereka bertanya: Siapakah yang kami hendak
dahulukan ya Rasulullah? Baginda menjawab: Dulukan yang banyak hafal al-Quran.
Bapakku adalah termasuk dalam salah seorang yang dikuburkan dalam sebuah kubur
yang memuat tiga jenazah.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dan Ibnu Munzir daripada Umar ra bahwa ia berpesan: Galilah kubur
itu setinggi ketika mayat tegak dan selebar badan.
Satu perkara lain yang perlu juga kita fahami
adalah tentang bentuk lubang kubur itu sendiri. Ada kubur yang digali yang
diberi liang di sisi kubur pada arah kiblat. Di atasnya diletakkan papan-papan
menjadikan bentuknya seakan-akan rumah yang beratap. Satu bentuk lain dinamakan
syaq, yaitu liang yang dibuat di tengah-tengah kubur.
Mengenai cara memasukkan mayat dalam kubur,
hendaklah dilakukan pada bagian belakangnya, yaitu sekiranya ia tidak mengalami
masalah. Sekiranya menghadapi masalah untuk berbuat demikian, maka ia boleh dimasukkan
bagian mana saja.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah
dan Bayhaqi daripada keterangan Abdullah bin Aid, bahawa ia memasukkan mayat
dalam kubur dari arah kedua-dua kakinya, katanya: Ini adalah sunnah.
Menurut Ibnu Hazim, memasukkan mayat dalam
kubur itu boleh dilakukan dari bagian mana saja, sama dengan bagian arah kiblat
atau sebaliknya atau dari arah kepala, ataupun dari arah kaki, karena tidak ada
satu keterangan yang tegas mengenainya.
Menurut sunnah, mayat hendaklah dibaringkan
dalam kuburnya pada sisinya yang kanan dengan mukanya ke arah kiblat. Orang
yang berbuat demikian hendaklah membaca Bismillah wa’ala millati rasulillah
(dengan nama Allah dan menurut agama (sunnah) Rasulullah. Tali yang mengikat
mayat hendaklah diuraikan.
Menurut sebuah hadis yang diterima daripada
Ibnu Umar ia berkata: Bahwa nabi apabila meletakkan mayat dalam kubur, baginda
mengucapkan: Bismillah wa’ala millati rasulullah atau wa’ala sunnati
rasulillah.
Sebagian periwayat menganggap makruh
meletakkan kain, selimut dan sebagainya untuk mayat dalam kubur. Manurut Ibnu
Hazim tidak salah meletakkan kain hamparan di bawah mayat, berdasarkan sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, daripada Ibnu Abbas, katanya: Pada makam
Rasulullah telah dihamparkan permaidani merah. Ia berkata: Dan Allah telah
membiarkan perbuatan ini dalam upacara pengebumian Rasulullah seorang manusia
yang maksum dan tidak mencegahnya. Dilakukan oleh manusia pilihan di muka bumi
secara ijmak, tanpa seorang pun yang menentangnya.
Ada ulama menganggap sunat meletakkan kepala
mayat di atas bantal yang diperbuat daripada tanah liat, batu atau tanah biasa
dalam keadaan pipi kanannya dicecahkan pada bantal tanah dan sebagainya setelah
kain kapan dibuka daripada pipinya. Syaidina Umar ra pernah berkata: Andainya
kamu menurunkan mayatku ke liang lahad nanti, tempelkan pipiku ke tanah.
Memang benar bahwa amalan akan mengendalikan
mayat dan akan memberi kemudahan, yaitu bagi mereka yang dapat mengambil
ikhtibarnya.
Wallahu ‘alam bishowab
KITABUL AHKAMIZZAKATI
Definisi
Secara bahasa, zakat berarti tumbuh berkembang. Secara syariat, zakat adalah istilah untuk harta khusus yang diambil dari harta tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu dan disalurkan hanya kepada pihak-pihak tertentu.
Secara bahasa, zakat berarti tumbuh berkembang. Secara syariat, zakat adalah istilah untuk harta khusus yang diambil dari harta tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu dan disalurkan hanya kepada pihak-pihak tertentu.
Lima Jenis Harta Wajib Zakat
Zakat diwajibkan kepada 5 (lima) jenis harta
orang muslim: (i) Hewan ternak, (ii) Barang berharga, maksudnya adalah emas dan
perak, (iii) Tanaman, (iv) Biji-bijian, dan (v) Barang perdagangan. Tentang ke
lima jenis harta tersebut akan kami detailkan nanti.
Adapun hewan ternak, maka zakatnya wajib atas
3 (tiga) jenis hewan, yaitu: (i) Unta, (ii) Sapi/kerbau, dan (Kambing). Maka,
tidak ada kewajiban zakat atas kuda, budak, dan hewan hasil persilangan antara
kambing dengan kijang, misalnya.
Syarat Wajib Zakat
Ada 6 (enam) point persyaratan, yaitu:
- Islam, maka tidak wajib zakat atas orang-orang kafir asli (kafir asli adalah orang yang terlahir sebagai orang kafir karena kedua orang tuanya kafir dan tidak pernah masuk Islam). Adapun orang yang murtad, maka yang terbenar dari berbagai pandangan ulama adalah hartanya mauquf (disita oleh pemerintahan Islam -pent). Jika ia kembali masuk Islam, maka zakat wajib atasnya, jika ia tetap dalam kemurtadannya, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya.
- Merdeka, maka zakat tidak wajib atas seorang budak. Adapun seseorang yang memiliki dua status secara bersamaan, yaitu merdeka dan budak, maka zakat diwajibkan kepada hartanya yang berstatus merdeka.
- Milik sempurna, maksudnya adalah dimiliki secara penuh. Maka, kepemilikan yang belum sempurna tidak wajib zakat, semisal seseorang yang membeli barang, namun ia belum menerima barang tersebut. Ini selaras dengan qaul qadim-nya Imam Syafi’iy. Namun qaul jadid-nya Imam Syafi’iy menyatakan tetap wajib zakat walaupun barang tersebut belum ia terima. (Qaul Jadid atau perkataan baru, maksudnya adalah semua pandangan dan fatwa Imam Syafi’iy yang dikemukakan semenjak beliau tinggal Di Mesir hingga akhir hayatnya -pent).
- Nishab dan Haul. Jika seseorang memiliki sesuatu harta, namun belum mencapai jumlah nishab atau belum sampai satu tahun (12 bulan), maka tidak ada zakatnya.
- Padang bebas. Ini khusus hewan ternak. Maksudnya adalah hewan ternak yang digembalakan di padang bebas atau di hutan yang tidak ada biaya dalam hal tersebut. Hewan ternak yang demikianlah yang ada kewajiban zakatnya. Maka, jika ada ternak yang digemukkan di dalam kandangnya dalam hampir sebagian besar waktunya selama satu tahun, maka tidak ada zakatnya. Namun jika dikandangkan selama 6 bulan atau kurang sedikit dan digembalakan selama 6 bulan, maka tidak apa-apa jika ia menunaikan zakatnya atau tidak membayarnya.
Barang berharga, maksudnya adalah emas dan perak,
akan kami detailkan kemudian. Adapun persyaratan wajib zakat emas dan perak ada
5 point, yaitu:
- Islam
- Merdeka
- Milik sempurna
- Nishab
- Haul
Tentang ini, akan kami detailkan kemudian.
Adapun tanaman, maka yang dimaksud adalah
biji-bijian seperti gandum, adas, dan beras. Demikian juga seperti jewawut dan
kacang hijau.
Wajibnya zakat atas tanaman, harus menuhi tiga
syarat, yaitu:
- Ditanam oleh manusia, maka jika ia tumbuh dengan sendirinya, seperti terbawa oleh air atau angin lalu ia tumbuh di lahan tersebut, maka tidak ada zakatnya.
- Berupa biji-bijian yang bisa disimpan lama. Maka, tanaman yang bukan biji-bijian dan tidak bisa disimpan, tidak wajib zakat.
- Mencapai nishab, yaitu 5 (lima) wasaq (include zakatnya) dan sudah bersih siap dikonsumsi. Pada sebagian naskah disebutkan: Harus mencapai 5 wasaq tidak termasuk zakatnya.
Adapun buah-buahan, maka ia wajib zakat atas dua jenis
buah, yaitu: (i) kurma dan buah anggur. Syarat wajib zakat atas buah-buahan ada
4 (empat) point adalah:
- Islam
- Merdeka
- Milik sempurna
- Nishab
Maka, kapanpun buah-buahan tidak memenuhi
salah satu dari 4 syarat di atas, maka tidak wajib zakat.
Adapun barang dagangan, maka kewajiban zakatnya ditentukan
berdasarkan persyaratan yang berlaku pada zakat barang berharga (emas dan
perak) sebagaimana sudah kami sebutkan terdahulu. Dan perdagangan maksudnya
adalah mendayagunakan harta, memutar modal dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan.
Nishab Unta
- Awal nishab unta adalah 5 ekor, zakatnya seekor kambing dha’n (kambing yang memiliki bulu lebat/domba -pent) yang berumur satu tahun dan masuk tahun ke dua, atau kambing yang berumur dua tahun dan masuk tahun ke tiga.
- 10 ekor unta, zakatnya dua ekor kambing
- 15 ekor unta, zakatnya 3 kambing
- 20 ekor unta, zakatnya 4 ekor kambing
- 25 ekor unta, zakatnya 1 bintu makhadh
- 36 ekor unta, zakatnya 1 bintu labun
- 46 ekor unta, zakatnya 1 hiqqah
- 61 ekor unta, zakatnya 1 jadza’ah
- 76 ekor unta, zakatnya 2 bintu labun
- 91 ekor unta, zakatnya 2 hiqqah
- 121 ekor unta, zakatnya 3 bintu labun
- Dan seterusnya.
Ini sangat gamblang, tidak perlu lagi akan
penjelasan.
Bintu makhadh adalah unta yang berumur 1 tahun dan masuk tahun ke dua.
Bintu labun adalah unta yang berumur 2 tahun dan masuk tahun ke tiga.
Hiqqah adalah unta yang berumur 3 tahun dan masuk tahun ke empat
Jadza’ah adalah unta yang berumur 4 tahun dan masuk tahun ke lima.
Dan pada setiap kelipatan 40 ekor, setelah 121, zakatnya 1 ekor bintu labun
Dan setiap kelipatan 50 ekor, setelah 121, zakatnya 1 hiqqah. Maka, jika unta 140, zakatnya 2 hiqqah dan 1 bintu labun, dan jika unta 150, zakatnya 3 hiqqah. Demikian.
Bintu makhadh adalah unta yang berumur 1 tahun dan masuk tahun ke dua.
Bintu labun adalah unta yang berumur 2 tahun dan masuk tahun ke tiga.
Hiqqah adalah unta yang berumur 3 tahun dan masuk tahun ke empat
Jadza’ah adalah unta yang berumur 4 tahun dan masuk tahun ke lima.
Dan pada setiap kelipatan 40 ekor, setelah 121, zakatnya 1 ekor bintu labun
Dan setiap kelipatan 50 ekor, setelah 121, zakatnya 1 hiqqah. Maka, jika unta 140, zakatnya 2 hiqqah dan 1 bintu labun, dan jika unta 150, zakatnya 3 hiqqah. Demikian.
Nishab Sapi/Kerbau
- Awal nishab sapi adalah 30 ekor, maka ia sudah wajib zakat. Pada sebagian naskah, disebutkan zakatnya 1 tabi’, yaitu sapi (jantan) yang berusia 1 tahun dan masuk tahun kedua. Disebut tabi’ karena pada usia itu ia masih ikut kemanapun induknya pergi. Namun, jika ia menunaikan zakatnya 1 ekor tabi’ah (betina), sah.
- 40 ekor sapi, zakatnya 1 musannah, yaitu yang berusia 2 tahun dan masuk tahun ke 3. Disebut musannah karena pada usia ini, giginya sudah lengkap. Namun, jika ia menunaikan zakatnya 2 ekor tabi’ (jantan) maka sah, menurut pandangan yang terbenar dari pandangan ulama.
- 120 ekor sapi, zakatnya 3 ekor musannah (betina) atau 4 ekor tabi’ah (betina).
Nishab Kambing
- Awal nishab untuk kambing adalah 40 ekor, baik berupa dha’n (kambing yang memiliki bulu lebat/domba -pent). Zakatnya 1 ekor jadza’ah domba (usia 6 bulan) atau kambing biasa yang berusia 1 tahun.
- 121 ekor kambing, zakatnya 2 kambing
- 201 ekor kambing, zakatnya 3 kambing
- 400 ekor kambing, zakatnya 4 kambing
- Dan setiap kelipatan 100, zakatnya 1 ekor kambing. Ini demikian gamblang dan tidak memerlukan penjelasan lagi.
Jika Dua Pemilik Bercampur Dalam Penggembalaan
Jika dua orang berserikat dalam sebuah ternak
sebanyak 80 ekor kambing, masing-masing 40 ekor, maka zakatnya 1 ekor. Jika dua
orang berserikat dalam sebuah ternak sebanyak 40 ekor kambing, masing-masing 20
ekor, maka zakatnya 1 ekor kambing. Atau jumlahnya tidak sama, seperti dua
orang yang berserikat dalam 60 ekor kambing, satu orang memiliki sepertiganya
(20 ekor) dan seorang lagi memiliki dua pertiganya (40 ekor). Atau jumlahnya
sama atas masing-masing dari dua orang tersebut, seperti 200 ekor kambing,
masing-masing memiliki 100 ekor. Kesemuanya, zakatnya dihukumi sebagai satu
kesatuan.
Syarat dalam perserikatan ini ada tujuh, yaitu:
- Marah waidah. Satu lahan gembalaan
- Masrah wahidan. Satu tempat tinggal ketika di malam hari
- Ra’iy wahidan. Digembalakan oleh satu orang dan satu jenis hewan.
- Fihl wahidan. Satu jenis hewan. Jika beragam, seperti antara domba dan kambing kacang, maka boleh secara masing-masing.
- Syarab wahidan. Satu tempat minum, baik sumur, sungai, atau danau atau yang lainnya.
- Haalib wahidan. Satu dalam pemerah susunya. Dan ini adalah salah satu dari dua pandangan ulama. Yang terbenarnya adalah tidak ada syarat harus satu dalam pemerahan susunya.
- Maudhi’ul halab. (difatahkan lam). Dan satu wadah/tempat perahan susu. Imam Nawawi menghikayatkan bahwa halb (dengan disukunkan lam) artinya adalah nama untuk susu yang sudah diperah. Para ulama lainnya juga menjelaskan hal yang sama dengan Imam Namawy.
Nishab Barang Berharga
Nishab untuk emas adalah 20 mitsqal, dengan
standar mitsqal penduduk Mekkah. Zakatnya adalah seperempatnya yaitu sama
dengan setengah mitsqal. Dan jika jumlahnya lebih dari 20 mitsqal, walaupun
sedikit, maka zakatnya juga seperempatnya (2,5%). (Konversi 20 mitsqal/20 dinar
dengan standar sekarang adalah 85 gram emas murni (24K/99% -pent).
Dan nishab untuk perak adalah 200 dirham,
zakatnya 2,5%, yaitu sama dengan 5 dirham. Jika lebih dari 200 dinar, walaupun
sedikit, maka cara penghitungannya sama, yaitu 2,5%-nya. Tidak ada kewajiban
zakat atas maghsyusy, baik emas maupun perak, jika tidak sampai mencapai nishab
(Maghsyusy artinya emas atau perak yang tidak murni -pent). Dan tidak wajib
zakat atas perhiasan yang diperbolehkan. Adapun perhiasan yang diharamkan,
seperti emas pada laki-laki dan yang berjenis kelamin ganda, maka ada zakatnya.
Nishab Tanaman dan Biji-bijian
Nishab untuk tanaman dan biji-bijian adalah 5
wasaq. Lima wasaq sama dengan 1600 ritel Iraq atau Baghdad. Jika jumlahnya
lebih dari 5 wasaq maka penghitungannya adalah sesuai dengannya. Dan ritel
Baghdad, menurut Imam Nawawi, adalah sama dengan 128 dirham dan 4 saba’.
Tanaman dan biji-bijian itu adalah jika diairi dengan air hujan dan air sungai,
maka zakatnya adalah sepersepuluhnya (10%). Dan jika pengairannya dengan
menggunakan hewan, untuk mengangkut air tersebut dari sungai atau sumur, baik
sapi atau unta, maka zakatnya adalah 5 %. (5 wasaq dalam konversi standar
kilogram adalah 900 kg atau 9 kwintal, sebab 5 wasaq sama dengan 300 sha’,
sedangkan satu sha sama dengan 3 kg -pent).
Nishab Barang Dagangan, Mineral, dan Rikaz
Dan barang dagangan harus dihitung pada akhir
tahun (haul), baik mencapai nishab atau belum. Maka, jika ternyata pada akhir
tahun, mencapai nishab, ia harus dizakati, dan jika tidak sampai nishab maka
tidak dizakati. Zakatnya adalah 2,5%-nya.
Dan Ma’aadin/barang mineral/tambang yang
dieksplorasi dari dalam bumi, baik berupa emas atau perak, jika mencapai
nishab, maka zakatnya adalah 2,5%-nya pada saat ia diperoleh jika orang yang
melakukan eksplorasinya adalah orang yang termasuk wajib zakat (maksudnya
adalah muslim -pent).
Ma’aadin adalah bentuk jamak dari ma’dan, yang
artinya adalah tempat atau lahan kosong atau lahan milik seseorang dimana Allah
menciptakan harta-benda atau barang berharga padanya.
Adapun rikaz, yaitu harta karun peninggalan
orang kafir pada zaman dahulu, yaitu keadaan seperti keadaan bangsa Arab
sebelum datangnya Islam, seperti tidak tahu akan Allah, Rasul-Nya, dan berbagai
syariat Islam, maka rikaz tersebut ada kewajiban zakatnya, yaitu seperlimanya
(20 %) dan disalurkan kepada 8 ashnaf, menurut pendapat yang masyhur dari
kalangan pada ulama. Sebagian ulama lainnya berpandangan disalurkan kepada
mustahiq fai’, sebagaimana disebutkan dalam ayat tentang fai’.
Zakat fithrah
Dan zakat fithri atau zakat fithrah –fithrah
artinya asal-muasal penciptaan manusia– diwajibkan dengan tiga hal di dalam
Islam. Maka, tidak wajib fithrah atas orang kafir ashliy, kecuali
budaknya dan kerabatnya yang muslim. Ditunaikan sejak tenggelamnya matahari di
akhir Ramadhan. Maka, pada keadaan ini, ditunaikanlah zakat fithrah walaupun
pada orang yang meninggal setelah maghribnya. Namun, bayi yang lahir setelah
maghrib pada akhir Ramadhan, tidak wajib zakat. Dan ada sisa kelebihan
merupakan syarat zakat fithrah. Sisa kelebihan artinya adalah sisa dari
kebutuhan pribadi dan keluarganya serta orang-orang yang wajib ia nafkahi untuk
seukuran satu hari satu malam Iedul fithri.
Zakat fithrah ditunaikan atas dirinya dan atas
orang-orang yang dalam tanggungannya, dengan syarat muslimin. Maka, seorang
muslim tidak diwajibkan untuk menunaikan zakat budaknya, kerabatnya, dan
isterinya yang kafir, walaupun mereka adalah orang yang wajib dinafkahinya.
Jika seseorang sudah ditetapkan wajib
menunaikan zakat fithrah, maka ia tunaikanlah ia sebanyak 1 sha’ berupa bahan
makanan pokok daerahnya. Jika di daerahnya ada beragam bahan makanan pokok,
maka gunakanlah yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Jika seseorang
tinggal di daerah terpencil yang tidak ada bahan makanan pokok yang berupa
biji-bijian, maka zakatnya berupa jenis biji-bijian bahan makanan pokok daerah
yang terdekat dengan daerah dimana ia tinggal.
Jika seseorang memiliki bahan makanan pokok,
sebagai sisa dari kebutuhan sehari semalam Iedul fithri, namun tidak sampai
satu sha’ dan hanya sebagiannya, maka tunaikanlah ia walaupun tidak sampai 1
sha’. Satu sha’ sama dengan 5,35 ritel Iraq. (Jika dikonversikan dengan ukuran
kilogram sama dengan 2,5 atau 3 kg -pent).
Mustahiq Zakat
Zakat diberikan kepada mustahiqnya yang
berjumlah 8 ashnaf (golongan), sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Qur’an yang
mulia. Allah berfirman: Dan sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk
fakir, miskin, amil, muallaf, fii riqab, gharim, fii sabilillah, dan ibnu
sabil; Sebagai sebuah kewajiban dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. At-Taubah: 60).
Detail ini demikian jelas sehingga tidak perlu
saya terangkan lagi, kecuali ashnaf saja:
- Fakir, dalam topic zakat, adalah artinya orang yang tidak punya harta sama sekali dan tidak punya penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Adapun fakir secara umum adalah orang yang tidak punya uang di tangan.
- Miskin adalah orang yang memiliki sejumlah harta atau penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya, namun tidak cukup. Misalnya, seseorang yang membutuhkan biaya hidup sehari 10 dirham, namun ia hanya memiliki 7 dirham. Maka, yang demikian adalah dikategorikan miskin.
- Amil adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Imam (Khalifah atau pemimpin) untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada para mustahiq.
- Muallaf, ada 4 kategori, diantaranya adalah orang yang baru masuk Islam, ruh keislamannya masih lemah. Maka, ia diberi zakat. Adapun tiga jenis muallaf lainnya sudah kami sebutkan dalam Al-Mabsuthat.
- Fii riqab adalah adalah budak-budak yang sedang mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk mendapatkan kemerdekaan, secara benar. Adapun jika perjanjiannya secara tidak benar/bathil, maka tidak berhak mendapatkan zakat.
- Gharim, maka ia ada 3 jenis: (i) Seseorang yang berhutang untuk meredam fitnah antara dua kelompok muslimin tentang seseorang yang terbunuh namun belum diketahui siapa pelakunya. Ia berhutang dengan tujuan tersebut, maka ia diberi dana zakat dari hak gharim. Adapun dua jenis gharim lainnya sudah kami sebutkan dalam Al-Mabsuthat.
- Fii sabilillah, maka maksudnya adalah perang, dimana ia ikut berperang karena keinginan dirinya sendiri, dan bukan termasuk orang-orang yang ditanggung kebutuhan hidupnya.
- Ibnu sabil, maka maksudnya adalah orang yang hendak bepergian dari daerah dimana zakat itu diambil atau ia sedang melakukan perjalanan di negerinya. Dan syarat seseorang ibnu sabil memperoleh zakat adalah (i) membutuhkan, (ii) safarnya bukan berupa maksiat kepada Allah.
Dan juga, zakat diberikan kepada orang-orang
yang termasuk ke dalam salah satu ashnaf tersebut, walaupun tidak 8 ashnaf
seluruhnya. Sebab, terkadang sebagian ashnaf tidak ada. Jika seluruh ashnaf
tidak ada, maka harta zakat tersebut disimpan hingga ada mustahiq zakat di
waktu mendatang.
Dan tidak boleh menyalurkan harta zakat hanya
kepada orang kurang dari 3 orang pada setiap jenis mustahiq, kecuali amil.
Sebab, amil boleh hanya berupa seorang saja, jika ternyata sudah cukup. Dan
jika zakat hanya disalurkan kepada 2 orang pada setiap jenis ashnafnya, maka
orang ketiganya dihutangkan.
Ada lima golongan yang haram menerima zakat,
yaitu: (i) Orang kaya, baik karena hartanya atau pekerjaannya, (ii) Budak,
(iii) Bani Hasyim, (iv) Bani Muththalib, baik dilarang dari menerima seperlima
dari hak khumus atau bukan, dan hanya dibolehkan mengambil dari harta shadaqah,
berdasarkan pendapat yang masyhur dari para ulama. (v) Orang kafir. Orang kafir
tidak berhak mendapatkan zakat. Dan pada sebagian naskah disebutkan juga, dan
orang-orang yang ada dalam tanggungan pezakat, maka ia haram menerima zakatnya
dengan alasan mereka fakir atau miskin, namun boleh diberi zakat jika mereka
ikut perang (jihad) atau termasuk gharim.***
Kitabul akhkamissiyami
Definisi
Puasa ialah menahan diri dari makan, minum dan
bersenggama mulai dari terbit fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari.
Firman Allah Ta’ala: ”….dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam….” (Al-Baqarah:187)
Kapan dan bagaimana puasa Ramadhan diwajibkan?
Puasa Ramadhan wajib dikerjakan setelah
terlihatnya hilal, atau setelah bulan Sya’ban genap 30 hari. Puasa Ramadhan
wajib dilakukan apabila hilal awal bulan Ramadhan disaksikan seorang yang
dipercaya, sedangkan awal bulan-bulan lainnya ditentukan dengan kesaksian dua
orang yang dipercaya.
Siapa yang wajib berpuasa Ramadhan?
Puasa Ramadhan diwajibkan atas setiap muslim
yang baligh (dewasa), aqil (berakal), dan sanggup untuk
berpuasa. Adapun syarat-syarat wajibnya puasa Ramadhan ada empat, yaitu
Islam, berakal, dewasa dan mampu. Para ulama mengatakan anak kecil disuruh
berpuasa jika kuat, hal ini untuk melatihnya, sebagaimana disuruh shalat pada
umur 7 tahun dan dipukul pada umur 10 tahun agar terlatih dan membiasakan diri.
Syarat sahnya puasa
Syarat-syarat sahnya puasa ada enam:
- Islam: tidak sah puasa orang kafir sebelum masuk Islam.
- Akal: tidak sah puasa orang gila sampai kembali berakal.
- Tamyiz: tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan (yang balk dengan yang buruk).
- Tidak haid: tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti haidnya.
- Tidak nifas: tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari nifas.
- Niat: menyengaja dari malam hari untuk setiap hari dalam puasa wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR.Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi. Ia adalah hadits mauquf menurut At-Tirmidzi). Dan hadits ini menunjukkan tidak sahnya puasa kecuali diiringi dengan niat sejak malam hari yaitu di salah satu bagian malam. Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid’ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya): “Apakah engkau punya santapan siang? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” [Hadits Riwayat Muslim 1154].
Sunah Puasa
Sunah puasa ada enam:
- Mengakhirkan sahur sampai akhir waktu malam, selama tidak dikhawatirkan terbit fajar.
- Segera berbuka puasa bila benar-benar matahari terbenam.
- Memperbanyak amal kebaikan, terutama menjaga shalat lima waktu pada waktunya dengan berjamaah, menunaikan zakat harta benda kepada orang-orang yang berhak, memperbanyak shalat sunat, sedekah, membaca Al-Qur’an dan amal kebajikan lainnya.
- Jika dicaci maki, supaya mengatakan: “Saya berpuasa,” dan jangan membalas mengejek orang yang mengejeknya, memaki orang yang memakinya, membalas kejahatan orang yang berbuat jahat kepadanya; tetapi membalas itu semua dengan kebaikan agar mendapatkan pahala dan terhindar dari dosa.
- Berdo’a ketika berbuka sesuai dengan yang diinginkan. Seperti membaca do’a: “Ya Allah hanya untuk-Mu aku beupuasa, dengan rizki anugerah-Mu aku berbuka. Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, terimalah amalku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
- Berbuka dengan kurma segar, jika tidak punya maka dengan kurma kering, dan jika tidak punya cukup dengan air.
Hukum orang yang tidak berpuasa Ramadhan
Diperbolehkan tidak puasa pada bulan Ramadhan
bagi empat golongan:
- Orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang bepergian yang boleh baginya mengqashar shalat. Tidak puasa bagi mereka berdua adalah afdhal, tapi wajib mengqadhanya. Namun jika mereka berpuasa maka puasa mereka sah (mendapat pahala). Firman Allah Ta’ala: ” ….Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…. ” (Al-Baqarah:184). Maksudnya, jika orang sakit dan orang yang bepergian tidak berpuasa maka wajib mengqadha (menggantinya) sejumlah hari yang ditinggalkan itu pada hari lain setelah bulan Ramadhan.
- Wanita haid dan wanita nifas: mereka tidak berpuasa dan wajib mengqadha. Jika berpuasa tidak sah puasanya. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “Jika kami mengalami haid, maka diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan menggadha shalat.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih).
- Wanita hamil dan wanita menyusui, jika khawatir atas kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus meng-qadha serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Jika mereka berpuasa maka sah puasanya. Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan harus meng-gadha saja. Demikian dikatakan Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan o!eh Abu Dawud. Lihat kitab Ar Raudhul Murbi’, 1/124.
- Orang yang tidak kuat berpuasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Boleh baginya tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Demikian kata Ibnu Abbas menurut riwayat Al-Bukhari. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 1/215. Sedangkan jumlah makanan yang diberikan yaitu satu mud (genggam tangan) gandum, atau satu sha‘ (+ 3 kg) dari bahan makanan lainnya. Lihat kitab ‘Umdatul Fiqh, oleh Ibnu Qudamah, him. 28.
Hukum jima’ pada siang hari bulan Ramadhan
Diharamkan melakukan jima’ (bersenggama) pada
siang hari bulan Ramadhan. Dan siapa yang melanggarnya harus meng-qadha dan
membayar kaffarah mughallazhah (denda berat) yaitu membebaskan hamba
sahaya. Jika tidak mendapatkan, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut;
jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin; dan jika tidak punya maka
bebaslah ia dari kaffarah itu. Firman Allah Ta’ala: “Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al-Baqarah: 285). Lihat
kitab Majalisu Syahri Ramadhan, hlm. 102-108.
Hal-hal yang membatalkan puasa
- Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya.
- Jima’ (bersenggama).
- Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah.
- Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluamya tanpa sengaja.
- Keluamya darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam matahari.
- Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dalam lafazh lain disebutkan: “Barangsiapa muntah tanpa disengaja, maka ia tidak (wajib) mengganti puasanya.” Diriwayatkan oleh Al-Harbi dalam Gharibul Hadits (5/55/1) dari Abu Hurairah secara maudu’ dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah No. 923.
- Murtad dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya. Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah Ta’ala: “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam: 88).
Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu
yang membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika
tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa disengaja. Jika wanita
nifas telah suci sebelum sempurna empat puluh hari, maka hendaknya ia mandi,
shalat dan berpuasa.
Kewajiban orang yang berpuasa
Orang yang berpuasa, juga lainnya, wajib
menjauhkan diri dari perbuatan dusta, ghibah (menyebutkan kejelekan
orang lain), namimah (adu-domba), laknat (mendo’akan orang
dijauhkan dari rahmat Allah) dan mencaci-maki. Hendaklah ia menjaga telinga,
mata, lidah dan perutnya dari perkataan yang haram, penglihatan yang haram,
pendengaran yang haram, makan dan minum yang haram.
Puasa yang disunatkan
Disunatkan puasa 6 hari pada bulan Syawwal, 3
hari pada setiap bulan (yang afdhal yaitu tanggal 13, 14 dan 15; disebut shaum
al-biidh), hari Senin dan Kamis, 9 hari pertama bulan Dzul Hijjah (lebih
ditekankan tanggal 9, yaitu hari Arafah), hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram)
ditambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk mengikuti jejak Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia serta menyelisihi kaum
Yahudi.
A. Arti Definisi / Pengertian Ibadah Haji
Ibadah haji adalah ibadah yang wajib dilakukan
oleh umat islam yang mampu atau kuasa untuk melaksanakannya baik secara
ekonomi, fisik, psikologis, keamanan, perizinan dan lain-lain sebagainya. Pergi
haji adalah ibadah yang masuk dalam rukun islam yakni rukun islam ke lima yang
dilakukan minimal sekali seumur hidup.
B. Syarat Sah Haji
1. Agama Islam
2. Dewasa / baligh (bukan mumayyis)
3. Tidak gila / waras
4. Bukan budak (merdeka)
2. Dewasa / baligh (bukan mumayyis)
3. Tidak gila / waras
4. Bukan budak (merdeka)
C. Persyaratan Muslim yang Wajib Haji
1. Beragama Islam (Bukan orang kafir/murtad)
2. Baligh / dewasa
3. Waras / berakal
4. Merdeka (bukan budak)
5. Mampu melaksanakan ibadah haji
2. Baligh / dewasa
3. Waras / berakal
4. Merdeka (bukan budak)
5. Mampu melaksanakan ibadah haji
Syarat “Mampu” dalam Ibadah Haji
1. Sehat jasmani dan rohani tidak dalam
keadaan tua renta, sakit berat, lumpuh, mengalami sakit parah menular, gila,
stress berat, dan lain sebagainya. Sebaiknya haji dilaksanakan ketika masih
muda belia, sehat dan gesit sehingga mudah dalam menjalankan ibadah haji dan
menjadi haji yang mabrur.
2. Memiliki uang yang cukup untuk ongkos naik
haji (onh) pulang pergi serta punya bekal selama menjalankan ibadah haji.
Jangan sampai terlunta-lunta di Arab Saudi karena tidak punya uang lagi. Jika
punya tanggungan keluarga pun harus tetap diberi nafkah selama berhaji.
3. Keamanan yang cukup selama perjalanan dan
melakukan ibadah haji serta keluarga dan harta yang ditinggalkan selama
berhaji. Bagi wanita harus didampingi oleh suami atau muhrim laki-laki dewasa
yang dapat dipercaya.
D. Rukun Haji
Rukun haji adalah hal-hal yang wajib dilakukan
dalam berhaji yang apabila ada yang tidak dilaksanakan, maka dinyatakan gagal
haji alias tidak sah, harus mengulang di kesempatan berikutnya.
- Ihram
2. Wukuf
3. Thawaf
4. Sa’i
5. Tahallul
PASAL
Larangan saat ikhram
Larangan semasa Ihram secara umumnya
bolehlah dibahagikan kepada 5 kategori:
- Pakaian
- Wangian
- Kecantikan
- Alam sekitar
- Hubungan kelamin
Pakaian
1. Muslim lelaki yang sedang berihram adalah
sama sekali dilarang untuk memakai pakaian yang
berjahit, bertenun, bercantum, bersarung dan sebagainya. Misalnya: seluar,
baju, kemeja, stokin, kasut, sepatu berjahit yang boleh menutup badan-badan
jari kaki dan tumit belakang kaki, tuala berjahit tepi mahupun kain
pelikat dan seumpama dengannya yang berkaitan.
Namun berikut lelaki Muslim yang sedang
berihram dibenarkan/diharuskan untuk mengenakan pakaian berikut sewaktu
berihram tanpa dikenakan dam:
- Memakai kain pelikat berjahit tepi atau selimut berjahit tepi dengan cara tidak disarungkan ke badan(sekadar dibuat lapik tikar ataupun selimut ringan sahaja adalah dibenarkan) (sebaiknya kain pelikat atau selimut itu diceraikan dan dilepaskan dari jahitan ataupun cantumannya).
- Memakai tali pinggang, cincin, jam tangan, beg galas, gelang pengenalan Haji dan Gelang Pengenalan Pesakit serta Gelang Logam Kesihatan (sekiranya diperlukan untuk tujuan meditasi dan perubatan sahaja).
- Memakai sepatu yang boleh menampakkan jari-jari kaki yang terbebas dan mempunyai tali pengikat diatas urat keting yang boleh menampakkan tumit belakang (misalnya memakai selipar Jepun, selipar Hawaii dan seumpama dengannya).
- Menutup kaki dengan kain Ihram.
- Menyemat pin kain pada kain ihram di sebelah bawah sahaja bagi mengelakkan ia mudah tertanggal jika dirempuh orang (kebenarannya hanya boleh diletakkan di aras pinggang sahaja pada bilangan pin yang munasabah).
- Bercawat (berseluar dalam) dengan kain ihram yang tidak berjahit ataupun bercantum.
- Memakai lampin pakai buang kerana ingin membuang hajat tidak berdosa dan tidak dikenakan dam jika tidak menyusahkan orang lain dan membelakangi peraturan ihram.
Nota: Jika seseorang lelaki Muslim yang
berihram membuat sebaliknya dari perkara diatas secara tidak sengaja ataupun
terlupa, maka dia tidak dikira berdosa dan tidak dikenakan Dam
tetapi ia perlulah menanggalkan pakaian tersebut secepat mungkin. Tetapi jika
membuatnya dengan maksud yang jahat maka berdosa serta dikenakan Dam (Takhyir
dan Taqdir). Tidak berdosa bagi yang melakukan perbuatan-perbuatan yang
melanggari hukum berpakaian dalam Ihram jika disebabkan oleh keperluan terdesak
serta menjaga keselamatan dan kesihatan seperti:
- Memakai sarung lutut untuk melegakan sakit lutut yang tidak melekap dan melekat namun dikenakan Dam. Namun jika sarung lutut itu melekap secara melekat maka ia tidak dikenakan Dam kerana sarung lutut jenis itu tidak dijahit.
- Memakai kasut pada kaki sihat demi mengimbangi badan dan perjalanan adalah dibenarkan tetapi akan dikenakan Dam.
2. Lelaki Muslim yang sedang berihram adalah
dilarang untuk menutup kepala dengan cara meletakkan apa-apa kain atau penutup
diatas rambut dan kulit kepala. Seperti: songkok, kopiah, serban, selendang,
malah kain Ihram sekalipun. Jika dilakukan juga tanpa ada keperluan yang
mustahak maka ia berdosa dan dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Tetapi
diharuskan melakukan keperluan berikut dalam Ihram tanpa dikenakan Dam:
- Menggunakan payung
- Berteduh di bawah pokok
- Berteduh di bawah khemah
Menutup muka, larangan ini hanya dikenakan
kepada wanita Muslim yang dalam keadaan berihram serta dalam solat. Jika ia
dilakukan dengan sengaja maka dikira berdosa dan perlu dikenakan Dam (Takhyir
dan Taqdir). Jika tidak sengaja maka perlu menanggalkannya dengan kadar segara
tanpa dikenakan Dam dan tidak berdosa. Menutup muka hanya boleh dilakukan oleh
wanita sekiranya dia:
- Ingin menutup fitnah dan ingin mengawal situasi dan kondisi syahwat bagi lelaki yang terpandang bagi mengelakkan terjatuhnya fitnah yang keterlaluan akibat kecantikan wajahnya.
- Ingin menutup rongga-rongga mulut, telinga, kulit, mata dan hidung sekiranya diserangi dengan debu akibat ribut debu yang keterlaluan dan kemasukan anasir luar yang merbahaya yang dicurigai mampu mendatangkan kemudaratan pada wajah sekiranya tidak ditutup seperti serangga dan bahan kimia yang merbahaya.
Wanita dan lelaki yang sedang berihram adalah
dilarang untuk memakai sarung tangan tanpa ada keperluan khusus yang terdesak
seperti penyakit pada tangan dan lain-lain yang dianggap keperluan penting.
Namun wanita dan lelaki yang berihram adalah
dibenarkan untuk memasukkan tangan ke dalam beg plastik atau kantung kain.
Boleh juga melindungi tangan disebalik tudung, skarf dan kain Ihram.
Wangian
1.Bagi setiap Jemaah Haji atau Umrah yang Muslim (lelaki dan
wanita) serta yang mengenakan pemakaian Ihram, mereka dilarang sama sekali bagi
mereka untuk memakai wangi-wangian sama ada di badan, rambut, janggut dan
sebagainya serta makanan, minuman atau menghidunya ke dalam hidung. Namun:
•Seseorang yang berada dalam Ihram adalah
dibenarkan untuk menggunakan ubat gigi, sabun mandi, syampu rambut, pencuci
muka dan minyak angin, minyak urut walaupun ia berbau wangi. Hal ini kerana
penggunaannya adalah untuk niat menjaga kebersihan dan kesihatan. Bukannya
untuk berwangi-wangian. Tetapi perlu diingatkan penggunaan bahan tersebut janganlah
disengajakan untuk dilebih-lebihkan kerana jika ia bertujuan sengaja untuk
merancakkan bauan wangi di badan, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta
perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir). Begitu juga dalam penggunaan
bahan minuman dan makanan yang berperisa dan berbau-bauan.
•Jika seseorang itu dalam keadaan berihram,
lantas secara tidak sengaja dia telah menyembur wangian (minyak attar dan
minyak wangi) ke atas dirinya ataupun orang lain yang telah menyembur wangian
atas tubuhnya secara sengaja ataupun tidak sengaja. Maka perlulah orang itu
menghilangkan kesan wangian atas badannya dengan kadar segera. Jika tidak
menghilangkannya dengan segera sedangkan sudah mengetahui, maka perbuatan itu
telah dikira berdosa serta perlu menyempurnakan Dam
(Takhyir dan Taqdir).
•Seseorang yang sedang mengucup/mencium Hajar
Aswad, perlulah berhati-hati ketika mengucupnya supaya ia tidak cedera kerana
dirempuh oleh orang ramai serta ia juga perlu berhati-hati agar wangian dari
batu Hajar
Aswad itu tidak melekat pada mulut dan wajahnya. Hal ini kerana Hajar Aswad
sering diletakkan wangian kepadanya. Seseorang apabila sudah melekatnya wangian
Hajar Aswad padanya secara tidak sengaja maka perlulah ia segera
menghilangkannya. Jika tidak, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta
perlu menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
•Jika seseorang itu memakai wagian pada kain
Ihram sebelum dia berniat Ihram, serta wangian itu masih wujud pada pakaian
Ihramnya walaupun sesudah dia berniat Ihram maka disini terdapat 2 pendapat
yang boleh diikuti:
- Menurut pendapat Al-Asah, maka perbuatan itu tidak berdosa tetapi dikenakan Dam.
- Menurut pendapat Muqabil Asah, maka perbuatan itu tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam, kerana pada kebiasaannya pakaian dipakai dan kemudian ditanggalkan. Dan perkara ini merupakan suatu kebiasaan.
•Wangian yang dipakai pada badan (sebelum
berniat Ihram) dan kemudian ia cair kerana akibat tindakan perpeluhan. Lalu
melekat pada kain Ihram, maka oleh yang demikian, kain Ihram itu boleh dipakai
semula walaupun telah ditanggal dan masih berbau harum dan wangi. Perbuatan itu
tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam.
•Kiswah atau Kelambu Kaabah turut dilumurkan minyak
wangi, maka perlulah berhati-hati ketika menghampirinya supaya ia tidak cedera
kerana dirempuh oleh orang ramai serta ia juga perlu berhati-hati agar wangian
dari Kiswah itu tidak melekat pada mulut dan wajahnya serta tubuh badan. Hal
ini Kiswah sering diletakkan wangian kepadanya. Seseorang apabila sudah
melekatnya wangian Kiswah padanya secara tidak sengaja maka perlulah ia segera
menghilangkannya. Jika tidak, maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta perlu
menyempurnakan Dam (Takhyir dan Taqdir).
•Memakai losyen pelindung sinaran matahari UV
adalah dibenarkan kerana ia bertujuan untuk perubatan dan kesihatan.
Kecantikan
Setiap umat Islam (lelaki dan perempuan) yang
menunaikan Haji dan Umrah di Baitullah
serta di dalam keadaan Ihram adalah dilarang sama sekali menanggalkan, mencabut dam
mengetip rambut dan kuku dengan sengaja. Sekiranya dia tetap melakukan larangan
demikian maka perbuatan itu telah dikira berdosa serta perlu menyempurnakan Dam
(Takhyir dan Taqdir). Jika dia tidak sengaja dan memohon keampunan dari Allah
SWT secara langsung maka perbuatan itu tidak berdosa tetapi dikenakan Dam
(Takhyir dan Taqdir).
Sekiranya dia bersyampu atau atau berkait
dengannya (seperti berwuduk) lantas rambutnya gugur sedangkan dia tidak
menghendaki akan perkara tersebut terjadi (rambut gugur) atau mungkin rambutnya
dari jenis gen yang cepat gugur, maka dia tidak berdosa tetapi dikenakan Dam.
Tetapi, jika kuku atau rambut, bulu tubuh itu
jatuh atau tercabut dengan sendiri sedangkan dia tidak menghendakinya untuk
terjatuh maka perbuatan itu tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam.
Wanita Muslim yang memakai
serkup dan tudung sepanjang waktu Ihram dan dia mendapati terdapatnya rambut
didalam serkupnya (apabila dibuka) maka dia tidak berdosa dan tidak dikenakan
Dam kerana perkara itu terjadi bukan atas kehendaknya.
Sekiranya dia (jemaah yang dalam Ihram itu)
adalah orang yang dalam keadaan mudah untuk rambutnya gugur akibat penyakit
ataupun gen keturunannya, maka adalah diperlukan untuk orang itu memendekkan
rambutnya sebelum dia berniat Ihram.
Sekiranya dia ada dikesan berpenyakit oleh
pakar perubatan atau amat berkeperluan untuk bercukur sewaktu dia berIhram dan
diminta serta dikehendakinya untuk mencukur rambut atau membotakkan rambut pada
waktu itu juga dan tidak boleh dilewatkan sesudah dia bertahallul, maka di
perlu melakukan perkara tersebut seperti yang diarahkan demi menjaga kesihatan
dan keselamatan dirinya. Maka dari itu, dia dan penyuruh pelaksanaan itu tidak
berdosa tetapi jemaah yang berihram itu diperlukan untuknya membayar Dam
(Takhyir dan Taqdir).
Jika jemaah yang sedang dalam Ihram itu
mendapati terpatnya kulit mati kerak kulit dan sebagainya diatas bulu/rambutnya
dan dia menghilangkannya, maka dia tidak berdosa dan tidak dikenakan Dam kerana
bulu tersebut mengikut kulit.
Jemaah yang dalam Ihram juga boleh untuk
mencabut kukunya jika
dia mendapati kukunya itu menyebabkan kemudharatan padanya seperti kuku
terbelah atau cengkam dan ia tidak dikenakan Dam. Harus baginya untuk mencabut
kulit bibir, tangan, kaki yang mengelupas ketika dia berihram. Dan dia tidak
dikenakan Dam. Jika dipotong anak jari yang masih ada kukunya, maka dia tidak
berdosa dan tidak dikenakan Dam kerana kuku tersebut mengikut jarinya.
Nota: Jemaah yang sedang berIhram juga adalah
diminta untuk menjauhi perbuatan (seperti bersyampu, menggaru kepala, bersikat
dan sebagainya) yang boleh menyebabkan rambut, bulu atau kukunya untuk
tertanggal ketika dia masih belum lagi boleh bertahallul, hal
ini adalah untuk kebaikan dan kemudahan mereka jua.
Alam sekitar
1. Adalah dilarang bagi setiap jemaah Haji dan Umrah ketika dalam Ihramnya
laki-laki dan perempuan untuk mencabut, memotong, mematah dan mengerat dahan
pokok dan pohon yang ditanam hidup dan tumbuh di Tanah Haram. Larangan ini
adalah turut tidak boleh dilakukan oleh mana-mana orang yang hadir di Tanah
Haram (al-Haramain: Makkah,Madinah, Masyair Haram: Arafah, Muzdalifah
dan Mina, Al Haram Al Sharif: Baitul
Maqdis). Hal ini kerana, pokok yang hidup subur di Tanah Haram adalah
“Pohon-pohon yang diberkati”.
2. Adalah dilarang bagi setiap jemaah Haji dan Umrah ketika
dalam Ihramnya laki-laki dan perempuan untuk memburu, menembak, membunuh,
mengorbankan, menangkap, mengurung, membinasakan dan mengasari setiap haiwan
darat yang boleh atau dilarang untuk dimakan. Larangan ini melibatkan setiap
jenis haiwan darat, burung dan serangga selain daripada haiwan laut.
Jika seseorang itu memijak atau terbunuh
haiwan/serangga kecil seperti semut hitam kecil, belalang dan
sebagainya dengan tidak sengaja maka dia tidak dikira berdosa akan tetapi ia
amat perlu membayar Dam mengikut nilai serangga yang terhapus.
Seseorang itu dibenarkan untuk membunuh haiwan
dan serangga yang boleh menyebabkan dia mungkin akan mengalami kemudharatan dan
terancam kemaslihatannya dan jemaah lain jika terus dibiarkannya ketika dalam
Ihram seperti nyamuk,
ular, kala
jengking dan labah-labah. Dan dia tidak dikenakan Dam.
Namun sebaiknya dia hanya perlu menghalau serangga atau haiwan itu terlebih
dahulu sekiranya ada kemampuan bagi dirinya kerana itu adalah lebih baik.
Hubungan kelamin
1. Melakukan mukaddimah kepada persetubuhan
Setiap jemaah (lelaki dan wanita) Haji atau Umrah yang dalam Ihram adalah dilarang
untuk melakukan mukaddimah (Permulaan/Pendahuluan) kepada persetubuhan sama ada
dalam bentuk perkataan, perbuataan, layanan isyarat tubuh atau sebagainya.
Namun demikian, adalah tidak dikenakan Dam
bagi mereka yang dalam Ihram yang keluar air Mani akibat melihat wanita dan
dilamun khayal seks.
Suami isteri atau mahram@muhrim dibolehkan
untuk memegang tangan (bukan anggota sulit) ketika dalam Ihram dengan syarat
mereka perlulah dalam keadaan dimana disebut “Masyaqqah” iaitu: Keperluan
dengan Tanpa Rasa Syahwat (ingin melakukan seks).
Suami isteri atau mahram adalah dibolehkan
untuk berpelukan dengan tujuan keperluan terdesak (bukan ingin melakukan seks)
serta tujuan keselamatan seperti kesakitan dll ketika dalam Ihram dengan syarat
mereka perlulah dalam keadaan dimana disebut “Masyaqqah”iaitu: Keperluan dengan
Tanpa Rasa Syahwat (ingin melakukan seks).
2. Melakukan persetubuhan
Perbuatan persetubuhan (seks) adalah suatu
yang dilarang keras dan mampu untuk merosakkan ibadah Haji seseorang khususnya
ketika jemaah itu ternyata dalam keadaan berIhram sebelum Tahallul Awwal.
Keadaan larangan ini adalah berada pada kedudukan di mana:
- Sengaja bersama (dengan rela hati) melakukan persetubuhan (seks) tanpa dipaksa
- Tahu hukum melakukan seks ketika berIhram adalah Haram
- Sudah Mumaiyiz (tahu membezakan perbuatan baik dan buruk yakni bermula sekitar umur 7 atau 9 tahun dan keatas)
Apabila telah ternyata suami dan isteri
melakukan perbuatan diatas, maka wajib bagi mereka untuk meneruskan baki
ibadah-ibadah haji yang belum terlaksana untuk dilaksanakan sesempurna yang
mungkin sehingga selesai, dan seterusnya segera mengqadakkan (mengantikan
kembali) Haji(pada kali kedua) tersebut walaupun ianya adalah sekadar Haji
Sunat (secara umumnya ibadah Haji yang dilakukan untuk kali kedua dan
seterusnya, adalah Haji yang dalam kategori Sunat sahaja) kecuali jika ada
keuzuran diantara keduanya. Hanya suami yang dikenakan Dam
(Tertib dan Taadil). Kedua-dua (suami dan isteri) perlu memohon keampunan dari Allah SWT jua
hendaknya.
Namun, jika berlakunaya lagi bersetubuhan
(yang bersambungan dengannya) selepas persetubuhan yang merosakkan Haji pada
kali pertama, maka suami dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir) pula. Jika berlaku
persetubuhan selepas Tahallul Awwal tetapi sebelum Tahallul Thani, ibadah
Hajinya tidak batal, tetapi suami dikenakan Dam (Takhyir dan Taqdir) pula.
Suami dan isteri adalah dibolehkan untuk
bersetubuh selepas (kedua-dua jenis Tahallul Awwal dan Tahallul Thani) telah dilangsaikan
dengan sempurna.Namun lebih afdhal(lebih baik dan digalakkan) untuk menangguh
perbuatan tersebut sehingga selesai segala rukun dan aktiviti Haji
dilaksanakan.
3. Larangan berkahwin, mengahwinkan atau
menerima wakil kahwin
Semua perbuatan berkahwin, mengahwinkan atau
menerima wakil kahwin adalah dilarang sama sekali ketika jemaah itu dalam
keadaan BerIhram. Bahkan, aktiviti pra-perkahwinan dan pasca perkahwinan
seperti merisik, meminang dan bernikah adalah tidak sah. Akad nikah
juga dikira Haram.
Namun, orang yang terlibat tidak dikenakan Dam.
PASAL
Macam-macam dam
a. Dam haji tamattu’ dan haji qiran, yaitu dam
yang wajib dibayar oleh orang yang mengerjakan umrah sebelum haji (dalam
bulan-bulan haji) atau yang membaca talbiyah untuk haji dan umrah sekaligus.
Hal ini didasarkan pada firman Allah, yang artinya, ”Maka barangsiapa yang
ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan-bulan haji), (wajiblah ia
menyembelih binatang hadyu) yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang hadyu atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuh hari (lagi) bila kamu telah pulang kembali.”
(Al-Baqarah:106).
b. Dam fidyah,
yang wajib atas jama’ah yang mencucuk rambutnya karena sakit atau karena
tertimpa sesuatu yang menyakitkan. Ini mengacu kepada firman Allah:
Jika ada di antara kamu yang sakit atau
gangguna di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah,
yaitu berpuasa atau bershadaqah atau menyembelih binatang ternak sebagai dam.
(Al-Baqarah:196).
c. Dam
Jaza’, yaitu dam yang wajib dibayar oleh orang yang sedang berihram bila
membunuh binatang buruan darat. Adapun binatang buruan itu, maka tidak ada
dendanya. (tentang dam ini telah dijelaskan pada beberapa halaman sebelumnya).
d. Dam Ihshar,
yaitu dam yang wajib dibayar oleh jama’ah haji yang tertahan, sehingga tidak
mampu menyempurnakan manasik hajinya, karena sakit, karena terhalang oleh musuh
atau karena kendala yang lain. Dan ia tidak menentukan syarat ketika memulai
ihramnya. Hal ini berpijak pada firman Allah:
Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau
karena sakit), sembelihlah binatang hadyu yang mudah didapat. (Al-Baqarah).
e. Dam
Jima’ yaitu dan yang difardhukan atas jama’ah haji yang sengaja menggauli
isterinya di tengah pelaksanaan ibadah haji (ini telah dijelaskan).
PENUTUP
Alhamdulillahirobbil alamin dengan berkat rahmat allah yang maha kuasa penulis
dapat menyelesaikan buku ini yang guna untuk menjalalankan tugas dari ustadz
Abdul ghorar Spd.i (pondok pesantren miftakhul huda peron).
Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi
pembaca baik di dunia maupun di akhirat ,
Penulis adalah manusia biasa yang tidak luput
dari kesalahan maka dari itu apa bila ada kesalahan saya minta maaf yang
sebesar besarnya
penulis
nama : akhmad ula khabib munir
santri pp miftahul huda peron
Sumber : http://pondokpesantrenmifdaperon.wordpress.com/terjemah-kitab-fatkul-qorib/
Share This Article
Mohon Ijin Copas. Trims
BalasHapusijin copast
BalasHapusassalamu'alaikum...
BalasHapussemoga alloh memberkati akhi...
terimakasih ilmunya akhi
Assalamualaikum, wr. wb.
BalasHapusmohon izin kopas,
semoga bermanfaat
Mohon idzin dan terima kasih telah meng-COPAS tulisan panjenengan Ustadz...!!!
BalasHapusAssalamualaikum.. izin download dan kopas ustadz..terima ksih
BalasHapusYg terjemahnya belum ada pdf nya ustadz? Izin mengamalkannya. Maturnuwun.
BalasHapusWassalamualaikum
Yg terjemahnya belum ada pdf nya ustadz? Izin mengamalkannya. Maturnuwun.
BalasHapusWassalamualaikum