KEKEKALAN
AKHIRAT DALAM AL-QUR'AN
(Studi
Tematik dengan Pendekatan Teologis-Filosofis)
BAB
II
KONSEP
KEKAL DALAM AL-QUR’AN
A.
Pengertian
Kekal
Banyaknya varian kata dalam mengungkap suatu arti
tidak dapat disebut bahwa kata itu memiliki kecenderungan makna yang sama.
Harus dipahami bahwa dalam dua kata yang berbeda, meskipun memiliki arti dan
maksud yang sama, tidak mesti juga menyimpan makna dan kecenderungan yang sama
pula.
Suatu simbol bahasa, mau tidak mau, harus
didefinisikan menurut tradisi linguistik manusia dimana kata itu diproduksi.
Hal itu dimaksudkan agar suatu kata tidak justru menjadi kendala transformasi
pesan dari pembicara pada pendengar.
Dengan demikian, persoalan linguistik merupakan
persoalan lokalitas, sedangkan makna kata lebih bersifat universal. Hal inilah
yang memungkinkan bagi diwujudkannya suatu kerja semantik dalam mengungkap
makna tersebut sehingga menjadi lebih bisa diterima pada usaha-usaha penerjemahan
bahasa dan maknanya sekaligus.
Al-Qur’an, walaupun menggunakan kosa kata yang
digunakan oleh masyarakat Arab yang ditemuinya ketika ayat-ayatnya turun, namun
tidak jarang mengubah pengertian semantik dari kata-kata yang digunakan
orang-orang Arab itu. Semantik itu sendiri adalah ilmu tentang tata makna atau
pengetahuan tentang seluk beluk dan pergeseran makna kata-kata. Setiap kata
merupakan wadah dari makna-makna yang diletakkan oleh pengguna kata itu.[1]
Kata ‘kekal’, misalnya, memiliki berbagai makna dan
pemahaman. Makna kata ini dalam bahasa Arab dinyatakan dalam berbagai kata,
seperti khuld, baqa’, qarar, dan sebagainya. Penyebutan sifat ‘kekal’
dengan berbagai varian kata, padahal pada subyek yang sama, harus dilihat
sebagai adanya maksud-maksud dan tujuan tertentu. Dalam kaitannya dengan
pembahasan al-Qur’an, hal seperti itu oleh Shahrur dinilai sebagai tidak adanya
sinonimitas dalam al-Qur’an.[2]
Menurutnya, tidak mungkin manusia sebagai makhluk melebihi pengetahuan Allah (Khaliq)
dalam hal penyebutan suatu istilah kata untuk menunjukkan pesan tertentu.
1.
Beberapa
Redaksi tentang Makna Kekal
Dalam bahasa Arab, terdapat beberapa redaksi untuk
menunjukkan makna kekal. Beberapa redaksi itu di antaranya: khuld, baqa’,
muqim, qarar, washib, serta berbagai derivasinya; di samping juga kata-kata
yang dapat dimaknai sebagai kekal dalam konteks tertentu.
Kata khuld berarti kesinambungan keadaan dan
keberadaannya dalam keadaan tidak disentuh oleh perubahan atau kerusakan. Kata
ini pada mulanya digunakan untuk sesuatu yang dapat bertahan lama, walaupun
tidak sepanjang masa.[3]
Jadi, ternyata telah terjadi evolusi makna kata khuld
(خلد)
dalam bahasa Arab. Kata ini pun, dalam berbagai derivasinya, memiliki
banyak arti. Selain berarti kekal atau abadi, kata khuld dapat pula
berarti, tikus tanah atau suara burung; Al-Khawalid (الخوالد) berarti
pegunungan, batu, karena lamanya dalam keadaan seperti itu; Akhlada ilaih
(اخلد اليه)
berarti cenderung, setia sepenuhnya.[4]
Selanjutnya kata ini dipahami sebagai suatu keadaan yang tidak berubah, tetap,
dan tidak ada habisnya. Yaum al-khulud (يوم
الخلود) berarti hari kekekalan
(Qs. Qaf [50] : 34).
Selain itu, makna kekal juga ditemukan pada kata baqa’
(بقاء).
Kata baqa’, sebagai lawan dari fana’, berarti kekal, tidak rusak.[5] Kalimah
baqiyah (كلمة بقية) berarti perkataan yang kekal (Qs. az-Zukhruf [43] : 28).
Sedangkan kata muqim (مقيم) terambil dari (اقام) yang pada mulanya berarti ‘mendirikan’.
Selanjutnya (اقام بالمكانن
اقامة) yang berarti berdiam
pada suatu tempat diartikan sebagai (دام) yakni kekal. Maqam atau muqam
(مقام)
berarti berdiam pada suatu tempat.[6] Na’im
muqim (نعيم مقيم) berarti kesenangan yang kekal (Qs. at-Taubah [9] : 21).
Kata qarar (قرار) berarti tetap, stabil. Yaum an-nahr (يوم النحر)
disebut juga yaum al-qarr (يوم القرّ) karena berarti hari ketika menetap di
Mina.[7]
Sedangkan dar al-qarar (دار القرار) berarti negeri yang kekal (Qs. al-Mukmin
[40] : 39).
Makna kekal juga ditemukan pada kata hayy (حيّّ). Kata
ini pada mulanya berarti hidup. Dari kata itu dapat juga dibentuk kata tahiyyah
(تحيّة)
yang berarti keselamatan, kehidupan sebenarnya, kekekalan, kekuasaan.[8] Huwa
al-hayy (هو الحيّّ) berarti Dialah yang Hidup Kekal (Qs. al-Mukmin [40] : 65).
Kata washib (واصب) berarti langgeng, tetap. Mafazah
washibah berarti jarak yang sangat jauh.[9] Ini
menunjukkan bahwa sesuatu itu mempunyai masa yang sangat lama. Selanjutnya adzab
washib berarti siksaan yang kekal (Qs. ash-Shaffat [37] : 9), sedangkan ad-din
al-washib berarti ketaatan yang selama-lamanya (Qs. an-Nahl [16] : 52).
Kata abada (ابدا) berarti suatu masa, langgeng, permulaan
yang azali. Kata ini identik dengan washib yang berarti kekal,
selama-lamanya. Kata ta’bid memiliki arti takhlid, yakni pengekalan
atau pengabadian.[10]
Sedangkan makna kekal yang lain juga dapat dijumpai
pada kata gharam (غرام). Kata ini terambil dari kata (غرم) yang berarti utang. Orang yang memiliki
utang disebut gharim (غارم). Selanjutnya kata gharam ini berarti keburukan yang
kekal, kerusakan, adzab.[11] Kata gharam
ini sendiri secara mandiri telah memiliki arti sebagai kebinasaan yang kekal
(Qs. al-Furqan [25] : 65).
Dari seluruh makna kekal yang diserap dari berbagai
redaksi di atas, dapat dipahami bahwa pengertian kekal adalah suatu keadaan
yang tetap, stabil, tidak berubah, tidak rusak, serta tidak ada habisnya atau
selama-lamanya.
Namun apakah pengertian kekal dalam bahasa manusia ini
telah sesuai dengan yang apa yang dimaksud oleh Allah selaku pemberi pesan,
tampaknya perlu kajian lebih mendalam. Ukuran waktu bagi manusia jelaslah tidak
sama dengan Tuhan, sebab Tuhan berada di luar dimensi ruang dan waktu.
2.
Relativitas
Waktu
Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan
tempat. Mereka mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia
tentang waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Kesadaran
tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari segi
perjalanannya (malam saat terbenam dan siang saat terbitnya) maupun kenyataan
bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya matahari, atau sejak
tengah malam hingga tengah malam berikutnya.[12]
Shahrur membedakan istilah al-waqt (waktu) dan az-zaman
(zaman). Al-Waqt
berasal dari wa-qa-ta yang dalam bahasa Arab artinya adalah ‘zaman yang
mempunyai batas’. Sedangkan al-mauqut (bentuk isim maf’ul dari waqata)
adalah ‘sesuatu yang dibatasi’.[13] Dengan
demikian, zaman mempunyai wujud obyektif dan di dalamnya terdapat gerak dari
segala sesuatu, termasuk waktu.
Hal di atas dapat dilihat dari pernyataan al-Qur’an
bahwa waktu tergantung terhadap sesuatu; ia selalu dikaitkan dengan kejadian
yang telah ditentukan. Misalnya, “Sesungguhnya pengetahuan
tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat
menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” (Qs. al-A’raf [7] :
187). “Sesungguhnya hari keputusan adalah suatu waktu yang
ditetapkan.” (Qs. an-Naba’ [78] : 17). “Sesungguhnya
hari keputusan (hari kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka
semuanya” (Qs. ad-Dukhan [44] : 40).
Karena konsep tentang waktu bersifat relatif, demikian
juga waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya
kelak di akhirat. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan
dimensi kehidupan duniawi.
Esensi waktu adalah suatu peristiwa yang terbayangkan, yang
hasilnya dikaitkan pada peristiwa yang terjadi. Sedangkan peristiwa yang
terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang dibayangkan (akan datang).
Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Waktu adalah sesuatu yang Anda
berada di dalamnya. Kalau Anda di dunia, maka waktu Anda adalah dunia. Bila di
akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat.”[14]
Di samping itu, dewasa ini, relativitas waktu adalah fakta
yang terbukti secara ilmiah. Hal ini telah diungkapkan melalui teori
relativitas waktu Einstein di tahun-tahun awal abad ke-20. Sebelumnya, manusia
belumlah mengetahui bahwa waktu adalah sebuah konsep yang relatif, dan waktu
dapat berubah tergantung keadaannya. Ilmuwan besar, Albert Einstein, secara
terbuka membuktikan fakta ini dengan teori relativitas. Ia menjelaskan bahwa
waktu ditentukan oleh massa dan kecepatan.[15]
Al-Qur'an telah berisi informasi tentang waktu yang
bersifat relatif. Sejumlah ayat yang mengulas hal ini berbunyi: “Dan mereka
meminta kepadamu agar adzab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak
akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti
seribu menurut perhitunganmu.” (Qs. al-Hajj [22] : 47). Juga
firman-Nya, “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu
naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu.” (Qs. as-Sajdah [32] : 5). Juga firman-Nya, “Malaikat-malaikat
dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh
ribu tahun.” (Qs. al-Ma’arij [70] : 4).
Allah Swt. berada di luar batas-batas waktu. Karena
itu, dalam al-Quran ditemukan kata kerja bentuk masa lampau (past
tense/madhi) yang digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa depan.
Allah Swt. berfirman: “Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka
janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya … (Qs. an-Nahl [16]: 1).
Bentuk kalimat semacam ini dapat membingungkan para
pembaca mengenai makna yang dikandungnya, karena pada kenyataannya, kiamat
belum datang. Tetapi di sisi lain jika memang telah datang seperti bunyi ayat,
mengapa pada ayat tersebut dilarang meminta disegerakan kedatangannya?
Kebingungan itu akan sirna, jika disadari bahwa Allah berada di luar dimensi
waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang akan datang sama saja.
Dari sini dan dari sekian ayat yang lain sebagian pakar tafsir menetapkan
adanya relativitas waktu.[16]
Berangkat dari pengertian beberapa redaksi tentang
makna ‘kekal’ serta ulasan mengenai adanya relativitas waktu, maka dapat
dipahami bahwa pengertian kekal ini adalah suatu keadaan yang berkesinambungan,
terus menerus, tidak berubah, dan sepanjang masa. Namun, pengertian seperti ini
ternyata hanya berlaku pada suatu keadaan yang terjadi di dunia. Sebabnya
adalah relativitas waktu meniscayakan semua gerak waktu (yakni zaman yang
terbatas) terkait langsung dengan dimensi yang mewadahinya. Waktu bersifat
relatif adalah sebagai akibat dari gerak bumi dan matahari.[17]
Sedangkan dimensi dunia dan dimensi akhirat jelas
berbeda, apalagi bagi Allah. Allah yang berada di luar dimensi tidak
membutuhkan tempat, waktu, atau zaman sekalipun. Bahkan segala sesuatu berada
dalam ‘genggaman-Nya’. Dengan demikian, pengertian kekal ini pun bersifat
relatif. Sekalipun al-Qur’an telah menyatakan bahwa surga dan neraka bersifat
kekal, umpamanya, maka hal tersebut tidak lantas berarti bahwa kekalnya surga
dan neraka memiliki kualitas kekekalan yang sama dengan Allah Yang Maha
Kekal.
B.
Ayat-ayat
tentang Kekekalan
Dalam al-Qur’an, makna kekal (eternal)
dinyatakan dengan beberapa redaksi, seperti khuld (خلد), baqa’ (بقاء), qarar
(قرار),
muqim (مقيم), hayy (حيّ), washib (واصب), gharam (غرام), dan abada (ابدا) serta dalam
berbagai derivasinya. Tapi semuanya bermuara pada makna kesinambungan yang
terus-menerus dan tidak ada habisnya.
1.
Redaksi Khuld dan
Derivasinya
Kata khuld (خلد) yang berarti kekal, berikut derivasinya
tersebar ke dalam 81 ayat dan disifatkan kepada surga, neraka, adzab, nikmat,
nama pohon di surga, juga keadaan manusia berdosa di hari kiamat. Bahkan laknat
Allah, malaikat, dan manusia juga beratribut khuld (kekal).
Sifat surga yang kekal dijelaskan pada beberapa ayat,
seperti ketika al-Qur’an menggambarkan balasan orang yang beriman dan beramal
saleh, sebagai berikut:
....
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللهُ لَهُ
رِزْقًا
Artinya : “….
dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya
Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah
memberikan rezeki yang baik kepadanya.”[18]
Demikian juga dengan sifat kekal neraka, dijelaskan
al-Qur’an sebagai berikut:
قِيلَ ادْخُلُوا
أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ
Artinya : “Dikatakan : "Masukilah pintu-pintu
neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya" Maka neraka Jahannam
itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.”[19]
Selain
itu, al-Qur’an juga menyebutkan sifat siksaan yang kekal, sebagai berikut:
ثُمَّ قِيلَ لِلَّذِينَ
ظَلَمُوا ذُوقُوا عَذَابَ الْخُلْدِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلاَّ بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ
Artinya : “Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang
zalim itu: Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal; kamu tidak diberi balasan
melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.”[20]
تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ
Artinya : “Kamu melihat kebanyakan dari mereka
tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir. Sesungguhnya amat buruklah apa
yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka;
dan mereka akan kekal dalam siksaan.”[21]
Salah
satu pohon di surga juga dinamakan pohon khuldi (syajarah al-khuld),
dijelaskan sebagai berikut:
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آَدَمُ
هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لاَ يَبْلَى
Artinya : “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat
kepadanya, dengan berkata: Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada
kamu pohon khuldi dan kerajaan
yang tidak akan binasa?”[22]
Allah juga menjelaskan tentang kekalnya laknat Allah,
malaikat, dan manusia kepada orang-orang kafir dan zalim, sebagai berikut:
أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللهِ
وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ . خَالِدِينَ فِيهَا لاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ
الْعَذَابُ وَلاَ هُمْ يُنْظَرُونَ
Artinya : “Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya
laknat Allah ditimpakan kepada mereka,
laknat para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak
diringankan siksa dari mereka, dan tidak
mereka diberi tangguh”[23]
Dalam Qs. Thaha (20) : 101, dijelaskan tentang keadaan
kekal para pendosa yang memikul beban dosanya di hari kiamat, sebagai berikut:
مَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وِزْرًا . خَالِدِينَ فِيهِ وَسَاءَ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِمْلاًً
Artinya : “Barangsiapa berpaling daripada al-Qur'an maka
sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat, mereka kekal di
dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari
kiamat.”[24]
Manusia juga mengira bahwa dia dapat mengusahakan
kekekalan bagi dirinya. Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut:
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ رِيعٍ آَيَةً تَعْبَثُونَ .
وَتَتَّخِذُونَ مَصَانِعَ لَعَلَّكُمْ تَخْلُدُونَ
Artinya : “Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah
tinggi bangunan untuk bermain-main, dan kamu membuat benteng-benteng dengan
maksud supaya kamu kekal?”[25]
Allah menjelaskan bahwa Dia tidak menjadikan manusia
hidup abadi. Hal ini dapat dilihat dalam ayat berikut:
وَمَا
جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
Artinya : “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi
seorang manusiapun sebelum kamu; maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan
kekal?”[26]
2.
Redaksi Baqa’ dan
Derivasinya
Kata baqa’ (بقاء) yang berarti kekal, berikut derivasinya
tersebar ke dalam 11 ayat dan disifatkan kepada Dzat Allah dan apa yang di
sisi-Nya, akhirat dan adzabnya, karunia Allah, kalimat (perkataan), serta amal
saleh.
Dalam Qs. al-Qashash (28) : 60, dijelaskan bahwa apa
yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal, sebagai berikut:
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلاَ
تَعْقِلُونَ
Artinya : “Dan apa saja
yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan
perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal.
Maka apakah kamu tidak memahaminya?”[27]
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Artinya : “Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.”[28]
Akhirat juga digambarkan oleh al-Qur’an sebagai suatu
kehidupan yang kekal, sebagai berikut:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا . وَاْلآَخِرَةُ
خَيْرٌ وَأَبْقَى
Artinya : “Tetapi kamu
memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih
kekal.”[29]
Selain
itu, makna kekal juga dijumpai pada sifat dari karunia Allah, kalimat tauhid,
adzab di akhirat, bahkan amal saleh pun disifati dengan kekal. Al-Qur’an
mengungkapkannya sebagai berikut:
.... وَرِزْقُ رَبِّكَ
خَيْرٌ وَأَبْقَى
Artinya : “.… dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik
dan lebih kekal.”[30]
وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya : “Dan menjadikan kalimat tauhid itu kalimat
yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.”[31]
وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِآَيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ اْلآَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى
Artinya : “Dan
demikianlah Kami membalas orang yang
melampaui batas dan tidak percaya
kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu
lebih berat dan
lebih kekal.”[32]
وَيَزِيدُ اللهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا
Artinya : “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada
mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih
baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.”[33]
3.
Redaksi Muqim dan
Derivasinya
Kata muqim (مقيم) yang berarti kekal, terulang sebanyak 5
kali dalam al-Qur’an. Kata muqim ini disandarkan pada sifat kekalnya
adzab, yakni pada Qs. asy-Syura (42) : 45; Qs. az-Zumar (39) : 40; Qs. Hud (11)
: 39; dan Qs. al-Ma’idah (5) : 37, serta sifat kekalnya nikmat pada Qs.
at-Taubah (9) : 21.
Dalam Qs. asy-Syura (42) : 45 dinyatakan:
.... إِنَّ الْخَاسِرِينَ
الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلاَ إِنَّ الظَّالِمِينَ
فِي عَذَابٍ مُقِيمٍ
Artinya : “.… sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah
orang-orang yang kehilangan diri mereka
sendiri dan keluarga mereka pada hari kiamat. Ingatlah, sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu berada dalam adzab yang kekal.”[34]
Sedangkan Qs. at-Taubah (9) : 21 menjelaskan:
يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُمْ بِرَحْمَةٍ
مِنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَهُمْ فِيهَا نَعِيمٌ مُقِيمٌ
Artinya : “Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan
memberikan rahmat dari padaNya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di
dalamnya kesenangan yang kekal”[35]
Selain itu, dalam Qs. Fathir (35) : 35 dijelaskan pula
sifat kekalnya surga dengan redaksi dar al-muqamah.
الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ
مِنْ فَضْلِهِ لاَ يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلاَ يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ
Artinya : “Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal
dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa
lesu”[36]
4.
Redaksi Qarar dan
Derivasinya
Kata qarar (قرار) yang berarti kekal, hanya digunakan oleh
al-Qur’an satu kali ketika menyebutkan sifat akhirat yang kekal (dar
al-qarar). Dalam Qs. al-Mukmin (40) : 39 dijelaskan sebagai berikut:
يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
مَتَاعٌ وَإِنَّ اْلآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
Artinya : “Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah kesenangan dan sesungguhnya akhirat
itulah negeri yang kekal.”[37]
Sedangkan kata mustaqir digunakan untuk
menjelaskan sifat adzab yang kekal, sebagai berikut:
وَلَقَدْ صَبَّحَهُمْ بُكْرَةً عَذَابٌ مُسْتَقِرٌّ
Artinya : “Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa
adzab yang kekal.”[38]
5.
Redaksi Hayy
Kata hayy (حىّ) yang berarti hidup kekal, terulang dalam
al-Qur’an sebanyak 5 kali yang kesemuanya disifatkan pada Allah. Hal itu dapat
dijumpai pada Qs. al-Mukmin (40) : 65; Qs. al-Furqan (25) : 58; Qs. Thaha (20)
: 111; Qs. Ali Imran (3) : 2; dan Qs. al-Baqarah (2) : 255.
Dalam Qs. al-Mukmin (40) : 65 disebutkan:
هُوَ الْحَيُّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya : “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan
memurnikan ibadat kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”[39]
6.
Redaksi Washib
Kata washib (واصب) terulang 2 kali dalam al-Qur’an ketika
menggambarkan sifat adzab yang kekal dan ketaatan yang selama-lamanya sebagai
berikut:
دُحُورًا وَلَهُمْ
عَذَابٌ وَاصِبٌ
Artinya : “Untuk
mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal.”[40]
وَلَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ
وَلَهُ الدِّينُ وَاصِبًا أَفَغَيْرَ اللهِ تَتَّقُونَ
Artinya : “Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di
langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah ketaatan itu selama-lamanya. Maka mengapa
kamu bertakwa kepada selain Allah?”[41]
7.
Redaksi Abada
Kata abada (ابدا) terulang 25 kali dalam al-Qur’an, sembilan
di antaranya untuk menegaskan kekekalan akhirat, seperti pada Qs. al-Jin (72) :
23 sebagai berikut:
.... وَمَنْ
يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
Artinya : “.… dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya.”[42]
Sedangkan dalam Qs. an-Nur (24) : 21 dijelaskan
sebagai berikut:
.... وَلَوْلاَ فَضْلُ
اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا ....
Artinya : “.… sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih
selama-lamanya .…”[43]
8.
Redaksi Gharam
Selain itu, kata gharam (غرام) juga digunakan
satu kali dalam al-Qur’an ketika menyebut adzab sebagai kebinasaan yang kekal,
yaitu pada Qs. al-Furqan (25) : 65:
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ
غَرَامًا
Artinya : “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami,
jauhkan adzab jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan
yang kekal.”[44]
C.
Pengertian
Kekal dalam Al-Qur’an
Di samping banyaknya varian redaksi yang digunakan
al-Qur’an untuk menunjukkan makna kekal, ditemukan juga bahwa subyek dari sifat
kekal itu bermacam-macam. Dan secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua:
kekekalan Allah dan kekekalan makhluk.
Dari sejumlah redaksi dengan makna kekal, ditemukan
bahwa kekekalan Allah hanya ditunjukkan oleh dua kata, yakni baqa’, dalam
firman-Nya, “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.”(Qs. ar-Rahman [55 : 27) dan al-hayy dalam firman-Nya, “Dialah
Yang Hidup Kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka
sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam.” (Qs. al-Mukmin [40] : 65).[45]
Sedangkan kekekalan makhluk ditunjukkan dengan
berbagai redaksi, seperti khuld, baqa’, qarar, muqim, washib. Makna
kekal, misalnya, digunakan untuk menunjukkan kekekalan penghuni surga dan
neraka, “(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada
orang-orang yang bertakwa … sama dengan orang yang kekal (khalid) dalam
neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong
ususnya?” (Qs. Muhammad [47] : 15).
Juga firman-Nya tentang kekekalan kehidupan akhirat, “Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (abqa).” (Qs.
al-A’la [87] : 17). Akhirat juga disebut dar al-qarar dalam firman-Nya, “.…
dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal (dar al-qarar)”
(Qs. [40] : 39).
Selain itu, juga dijumpai kesenangan dalam surga yang
bersifat kekal dalam firman-Nya, “Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan
memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di
dalamnya kesenangan yang kekal (na’im muqim)” (Qs. at-Taubah [9] :
21).
Siksaan yang kekal juga dijumpai dalam firman-Nya, “Untuk
mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal (adzab washib).”
(Qs. ash-Shaffat [37] : 9).
Al-Qur’an, dengan demikian, menginformasikan adanya
beberapa bentuk kekekalan terhadap makhluk. Hal mana tentu saja bertolak
belakang dengan prinsip teologi dalam Islam. Jadi, kekekalan akhirat,
umpamanya, harus ditafsirkan sebagai suatu bentuk kekekalan yang terbatas.
Sedangkan penggunaan redaksi ‘kekal’ dimaksudkan hanya untuk menegaskan
kekekalan sifat, bukan dzat.
Apalagi, sebagaimana kata khuld (خلد), kata baqa’
(بقاء)
yang berasal dari kata baqiya (بقي) di dalam al-Qur’an juga mengandung
pengertian bahwa kekekalan yang dimaksud bukannya tanpa akhir, sebab ia tidak
azali sehingga akan mengalami kepunahan.[46]
Dalam tauhid sifat Allah, dibedakan adanya sifat dzat
dan sifat perbuatan. Sifat dzat adalah sifat yang dipahami secara mandiri oleh
pikiran, tanpa harus mempertimbangkan berbagai ciptaan-Nya. Misalnya, sifat
Dzat Allah yang Hidup. Hidup ini adalah sifat ketuhanan; tidak memiliki
hubungan dengan eksistensi atau noneksistensi makhluk hidup lainnya. Contoh
sifat dzat yang lain adalah bahwa Allah Maha Kekal. Sifat kekal ini tidak
memiliki hubungan keterkaitan dengan selain-Nya; sifat kekal tidak membutuhkan
obyek kekekalan. Kekal adalah sifat dari Dzat Allah itu sendiri.
Sedangkan sifat perbuatan adalah sifat Allah yang
disandarkan adanya hubungan dengan makhluk-Nya. Misalnya, Pencipta, Pemberi
Rezeki, Pengatur, dan sebagainya. Tidak dapat dibayangkan adanya Pencipta tanpa
ada ciptaan-Nya; Pemberi Rezeki tanpa ada yang menerima rezeki; Pengatur tanpa
ada yang diatur.[47]
Dengan kata lain, sifat perbuatan ini mensyaratkan adanya obyek bagi dzat.
Sedangkan Ibrahim al-Buraikan menyatakan bahwa sifat
dzat adalah makna-makna yang tidak terikat dengan kehendak dan tidak dapat
dibayangkan bahwa suatu waktu Allah tidak memiliki sifat-sifat ini. Sedangkan
sifat perbuatan adalah makna-makna yang terkait dengan kehendak dimana Dia
dapat melakukan sesuatu atau meninggalkannya kapan saja Dia menghendakinya.[48]
Ibn
‘Atha’illah as-Sakandari menyatakan bahwa Allah memiliki nama, sifat, dan wujud
Dzat. Menurutnya, tidak mungkin suatu sifat dapat berdiri sendiri tanpa adanya
dzat. Dia berkata sebagai berikut:
دَلَّ بِوُجُوْدِ اَثَارِهِ عَلَى
وُجُوْدِ اَسْمَائِهِ وَبِوُجُوْدِ اَسْمَائِهِ عَلَى ثُبُوْتِ اَوْصَافِهِ
وَبِثُبُوْتِ اَوْصَافِهِ عَلَى وُجُوْدِ ذَاتِهِ اِدْ مُحَالٌ اَنْ يَقُوْمَ
الْوَصْفُ بِنَفْسِهِ
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dengan adanya
fenomena alam (benda-benda alam), Allah menunjukkan kewujudan nama-nama-Nya.
Dan dengan kewujudan nama-nama-Nya, Dia menunjukkan kekekalan sifat-sifat-Nya.
Dan dengan kekekalan sifat-sifat-Nya, Dia menunjukkan kewujudan Dzat-Nya. Tidak
mungkin suatu sifat dapat berdiri sendiri.[49]
Allah tidak memiliki unsur penyusun Dzatnya. Demikian
juga tidak ada sesuatu sifat yang ditambahkan pada Dzat-Nya. Pembedaan antara
dzat dan sifat oleh golongan Asy’ariyah tidak harus berarti bahwa Allah terdiri
dari unsur-unsur. Sebab sifat yang qadim tersebut adalah sekaligus
Dzat-Nya juga. Sebagaimana yang dikatakan as-Sakandari di atas, bahwa tidak
mungkin suatu sifat dapat berdiri sendiri tanpa adanya dzat.
Jika diperhatikan, al-Qur’an menunjukkan adanya bentuk
kekekalan sifat dzat dan sifat perbuatan. Sifat Dzat Allah yang Maha Hidup lagi
Kekal disebut al-Hayy al-Baqi (الحيّ الباقى). Sedangkan sifat perbuatan Allah yang
Maha Menciptakan lagi Mengadakan disebut al-Khaliq al-Bari’ (الخالق البارئ).
Meskipun disadari bahwa kekal itu termasuk sifat Dzat
Allah, tetapi Dia memiliki sifat perbuatan untuk berkehendak.[50] Dalam
beberapa ayat, Allah menegaskan bahwa segala sesuatu berlaku menurut
kehendak-Nya. Dalam al-Qur’an dinyatakan, “Maka Allah
memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang
mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus” (Qs.
al-Baqarah [2] : 213). Juga firman-Nya, “.... Dia menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Qs.
al-Maidah [5] : 17). Hal ini juga berlaku bagi Allah untuk menghendaki kekekalan
sebagian makhluk-Nya.
Sebagian makhluk Allah yang dalam al-Qur’an disebut
sebagai kekal adalah surga dan neraka.[51]
Keduanya disebut berada di alam akhirat yang juga disifati kekal. Namun sifat
kekekalan yang dimiliki itu tidak secara mandiri. Ia kekal menurut kehendak
Allah yang menjadikannya kekal. Dan begitu kehendak itu dicabut, maka ia tidak
lagi memiliki sifat kekal. Dengan kata lain, surga dan neraka tidak memiliki
sifat kekal dzat, tetapi merupakan akibat dari adanya sifat perbuatan Allah
yang menghendakinya kekal.
Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari menyatakan:
اَلْاَكْوَانُ
ثَابِتَةٌ بِإِثْبَاتِهِ وَمَمْحُوَّةٌ بِأَحَدِيَّةِ ذَاتِهِ
“Alam ada oleh
ketetapan Allah, namun musnah oleh keesaan Dzat-Nya.”[52]
Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu, meskipun diberi
sifat yang sama dengan sifat-Nya Allah, tetap saja memiliki kualitas yang tidak
sama. Allah Dzat yang Hidup, manusia juga hidup. Tetapi hakikat ‘hidup’
keduanya berbeda. Karena Allah adalah Dzat yang menciptakan manusia, maka
apapun yang keluar dari manusia, walaupun bentuknya adalah iradah dan qudrah,
secara hakiki adalah ciptaan Allah Yang Maha Pencipta.[53]
Al-Qurthubi, sebagaimana dikutip M. Bugi, saat
menafsirkan firman Allah, “Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apapun,”
selanjutnya mengatakan, ”Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah
Swt, dalam hal keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta
ketinggian sifat-Nya, tidak satu pun dari makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan
tidak pula dapat diserupakan dengan makhluk-Nya. Dan sifat yang oleh syariat
disandangkan kepada Pencipta dan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya
berbeda meskipun lafadznya sama. Sebab, sifat Allah Yang Tidak Berpermulaan (Qadim)
pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya.
Dia juga mengutip pendapat al-Wasithi yang mengatakan,
“Tidak ada dzat yang sama dengan Dzat-Nya; tidak ada nama yang sama dengan
nama-Nya; tidak ada perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya; tidak ada sifat
yang sama dengan sifat-Nya kecuali dari sisi lafadznya saja. Maha Suci Dzat
Yang Qadim dari sifat-sifat makhluk. Sebagaimana adalah mustahil makhluk
memiliki sifat-sifat Pencipta.” [54]
Bahkan, Nu’aim bin Hammad, guru Imam Al-Bukhari,
mengatakan, ”Barangsiapa menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir.
Barangsiapa menolak sifat Allah yang disandangkan-Nya untuk Dirinya atau
disandangkan oleh Rasul-Nya, maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang
disandangkan oleh-Nya atau oleh Rasul saw. tidak ada kesamaan atau kemiripan
dengan sifat-sifat makhluk-Nya.”[55]
Dengan demikian, sifat surga dan neraka yang kekal,
pada hakikatnya tidaklah sama dengan sifat kekekalan Allah Yang Maha Kekal.
Allah kekal dalam dzat, sifat, dan perbuatan. Namun tidak demikian halnya
dengan makhluk-Nya. Kekekalan Allah-lah yang tercermin pada alam dan membuatnya
tampak stabil dan konstan. Makhluk Allah tidak mempunyai hakikat yang kekal.[56]
[1]M.
Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, Bandung, Cet. III, 1998, hlm.
101.
[2]M. Shahrur,
Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, “Pengantar”, Terj. Sahiron
Syamsuddin, eLSAQ, Yogyakarta, 2004, hlm. 7.
[3]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Vol. VI, Lentera Hati, Jakarta, 2002, hlm.
338.
[4]Muhammad
ibn Ya’qub al-Fairuzabadi, Al-Qamus Al-Muhith, Dar al-Fikr, Beirut,
1995, hlm. 254.
[5]Ibid,
hlm. 1136.
[6]Ibid,
hlm. 1039.
[7]Ibid,
hlm. 415.
[8]Ibid,
hlm. 231.
[9]Ibid,
hlm. 130.
[10]Ibid,
hlm. 240.
[11]Ibid,
hlm. 1030.
[12]M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, Cet. VIII, 1998, hlm. 548.
[13]M.
Shahrur, Dialektika Kosmos dan Manusia, Dasar-dasar Epistimologi Qur’ani,
Terj. M. Firdaus, Penerbit Nuansa, Bandung, 2004, hlm. 251.
[14]Imam
al-Qusyairy an-Naisabury, Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi ath-Tashawwuf,
Dar al-Khair, Beirut, t.th., hlm. 55.
[15]Anonim,
“Relativitas Waktu”, http://www.keajaibanalquran.com/physics_relativity. html,
diakses pada tanggal 09 Desember 2007.
[16]M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an, op.cit., hlm. 549.
[17]Mujtaba
Musairi Lari, Alam Baka dan Hari Kebangkitan, Terj. Ilham Maskuri dan
Asyabuddin, Lentera, Jakarta, 2002, hlm. 206.
[18]Qs.
ath-Thalaq (65) : 11
[19]Qs.
az-Zumar (39) : 72
[20]Qs. Yunus
(10) : 52
[21]Qs. al-Ma’idah
(5) : 80
[22]Qs. Thaha
(20) : 120
[23]Qs. Ali
Imran (3) : 87-88
[24]Qs. Thaha
(20) : 100-101
[25]Qs.
asy-Syu’ara (26) : 128-129
[26]Qs.
al-Anbiya’ (21) : 34
[27]Qs.
al-Qashash (28) : 60; Lihat juga Qs. an-Nahl (16) : 96
[28]Qs.
ar-Rahman (55) : 27
[29]Qs.
al-A’la (87) : 17
[30]Qs. Thaha
(20) : 131
[31]Qs.
az-Zukhruf (43) : 28
[32]Qs. Thaha
(20) : 127
[33]Qs. Maryam
(19) : 76
[34]Qs.
asy-Syura (42) : 45
[35]Qs.
at-Taubah (9) : 21
[36]Qs. Fathir
(35) : 35
[37]Qs.
al-Mukmin (40) : 39
[38]Qs.
al-Qamar (54) : 38
[39]Qs.
al-Mukmin (40) : 65
[40]Qs.
ash-Shaffat (37) : 9
[41]Qs.
an-Nahl (16) : 52
[42]Qs. al-Jin
(72) : 23
[43]Qs. an-Nur
(24) : 21
[44]Qs.
al-Furqan (25) : 65
[45]Perhatikan
juga Qs. al-Furqan (25) : 58; Qs. Thaha (20) : 111; Qs. Ali Imran (3) : 2; dan
Qs. al-Baqarah (2) : 255.
[46]Su’ad
al-Hakim, Al-Mu‘jam al-Shufi: Al-Hikmah fi Hudud al-Kalimah, Dandarah,
t.tp., t.th., hlm. 201.
[47]Lihat
penjelasan selengkapnya dalam Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid:
Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, Terj. M. Habib Wijaksana, Penerbit
Arasy, Bandung, 2003, hlm. 185-187.
[48]Ibrahim
Muhammad ibn Abdullah al-Buraikan, Pengantar Studi Aqidah Islam, Terj.
Anis Matta, Robbani Press, Jakarta, Cet. II, 2000, hlm. 150.
[49]Abu
Fajar al-Qalami (Peny.), Intisari Kitab Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah,
Gitamedia Press, t.tp., 2005, hlm. 377.
[50]Mengenai
‘kehendak’ ini, terdapat perbedaan antara para teolog, apakah ia termasuk sifat
dzat atau sifat perbuatan. Hal ini terjadi karena persoalan apakah ‘kehendak’
ini membutuhkan obyek atau tidak. Bagi mereka yang menyatakan butuh obyek, maka
‘kehendak’ dimasukkan ke dalam sifat perbuatan. Sebaliknya, bagi mereka yang
menyatakan tidak butuh obyek, maka ‘kehendak’ dimasukkan ke dalam sifat dzat.
Pendapat terakhir ini dianut oleh golongan Mu’tazilah dalam mengidentifikasi
Kalam Tuhan.
[51]Abu
Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama
Islam), Terj. Moh. Zuhri, CV. Asy Sifa’, Semarang, Jilid I, 1990, hlm. 372.
[52]Fadhlalla
Haeri, Al-Hikam : Rampai Hikmah Ibn ‘Atha’illah, Terj. Lisma Dyawati
Fuaida, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, Cet. III, 2006, hlm. 207.
[53]M.
Luthfi Ghazali, Percikan Samudra Hikam (Syarah Hikam Ibnu ‘Atha’illah
as-Sakandari), Jilid I, Abshor, Semarang, 2006, hlm. 414.
[54]Mochamad Bugi, “Tauhid Al-Asma Wa Ash-Shifat”, dalam http://www.dakwatuna. com/index.php/aqidah-muslim/2007/tauhid-al-asma-wa-ash-shifat, diakses pada tanggal 03 Januari 2008.
[55]Ibid.
[56]Fadhlalla
Haeri, loc. cit.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar