KEKEKALAN AKHIRAT DALAM AL-QUR'AN
(Studi Tematik dengan Pendekatan Teologis-Filosofis)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah sumber tasyri’ pertama bagi
umat Muhammad Saw. Dan kebahagiaan mereka bergantung pada pemahaman maknanya,
pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya.
Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan ungkapan al-Qur’an tidaklah
sama, padahal penjelasannya sedemikian
gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar di
antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi.[1]
Di dalam al-Qur’an terkandung berbagai aspek ajaran:
aqidah, ibadah, hukum, etika, moral, sampai eskatologi. Inilah yang menjadikan
al-Qur’an berfungsi sebagai hudan (petunjuk) untuk manusia agar tidak
tersesat dalam mengarungi hidup di dunia ini. Allah Swt berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ . الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ . وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِاْلآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ .
Artinya : “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka
yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan rezeki
yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada kitab
(al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.”[2]
Al-Qur’an juga mengungkapkan bahwa manusia pada mulanya
tidak ada di dunia ini, kemudian ada, dan akan meninggalkannya. Demikian Allah
mengawali pembicaraan-Nya tentang konsep hidup manusia dalam konteks siklus
kehidupan. Hal ini dijelaskan dalam Qs. al-Baqarah (2) : 28 :
كَيْفَ
تَكْفُرُونَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ
يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya : “Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu
tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan,
dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”[3]
Dalam ayat di atas, al-Qur’an menyinggung tentang
keniscayaan meyakini hal yang gaib dan kehidupan akhirat sebagai salah satu
ciri manusia bertakwa. Selain itu, ayat selanjutnya menyatakan bahwa manusia
itu dulunya berasal dari tidak ada, kemudian Allah menciptakannya hidup di alam
dunia ini dan akan mengalami kematian. Setelah itu, manusia akan dibangkitkan
kembali dari alam kubur menuju alam akhirat.
Kehidupan alam akhirat ini sulit
dicapai imajinasi manusia tanpa informasi dari Allah melalui wahyu.
Informasi-informasi tentang kehidupan akhirat semakin memperjelas konsep
kehidupan manusia di dunia ini, dan merupakan salah satu unsur yang memperkuat
komposisi ajaran Islam.[4]
Percaya atau beriman akan adanya
alam akhirat merupakan ajaran pokok dalam Islam. Sedemikian pentingnya
keyakinan tentang adanya alam akhirat itu dapat dilihat dari banyaknya ayat
al-Quran (26 ayat) yang hanya menyebutkan beriman kepada hari akhirat dan
kepada Allah saja tanpa menyebut pokok-pokok keimanan lainnya; misalnya di
dalam Qs. al-Baqarah (2): 8, 62, 126, 177 dan Qs. at-Taubah (9): 18, 29, 44,
45, dan 99.
Keimanan terhadap alam akhirat menjadi
begitu penting dalam ajaran Islam, karena itulah tujuan hidup manusia. Bahkan
dapat dikatakan, inti ajakan para nabi dan rasul setelah kewajiban percaya
kepada Allah adalah kewajiban percaya akan adanya kehidupan akhirat. Al-Quran
menegaskan bahwa secara sadar atau tidak manusia bertujuan untuk menghadap
Tuhan (Qs. al-Insyiqaq [84]: 6). Tujuan ini tidak akan tercapai selama manusia
ada dalam kehidupan dunia. Di dunia ini, kekuatan pandangan manusia hanya mampu
menyerap aspek permukaan dari benda-benda dan tidak mampu menyerap aspek
dalamnya. Oleh karena itu, manusia tidak menyadari akan perbuatan-perbuatan
yang dilakukannya dan manfaat atau bahaya yang didapatkannya di akhirat.[5]
Menurut al-Quran, orang-orang
yang mendustakan akhirat sama dengan orang-orang yang mengingkari pertemuannya
dengan Tuhan (Qs. as-Sajdah [32]: 10). Pengingkaran itu terjadi karena mereka
tertipu dan merasa puas oleh kesenangan dunia (Qs. Ali Imran [3]: 185),
sehingga mereka dilalaikan oleh kesenangan itu (Qs. ar-Rum [30]: 7). Tujuan
akhir manusia tidaklah terbatas pada kehidupan di dunia (yang akar katanya
berarti “dekat dan rendah”) ini, tetapi manusia memiliki tujuan jangka panjang
yang jauh lebih mulia dan berharga serta merupakan tujuan akhir, yaitu
kehidupan akhirat.[6]
Keimanan terhadap hari akhirat menjadi
sangat penting dengan melihatnya dari segi moral dan keadilan. Keadilan
(mutlak) sebenarnya hanya akan dapat dicapai di akhirat dan tidak ada jaminan
untuk mencapainya di dunia. Al-Quran berkali-kali menegaskan bahwa balasan baik
atau buruk, tegasnya, neraka atau surga, yang akan diterima setiap orang di akhirat
nanti merupakan hasil perbuatannya pada masa hidup di dunia (Qs. al-Baqarah
[2]: 281) dan hanya dua tempat itu saja yang disediakan (Qs. asy-Syura [42]:
7). Pada waktu itu hanya amal perbuatan manusialah yang menentukan nasib yang
akan diterimanya, yang semuanya tertulis di dalam buku catatan amal
masing-masing (Qs. al-Mukminun [23]: 62) dan mereka diperintahkan untuk
membacanya. Orang yang beriman dengan hari akhirat tentu akan bertindak sesuai
dengan petunjuk dan aturan-aturan moral dan keadilan, melakukan kebajikan yang
diajarkan Allah, dan tidak menyekutukan Tuhan dengan apa pun, karena ia
berharap akan bertemu dengan Tuhannya di akhirat nanti (Qs. al-Kahfi [18]:
110).
Kata akhirah (آخرة)
disebut 115 kali di dalam al-Quran. Kata ini selalu disebut secara tersendiri,
di samping dihubungkan dengan kata dar (دار) atau nasy’ah (نَشأَة). Selain kata akhirah
(أخرة),
al-Quran juga menggunakan kata al-yaum al-akhir (اليوم الآخير) untuk
menunjuk pengertian yang sama, dan ini terulang sebanyak 26 kali. Asal kata akhirah
(آخرة)
adalah al-akhir (الآخر) yang berarti lawan dari al-awwal (الأوّل) atau “yang
terdahulu”. Kata itu juga berarti “ujung dari sesuatu” (Qs. Yunus [10]: 10),
yang biasanya menunjuk pada jangka waktu (Qs. al-Hadid [57]: 3).
Di alam akhirat hanya terdapat
dua tempat yang disediakan, yakni surga dan neraka. Surga berfungsi sebagai tempat
pemberian balasan kebaikan, sedangkan neraka berfungsi sebaliknya, yakni
sebagai tempat pemberian balasan keburukan. Al-Qur’an menjelaskan :
وَكَذَلِكَ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ
حَوْلَهَا وَتُنْذِرَ يَوْمَ الْجَمْعِ لاَ رَيْبَ فِيهِ فَرِيقٌ فِي الْجَنَّةِ وَفَرِيقٌ
فِي السَّعِيرِ
Artinya : “Demikianlah Kami wahyukan
kepadamu al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kamu memberi peringatan kepada
ummul Qura (penduduk Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya serta
memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada
keraguan padanya. Segolongan masuk surga, dan segolongan masuk Jahannam.”[7]
وَاتَّقُوا يَوْمًا
تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ
لاَ يُظْلَمُونَ
Artinya : “Dan peliharalah dirimu dari
(azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan
kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap
apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya
(dirugikan).”[8]
Sebagaimana manusia, alam semesta sebagai makhluk juga
akan mengalami kepunahan. Hal ini menjadikan alam bersifat fana’. Punahnya alam
semesta menandai betapa sebenarnya yang kekal hanyalah Allah. Sedangkan bumi,
manusia, binatang, tetumbuhan semuanya bersifat sementara dan ada batasnya.
Allah Swt berfirman :
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ .
Artinya : “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan
tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”[9]
Demikian juga dengan ciptaan Allah yang lain, seperti jin,
malaikat, dan akhirat juga tidak kekal. Sebab jika dikatakan bahwa akhirat itu
kekal sebagaimana kekalnya Allah, berarti hal tersebut termasuk syirik, sebab
menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Tidak ada makhluk yang memiliki kualitas
kekekalan sebagaimana kekekalan Allah.
Namun ternyata di dalam
al-Qur’an ditemukan banyak sekali ayat yang berbicara tentang kekekalan
akhirat. Misalnya pada Qs. al-Baqarah (2) : 25 menjelaskan bahwa orang-orang
yang berdosa akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan orang-orang yang
beriman dan beramal saleh akan dimasukkan ke dalam surga.
بَلَى
مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ. وَالَّذِينَ
آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ .
Artinya : “Benar: Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah
diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu
penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”[10]
Al-Qur’an menggambarkan bahwa
di dalam surga terdapat sungai-sungai dan buah-buahan serta istri-istri
(pasangan-pasangan) yang suci. Para penghuni surga akan kekal di dalamnya. Hal
ini djelaskan dalam ayat berikut:
وَبَشِّرِ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا
هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا
أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya : “Dan sampaikanlah berita
gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka
disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka
diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan :
"Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi
buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang
suci dan mereka kekal di dalamnya.”[11]
Dijelaskan dalam al-Qur’an
bahwa orang-orang yang murtad dan mati dalam kekafiran, maka amalnya tidak akan
berguna. Dan mereka akan dimasukkan ke dalam neraka dan akan kekal di dalamnya.
Hal ini ditunjukkan oleh ayat berikut:
….وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ
دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي
الدُّنْيَا وَاْلآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya : “…. barangsiapa yang murtad di
antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah
yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.”[12]
Dari beberapa ayat di atas
dan puluhan ayat lainnya, dijelaskan mengenai kekekalan akhirat disertai
berbagai sifatnya yang lain. Kekalnya akhirat ini seakan menggambarkan betapa
masa di akhirat itu tanpa ada batasnya dan tidak berakhir. Pemahaman ini
membawa konsekuensi yang serius, yakni menyejajarkan sifat kekekalan Allah
dengan makhluk-Nya, atau dalam bahasa teologinya ta’adud al-qudama’. Padahal
Allah jelas tidak sama dengan makhluk-Nya dalam segala hal (mukhalafah li
al-hawadits).
Dengan demikian, informasi
al-Qur’an mengenai kekekalan akhirat perlu diluruskan pemahamannya agar tidak
terjadi kesalahan teologis. Hal ini perlu ditekankan sebagai landasan berpikir
tauhid dalam memandang segala penjelasan yang disebutkan dalam al-Qur’an.
B. Pokok Permasalahan
Berangkat dari pandangan di
atas, maka dapat ditarik beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah pengertian kekekalan
akhirat dalam al-Qur’an?
2.
Bagaimanakah konsekuensi
teologis-filosofis kekekalan akhirat dalam al-Qur’an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengertian kekekalan akhirat dalam al-Qur’an.
b. Untuk mengetahui konsekuensi teologis-filosofis kekekalan
akhirat dalam al-Qur’an.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis:
menambah wawasan tentang kekekalan akhirat dalam khasanah kepustakaan tafsir
al-Qur’an.
b. Manfaat praktis: hasil
pembahasan ini diharapkan mampu memberikan kontribusi yang positif dalam
pemahaman teologis-filosofis umat Islam tentang aspek eskatologis di kehidupan
mendatang.
D. Tinjauan Pustaka
Ketertarikan
penulis dalam pembahasan kekekalan akhirat adalah karena kurangnya literatur yang
membahas secara khusus permasalahan ini. Kalaupun sudah ada karya tersebut hanya
membahas secara implisit. Sehingga penelitian ini akan memfokuskan pembahasan
yang berbeda dengan karya-karya yang telah ada yakni penelitian lebih
menekankan pembahasan mengenai kekekalan akhirat dalam al-Qur’an.
Adapun
karya-karya yang membahas permasalahan tersebut adalah buku yang berjudul : Ternyata
Akhirat Tidak Kekal, karya Agus Musthofa.[13] Dalam buku ini dijelaskan tentang kehidupan
sesudah mati, manusia pertama, langit dan bumi, dunia dan akhirat, kiamat dan
pengadilan akhirat, surga dan neraka, serta ketidakkekalan akhirat.
Buku Raf’
al-Atsar li Ibthal al-Qa’ilin bi Fana’ an-Nar karya Muhammad ibn Ismail
al-Amir ash-Shon’ani, yang telah ditahqiq oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani,
dan diterjemahkan oleh Kamran dengan judul Perbedaan Ulama Salaf dan Khalaf tentang Keabadian
Neraka.[14]
Di dalamnya terdapat dalil-dalil tentang kefana’an neraka, seperti atsar Umar,
Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan Abu Hurairah, Abu Sa’id al-Khudri, Ibn Amr ibn
al-‘Ash, serta hadits riwayat Jabir. Di samping juga berisi dalil-dalil tentang
kekekalan neraka, yakni ijma’, legitimasi al-Qur’an, penegasan sunnah, doktrin
Ahlu Sunnah, juga nalar.
Buku Hady
al-Islam Fatawi Mu’ashirah, karya Dr. Yusuf Qaradhawi yang diterjemahkan
oleh As’ad Yasin dengan judul Fatwa-fatwa Kontemporer.[15] Dalam satu pokok isinya membahas tentang
pendapat Ibn al-Qayyim dalam dua kitabnya, Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah
dan Syifa’ al-‘Alil fi Masa’il al-Qadha’ wa al-Qadar wa at-Ta’lil, yang
menyatakan tentang tujuh pendapat mengenai kekekalan atau ketidakkekalan
neraka. Dan secara lebih luas, Ibn a-Qayyim membahas pendapat yang ketujuh
bahwa neraka mempunyai batas waktu dan akan berkesudahan, kemudian akan
dimusnahkan oleh Tuhan yang menciptakannya.
Selain itu,
juga buku karya Dr. Sa’id ibn Musfir al-Qahtani, yang diterjemahkan oleh
Munirul Abidin, dengan judul Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.[16] Di
dalam buku itu membahas pendapat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tentang
kekekalan surga dan neraka, dan didukung dengan pandangan ulama-ulama Ahlu
Sunnah wal Jama’ah. Di dalamnya juga dikutip pendapat Imam Ahmad bahwa segala
sesuatu telah ditetapkan oleh Allah, ada yang hancur dan ada yang abadi. Adapun
surga dan neraka diciptakan oleh Allah untuk diabadikan bukan dihancurkan. Dan
keduanya termasuk dalam alam akhirat bukan alam dunia.
Penelitian ini
lebih terfokus pada persoalan tentang pengertian kekekalan yang dimaksud dalam
al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan teologis-filosofis. Selain itu,
penelitian ini menggunakan data-data yang relevan dalam studi tafsir dengan
mengambil dari berbagai madzhab teologi.
E.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode penelitian:
1. Sumber Data
Penulisan
skripsi ini diambil dari data-data penulisan yang bersifat kepustakaan (library
research)[17] dengan memilih al-Qur’an langsung sebagai
sumber pokok dalam studi tematik untuk mengungkap makna kekekalan akhirat dalam
al-Qur’an. Menurut penulis, masih banyak ayat-ayat yang terpencar dan belum
menjadi satu tema tertentu. Karena penelitian ini merupakan kajian qur’ani,
maka secara otomatis sumber data primer adalah kitab suci al-Qur’an al-Karim
itu sendiri dengan alat bantu Mu’jam.
Adapun sumber
data sekunder yang penulis gunakan adalah kitab-kitab tafsir, yaitu :
Pertama, Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad
Musthafa al-Maraghi.[18] Tafsir
ini menggabungkan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ray.
Selain menggunakan ayat lain serta hadits Nabi sebagai penjelas, tafsir ini
menggunakan metode tahlili yang bercorak rasio. Dalam tafsirnya, al-Maraghi
menekankan kajiannya kepada analisis terhadap makna-makna ayat dari berbagai
segi atas dasar urutan ayat-ayat atau surat demi surat; ia menonjolkan
kandungan lafadz dan menghubungkan masing-masing ayat yang ditafsirkan, serta
memperkuat penafsirannya dengan asbab an-nuzul. Oleh karenanya, maka
penelitian ini mengambil tafsir ini sebagai sumber data.
Kedua, Tafsir Jami’ Li Ahkam al-Qur’an,
karya al-Qurthubi.[19] Ia dari madzab Maliki, menyajikan pandangan
yang berbeda tanpa polemik dan kadang juga tidak sepakat dengan madzhab maliki.
Tafsir ini merupakan suatu karya ensiklopedis yang menyatukan hadis dengan
masalah-masalah ibadah, hukum dan linguistik. Karyanya sangat teratur dan
berguna.[20] Oleh karena itu peneliti mengambil tafsir
ini sebagai sumber data.
Ketiga, Tafsir Ruh al-Ma’ani, karya
Shihabuddin Mahmud al-Alusi.[21] Tafsir ini merupakan tafsir yang mengandung
tafsir isyari yaitu suatu aliran tasawuf yang berusaha menafsirkan al-Qur’an
berdasarkan isyarat-isyarat batiniyah. Dalam penafsiran al-Qur’an dapat
dipahami makna yang tersirat disamping makna yang tersurat atau zhahir
ayat al-Qur’an yang telah dipahami.[22] Dari sebab tersebut maka dalam penelitian
ini mengambil tafsir ini sebagai sumber data.
Di samping
kitab-kitab tersebut dalam penelitian ini juga menggunakan data-data yang
terkait dengan pokok pembahasan sebagai pelengkap atau penunjang.
2. Metode Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah mencari dan
mengumpulkan data dengan cara membaca dan memahami data yang penulis dapatkan,
baik itu data primer maupun data sekunder. Dari sini kemudian penulis akan
memberikan interpretasi terhadap data tersebut untuk kemudian dianalisis.
Dengan demikian jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat
studi kepustakaan.
3.
Metode Analisis Data
Untuk
menganalisis data tersebut, penulis menggunakan metode:
a. Analisis Isi (Content
Analysis)
Metode ini
merupakan suatu teknik penelitian yang membuat inferensi-inferensi yang dapat
ditiru (replicable) dari data yang sahih dengan memperhatikan
konteksnya.[23]
Secara
intuitif, analisis isi dapat dikarakteristikkan sebagai metode penelitian makna
simbolik pesan-pesan. Sebab pesan memiliki makna ganda yang bersifat terbuka,
apalagi jika pesan tersebut benar-benar bersifat simbolik. Di samping juga
bahwa suatu makna tidak harus diartikan menurut pemaknaan yang diberikan oleh
konsensus yang memiliki perspektif kultural dan sosio-politik yang sama. Dengan
demikian, kesepakatan akan makna hampir tidak dapat dijadikan persyaratan
sebagai analisis.[24]
Oleh karena
itu dapat dikatakan, bahwa teknik analisis isi ini dapat diterapkan dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena teknik ini didasarkan pada kenyataan,
bahwa data yang dihadapi adalah bersifat deskriptif berupa pernyataan verbal
(bahasa), bukan data kuantitatif.[25]
b. Metode Tematik
Metode ini
yaitu menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang mempunyai maksud yang
sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya
berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian
penafsir memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[26]
Dalam
penerapan metode tematik ini, penulis menempuh beberapa langkah antara lain
sebagaimana diungkapkan oleh al-Farmawi berikut ini :
1) Menghimpun ayat-ayat
yang berkenaan dengan kekekalan akhirat.
2) Menelusuri latar
belakang turun (asbab an-nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun.
3) Meneliti dengan cermat
semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosa kata
kekekalan akhirat dalam ayat tersebut. Kemudian mengkajinya dari semua aspek
yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabah,
pemakaian kata ganti (dhamir), dan sebagainya.
4) Mengkaji pemahaman
ayat-ayat tersebut dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufassir.
Semua itu
dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif
melalui kaidah-kaidah tafsir, serta didukung oleh fakta dan argumen-argumen
dari al-Qur’an, hadis, atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan.[27]
F.
Sistematika Penulisan
Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari
tulisan ini, maka skripsi ini disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan
muatan isi yang satu sama lain saling melengkapi. Oleh karena itu, untuk sampai
kepada pemahaman yang menyeluruh dan memudahkan penjabaran skripsi ini, maka sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis
besar dari keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas
serta padat. Atas dasar itu, deskripsi awal diawali dengan latar belakang
masalah yang terangkum di dalamnya tentang alasan pemilihan judul dan bentuk pokok permasalahannya. Selanjutnya, untuk
memperjelas isi, maka dikemukakan pula tujuan dan manfaat penulisan, baik ditinjau secara
teoritis maupun praktis. Penjelasana ini akan mengungkap seberapa jauh
signifikansi tulisan ini. Demikian pula metode penulisan diungkap apa adanya
dengan harapan dapat diketahui sumber data, teknik pengumpulan data, dan
analisis data.
Bab kedua, berisi konsep awal tentang makna kekal yang
terdapat dalam al-Qur’an. Di dalamnya mengandung tentang pengertian kekal yang
didukung oleh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang segala jenis
kekekalan. Selanjutnya, akan dapat diperoleh gambaran yang utuh tentang makna
kekal sebagaimana yang dikehendaki dalam al-Qur’an.
Bab ketiga, berisi tentang kekekalan akhirat dalam
perspektif al-Qur’an. Bab ini dijabarkan dalam perihal kehidupan di akhirat
yang digambarkan oleh al-Qur’an, juga tentang konsep kekekalan akhirat dan
perbedaannya dengan kekekalan Allah. Selanjutnya, dilakukan pembahasan mengenai
kekekalan akhirat melalui cara kerja tematik.
Bab keempat, berisi tentang beberapa bentuk
konsekuensi dari adanya kekekalan akhirat, seperti ta’adud al-qudama’
(keqadiman yang berbilang) serta kekekalan yang terbatas. Di samping juga akan
sedikit dikupas tentang signifikansi konsep monotheisme (tauhid) dalam Islam.
Bab kelima, merupakan penutup dari seluruh pembahasan
yang telah dilakukan. Bab ini berupa kesimpulan-kesimpulan yang telah
diperoleh, berisi saran-saran yang relevan dengan pokok permasalahan.
[1]Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Terj. Mudzakir AS, Litera
InterNusa, Bogor, Cet. II, 1992, hlm. 450.
[2]Qs.
al-Baqarah (2) : 2-4
[3]Qs.
al-Baqarah (2) : 28
[4]Azyumardi
Azra (Ed.) Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet.
III, 2001, hlm. 160.
[5]Mujtaba
Musairi Lari, Alam Baka dan Hari Kebangkitan, Terj. Ilham Maskuri dan
Asyabuddin, Lentera, Jakarta, 2002, hlm. 206.
[6]Anonim, “Akhirah”, dalam
www.psq.or.id/ensiklopedia_detail.asp?mnid=34&id=39-49k-, diakses pada
tanggal 25 November 2007.
[8]Qs.
al-Baqarah (2): 281
[13]Agus Musthofa, Ternyata
Akhirat Tidak Kekal, Padma Press, Sidoarjo, Cet. IV, 2004.
[14]Muhammad
ibn Ismail al-Amir ash-Shon’ani, Perbedaan Ulama Salaf dan Khalaf tentang
Keabadian Neraka, Tahqiq: Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terj. Kamran,
Pustaka Azzam, Jakarta, 2004.
[15]Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Terj.
As’ad Yasin, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.
[16]Sa’id ibn Musfir al-Qahtani, Buku Putih
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Terj. Munirul Abidin, PT. Darul Falah,
Jakarta, Cet. III, 1995.
[17]Sutrisno Hadi, Metodologi
Research, Yayasan Penerbit Fak. Psikologi UGM, Yogyakarta,
Jilid I,
1983, hlm. 42.
[18]Ahmad
Musthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Dar al-Fikr, Beirut, t.th.
[20]Mahmud Ayub, Al-Qur’an
dan Para Penafsirnya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1992, hlm. 9.
[21]Syihabuddin Mahmud
al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Dar al-Ihya’, Beirut, t.th.
[22]Muhammad Ali ash-Shobuni, Pengantar
Studi al-Qur’an (at-Tibyan), Terj. Muhammad Chudlori Umar dan Matsna NS,
PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hlm. 240.
[23]Klaus
Krippendorff, Analisis Isi : Pengantar Teori dan Metodologi, Terj. Farid Wajdi, Rajawali
Press, Jakarta, 1991, hlm. 15.
[24]Ibid,
hlm. 17.
[25]Abdul
Muin Salim, Fiqh Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, Rajawali
Press, Jakarta, 1994, hlm. 22.
[26]Abd. al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’i Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996, hlm. 36.
[27]Ibid.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar