BERPISAH DENGAN RAMADAN (KHUTBAH JUM'AT)
الحَمْدُ لِلّهِ الَّذِى جَعَلَ
التَّقْوَى خَيْرَ زَادٍ وَاَنْعَمَ
عَلَيْنَا بِشَهْرِ رَمَضَانَ وَجَعَلَهُ اَحَدَ اَرْكَانِ الاِسْلاَمِ . اَشْهَدُ
اَنْ لاَاِلَه اِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَه وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدِنَا مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اَلْمَوْصُوْفُ
بِالْخُلُقِ الْعَظِيْمِ . اَللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد وَ عَلَى
آلِهِ وَاَصْحَابِهِ اَهْلِ التَّقْوَى وَالْمَعْرِفَة وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
اَمَّا بَعْدُ : فَيَا
عَبَادَ اللهِ، اِتَّقُوا الله فِى جَمِيْعِ اَوْقَاتِكُمْ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ
تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُونْ. قَالَ الله
ُتَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلكَرِيْمِ : شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ
فِيْهِ اْلقُرْآنُ هُدًا لِلنَّاسِ وَبَيِّنَتٍ مِنَ اْلهُدَى وَالْفُرْقَانِ ،
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَاْليَصُمْهُ ، وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أوْ
عَلىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أيَّامِ أُخَرَ،
Ma’asyiral
Muslimin, Jama’ah Sidang Jum’ah
yang Dimuliakan Allah
Insya Allah
sebentar lagi kita akan berpisah dengan Ramadan. Setelah bulan Ramadhan
berlalu, orang akan terbagi menjadi beberapa bagian, namun secara garis
besarnya mereka terbagi dua kelompok.
Kelompok yang
pertama. Orang yang pada bulan Ramadhan tampak sungguh-sungguh dalam
ketaatan, sehingga orang tersebut selalu dalam keadaan sujud, shalat, membaca
Alquran. Kita seakan tertegun melihat kesungguhan dan giatnya dalam beribadah.
Namun itu semua hanya berlalu begitu saja bersama habisnya bulan Ramadhan, dan
setelah itu ia kembali lagi bermalas-malasan, kembali mendatangi maksiat
seolah-olah ia baru saja dipenjara dengan berbagai macam ketaatan dan kembalilah
ia terjerumus dalam syahwat dan kelalaian.
Setelah
sebulan penuh ia hidup dengan iman, al-Quran serta amalan-amalan yang
mendekatkan diri kepada Allah, tiba-tiba saja ia ulangi perbuatan-perbuatan
maksiatnya di masa lalu. Mereka itulah hamba-hamba musiman. Mereka tidak
mengenal Allah kecuali hanya pada satu musim saja (yakni Ramadhan), atau hanya
ketika ditimpa kesusahan, jika kesusahan itu telah berlalu maka ketaatannya pun
ikut berlalu.
Kelompok yang
kedua. Orang yang bersedih ketika berpisah dengan bulan Ramadhan mereka merasakan
nikmatnya kasih sayang dan penjagaan Allah, mereka lalui dengan penuh
kesabaran, mereka sadari hakekat keadaan dirinya, betapa lemah, betapa hinanya
mereka di hadapan Yang Maha Kuasa, mereka berpuasa dengan sebenar-benarnya,
mereka shalat dengan sungguh-sungguh. Perpisahan dengan bulan Ramadhan membuat
mereka sedih, bahkan tak jarang di antara mereka yang meneteskan air mata.
Apakah kedua
kelompok tersebut sama? Tentu saja dua golongan ini berbeda. Allah SWT berfirman Qs. Al-Isra’: 84
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلًا
Katakanlah:
"Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." Maka
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.
Para ahli
tafsir mengatakan, makna ayat ini adalah bahwa setiap orang berbuat sesuai
dengan keadaan akhlaq yang biasa ia jalani. Kalau sebelum Ramadan seseorang terbiasa
beribadah, maka ketika Ramadan tiba, mereka makin meningkatkan amal ibadahnya. Shalat
fardhu makin tepat waktu, rajin berjama’ah di masjid, shalat-shalat sunnah
ditambah, al-Qur’an dibaca sampai khatam, dan seterusnya. Selesai Ramadan, mereka
jaga amalan-amalan Ramadan tersebut dengan istiqomah. Hal ini terjadi sebab mereka
beribadah karena imanan wahtisaban, karena iman dan hanya mengharap
pahala Allah, dan bukan karena nafsu atau ikut-ikutan.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah
Berbeda
halnya dengan orang yang menjalankan amalan Ramadan karena nafsu. Tarawih
berjama’ah di masjid begitu rajin, tetapi justru shalat fardhu yang lima waktu
tidak dijalankan, atau dijalankan tetapi tidak seantusias dalam mengerjakan
tarawih yang sunnah. Kalau ini yang terjadi, maka kasihanlah mereka karena
sebetulnya belum mendirikan shalat, tetapi hanya menjalankan gerakan-gerakan
dan bacaan shalat.
Padahal dalam
hadits disebutkan:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Kalau yang
kita lakukan ternyata hanya menjalankan gerakan shalat, dan motifnya bukan
karena iman dan ikhlas karena Allah, bukan untuk beribadah, mengabdi, dan menyembah
Allah, maka bagaimana mungkin dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah?
Dalam sebuah
qaulnya, Ibnu Athaillah berkata.
مِنْ عَلَامَةِ اتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ
إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَالتَّكَاسُلُ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ
Diantara
tanda mengikuti hawa nafsu adalah bersegera melakukan amalan sunnah dan malas
menunaikan kewajiban.
Lihatlah
keberagamaan kaum muslim hari ini. Betapa banyak diantara kita yang menganggap
enteng ibadah wajib dan menomorsatukan ibadah sunnah. Masjid-masjid begitu
ramai saat shalat tarawih, tapi tak seramai ketika shalat wajib. Kaum muslim
hari ini seakan-akan menganggap tarawih berjamaah lebih utama daripada shalat
wajib berjamaah. Padahal, anjuran untuk berjamaah terletak pada shalat
lima waktu. Bukankah akan lebih baik, kalau masjid-masjid kita ramaikan bukan
saja pada saat tarawih tapi juga pada shalat lima waktu.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah
Barang siapa
berpuasa siang hari di bulan Ramadan dan shalat di malam harinya, melakukan
kewajiban-kewajiban dan sunnah-sunnahnya, menahan pandangannya, menjaga anggota
badan serta menjaga shalat dengan berjama’ah dengan sungguh-sungguh untuk
menyempurnakan ketaatannya, maka bolehlah ia berharap mendapat ridha Allah,
kemenangan di surga dan selamat dari api neraka. Orang yang tidak menjadikan
ridha Allah sebagai tujuannya maka Allah tidak akan melihatnya.
Jangan sampai
kita seperti orang yang memintal benang dengan susah payah untuk membuat kain,
kemudian dari kain itu kita buat baju. Ketika semuanya telah usai dan nampak
kelihatan indah, maka tiba-tiba saja kita potong baju tersebut. Jangan sampai
ketekunan ibadah kita di bulan Ramadan, kita rusak dengan kembali berbuat
kemaksiatan selepas Ramadan.
Jangan sampai
kita seperti orang yang diberi oleh Allah keimanan dan al-Quran namun kita berpaling
dari keduanya, dan kita lepaskan keduanya, akhirnya menjadikan kita masuk perangkap
setan sehingga menjadi orang yang merugi, orang yang terjerumus di dalam jurang
yang dalam, dan menjadi pengikut hawa nafsu. Naudzu billah mindzalik.
Allah SWT berfirman dalam Qs. al-A’raaf: 175
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
آَتَيْنَاهُ آَيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ
مِنَ الْغَاوِينَ
Dan
bacakanlah kepada mereka berita kepada orang yang telah kamu berikan kepadanya
ayat-ayat Kami, kemudian mereka melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu dia
diikuti oleh syetan sampai ia tergoda, maka jadilah ia termasuk orang-orang
yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki sesunguhnya Kami tinggikan derajatnya
dengan ayat-ayat itu.
Ma’asyiral
Muslimin rahimakumullah
Rasulullah SAW pernah ditanya, amalan apa yang paling di sukai Allah?
Beliau menjawab, “Yakni yang terus-menerus walaupun sedikit”.
Aisyah RA ditanya, “Bagaimana Rasulullah mengerjakan sesuatu
amalan, apakah ia pernah mengkhususkan sesuatu sampai beberapa hari tertentu”
Ia menjawab, “Tidak, namun beliau mengerjakan secara terus-menerus, dan
siapapun di antara kalian hendaknya jika ia mampu mengerjakan sebagaimana yang
dikerjakan Rasulullah SAW.”
Hadits ini
memberikan beberapa pelajaran, antara lain:
·
Hendaknya, seluruh kebajikan kita
laksanakan secara keseluruhan tanpa pilih-pilih menurut kemampuan kita dan
dikerjakan secara rutin.
·
Tengah-tengah dalam beribadah
(sedang-sedang), dan menjauhi segala bentuk berlebihan, agar jiwa selalu
bersemangat dan lapang, maka dengan ini akan tercapai segala tujuan ibadah, dan
sempurna dari berbagai segi.
·
Supaya rutin dalam beramal, suatu
amalan meskipun sedikit jika dilakukan secara terus-menerus lebih baik dari
pada amalan yang banyak namun terputus.
Dengan
demikian amalan yang sedikit namun rutin akan memberi buah dan nilai tambah
yang berlipat ganda dari pada amalan banyak yang terputus.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Sebagai penutup dari khutbah ini,
maka dapat kita renungkan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Hendaknya kita tanamkan kesadaran dalam diri kita
masing-masing bahwa Ramadan adalah momentum bagi kita untuk meningkatkan
ibadah.
2.
Hendaknya kita menjalankan ibadah dengan penuh keimanan
dan ikhlas karena Allah, dan bukan karena nafsu atau ikut-ikutan. Jangan sampai
yang sunnah mengalahkan yang wajib.
3.
Hendaknya kita tetap istiqomah dan bersemangat dalam
beribadah, seakan semua bulan adalah Ramadan.
Semoga di bulan Ramadhan
ini, cinta kita kepada Allah akan semakin bertambah serta kita dikaruniai
keikhlasan dalam menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Amin.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar