ORGANISASI PENDIDIKAN
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Organisasi pendidikan berarti seluruh proses dalam
memilih seseorang dalam mengelola pendidikan serta sarana dan prasarana dalam
menunjang tugas mencapai tujuan pendidikan, penetapan tugas, tanggung jawab dan
wewenangnya. Pendidikan merupakan usaha yang berproses, dilakukan
melalui runtunan aktivitas langkah demi langkah dan tahap demi tahap, bukan
usaha sekali jadi. Mendidik berarti melibatkan diri dalam proses, dan
berpendidikan berarti mengalami proses pendidikan.[1] Atas
dasar itu, maka dalam proses pendidikan dibutuhkan usaha sistematis,
terstruktur, dan memakai pola manajemen serta organisasi dalam mengelola
pendidikan dan pembelajaran.
Download
Download
Pentingnya organisasi dalam sekolah dimaksudkan agar
proses pendidikan berjalan sesuai tujuan yang diharapkan. Untuk itu, seluruh
komponen pendidikan diarahkan pada partisipasi aktif guna menunjang tujuan
dimaksud. Tujuan pendidikan mengarahkan perbuatan mendidik. Fungsi ini
menunjukkan pentingnya perumusan dan pembatasan tujuan pendidikan secara jelas.
Tanpa tujuan yang jelas, proses pendidikan akan berjalan tidak efektif dan
tidak efisien, bahkan tidak menentu dan salah dalam menggunakan metode,
sehingga tidak mencapai manfaat. Tujuanlah yang menentukan metode apa yang
seharusnya digunakan untuk mencapainya.[2]
A. Organisasi Sekolah
Secara
umum, organisasi diartikan sebagai memberi struktur atau susunan dalam
penempatan orang-orang dalam suatu kelompok kerja sama, dengan maksud
menempatkan hubungan antara orang-orang dalam kewajiban-kewajiban, hak-hak dan
tanggung jawab masing-masing. Hal tersebut dimaksudkan agar tersusun suatu pola
kegiatan untuk menuju ke arah tercapainya tujuan bersama.
Suryosubroto
berpendapat bahwa organisasi adalah aktivitas dalam membagi-bagi kerja, menggolong-golongkan
jenis pekerjaan, memberi wewenang, menetapkan saluran perintah dan tanggung
jawab kepada para pelaksana.[3]
Organisasi
sekolah sudah seharusnya mempunyai organisasi yang baik agar tujuan pendidikan
tercapai sepenuhnya. Seperti diketahui, unsur personal di dalam lingkungan
sekolah adalah kepala sekolah, guru, karyawan dan murid. Disamping itu
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal ada di bawah instansi atasan, baik
itu kantor dinas atau kantor wilayah departemen yang bersangkutan. Di Indonesia,
kepala sekolah adalah jabatan tertinggi di sekolah itu, sehingga ia berperan
sebagai pemimpin sekolah dan dalam struktur organisasi sekolah ia dudukkan pada
tempat paling atas.
Dalam
penyelenggaran organisasi sekolah, hendaknya tugas-tugas dan tanggung jawab
untuk mencapai tujuannya dibagi secara merata dengan baik sesuai dengan
kemampuan, fungsi dan wewenang yang telah ditentukan. Melalui struktur
organisasi yang ada tersebut, orang akan mengetahui apa tugas kepala sekolah,
apa tugas guru, apa tugas karyawan (Tata Usaha). Dengan organisasi yang baik
dapat dihindari tindakan kepala yang menunjukkan kekuasaan yang berlebihan
(otoriter), suasana kerja dapat lebih berjiwa demokratis karena timbulnya
partisipasi aktif dari semua pihak yang bertanggung jawab.[4]
Dalam
mengelola sistem pendidikan diperlukan berbagai penguasaan ilmu serta
ketrampilan, antara lain:
1. Perencanaan, yang dimaksud ialah
perencanaan mikro (sekolah) maupun perencanaan masyarakat sekitar sampai kepada
perencanaan pembangunan daerah dalam kaitan dengan otonomi daerah.
2. Pengorganisasian, hal ini diperlukan
pengetahuan mengenai organisasi dan teori-teori organisasi serta bentuk-bentuk
dan mekanisme serta kinerja masing-masing organisasi.
3. Aktualisasi. Dalam hal ini diperlukan
konsep-konsep mengenai manajemen, teori-teori mengenai mobilisasi sumber-sumber
yang tersedia untuk mewujudkan suatu program atau suatu rencana kerja.
4. Pengawasan. Pengetahuan berbagai bentuk
pengawasan untuk memilih yang sesuai dengan kondisi serta tingkat perkembangan
suatu organisasi.
5. Budget. Di sini diperlukan
pengetahuan mengenai penyusunan RAPBS maupun pada tingkat daerah dalam rangka
kerja sama antar lembaga pendidikan.
6. Administrasi pendidikan. Di dalam
arti mikro diperlukan pengetahuan mengenai administrasi pendidikan sekolah yang
efektif
antara lain dengan menggunakan teknologi komunikasi, komputer
yang akan mempermudah tugas-tugas administrasi.
antara lain dengan menggunakan teknologi komunikasi, komputer
yang akan mempermudah tugas-tugas administrasi.
7. Pemantauan dan pelaporan. Di dalam
kaitan ini dikembangkan Program EMIS (Educational
Management Information System)
dalam lingkup sekolah maupun lingkup daerah.
dalam lingkup sekolah maupun lingkup daerah.
8. Evaluasi. Di dalam hal ini evaluasi
perilaku dalam rangka pencapaian misi yang telah ditetapkan.[5]
B.
Proses
Belajar Mengajar dan Problematikanya
Dewasa
ini masyarakat sering mempertanyakan kualitas pendidikan yang tidak sebaik
dulu. Padahal infrastruktur maupun suprastruktur pendidikan sekarang ini boleh
dibilang jauh lebih maju bila dibanding zaman dulu. Pelatihan guru sering
dilakukan, berbagai alat dan buku telah tercukupi, namun ternyata tidak
berpengaruh sama sekali. Hal tersebut menimbulkan penilaian dari masyarakat
antara biaya, tenaga dan waktu yang dikeluarkan dengan dampak yang dihasilkan
belum seimbang. Lalu dimana letak kesalahannya? Mengapa input yang
begitu
banyak dan berharga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produk pendidikan?
banyak dan berharga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produk pendidikan?
Slamet
mengatakan bahwa penyebab rendahnya kualitas pendidikan adalah karena aspek
pengelolaan atau manajemen. Secara internal hal tersebut disebabkan oleh
penerapan pendekatan input-output yang berliku. Terlalu mengedepankan
aspek input pada penyelesaian hampir semua kasus pendidikan di sekolah.
Seakan-akan mutu pendidikan akan meningkat dengan sendirinya apabila sejumlah input
ditambahkan. Misalnya kekurangan guru, ditambah guru. Belum punya laboratorium,
dibangun laboratorium dan seterusnya. Ada satu faktor yang terlupakan, yaitu
bagaimana berbagai input tersebut
dipertemukan dan berinteraksi di dalam proses belajar mengajar. Ada
kecenderungan, proses berinteraksinya berbagai input tersebut
disimplifikasikan sedemikian rupa. Seakan proses belajar mengajar di depan
kelas akan dengan sendirinya menjadi baik apabila gurunya telah ditatar,
kualifikasinya ditingkatkan dan peralatan yang mendukung pada proses belajar
mengajar telah dilengkapi.[6]
Proses
mengajar di kelas dapat dicermati dari dua sudut pandang. Pertama menyatakan
bahwa mengajar adalah proses mentransfer ilmu pengetahuan dan ketrampilan
kepada siswa. Proses mengajar tersebut telah terpolakan sedemikian rupa
sehingga banyak guru yang tidak melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan. Kedua
menyatakan bahwa proses mengajar tidak lain adalah memotivasi siswa untuk
belajar. Dalam kerangka yang demikian, maka penumbuhan minat siswa menjadi
kegiatan kunci untuk mengantarkan siswa pada aktivitas belajar.[7]
Bila motivasi siswa telah ditumbuhkan sedemikian rupa, maka guru adalah pamong
semata. Ia membimbing siswanya untuk mengenal lebih dalam, melalui
tahapan-tahapan untuk sampai pada hasil belajar.
Proses
belajar dari sudut pandang siswa yang menjadi sasaran kegiatan mengajar para
guru adalah kegiatan aktif. Dan
siswa akan aktif belajar
apabila dari dalam dirinya tumbuh minat
untuk belajar. Hanya dengan minat
proses belajar akan menghasilkan sesuatu yang dapat diingat atau
dipraktikkan.
Sering
gagalnya proses belajar mengajar, menurut Slamet, penyebabnya adalah aspek
pengelolaan yang kurang profesional. Baik pengelolaan kelas maupun pengelolaan
sekolah. Kunci kelemahannya terletak pada kurang profesionalnya guru dan kepala
sekolah. Didukung pula oleh frekuensi supervisi kelas yang relatif jarang, baik
yang dilakukan oleh kepala sekolah maupun pengawas. [8]
C.
Organisasi
Pendidikan
1. Penanggung
Jawab
Penanggung
jawab pendidikan yang sesungguhnya adalah orang tua, ayah dan ibu. Abdullah
Nasikh ‘Ulwan, sebagaimana dikutip Qomari Anwar, berpendapat bahwa orang tua
memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dalam bidang
kehidupan biologis, intelektual, psikis, sosial dan seksnya. Kesehatan dan
kesadaran di berbagai bidang tersebut adalah tanggung jawab orang tua.[9]
Anak
memiliki kebutuhan biologis yang perlu diperhatikan secara saksama agar tetap
sehat dan seimbang, misalnya makan, minum, olah raga, istirahat, tidur, dan
sebagainya. Dalam hal-hal seperti tersebut agaknya tidak mungkin bila hanya
dilakukan dengan sebatas nasehat, akan tetapi perlu melatih, mengawasi dan
mengarahkan mereka sehingga memiliki kesadaran dan kebiasaan baik dalam
hidupnya. Menumbuhkan kesadaran sehingga anak-anak berkembang sesuai dengan
kesucian fitrahnya ini memang sulit tetapi jelas harus diupayakan oleh setiap
orang tua yang merasa bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.
2. Pelaksana
Setidaknya
terdapat dua pandangan mengenai sentral determinan pendidikan. Sebagian ahli
dan pemerhati pendidikan berpandangan bahwa guru merupakan unsur determinan
pendidikan yang paling utama. Pandangan ini melahirkan pola pendidikan teacher
centered, guru adalah sentral proses pendidikan. Sebaliknya, sebagian
berpandangan bahwa anak didik atau siswalah yang menjadi unsur determinan
pendidikan. Pandangan ini mengimplikasikan pola pendidikan student centered,
anak didik merupakan
sentral orientasi dalam proses pendidikan.[10]
Kedua
pandangan di atas berangkat dari suatu paradigma bahwa proses pendidikan bisa
terjadi cukup dengan guru dan murid. Keduanya merupakan unsur determinan
pendidikan.
a.
Guru
Guru
adalah penentu masa depan. Ia pendidik, pembimbing dan pemimpin sejati bagi
masyarakatnya. Karena itu guru perlu memiliki sifat sebagai berikut:
1) Guru
harus memiliki kesadaran bahwa dirinya harus memikul amanah dan tanggung jawab
dalam mendidik generasi muda. Ia harus cermat dalam menginteraksikan ilmu
termasuk yang berkaitan dengan ubudiyah
langsung kepada Tuhan.
2) Sebagai
guru yang baik tentulah dia melakukan persiapan yang sempurna. Karenanya wajar
pula bila berbagai kebutuhan guru “dicukupi” oleh pihak berwenang agar mereka
dapat berkhidmat secara tulus dalam bidang tugasnya.
3) Bila
ternyata suatu saat penghargaan terhadap guru kurang memadai hendaknya guru
dengan niat sucinya. sejak semula dapat memahami dan tetap mengabdi karena yang
mereka cari bukanlah penghargaan dari manusia semata apalagi hanya dalam bentuk
materi/benda.
4) Seorang
guru hendaknya berhati lembut, berwawasan luas, berjiwa mulia, berakhlak
terpuji dan menarik, hingga walaupun mereka tidak menampilkan alat peraga atau
alat bantu lainnya guru akan tetap menjadi perhatian murid-muridnya.
5) Karena
guru merupakan teladan dan menjadi sentra penglihatan para muridnya, maka guru
harus selalu tampil rapi agar dapat dijadikan figur oleh para muridnya.
6) Seorang
guru hendaknya jujur, satu kata satu perbuatan. Hindari sikap munafik karena
sekali melakukan kebohongan akan sulit lagi mengembalikan kejujuran yang sebelumnya telah dibangan
secara bersusah payah.
7) Kendatipun
tidak berhubungan langsung dengan para muridnya, aplikasi nilai kebenaran
hendaknya dicerminkan pula dalam rumah tangganya. Karena dengan demikian murid
akan mendapat sajian nyata bahwa ajaran guru dapat diihat dalam kehidupan nyata
masyarakat, lebih khusus dalam keluarga terdekat guru.
8) Seorang
guru harus siap memberikan kasih sayang kepada para muridnya. Bahkan dalam
rangka mempermudah, menjalankan tugas sebagai guru maka guru perlu menunjukkan “hubungan dekatnya”
dengan para muridnya.[11]
Dewasa
ini dikembangkan corak pendidikan yang lebih berorientasi kepada kompetensi
anak didik. Tetapi kenyataan ini tidak mengurangi arti dari peran guru dalam
proses pendidikan. Pada pola pendidikan apapun eksistensinya guru tetap
penting. Guru tetap merupakan unsur dasar pendidikan yang sangat berpengaruh
terhadap proses pendidikan.
Peranan
dan fungsi guru merupakan keharusan yang tak dapat diingkari. Tidak ada
pendidikan tanpa “kehadiran guru”. Guru merupakan penentu arah dari sistimatika
pembelajaran mulai dari kurikulum, sarana, bentuk pola, sampai kepada usaha
bagaimana anak didik seharusnya belajar dengan baik dan benar dalam rangka
mengakses diri akan pengetahuan dan nilai-nilai hidup.[12]
Guru
sudah semestinya memiliki karakteristik profesional. Karakter profesional
tersebut di antaranya :
1) Komitmen
terhadap profesionalitas yang melekat pada dirinya, sikap edukatif, komitmen
terhadap mutu proses dan hasil kerja.
2) Menguasai
dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu
menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya.
3) Mendidik
dan menyiapkan anak didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan
memelihara hasil kreasinya supaya tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat dan lingkungannya.
4) Mampu
menjadikan dirinya sebagai model dan pusat anutan, teladan dan konsultan bagi
anak didik.
5) Mampu
bertanggung jawab dalam membangun peradaban di masa depan.[13]
Arifin
menegaskan bahwa guru yang profesional adalah guru yang mampu mengejawantahkan
seperangkat fungsi dan tugas keguruan dalam lapangan pendidikan berdasarkan
keahlian yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan khusus di bidang
pekerjaan yang mampu mengembangkan kekaryaannya itu secara ilmiah. Tidak hanya
itu, guru yang profesional adalah guru yang memiliki kecakapan dalam manajemen
kelas dalam rangka proses pembelajaran yang efektif dan efisien.[14]
b.
Murid
Murid
sangat penting karena merekalah sesungguhnya yang akan menjadi “receipent” dari
sebuah pendidikan. Karena itu karakter dan sifat serta sikap mereka harus
dipelajari, dicermati dan dijadikan pertimbangan dalam memberikan suatu materi
pendidikan. Mereka perlu diperkenalkan suatu materi yang dapat mengantarkan
diri mereka kepada tercapainya insan kamil.[15]
Murid
harus diberi peluang atau kesempatan untuk mempelajari, mengkaji, mengamati
serta menganalisa seluruh fenomena yang terjadi di muka bumi mi. Bila kepada
mereka telah diperkenalkan dan dilatih oleh cara berpikir secara logis tetapi
tetap dalam kerangka acuan orang beriman niscaya mereka akan mendapatkan konsep
yang islami dalam melakukan penelitian yang jelas dan tertib, ilmiah dan logis.
Bagi orang beriman semua persoalan betapapun ilmiah dan logisnya tetap akan
dikaitkan dengan nilai dan jiwa keimanan. Di samping itu kepada murid juga
perlu diperkenalkan praktik materi-materi keagamaan dan tetap mendapatkan
keteladanan dan pengawasan dari guru. Tanpa itu dimungkinkan mereka akan
terkacaukan oleh perbedaan antara teori yang mereka peroleh dari guru di
sekolah dengan kenyataan yang dialami oleh guru atau bahkan lingkungannya.[16]
Murid
merupakan subyek dan obyek. Oleh karenanya aktivitas kependidikan tidak akan
terlaksana tanpa keterlibatan murid di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang
konsep murid merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh
seluruh pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses
pendidikan.[17]
Murid
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar yang
masih perlu dikembangkan. Murid merupakan makhluk Tuhan yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, memiliki
kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[18]
Agar
pelaksanaan proses pendidikan dapat mencapai tujuan yang diinginkannya, maka setiap
murid hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya. Menurut Asma Hasan
Fahmi, diantara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi murid adalah:
1)
Murid hendaknya
senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan
karena belajar adalah ibadah dan tidak sah ibadah kecuali dengan hati yang
bersih.
2)
Tujuan belajar
hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan.
3)
Memiliki kemauan
yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
4) Setiap
murid wajib menghormati pendidiknya.
5) Murid
hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.[19]
Di
samping penjelasan di atas, pendidik hendaknya memiliki kesiapan dan kesediaan
untuk belajar dengan tekun, baik secara fisik maupun mental. Dengan kesiapan
dan kesediaan fisik psikis, maka aktivitas kependidikan yang diikuti akan
terlaksana secara efektif dan efisien.
D.
ANALISIS
Pemimpin
merupakan inti dari manajemen, karena pemimpin merupakan penggerak dari semua
sumber-sumber dan alat-alat (resources)
yang tersedia bagi suatu organisasi.[20] Resourses ini digolongkan kepada dua
golongan besar yakni 1) Human Resources
dan 2) Non Human Resources. Tugas
dasar pemimpin adalah membentuk dan memelihara lingkungan dimana manusia
bekerjasama dalam suatu kelompok yang terorganisir dengan baik, menyelesaikan
tugas mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan merupakan aktivitas
manajerial yang penting di dalam setiap organisasi khususnya dalam pengembalian
kebijakan dan keputusan sebagai inti dari kepemimpinan. Tidak semua orang dapat
menjadi pemimpin yang efektif dalam suatu organisasi.[21]
Pemimpin
yang efektif adalah pemimpin yang anggotanya dapat merasakan bahwa kebutuhan
mereka terpenuhi, baik kebutuhan bekerja, motivasi, rekreasi, kesehatan,
sandang, pangan, tempat tinggal, maupun kebutuhan lainnya yang pantas
didapatkan. Pendek kata, semua kebutuhan .anggota dalam organisasi terpenuhi
dengan baik.
Oleh
karena itu masing-masing bagian harus bekerja maksimal sesuai dengan porsinya dan
menjalankan tugas sesuai dengan job masing-masing. Kepala Sekolah mempunyai
tugas merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan,
mengawasi dan mengevaluasikan seluruh kegiatan pendidikan di sekolah. Mengatur
proses belajar mengajar, mengatur administrasi kantor. Agar kegiatan kepala sekolah dapat mencapai
sasaran secara optimal diperlukan adanya jadwal kerja kepala sekolah yang
meliputi kegiatan-kegiatan rutin harian, mingguan, bulanan, semesteran dan
tahunan. Guru mempunyai tugas pokok melaksanakan pendidikan dan
pengajaran di sekolah berdasarkan kurikulum yang berlaku. Tata Usaha /
Karyawan, tugas tata usaha sekolah dikomandani oleh kepala unit tata usaha
dengan melaksanakan urusan ketatausahaan sekolah yang meliputi kegiatan: penyusunan
program tata usaha sekolah, penyusunan keuangan sekolah, penyusunan
kepegawaian, pembinaan dan pengembangan karier pegawai tata usaha, penyusunan
perlengkapan sekolah, penyusunan dan pengajian data dan penyusunan laporan
kegiatan tata usaha sekolah.[22]
E.
KESIMPULAN
1.
Pengorganisasian di
sekolah atau organisasi pendidikan adalah keseluruhan proses untuk memilih
orang-orang (guru dan personel sekolah lainnya) serta mengalokasikan prasarana
dan sarana untuk menunjang tugas dalam rangka mencapai tujuan sekolah,
penetapan tugas, tanggung jawab dan wewenang.
2.
Bahwa semua
pekerjaan yang hendak dilakukan untuk mencapai tujuan, harus diperinci, direncanakan,
serta diatur dengan sistematis. Tugas, kewajiban, hak dan tanggung jawab yang
hendak diserahkan kepada petugas atau pejabat yang bertanggung jawab, harus
dirinci sejelas-jelasnya dan harus pula benar-benar dapat mereka pahami.
3.
Kepala sekolah sebagai
administrator harus mengorganisasikan semua sumber daya secara efektif dan
efisien sesuai dengan peraturan, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4.
Dalam melakukan
tugasnya sehari-hari, kepala sekolah dibantu oleh guru, pegawai tata usaha
sekolah dan pegawai lainnya yang ada di bawah pembinaannya.
5.
Kegiatan sekolah
meliputi semua kegiatan yang berkaitan langsung dengan pendidikan sekolah.
6.
Dalam melaksanakan
tugas, kepala sekolah dapat menunjuk seorang atau beberapa orang guru yang
diberi tugas untuk melaksanakan suatu kegiatan sekolah.
7.
Kepala Sekolah bertanggung
jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan kegiatan yang dipimpinnya.
Bibliografi
:
Aly,
Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, PT.
Logos Wacana Ilmu, Cet. I Jakarta, 1999.
Anwar,
Qomari, “Manajemen Pendidikan Islam”, dalam Solusi
Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah), Gema Insani
Press, Cet. I, Jakarta, 1998.
Arifin,
M., Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Bumi Aksara, Jakarta,
1991.
Departemen
Agama RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Proyek Dep. Agama RI,
Jakarta, 1992/1993.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Umum Penyelenggara Administrasi Sekolah
Menengah, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat
Sarana Pendidikan, 1984.
Fahmi,
Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1979.
Muhaimin,
Reorientasi Pengembangan Guru, Makalah pada Pidato Ilmiah Wisuda Sarjana
SI dan S2 STAIN Malang, 27 April 2002.
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan
Historis Teoritis dan Praktis, Ciputat Pers, Jakarta, 2002.
Sagala,
Syaiful, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta, Bandung, 2000.
Sagian,
Sandang P., Filsafat Administrasi, Jakarta, Gunung Agung, 1985.
Slamet,
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Direktorat Dikmenum, Ditjen
Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta, 2000.
Suryosubrato, B., Manajemen Pendidikan
Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
Suyanto,
dan MS. Abbas, Wajah dan Dinamika
Pendidikan Anak Bangsa, Adicita, Yogyakarta, 2001.
Tholkhah,
Imam dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004.
Tilaar, H.A.R., Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
[1]Drs. Hery
Noer Aly, MA, Ilmu Pendidikan Islam, PT.
Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, Cet. I, hlm, 12.
[2]Ibid, hlm. 53.
[4]Ibid, hlm. 141.
[5]Prof. DR. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 162- 163.
[6]Slamet, Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Direktorat Dikmenum, Ditjen Dikdasmen,
Depdiknas, Jakarta, 2000, hlm. 65
[7]Prof. DR.
Suyanto, M.Ed, Ph.D dan Drs. MS. Abbas, M.Si, Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, Adicita,
Yogyakarta, 2001, hlm. 66
[9]Qomari
Anwar, “Manajemen Pendidikan Islam”, dalam Solusi
Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah), Gema Insani
Press, Cet. I, Jakarta, 1998, hlm. 93.
[10]DR. Imam
Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm. 218
[11]Ibid, hlm. 94-95.
[12]Ibid, hlm. 219.
[13]Muhaimin,
Reorientasi Pengembangan Guru, Makalah pada Pidato Ilmiah Wisuda Sarjana
SI dan S2 STAIN Malang, 27 April 2002, hlm. 14 - 15
[14]H. M.
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Bumi Aksara, Jakarta,
1991, hlm. 106.
[15]Qomari
Anwar, op. cit., hlm. 95.
[16]Ibid, hlm. 96.
[17]DR. H.
Samsul Nizar, MA, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis Teoritis
dan Praktis, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 47
dan Praktis, Ciputat Pers, Jakarta, 2002, hlm. 47
[18]Departemen
Agama RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Proyek Dep. Agama RI,
Jakarta, 1992/1993 , hlm. 397
Jakarta, 1992/1993 , hlm. 397
[19]Asma
Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1979, hlm. 174- 175
[20]Sandang
P. Sagian, Filsafat Administrasi, Jakarta, Gunung Agung, 1985, hlm.
6
[21]DR. H.
Syaiful Sagala, M.Pd, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Alfabeta,
Bandung, 2000, hlm. 143
Bandung, 2000, hlm. 143
[22]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman Umum Penyelenggara
Administrasi Sekolah Menengah, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Sarana Pendidikan, 1984, hlm. 13 - 17
Administrasi Sekolah Menengah, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Sarana Pendidikan, 1984, hlm. 13 - 17
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar