KULTUM: “KEPOMPONG RAMADAN”
Pernahkah Anda melihat seekor ulat bulu? Bagi kebanyakan orang,
ulat bulu memang menjijikkan bahkan menakutkan. Tapi tahukah Anda kalau masa
hidup seekor ulat bulu ini ternyata tidak lama. Pada saatnya ia akan mengalami
fase dimana ia harus masuk ke dalam kepompong selama beberapa hari. Setelah itu
ia pun akan keluar dalam wujud yang lain: ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu
yang sangat indah. Jika sudah berbentuk demikian, siapa yang tidak menyukai
kupu-kupu dengan sayapnya yang indah?
Jika proses metamorfosa itu diterjemahkan ke dalam kehidupan
manusia, maka terdapat beberapa kesamaan dan pelajaran. Pertama, ulat
bulu adalah binatang yang menjijikkan, mirip seperti manusia yang berasal dari
air mani. “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” (Qs. al-Mursalat:
20). Ini menunjukkan tidak selayaknya manusia merasa dirinya paling mulia,
sehingga muncul sifat ujub, riya’, serta takabur. Orang yang masih membanggakan
dirinya sesungguhnya melupakan asal kejadiannya.
Kedua, ulat bulu memasuki kepompong.
Apa yang dilakukan ulat bulu di dalam kepompong? Ternyata ia sedang berjuang
menahan diri untuk tidak makan dan minum, serta tidak keluar sebelum waktunya.
Demikian halnya manusia yang sanggup mengendalikan nafsunya untuk tidak
melakukan larangan Allah, akan mencapai derajat yang tinggi di sisi-Nya, yakni predikat
takwa.
Memang nafsu memiliki kecenderungan untuk mengajak kepada
kejahatan. Tanpa adanya rahmat Allah, ia akan sulit dikendalikan (baca Qs. Yusuf: 53). Ia menjadikan manusia tidak beranjak bermetamorfosa
menjadi “kupu-kupu yang indah”, tetapi menjadi “kepompong” yang gagal. Maka
beruntunglah orang yang menyucikan nafsunya, dan merugilah orang yang
mengotorinya (Qs. al-Syams: 9-10).
Inilah makna yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah puasa di
bulan Ramadan. Ketika setan biasa mengendalikan nafsu manusia – dalam hadits
disebut yajri majraddam, mengalir bersama aliran darah – maka puasa
memutus pergerakannya. Secara metafora, Nabi menyebutnya “tughallu fihi
al-syayathin”, di bulan Ramadan setan-setan dibelengggu. Siapa yang
membelenggu? Tentu saja orang yang berpuasa itu sendiri.
Kepompong Ramadan, dengan demikian, bisa dipahami sebagai momentum
manusia menyucikan jiwanya. Ciri kesuksesannya bisa dilihat dari kesucian
jiwanya selama dan selepas Ramadan. Ia menjadi lebih sabar, tekun, dan
bersungguh-sungguh dalam hidupnya.
Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha menyucikan jiwa di bulan
yang suci ini? Jangan sampai sindiran Gus Mus dalam syairnya berikut mengarah
pada kita: “Ramadan bulan suci katamu. Kau menirukan ucapan Nabi, atau kau
sendiri telah merasakan kesuciannya melalui kesucianmu.”
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar