BERJILBAB:
MENUNGGU HIDAYAH?
Oleh:
Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Beberapa waktu yang lalu, saya
mendengar cerita unik dari seorang PPAI, Pak Mukmin namanya. Katanya, salah
seorang GPAI perempuan di sebuah SD di Kecamatan Sukomoro tidak berjilbab. Saya
terhenyak dan terdiam, sambil berusaha memahami ironi tersebut. “Guru agama?
Tidak berjilbab? Yang benar saja, Pak?” tanya saya.
Bukankah seorang guru agama seharusnya
memberi tidak hanya pengetahuan agama, tetapi juga teladan bagi murid-muridnya?
Terus, pelajaran seperti apa yang selama ini diajarkan oleh guru tersebut? Jawaban
apa yang kira-kira meluncur dari sang guru jika ada muridnya bertanya tentang
hukum berjilbab? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus berkecamuk di dalam
dada saya. Terus terang, saya miris mendengarnya.
“Apa tidak pernah ditegur, Pak?” tanya
saya kemudian.
“Ya sudah berkali-kali.
Tiap kali ada pergantian PPAI, tiap kali itu pula guru itu ditegur dan
dinasihati,” jawab Pak Mukmin.
“Terus apa jawabnya?” sambung
saya.
“Menurut guru itu, masalah berjilbab
itu kan soal kesiapan hati. Selama belum mendapatkan hidayah, dia merasa belum
waktunya berjilbab.” jawab Pak Mukmin. “Sampai-sampai
PPAI baru yang akan bertugas di Sukomoro pasti mendapat titipan pesan dari
pendahulunya untuk menasihati guru itu.” tambah Pak Mukmin.
Sejak saat itu, saya mulai rajin ke
perpustakaan dan googling di internet untuk menjelajah beberapa tinjauan
tafsir, hermeneutik, hingga perspektif gender. Otak saya meraba-raba reasoning
apa yang dipakai sang guru dalam membangun struktur logika berpikirnya. Saya kemudian
mendapati ayat tentang kewajiban berjilbab:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs.
Al-Ahzab [33]: 59)
Ayat di atas
adalah bentuk perintah berjilbab bagi seluruh wanita mukmin. Terlepas dari
pendapat yang menyatakan jilbab adalah budaya Arab dan Indonesia bukanlah Arab,
saya melihat konteks ayat tersebut tidak semata persoalan budaya. Kaum
perempuan Arab ketika itu sebenarnya sudah berjilbab secara budaya, tetapi
Allah masih memerintahkan para wanita mukmin untuk tidak hanya berjilbab “ala
kadarnya” seperti cara berjilbab wanita musyrik, tetapi “hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Cara berjilbab seperti itu
bertujuan “supaya mereka lebih mudah untuk dikenal” sebagai wanita
mukmin dan membedakannya dari wanita musyrik.
Seperti
diketahui, cara berbusana era Jahiliyah turut menentukan tinggi rendahnya
seorang wanita. Para wanita yang tidak berjilbab dianggap sebagai wanita
bermartabat rendah. Sedangkan sebagian besar para wanita ketika itu jilbabnya
hanya menutupi sebagian kecil kepala dan rambut mereka masih terlihat. Cara
tersebut dikoreksi oleh al-Qur’an dengan memerintahkan seluruh wanita mukmin “menjulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.
Berangkat dari
pandangan seperti itu, saya melihat, tampaknya persoalan berjilbab bukanlah
persoalan budaya Arab dan non-Arab semata, ataupun positioning wanita
dalam Islam, tetapi persoalan kepatuhan kepada perintah Allah. Alasannya,
perintah itu ditujukan kepada isteri Nabi, putri Nabi, dan isteri orang
beriman. Penyejajaran wanita mukmin secara umum dengan isteri dan putri Nabi
merupakan suatu bentuk kesejajaran keimanan manusia di hadapan Allah. Kualitas
keimanan dan ketakwaan sajalah yang membedakan mereka dari yang lainnya.
Jika jilbab
merupakan produk budaya, bukankah sebelumnya wanita Arab sudah berjilbab?
Nyatanya, Allah masih saja memerintahkan mereka untuk berjilbab. Logikanya,
jika yang sudah berjilbab saja masih diperintah untuk menutupinya, apalagi yang
tidak menutup kepala sama sekali? Sekali lagi, menurut saya, jilbab adalah
aturan syari’at yang harus dipatuhi oleh seluruh wanita mukmin, Arab maupun
non-Arab, dan tidak sekadar produk budaya. Bukankah al-Qur’an turun sebagai rahmatan
lil ‘alamin?
Kembali pada argumen “menunggu
hidayah” dari sang guru agama, saya menemukan beberapa ayat dalam al-Qur’an:
.... وَإِنْ تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوا إِذًا أَبَدًا
“…. Dan kendatipun kamu menyeru mereka
kepada petunjuk (hidayah), niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk (hidayah)
selama-lamanya.” (Qs. Al-Kahfi
[18]: 57)
.... لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا
يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ....
“…. Mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah) ….”
(Qs. Al-A’raf [7]: 179)
.... فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“…. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Qs. Al-Hajj [22]: 46)
Bukankah hidayah (petunjuk) itu sudah
demikian jelas terpampang dalam kitab suci? Jika memang demikian, masihkah
relevan argumen “menunggu hidayah” sebagai justifikasi pembangkangan atas
perintah berjilbab? Jika kebelum-siapan hati menjadi penyebab wanita muslimah enggan
menutupi auratnya, bukankah pelaksanaan perintah tidak membutuhkan kesiapan
hati? Jika perintah atasan kita tolak dengan alasan hati kita belum siap,
niscaya tidak lama lagi karir kita akan tamat.
Begitu juga, penilaian Allah atas
hamba-Nya diukur dari seberapa patuh ia melaksanakan hukum-hukum agama. Karena
sesungguhnya bukan urusan Allah hukum-Nya dipatuhi atau tidak, tetapi
manusialah yang sejatinya membutuhkan mendekati Allah dengan cara melaksanakan
perintah-Nya sebagai wujud kesadaran fitrahnya sebagai makhluk.
Ada juga yang berargumen, “Yang
penting kan hatinya sudah berjilbab? Pertanyaannya: hati berjilbab dari
Hongkong? Bagaimana hati berjilbab jika justru hati itu sendiri mengingkari
ayat kewajiban berjilbab? Bukankah salah satu tujuan jilbab “supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal?” Apakah kita bisa mengenali “hati yang
berjilbab”?
Argumen lainnya, “Allah kan melihat
kebersihan hati, bukan penampilan luar.” Pernyataan ini seakan-akan masuk
akal. Tetapi, apakah Allah hanya melihat kebersihan hati semata, dan tidak
memperhatikan penampilan luar? Coba simak ayat berikut:
يَا بَنِي
آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا
وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ
يَذَّكَّرُونَ
“Hai anak Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang
demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka selalu ingat.” (Qs. al-A’raf [7]: 26)
يَا بَنِي
آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ....
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid ….” (Qs. al-A’raf [7]: 31)
Ayat di atas jelas mengajarkan kepada
kita tentang pentingnya memperhatikan penampilan luar (fisikal) dan dalam. Secara
garis besar, Allah menghendaki agar kita membersihkan dan menjaga diri kita
secara lahiriah sekaligus batiniyah. Perintah itu demikian jelasnya di dalam
sekian banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan pentingnya dimensi lahir dan
batinnya sekaligus, seperti larangan shalat dalam keadaan mabuk, larangan
memasuki masjid dalam keadaan junub, ataupun perintah untuk bertayammum jika
tidak mendapatkan air ketika berhadats (Lihat Qs. an-Nisa’ [4]: 43).
Perintah adalah kewajiban untuk
dikerjakan, siap atau tidak siap hati kita. Nabi mengajarkan agar kita
memerintahkan anak untuk mengerjakan shalat ketika berumur 7 tahun, dan
memaksanya (jika menolak) pada umur 10 tahun. Apakah kita menunggu keikhlasan
hati anak kita untuk mengerjakan perintah agama? Jika harus bisa khusyuk
terlebih dahulu baru mengerjakan shalat, tentu saja seumur hidup kita tidak
akan pernah shalat. Bagaimana suatu pekerjaan bisa dikatakan sempurna jika
pekerjaan itu sendiri belum dilaksanakan?
Dunia tasawuf mengajarkan cara melatih
keikhlasan: kerjakan saja perintah Allah bagaimanapun keadaannya, sambil terus
belajar untuk mengerjakannya secara ikhlas, disertai doa kiranya Allah menyalurkan
hidayah-Nya agar kita istiqamah dalam mengerjakan perintah-Nya. Kerjakan saja
perintah Allah tanpa banyak berpikir, sebab setan selalu menyelinap dalam hati
dan akal manusia. Bahkan kata Nabi, setan itu yajri majraddam, mengalir
bersama aliran darah.
Allah memperingatkan agar kita
bertindak sesuai petunjuk-Nya dan tidak mengikuti hembusan setan atau penilaian
diri sendiri yang subyektif. Sebab, orang yang merugi bukanlah orang yang
berbuat salah kemudian menyadari kesalahannya, tetapi orang yang merasa benar
dan tidak menyadari kekeliruannya. Dengan kata lain, merasa benar di jalan yang
sesat. Perhatikan firman Allah berikut:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا. الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ
يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: Apakah
akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sesat perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Qs. al-Kahfi [18]: 103-104)
Jika demikian, masihkah menunggu
datangnya hidayah? Hidayah saja sudah bertaubat dan berjilbab. Atau barangkali
ada Hidayah Hidayah lain yang belum berjilbab? Wallahu a’lam.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar