Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur
tiada terkira dariku pada Allah SWT yang telah memberi udara yang dengannya aku
bernafas, memberi air yang dengannya aku mengaliri tubuh, dan memberi segala
yang tumbuh dari bumi dan segala yang tercurah dari langit. Sungguh nikmat tak
terukur kata-kata, tak terjangkau akal budi, hingga pujian untuk-Nya tak
sanggup diterangkan lewat bergetarnya bibir ketika berdoa, atau meledaknya hati
ketika bersujud. Semoga nikmat yang kita syukuri menjadikan bertambahnya
kesehatan lahir dan batin, sehingga dengannya kita mampu mengenali tanda-tanda
kebesaran dan keagungan-Nya.
Dear,
untuk kali pertama aku berkirim surat padamu. Surat yang bisa memberitahumu tentang kekuatanku
menghadapi gelombang air bah dari bendungan-bendungan besar dalam hatiku.
Perasaan yang lahir tanpa ditahu hulu dan hilirnya. Perasaan yang datang begitu
saja segera setelah aku mulai menyadarinya. Sejak pertemuan-pertemuan megaloman
itu; demikian menghanyutkan setiap jengkal langkahku dan setiap desah nafasku.
Kutahu melankolia yang tercerahkan itu begitu membunuh singgasanaku, hingga
penaklukanmu yang berjalan mulus itu kurasakan begitu indah. Ketahuilah, inilah
getar jiwa itu. Inilah telaga sukma kering yang kehausan itu.
Dear,
hanya ketika tercipta jarak, beberapa hal yang tersimpan menjadi patut
dikeluarkan. Dan sekarang aku hendak mengeluarkannya untukmu. Karena hanya
kejujuran yang bisa membuatku belajar tentang cara menempatkan hati pada tempat
semestinya. Kejujuran itu adalah harapan
yang terpendam sekian lama : sejak bumi masih dalam kandungan malam,
sejak detik berputar untuk pertama kali, sejak pertemuan pertama yang
mengesankan. Adakah kau masih mengenangnya?
Dear,
aku sekali ini merasakan bahwa ada yang hilang dalam hidupku. Dan kini aku
harus berjuang menahan perasaan yang terus berkecamuk dalam jiwaku, mencoba
meruntuhkan segala kenangan indah bersamamu, bersua lewat kata-kata semanis
madu. Tapi aku tetap gagal dengan itu. Satu perasaan dahsyat telah menyeretku
untuk selalu menciptakan bayangmu dalam lubukku. Juga tentang satu harapan yang
bisa menenteramkan kegundahan hatiku. Kutahu perasaan itu sekarang telah
beranak-pinak menjadi kerajaan yang menguasai seluruh sistem dalam hidupku. Perasaan tentang tertutupnya kemungkinan keterpisahan hatiku dengan hatimu.
Saat dimana jarak secara kejam telah memisahkan dua raga
kita, telah melahirkan beragam kenangan tak terlupakan menjadi sesuatu yang
menghiasi duniaku. Kurasakan hati kita telah saling bertaut sebagaimana dua tangan
kita saling menggenggam. Kita yang begitu dekat, hingga apapun yang ada terasa
indah buat dijalani. Kita yang tak pernah bosan buat saling
mengakrabkan diri : dengan suara, dengan
tulisan, dengan kiriman doa menembus langit. Kita yang hanya
kita sendiri yang tahu tentang diri kita. Tak ada yang lain.
Dear,
aku kemudian berbaring di atas ribuan lembar pertanyaaan
tentang kerajaan perasaanku itu. Aku memunguti kata-kata yang telah tercecer
dan mencoba menyimpannya hanya dalam hatiku. Hingga akhirnya aku keluarkan
kata-kata itu untuk kau dengar, kau resapi, dan kau pahami sebagai keluh kesah
seorang lelaki pada perempuan. Keluh kesah yang tak miliki tempat berlabuh
kecuali ketulusan dan pengertian seorang perempuan. Kau telah menciptakan
pelangi dalam mendung hatiku. Kau telah menjelmakan merpati dalam muram
durjaku. Ada kedamaian, ada senyum mengembang, ada puisi di tengah riak sungai.
Semua tercipta hanya setelah bertemu denganmu, Dear!
Dear,
bukankah percintaan yang tulus itu lebih indah daripada sekadar
pertemanan? Dan bukankah setiap komitmen yang telah terucap itu butuh
kesungguhan guna mempertahankannya? Maka aku adalah seorang pangeran yang telah
menemukan putri dengan cintanya, telah menambatkan bahtera pada pelabuhan
terakhir dalam perjalanan hidupnya. Inilah diriku dengan segudang harapan sedang
melukiskan sang putri dalam dunia imajiner. Putri yang senantiasa membuatku
ingin bermanja-manja dengan setumpuk gundah gulana, sekaligus menderaikan canda
tawa dan suka cita meliputi senantiasa.
Dear,
aku telah mengirimkan suaraku ke telingamu untuk kau
dengar. Aku bahkan kini mengirimimu surat untuk kau baca dan pahami. Semoga demikian
halnya denganmu : membalas ini sebagai apapun letupan yang ada dalam hatimu.
Wassalamu’alaikum Wr.
Wb. (ravi_alfarez85@yahoo.co.id)
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar