SANKSI
DAN GANJARAN DALAM BERTAKWA
Kata takwa
sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kata ini merupakan istilah agama dan
telah masuk dalam perbendaharaan bahasa nasional. Bahkan ketakwaan merupakan
syarat pengangkatan pejabat-pejabat negara kita.
Dari segi
bahasa, kata taqwa berarti
“memelihara” atau “menghindari”. Dalam konteks keagamaan, “pemeliharaan”
tersebut berkaitan dengan “diri atau keluarga” sedangkan “penghindaran”-nya
berkaitan dengan siksa Tuhan di dunia ini dan di akhirat kelak. Para ulama
seringkali mendefisinikan takwa sebagai “melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya”. Sayang, definisi ini jarang dijabarkan pengertiannya
sehingga menimbulkan kedangkalan pemahaman dan kegersangan penghayatan agama.
Mari kita
pertanyakan: “Apa saja isi dan bentuk perintah Allah?”
Jika Anda
membuka Al-Qur’an, Anda pasti menemukan beragam gaya bahasa yang digunakan
maksud itu dan beragam pula makhluk yang diperintah dan masalah yang
diperintahkan-Nya. Ada perintah yang ditujukan kepada manusia, dan ada pula
yang ditujukan kepada binatang dan alam raya. Ada perintah-Nya yang berkaitan
dengan syariah (agama) dan ada pula yang berkaitan dengan hukum-hukum alam dan
hukum-hukum kemasyarakatan (sunnatullah).
Semua ini termasuk dalam jangkauan makna perintah Allah yang dikemukakan di
atas.
Bagi yang
taat melaksanakan perintah-Nya pastilah memperoleh ganjaran, demikian pula
sebaliknya. Allah Mahaadil, Dia tidak memilih tapi memilah. Dia tidak lalai
atau tidur hanya seringkali menunda dan mengulur. Perintah yang berkaitan
dengan syariat, seperti shalat, puasa, zakat, ditunda ganjaran dan sanksinya
sampai hari kemudian. Kalaupun ganjaran atau sanksi itu ada yang dapat
dirasakan di dunia, itu sekadar panjar. Berbeda dengan sikap terhadap sunnatullah, yang sanksi dan ganjarannya
dirasakan dalam kehidupan dunia ini. Siapa yang giat bekerja, belajar, akan kaya dan sukses dan itulah ganjaran-Nya.
Siapa yang membiarkan diri terserang kuman, atau menganggur tidak bekerja, pasti
menderita dan itulah siksa-Nya. Bukankah hukum-hukum alam dan kemasyarakatan
adalah ciptaan dan ketentuan Allah juga, dan penderitaan yang dialami akibat
melanggarnya adalah ketetapan-Nya juga yang diberlakukan tanpa pilih kasih
serta berdasarkan hukum-hukum itu? Jika demikian, mengapa ragu menyatakan bahwa
kemiskinan dan penyakit serta keterbelakangan akibat pelanggaran adalah
siksa-Nya di dunia ini? Tak perlu ragu selama kita menyadari firman-Nya ini: Allah tidak menganiaya mereka tetapi mereka
menganiaya diri sendiri (QS 3: 117).
Setelah hal-hal
yang diuraikan di atas itu jelas, kiranya tidak perlu lagi kita mempertanyakan
masalah berikut ini:
“Mengapa
non-Muslim maju sedangkan mereka tidak melakukan shalat dan tidak juga puasa?”
Bukankah kemajuan material mereka diraih dengan bertebarannya mereka di bumi
dan cucuran keringat?
“Mengapa
rizki tak kunjung datang sedangkan tahajjud
dan i’tikaf telah melengkungkan
punggung?” Bukankah ini ganjarannya ada di akhirat nanti? Tidak wajar pula
diragukan siksa Tuhan terhadap yang melanggar syariat-Nya, karena tidak di sini
tempatnya mereka disiksa.
Akhirnya,
kita harus sadar bahwa kita baru mengamalkan setengah dari takwa kita,
sementara setengah takwa lainnya dilaksanakan dengan baik oleh umat yang lain.
Rupanya, tidak sedikit di antara kita yang bukan saja tidak menghayati, tetapi
mengerti pun belum, mengenai makna bertakwa, kendati perintah ini wajib
diperdengarkan, sedikitnya setiap hari Jumat.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar