AMTSAL AL-QUR’AN DALAM
PENGEMBANGAN METODE DAKWAH
Oleh :
Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Al-Qur’an memberikan banyak
petunjuk tentang metode-metode dakwah. Metode-metode
tersebut telah terbukti berhasil dalam menyampaikan pesan dakwah sehingga kaum
yang tadinya ingkar berbondong-bondong masuk dalam pelukan Islam. Hal tersebut
didasari oleh kemampuan retorika al-Qur’an yang mampu memahami kondisi
psikologis mad’u (obyek dakwah) sehingga mampu menggugah kesadaran
fitrah manusia dan menuntunnya ke dalam pemahaman yang lurus.
Salah satu metode yang dipakai dalam al-Quran
adalah apa yang disebut dengan Amtsal al-Qur'an, yaitu uslub al-Qur’an
dengan narasi-narasi komparasi yang menekankan pada pemahaman personal
emotional. Dengan cara itu, al-Qur’an hendak mengajak manusia kembali pada
kesadaran fitrah, berpikir logis, bertindak etis, dan berpenampilan estetis.
Al-Qur’an tidak bersikap arogan dan otoriter dalam pendekatan dakwahnya.
Model-model pendekatan persuasif dan egaliter yang digunakan al-Qur’an telah
melahirkan simpati yang luas, bahkan dapat melumpuhkan logika orang-orang
ingkar yang keras kepala.
Di sinilah persoalan Amtsal al-Qur'an
menjadi penting untuk dikaji, terutama bila dikaitkan dengan pengembangan
metode dakwah kontemporer. Masyarakat yang semakin cerdas dan rasional perlu
didekati dengan metodologi dakwah yang khusus. Demikian juga masyarakat yang
masih awam dan membutuhkan pendekatan tradisional memiliki strategi,
pendekatan, metode, teknik, maupun taktik yang khusus pula.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah suatu kitab dakwah yang mencakup
sekian banyak permasalahan atau unsur dakwah, seperti da’i (pemberi
dakwah), mad’u (penerima dakwah), da’wah (unsur-unsur dakwah),
metode dakwah dan cara-cara penyampaiannya (Shihab, 1996:193). Unsur-unsur
dakwah tersebut sama-sama pentingnya dalam keberhasilan dakwah. Seorang da’i
yang memiliki pengetahuan yang memadai dan didukung keterampilan orasi yang
mumpuni akan memiliki tingkat keberhasilan dakwah yang lebih tinggi dibanding
pengetahuan dan keterampilan da’i yang pas-pasan.
Demikian halnya dengan peranan mad’u dalam menyerap
pesan dakwah turut menentukan keberhasilan dakwah. Motivasi dan tingkat
kemampuan (kognisi dan afeksi) mad’u juga memiliki peran yang
signifikan. Sebab betapa mahirnya seorang da’i tanpa didukung oleh antusiasme
dan partisipasi mad’u akan menjadikan proses dakwah menjadi berjalan
searah dan tidak memberikan kemajuan yang berarti bagi keberhasilan dakwah.
Untuk sinkronisasi peran masing-masing unsur dakwah
tersebut, diperlukan adanya metode yang tepat dan efektif dalam penyampaian
pesan dakwah. Dalam hal ini, cara yang paling tepat adalah dengan mencontoh
keberhasilan metode dakwah yang telah diajarkan oleh Allah dalam al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an, Allah mengajarkan beberapa metode yang terbukti berhasil dalam
mengubah kaum yang ingkar untuk masuk dalam pelukan Islam.
Dan salah satu metode tersebut adalah Amtsal
al-Qur’an (perumpamaan-perumpaan dalam al-Qur’an). Metode ini berfungsi
untuk menggugah kesadaran manusia dan mengajak mereka untuk melakukan introspeksi
diri sehingga akan lebih mudah menerima pesan-pesan dakwah. Metode ini juga
dapat dipakai oleh para da’i dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan memberikan perumpamaan-perumpamaan kepada masyarakat
tentang kebaikan-kebaikan dan ajaran amal saleh serta pertimbangan-pertimbangan
dan perbandingan-perbandingan yang menggugah kesadaran diri dan nalar pikir mereka.
Pengertian Amstal Al-Qur’an
Menurut Munir dan Rohi Balbaki (2006: 822), kata amtsal
merupakan jama’ dari matsal, yang secara etimologi berarti pepatah,
perkataan, peribahasa, ungkapan nyata, perumpamaan, kata-kata hikmah, contoh,
pelajaran. Dengan demikian, amtsal al-Qur’an berarti pepatah, perkataan,
peribahasa, ungkapan nyata, perumpamaan, kata-kata hikmah, contoh, dan
pelajaran yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an.
Sedangkan menurut terminologinya, amtsal
adalah ungkapan yang dikaitkan secara menyeluruh yang bermaksud dengan ungkapan
tersebut menyerupai atau menyamarkan keadaan yang dihikayatkan dengan keadaan
yang diharapkan (Ida Af’idah, 2001: 75)
Nurul Mukmin menjelaskan bahwa Amtsal al-Qur’an
merupakan bagian dari ulumul Qur’an yang membahas tentang berbagai perumpamaan
yang Allah buat dalam al-Qur’an. Objeknya adalah kisah, keadaan, binatang,
benda-benda dan hal-hal yang biasanya menarik perhatian dan menakjubkan.
Diantara faedah dan adanya amtsal dalam al-Qur’an adalah untuk
mengumpulkan makna yang indah dalam satu ibarat yang pendek, ia juga berfungsi
untuk mengungkap hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang jauh dari
pikiran hingga menjadi dekat dengan pikiran.
Imam Syafi’i menganggap Amstal al-Qur’an
sebagai sesuatu yang wajib diketahui oleh seorang mujtahid untuk mengetahuinya
(amtsal) di antara ilmu-ilmu al-Qur’an. Dia berkata: “Kemudian mengetahui
perumpamaan-perumpamaan yang disebutkan di dalamnya yang menunjukkan ketaatan
kepada-Nya yang menjelaskan cara untuk menjauhkan maksiat dari-Nya.” Sedangkan Syekh
Izzuddin berkata: “Sesungguhnya Allah itu membuat perumpamaan-perumpamaan di
dalam al-Qur’an hanya untuk mengingatkan dan memberikan nasihat.” (Al-Suyuthi, 2006:
54)
Sedangkan Al-Ashbahani menjelaskan panjang lebar
tentang fungsi amtsal al-Qur’an. Dia berkata:
Pembuatan perumpamaan-perumpamaan yang dilakukan
oleh bangsa Arab dan menghadirkan hal-hal yang serupa adalah urusan yang tidak
asing lagi guna memperjelas sesuatu yang samar, menyingkap tabir-tabir rahasia
hakikat, membuat sesuatu yang bersifat hayalan menjadi sesuatu yang bersifat
hakikat, sesuatu yang diduga diubah menjadi sesuatu yang diyakini dan membuat
sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Dan pembuatan perumpamaan-perumpamaan akan
dapat membungkam lawan debat yang memberikan perlawanan sengit. Sesungguhnya
hal itu akan memberikan pengaruh ke dalam jiwa dengan suatu pengaruh yang tidak
dapat dicapai dengan menerangkan ciri-ciri sesuatu itu sendiri.” (As-Suyuthi,
2006: 55)
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa Amtsal
al-Qur'an merupakan uslub dalam al-Qur’an dengan gaya bahasa menjelaskan melalui
perumpamaan-perumpamaan sehingga menarik manusia ke dalam kesadaran dan pemahaman
sesuai yang diserukan al-Qur’an. Perumpamaan-perumpamaan tersebut secara umum
berfungsi memberikan pengaruh ke dalam jiwa manusia untuk mengakui kebenaran
yang disampaikan al-Qur’an.
Urgensi Amtsal al-Qur'an
Bagaimanapun, kekuatan deskripsi al-Qur’an adalah
salah satu bukti bahwa al-Qur’an adalah mukjizat. Kekuatan deskripsi adalah
kekuatan teks yang ternyata diturunkan dalam bentuk bahasa Arab. Hal ini
menunjukkan urgensi yang sebenarnya dari konsep amtsal dalam teks
Al-Qur’an. Abdurrahman mengidentifikasi 8
kekuatan teks deskripsi al-Qur’an tersebut sebagai berikut:
Pertama,
mewujudkan konsep yang abstrak pada bentuk benda fisik, sehingga dapat lebih
mudah diterima oleh daya tangkap akal, seperti dalam ayat berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah) ….”
(Qs. al-Baqarah: 264)
Kedua,
menjelaskan informasi “hal hakikat” dengan menghadirkan hal yang gaib menjadi
nyata, seperti dalam ayat berikut ini:
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba ….” (Qs. al-Baqarah: 275)
Ketiga,
menyimpan pesan-pesan dalam ungkapan metafor, sebagaimana dalam amtsal
kaminah dan amtsal mursalah. Keempat, motivasi terhadap obyek
yang diumpamakan, dimana perumpamaan adalah sesuatu yang cenderung disenangi,
seperti dalam ayat berikut ini:
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji .…” (Qs.
al-Baqarah: 261)
Kelima,
motivasi untuk menjauhi obyek yang diumpamakan, dimana perumpamaan adalah
sesuatu yang cenderung dibenci, seperti dalam ayat berikut ini:
“.... Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya ….” (Qs. al-Hujurat: 12)
Keenam, sebagai pujian, sebagaimana perumpamaan
yang ditujukan pada para sahabat Nabi, seperti dalam ayat berikut ini:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang
yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih
sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil,
yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. al-Fath: 29)
Ketujuh,
menjelaskan sesuatu yang dinilai buruk. Sebagaimana gambaran mereka yang telah
diturunkan al-Kitab namun tidak dapat melaksanakan amanah yang dibebankan,
seperti dalam ayat berikut ini:
“Dan
bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya
ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri
dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda),
maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (Qs. al-A’raf: 175-176)
Dan kedelapan, konsep amtsal adalah
bentuk persuasif yang efektif. Walaupun memperjelas dan mempermudah, namun
tidak semua dapat menangkap pesan informasi dari konsep ini, seperti dalam ayat
berikut ini:
“Dan
perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya
kecuali orang-orang yang berilmu.” (Qs. al-Ankabut: 43)
Dari beberapa contoh ayat tentang metode amtsal
di atas, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa al-Qur’an mendakwahi manusia
sesuai dengan kondisi kejiwaan mereka. Ini disadari sebagai ilmu Allah yang
memahami betul keadaan lahir batin ciptaan-Nya. Allah menggugah qalbu, mengetuk
kesadaran, dan meluruskan pemahaman manusia melalui bahasa hati dan akal.
Inilah yang menjadikan manusia (dalam hal ini sebagai obyek dakwah) memiliki
pemahaman dan kesadaran kolektif dalam benak mereka, dan kemudian mengakui
kebenaran al-Qur’an.
Pendekatan dan metode tersebut sudah sepatutnya
diikuti oleh manusia yang juga memiliki peran sebagai pelaku, subyek dakwah.
Dalam ilmu komunikasi, seorang da’i adalah pembawa, pengirim pesan kepada mad’u
atau audiens sebagai penerima pesan. Dalam menyampaikan pesan dakwah,
seorang da’i hendaknya memiliki pengetahuan dan keterampilan berdakwah dengan
memahami kondisi kejiwaan mad’u sehingga tujuan dakwah akan berhasil.
Penerapan Metode Amstal
dalam Pengembangan Dakwah
Dalam penerapan
metode amtsal sebagaimana dipakai dalam al-Qur’an, seorang da’i akan
lebih mudah menyampaikan materi dakwahnya dengan mengajak mad’u berkaca
pada diri sendiri, menyelami sanubari dan hati masing-masing untuk kemudian
meminta fatwa pada diri sendiri (istafti qalbak). Da’i tidak perlu
menuntut terlalu banyak pada mad’u untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu. Mereka akan dengan sendirinya merujuk pada nilai-nilai kebenaran
fitrah yang telah tertancap dalam dirinya.
Untuk tujuan
tersebut, di samping integritas dan kompetensi dalam menyampaikan pesan dakwah,
seorang da’i harus memiliki metode dakwah yang efektif dan tepat sasaran
terhadap mad’u. Untuk itu dibutuhkan seperangkat metodologi dakwah dan mind
mapping terhadap apa yang akan dilaksanakan sehingga hasil yang didapatkan
tidak akan meleset dari tujuan dakwah.
Metodologi
dakwah sendiri dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari tentang cara-cara atau
jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dakwah yang efektif dan
efisien. Seorang da’i dalam menentukan strategi dakwah sangat memerlukan dan
kecakapan di bidang metodologi dakwah, sebab metodologi merupakan salah satu
unsur atau komponen dakwah, sehingga mempunyai peranan dan kedudukan yang
sejajar dengan dengan unsur-unsur atau komponen lainnya, seperti tujuan,
sasaran, subyek dakwah.
Dalam merumuskan
metode dakwah, seorang da’i hendaknya memperhatikan beberapa hal terkait,
seperti strategi, pendekatan, teknik, dan taktik dalam menyampaikan materi
dakwah.
Strategi dakwah
dimaknai sebagai metode, siasat, teknik atau manuver yang dipergunakan dalam
dakwah. Strategi dakwah yang dipergunakan harus mempergunakan beberapa asas,
seperti:
• Asas
Filosofis: membicarakan masalah yang erat hubungannya dengan tujuan-tujuan yang
hendak dicapai dalam proses atau dalam aktifitas dakwah;
• Asas
Kemampuan dan Keahlian da’i (achievement and professional);
• Asas
Sosiologis: membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi dan kondisi
sasaran dakwah;
• Asas
Psikologis: membahas masalah yang erat hubungannya dengan kejiwaan manusia;
• Asas
Efektifitas dan Efisiensi: bahwa di dalam aktifitas dakwah harus berusaha menyeimbangkan
antara biaya, waktu maupun tenaga yang dikeluarkan dengan pencapaian hasilnya.
Kaitannya dengan pengembangan metode dakwah, Amtsal
al-Qur'an dimungkinkan sebagai metode terapan yang efektif dalam
mempengaruhi jiwa mad’u, membentuk karakter, dan menggugah kesadaran.
Metode ini memberikan pemahaman dengan cara memasuki jiwa manusia, menggerakkan
nurani, serta menegakkan hujjah atasnya. Dengan cara ini, pikiran yang masih
samar akan menjadi jelas, hati yang masih ragu akan menjadi yakin, dan logika
yang keras kepala akan melunak dan menerima kebenaran.
Kesimpulan
Dakwah tidak
mengharuskan secepatnya berhasil dengan satu cara atau metode saja, namun
berbagai cara harus dikerjakan sesuai dengan keadaan mad’u, kemampuan
masing-masing da’i, dan atas kebijaksanaannya masing-masing.
Salah satu
metode yang dapat digunakan adalah dengan mencontoh apa yang telah dilakukan
Allah dalam membimbing, memberi petunjuk, dan menuntun manusia melalui
al-Qur’an. Dia menggunakan bahasa yang indah, mendidik, lembut, dan penuh
hikmah sehingga akhirnya dapat menggugah kesadaran manusia untuk mengikuti
seruan-Nya.
Salah satu uslub
dalam al-Qur’an adalah penggunaan perumpamaan-perumpaan (amstal al-Qur’an).
Dalam metode ini, Allah hendak memberitahu manusia, mengajak ke jalan yang
benar, serta mengajak mereka untuk introspeksi diri (muhasabah). Allah
tidak langsung memaksa untuk beriman, beramal saleh, dan sebagainya, tetapi
terlebih dahulu menyentuh kesadaran mereka sehingga mengikuti seruan-Nya secara
sadar dan tanpa paksaan.
Demikian juga
yang dapat dilakukan oleh seorang da’i. Kemampuan da’i dalam menentukan metode
yang digunakan dalam masyarakat yang berbeda akan menentukan keberhasilan
dakwah. Dengan perumpamaan-perumpamaan, mad’u akan tergiring dalam suatu
pemahaman dan kesadaran diri sehingga akan menjadikan tujuan dakwah lebih mudah
terwujud. Wallahu A’lam.
Referensi:
Af’idah, Ida, “Amtsal Al-Qur'an:
Sebuah Telaah Ilmu Al-Qur’an”, dalam Hikmah: Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 1,
No. 1, November 2001.
Al-Suyuthi,
Jalaluddin, Samudera Ulumul Qur’an: Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an, Jilid IV,
Alihbahasa: Farikh Marzuqi Ammar dan Imam Fauzi Ja’iz, Surabaya: Bina Ilmu, 2006.
Baalbaki,
Munir dan Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid: Arab-Inggris-Indonesia,
Alihbahasa: Achmad Sunarto, Surabaya:
Halim Jaya, 2006
http://www.nuralmukmin.com/index.php?option=com_content&task=view&id=642&Itemid=26
Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 1996.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar