THAHARAH DALAM PANDANGAN ISLAM
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam dan pedoman hidup bagi setiap
muslim. Al-Qur’an bukan sekedar memuat petunjuk tentang hubungan manusia dengan
Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hablum min
Allah wa hablum min an-nas), serta manusia dengan alam sekitarnya. Untuk
memahami ajaran Islam secara komprehensif (kaffah), diperlukan pemahaman
terhadap kandungan al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
secara sungguh-sungguh dan konsisten.
Sebagaimana diketahui, al-Qur’an dengan seluruh lafadz-lafadznya
diturunkan dalam bahasa Arab kecuali bebrapa kalimat saja yang berasal dari
bahasa lain yang telah menjadi bahasa Arab. Dari lafadz-lafadz itu ada yang
dikehendaki hakikatnya, majaznya, dan ada pula yang dikehendaki kinayahnya.[1] Usaha untuk menafsirkan al-Qur’an guna memahami makna lafadz-lafadz
tersebut telah diupayakan sejak masa Rasulullah Saw. Setiap beliau menerima
ayat al-Qur’an langsung menyampaikannya kepada para sahabat serta menafsirkan
mana yang perlu ditafsirkan.[2]
Patut kita perhatikan, bahwa al-Qur’an al-Karim diturunkan Allah SWT
dalam bahasa yang amat tinggi tingkat mutu sastranya, al-Qur’an sukar dibantah
dalil-dalilnya, mencakup berbagai masalah sampai pada persoalan yang
sekecil-kecilnya dan mengandung berbagai rahasia ; semuanya itu tidak mungkin
ditangkap secara sama oleh semua orang, baik dalam hal pemahaman maknanya,
kesan-kesan maupun penggambaran yang diutarakannya.[3] Al-Qur’an merupakan pedoman bagi pengembangan akal budaya manusia
khususnya umat Islam.
Dengan demikian maka dalam menghadapi tantangan hidup, umat Islam berusaha
mengharap petunjuk dan pedoman dari apa yang diatur dalam al-Qur’an.[4] Sebab al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi manusia
yang bertaqwa (al-Baqarah : 2) dan menjadi rahmat bagi yang beriman (Al-Isra’ :
82).
Dalam memahami maksud yang terkandung dalam al-Qur’an diperlukan adanya
penafsiran-penafsiran terhadap al-Qur’an dengan tujuan agar mudah dipahami dan
diikuti pesan-pesannya lewat pemahaman terhadap nash dan suasana ketika
ayat-ayat tersebut diwahyukan.[5] Sungguh sangat disayangkan bila al-Qur’an dilafadzkan berulangkali oleh
orang-orang Islam dengan irama dan lagu yang mereka agungkan dalam acara
tradisi yang menyedihkan di pemakaman-pemakaman dan acara-acara yang resmi
tetapi kesan yang diperoleh dari al-Qur’an tidak sedikitpun membekas kecuali
sekedar mengambil berkah dari padanya.[6]
Sesungguhnya Islam itu erat kaitannya dengan thaharah atau bersuci.
Seorang mukmin lebih mulia jika memelihara dirinya dari kesucian, baik lahir
maupun bathin. Sebab agama didirikan diatas kebersihan. Bahkan bersih dianggap
sebagai kunci surga.[7] Allah Ta’ala berfirman: “Didalamnya ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri” (at-Taubat
: 108)[8]
Thaharah ialah bersuci dari hadas dan najis, ia
termasuk amalan penting dalam Hukum Islam, terutama karena banyak ibadah-ibadah
diantaranya shalat yang menjadi syarat sahnya suci dari hadas dan suci badan,
pakaian dan tempat dari najis.[9] Islam adalah agama yang menghendaki kesucian dan kebersihan. Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (al-Baqarah : 222)[10]
Abu Malik al-Asy’ari ra. Berkata,
Rasulullah Saw bersabda: “Suci itu separuh dari iman”. (HR. Muslim)[11]
Menurut Hasby Ash-Shiddieqy, Thaharah ada tiga
macam : Thaharah dari hadas, thaharah dari najis yang mengenai badan, kain dan
tempat, dan thaharah dari daki-daki dan kotoran yang bersifat fitrah, seperti :
bulu ketiak, bulu hidung dan bulu ari-ari.[12]
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia juga
disebutkan bahwa thaharah mencakup thaharah dari najis dengan menghilangkannya
dari badan atau tempat yang mesti disucikan, thaharah dari hadas kecil dengan
berwudlu dengan memakai air atau dengan tayammum bila tidak ditemukan air dan
bersuci dari hadas besar dengan mandi.[13]
Imam al-Ghazaly dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,
menyebutkan bahwa thaharah tidak hanya membersihkan badan dari najis, tidak
pula sebatas berwudlu atau mandi junub saja. Namun makna Thaharah atau bersuci
itu bisa lebih dalam lagi. Karena itu Imam Ghazaly membagi thaharah dalam empat
tingkatan, yaitu :
a.
Bersuci dalam arti membersihkan badan dari hadas
b.
Bersuci membersihkan anggota tubuh dari
kejahatan dan dosa
c.
Bersuci dalam arti membersihkan hati dari
perbuatan atau akhlak tercela
Thaharah dalam Al-Qur’an mempunyai beberapa
pengertian, tidak hanya membersihkan badan dari najis, tidak pula sebatas
berwudlu atau mandi junub saja, namun makna thaharah (bersuci) bisa lebih dalam
lagi.
Pertama, Thaharah atau bersuci dalam arti membersihkan
badan dari hadas.[15]“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh,
katakanlah : “Haidh itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh : dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci”. (al-Baqarah :
222)[16] “Dan jika kamu junub maka bersihkanlah (mandi)”. (al-Maidah : 6)[17]
Kedua, Thaharah dari najis yang mengenai badan, kain atau tempat.[18] “Hai
orang-orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan
pakaianmu bersihkanlah. (al-Mudatsir :
1-4)[19]
Ketiga, Thaharah yang berarti membersihkan anggota tubuh dari kejahatan dan
dosa.[20] “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hal
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (al-Ahzab
: 33)[21]
Keempat, Thaharah dalam arti menyucikan hati
dari perbuatan syirik.[22] “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri”. (al-Baqarah : 222)[23]
[1] Hasby
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an, PT.Bulan Bintang,
Jakarta, 1986, hlm.205
[2] Ibid
[3] Ahmad
Asy-Syirbasi, Sejarah Tafsir Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994,
hlm. 41
[4] Imam Muchlas, Al-Qur’an
Berbicara, Pustaka Progressif, Surabaya, 1996, hlm. 19
[5] Siti Amanah, Pengantar
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
Asy-Syifa’, Semarang, 1993, hlm. 2
[6] M.Aly
Ash-Shobuni, Pengantar Studi al-Qur’an (at-Tibyan), terj. Muhamamd
Chudlori Umar dan Matsna NS, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1987, hlm. 266
[7] Imam
al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Terj Abu Fajar al-Qalami,
Gitamedia, Surabaya, 2003, hlm. 39
[8] Proyek
Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, AL-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI,
Jakarta, 1980, hlm. 299
[9] Harun Nasution,
Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 915
[10] Proyek
Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, op. cit., hlm. 54
[11] Imam Abul
Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Dar
al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1994, Juz II, hlm. 5
[12] Hasby
Ash-Shiddeqy, Kuliah Ibadah Di Tinjau Dari Segi Hukum dan Hikmah, Bulan
Bintang, Jakarta, 1987, hlm. 212
[13] Harun Nasution,
op. cit., hlm. 915
[14] Imam
al-Ghazaly, op. cit., hlm. 39-40
[15] M.Fuad Abdul
Baqy, Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fadzi al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr,
Beirut, 1981, hlm. 429
[16] Proyek
Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, op. cit., hlm. 54
[17] Ibid,
hlm. 158
[18] M.Fuad Abdul
Baqy, loc. cit.
[19] Proyek
Pengadaan Kitab Suci, op. cit., hlm. 992
[20] M. Fuad Abdul
Baqy, loc. cit.
[21] Proyek
Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, op. cit., hlm. 672
[22] M. Fuad Abdul
Baqy, loc cit
[23] Proyek
Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, op cit, hlm 54
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar