abiquinsa: Pernikahan dalam Pandangan Islam

Pernikahan dalam Pandangan Islam



PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

A.     Pendahuluan
Islam melarang umatnya melepaskan naluri seksual sesuai secara bebas tidak terkendali. Karena itulah, ia mengharamkan perbuatan zina, dengan segala hal yang mengantarkannya dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Pada saat yang sama, Islam juga memerangi kecenderungan sebaliknya, yaitu kecenderungan yang melawan naluri dan mengekangnya. Karena itulah, ia menyerukan kepada perkawinan, melarang kecenderungan melajang terus dan mengebiri diri.[1]
Perkawinan merupakan pintu gerbang kehidupan yang wajar atau biasa dilalui oleh umumnya umat manusia. Dimana-mana, di seluruh pelosok permukaan bumi, termasuk di tempat paling jauh yang pernah ditempuh, didapati orang-orang laki-laki dan perempuan hidup sebagai suami istri.[2]

Dalam Islam, seseorang bisa menikah setelah mencapai akil baligh. Sebagai seorang muslim, dia sudah berkewajiban menjalankan semua perintah Allah Swt dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Dengan demikian, dia dinilai telah mampu memikul tambahan tanggung jawab dalam sebuah rumah tangga.[3] Bekal ilmu adalah kunci untuk melangkah dan memuluskan kejayaan keluarga.[4]
B.      Pembahasan
1.      Definisi Pernikahan
Lafal “nikah” mengandung tiga macam pengertian[5] :
a.       Menurut bahasa, nikah berarti “berkumpul” atau “menindas” dan “saling memasukkan”.
b.      Menurut ahli ushul, nikah berarti :
1)      Menurut aslinya berarti setubuh, dan secara majazi ialah “akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan wanita, selama tidak ada halangan syara’.[6] Ini pendapat Hanafiyah.
2)      Syafi’iyah mengatakan nikah, menurut aslinya ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita, dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu.[7] Sedang menurut arti majazi ialah bersetubuh.
3)      Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibn Hazm, dan sebagian ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua arti sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh.
c.       Menurut ahli fiqih, pada umumnya mengartikan bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita itu dan membentuk rumah tangga.
Yang dimaksud hak milik adalah milk al-intifa’, yaitu hak milik penggunaan (pemakaian). Karena itu akad nikah tidak menimbulkan milk al-raqabah, yaitu memiliki sesuatu tetapi tidak dapat dialihkan kepada siapapun; juga bukan milk al-manfa’ah, yaitu hak memiliki kemanfaatan suatu benda, yang hal ini manfaatnya boleh dialihkan kepada orang lain.[8]
2.      Tujuan Pernikahan
Menikah adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Allah berfirman :
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” (Qs. al-Dzariyat: 36)
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi, dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (Qs. Yasin: 36)

Tujuan pernikahan, menurut M. Ali Hasan, antara lain sebagai berikut[9] :
a.      Menentramkan jiwa
b.      Melestarikan keturunan
c.       Memenuhi kebutuhan biologis
d.      Latihan memikul tanggung jawab
Sedangkan menurut Asaf A.A. Fyzee, tujuan pernikahan dapat dilihat dari tiga aspek[10] :
a.      Aspek Agama (Ibadah)
1)      Pernikahan merupakan pertalian yang teguh antara suami-istri dan turunan.
2)      Pernikahan merupakan salah satu sunnah Nabi.
3)      Pernikahan mendatangkan rezeki dan menghilangkan kesulitan-kesulitan.
4)      Istri merupakan simpanan yang paling baik.
b.      Aspek Sosial
1)      Memberikan perlindungan kepada kaum wanita.
2)      Mendatangkan sakinah bagi suami, menimbulkan mawaddah dan mahabbah serta rahmah antara suami istri, anak-anak, dan seluruh anggota keluarga.
3)      Memelihara kerukunan hidup berumah tangga dan keturunan.
c.       Aspek Hukum
1)      Pemeliharaan moral dan kesucian.
2)      Cinta dan kasih sayang yang abadi.
3.      Anjuran Menikah
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah Saw bersabda : “Hai para pemuda, siapa di antara kamu yang mampu (menanggung) beban nikah, maka kawinlah karena sesungguhnya kawin itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih dekat menjaga kemaluan; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat.”[11] (HR. Jama’ah)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, ia berkata : Rasulullah Saw pernah melarang Utsman bin Ma’zhun membujang dan kalau seandainya Rasulullah mengizinkannya tentu kami berkebiri.[12]
(HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Dari Anas, bahwa sesungguhnya ada sebagian dari sahabat Nabi Saw yang berkata : Aku tidak akan kawin; sebagian yang lain berkata : Aku akan shalat terus menerus dan tidak akan tidur; dan sebagian yang lain berkata : Aku akan berpuasa selama-lamanya. Kemudian hal itu sampai kepada Nabi Saw, maka beliau bersabda : “Bagaimanakah gerangan kaum yang berkata demikian dan demikian?” Padahal aku berpuasa, berbuka, shalat, tidur, dan (juga) mengawini perempuan; Maka siapa yang tidak menyukai sunnahku, tidaklah ia dari golonganku.[13]
(HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Dari Qatadah dari Hasan dari Samurah, bahwa sesungguhnya Nabi Saw melarang membujang, dan qatadah membaca ayat “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami berikan kepada mereka beberapa istri dan anak cucu.”[14]
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
4.      Kriteria Memilih Pasangan
Dari Anas, bahwa sesungguhnya Nabi Saw memerintahkan kawin dan melarang membujang dengan larangan yang keras, dan beliau pun bersabda, “Kawinilah perempuan yang mencinta lagi yang bisa berketurunan banyak, karena sesungguhnya aku bangga bersama kamu di hadapan nabi-nabi pada hari kiamat nanti.”[15]  (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Wanita itu lazimnya dikawini karena empat hal: karena hartanya, karena (kemuliaan) nasabnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang beragama, (jika tidak) maka binasalah engkau.”[16]
(HR. Jama’ah kecuali Tirmidzi)


[1]Dr. Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam, Terj. Wahid Ahmadi, dkk, Era Intermedia, Cet. III, Solo, 2003, hlm. 245.
[2]H.S.M. Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan; Problematika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Pustaka Hidayah, Cet. I, (Edisi Revisi), Bandung, 2001, hlm. 13.
[3]Majalah Pengantin Muslim Anggun, No. 5 Vol. 1 Januari 2006, hlm. 39.
[4]Majalah Pengantin Muslim Anggun, No. 13 Vol. 2 Juni 2006, hlm. 42.
[5]Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, “Nikah Mut’ah dalam Perspektif Hukum Islam”, dalam Dr. H. Chuzaimah T. Yanggo dan Drs. HA. Hafiz Anshary AZ, MA (Eds.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus & LSIK, Cet. I, Jakarta, 1994, hlm. 39. 
[6]Abdul Aziz Dahlan (et. al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. I, Jakarta, 1996, hlm. 1329.
[7]Ibid.
[8]Badar Mutawally sebagaimana dikutip Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti dalam loc. cit., hlm. 39-40.
[9]M. Ali Hasan, Masa’il Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, PR. Raja Grafindo Persada, Cet. II, Jakarta, 1997, hlm. 2-6.
[10]Sebagaimana dikutip Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti dalam op. cit.,hlm. 42.
[11]Syeikh Faishal Abdul Aziz al-Mubarok, Terjemahan Nailul Author; Himpunan Hadits-hadits Hukum, Jilid 5, Terj. Mu’ammal Hamidy, dkk, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 2129. 
[12]Ibid, hlm. 2130.
[13]Ibid.
[14]Ibid, hlm. 2131.
[15]Ibid, hlm. 2133.
[16]Ibid, hlm. 2135.

Share This Article


1 komentar:

  1. sya mau bertambah wawasan pada mu belah enggk anda et ke email akhy.faisal@yahoo.co.id

    BalasHapus