METODE PENULISAN TAFSIR AL-QUR’AN
DI NUSANTARA SEJAK ABAD XVII HINGGA XX
Oleh: Rofi'udin, S.Th.I, M.Pd.I
Pendahuluan
Sejarah
menunjukkan bahwa perkembangan tafsir al-Qur’an dari masa ke masa terus
mengalami kemajuan, baik dalam bidang metodologi, orientasi, maupun materi yang
dibahasnya. Kemajuan tersebut sesuai dengan dinamika peradaban umat manusia itu
sendiri yang terus berkembang dan bergerak ssuai dengan dinamika kehidupan umat
manusia.
Bangsa
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga tidak ketinggalan
untuk terus melahirkan seorang mufassir. Tercatat dalam sejarah bahwa sejak
abad ke-16 M, telah muncul upaya penafsiran al-Qur’an. naskah Surat al-Kahfi [18: 9], yang tidak
diketahui penulisnya muncul di Nusantara ini. Naskah tersebut diduga ditulis
pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), dimana mufti
kesultanannya adalah Syamsuddin al-Sumatrani, atau bahkan ditulis pada masa
sebelumnya, yakni pada masa Sultan ‘Alaudin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammil
(1537-1604), dimana mufti kesultanannya adalah Hamzah Fansuri. Satu abad
kemudian muncul karya tafsir Tarjuman
al-Mustafid, ditulis Abdur Rouf al-Sinkili (1615-1693) lengkap 30 Juz dan
yang sampai kepada kita.
Beberapa Model Penulisan Tafsir di Nusantara
Setidaknya
ada empat model penulisan tafsir di Nusantara :
1. Penafsiran
dengan memberikan arti perkata (makna mufradat)
terlebih dahulu, kemudian pindah ke makna ijmaly dan akhirnya memasuki makna
tafsily (terinci).
2.
Penafsiran dengan langsung memberikan makna terinci tanpa melalui arti kata
dan makna global terlebih dahulu.
3. Penafsiran
dalam bentuk catatan kaki.
4. Model
penafsiran tematik.
ÿ
Kitab Tarjuman al-Mustafid karya Abdur Rouf al-Sinkili menurut Snouck
Hurgronje merupakan terjemahan yang buruk dari Tafsir al-Baidlawi. Namun
menurut Salman Harun, al-Sinkili banyak menerjemahkan – meski tidak seluruhnya
– tafsir al-Jalalain dengan
mengandalkan penafsiran secara ijmaly dengan maksud lebih memudahkan pemahaman.
Unsur yang ditinggalkan antara lain pengertian kata dan tata bahasa. Al-Sinkili
dalam karyanya tersebut juga mencantumkan riwayat-riwayat tentang asbab al-nuzulnya.
ÿ
Kitab Marah Labid li Kasyf Maa’ni al-Qur’an al-Majid atau lebih dikenal
dengan Tafsir al-Munir karya Syekh
Nawawi Banten terlihat menggunakan metode yang lebih kaya dari karya
al-Sinkili. Syekh Nawawi memberikan tekanan utama pada penjelasan ayat demi
ayat berdasarkan analisis bahasa. Di samping
sebagian kecil diberikan kaitan dengan hadis-hadis, asbab al-nuzul dan pendapat para sahabat. Menurut Didin Hafifuddin,
tafsir Marah Labid tersebut memiliki
kemiripan dengan Jalalain. Hanya saja
kekuatan tafsir Nawawi juga berkat penafsiran ayat dengan ayat.
ÿ
Kitab Tafsir Faidh al-Rahman fi Tarjamah
Kalam Malik al-Dayyan karya Syekh Muhammad Shalih Ibn Umar al-Samarani
(1813-1897). Kitab ini merupakan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Jawa yang
dicetak pertama kali pada tahun 1894 di Singapura (1312 H). namun tafsir
terseut belum lengkap 30 Juz, baru sampai tafsir surat al-Nisa’, terdiri dari
dua jilid besar. Jilid pertama setebal 577 halaman, sedangkan jilid kedua
setebal 705 halaman.
Sistematika
yang dipakai dalam Faidh al-Rahman sebagai
berikut : (1) menyebutkan urutan ayat demi ayat secara berurutan seperti halnya
mushaf al-Qur’an, (2) menafsirkan ayat dengan ungkapan yang sangat singkat dan
mudah dipahami, (3) memberikan kaidah tafsiriyah secara panjang lebar, termasuk
di dalamnya menjelaskan kedudukan i’rabnya dan kedudukan bacaannya serta asbab al-nuzulnya, (4) memberikan
komentar dengan pendekatan tafsir isyari.
ÿ
Mahmud Yunus dengan Tafsir Qur’an Karim (1938), A. Hasan
dengan al-Furqon (1956), dan Tim
Penterjemah/Penafsiran al-Qur’an Departemen Agama RI dengan Al-Qur’an dan Terjemahnya merupakan
contoh tafsir dengan menggunakan catatan kaki. Ketiga karya tersebut tidak
mempergunakan penafsiran ayat per ayat dan tidak pula mempergunakan hadis-hadis
Nabi bahkan riwayat-riwayat sahabat.
ÿ
Tafsir
Qur’an
karya Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs serta Tafsir Rahmat karya H. Oemar Bakry mempergunakan ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis Nabi dalam penafsiran mereka.
ÿ
Hamka dengan Tafsir al-Azhar (1967) menunjukkan corak yang lebih luas lagi.
Selain mengutip al-Qur’an dan hadis Nabi, Hamka juga menggunakan ilmu
antropologi dan sejarah Nusantara. Ia juga memasukkan hikayat-hikayat Melayu
sebagai perbandingan dan contoh penjelas dalam tafsirnya.
ÿ
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy dengan Tafsir al-Bayan (1971) menggunakan
teknik catatan kaki, dan Tafsir al-Nur
dengan corak ijmaly dan kemudian tafsily.
ÿ
Bisri Musthofa dengan Tafsir al-Ibriz (1960) menggunakan
metode pemberian “makna gandul” dari setiap ayat yang ditafsirkan, di pinggir
diuraikan terjemahannya, dan yang terakhir ada tambahan keterangan dengan
menggunakan istilah tanbih, faidah,
muhimmah, dan sebagainya.
Metode
tafsir dalam tafsir al-Qur’an di Indonesia menunjukkan suatu perkembangan yang
mengikuti tradisi dan metode penafsiran yang sudah ada sebelumnya. Metode
tahlily merupakan metode yang hampir mendominasi corak tafsir di Nusantara.
Sesuai
perkembangan zaman, mulai tahun 90-an, kajian tafsir tematik (maudhu’i) mulai marak di Indonesia. Quraish Shihab dengan prakarsanya telah mengenalkan metode ini dalam
konteks Indonesia modern. Karya-karya tafsirnya, seperti Wawasan Al-Qur’an dan Membumikan
Al-Qur’an, umpamanya, dinilai telah memuat isu-isu kontemporer.
 Contohnya penafsiran kata al-Rahman
ditafsirkan merujuk pada surat al-Baqarah: 126,
atau juga kata al-Rahim dalam Fatihah
dengan merujuk pada surat
al-Ahzab: 43.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar