ISLAM DAN SOSIALISME
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
A. PENDAHULUAN
Kondisi dunia yang menuju ambang kehancuran akibat dari sistem
politik dan ekonomi yang dianut banyak negara, terutama negara maju, merupakan
sistem yang menciptakan pola masyarakat yang semakin individualistik.
Dalam dunia yang tengah berada dalam hegemoni kapitalisme ini,
guncangan alam semakin menjadi, sehingga kiamat terasa begitu dekat. Di lain pihak sosialisme terus dirundung
kebangkrutan di belahan dunia. Maka tidak ada jalan lain untuk mengulur waktu
kiamat, kecuali membangun sebuah ideologi alternatif yang sanggup mengubah
wajah dunia kepada kondisi yang sejuk, damai, dan berperikemanusiaan.
Islam sosialis menawarkan konsep jalan ketiga
sebagai paradigma sistem dan bentuk sintesa terhadap hegemoni kapitalisme dan kegagalan
sosialisme tersebut.
1.
Pandangan
Islam tentang Masyarakat
Dalam Islam, hidup bermasyarakat –
sebagai salah satu aspek untuk mencapai kebahagiaan – merupakan sesuatu yang
sangat penting. Oleh karena itu, Islam meletakkan dasar-dasar bagi manusia
tentang tatacara hidup bermasyarakat dengan baik.[1]
Islam benar-benar secara nyata
membentuk suatu tatanan atas dasar pandangan hidup dan mengangkatnya sebagai
modal dasar masyarakat sejahtera. Islam juga menawarkan contoh tentang
bagaimana dan mengapa suatu masyarakat
harus dibentuk.[2]
Apabila masyarakat yang mempunyai cita-cita keadilan sosial ingin mendapatkan
hasil nyata, maka mereka harus mengorganisasikan diri untuk berusaha mencapai
cita-cita tersebut. Jadi, hanya dalam organisasi masyarakatlah diharapkan
keadilan sosial itu dapat direalisasikan.
2.
Sosialisme
sebagai Ideologi Masyarakat
Sosialisme sebagai paham yang mengajarkan
keadilan dan solidaritas agung bukanlah milik sekelompok manusia tertentu. Ia
adalah milik kemanusiaan yang sangat mendasar. Dalam artian, sosialisme adalah
nilai dasar atau identitas khas dari kemanusiaan. Hanya manusia yang telah
kehilangan nurani dan akal sehatnya yang meninggalkan sosialisme.
Hal itu disebabkan esensi sosialisme adalah
ajaran yang menekankan keadilan dan solidaritas sesama umat manusia sekaligus
antipenindasan dari segala macam bentuk eksploitasi. Dalam esensi itulah
sosialisme harus dilihat dan dipahami. Tidak adil jika seseorang mendefinisikan
sosialisme hanya dari satu atau dua varian yang berkembang.
Beberapa pemikir sosialis utopis dan Marxis,
yang menjadikan sosialisme sebagai batu loncatan menuju komunisme pada dasarnya
tidak memahami esensi manusia sebagai makhluk spiritual yang berdimensi lebih
tinggi dari sekadar materi.
Transformasi sosial yang dikehendaki Islam
jelas, baik dari segi sasaran, tujuan, maupun pelaku perubahan itu sendiri,
bahwa perubahan sosial yang dikehendaki Islam berlandaskan pada nilai
humanisme, liberasi (pembebasan), dan transendensi (iman).
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan
manusia, sebagai akibat industrialisasi yang menciptakan masyarakat abstrak
dengan wajah tanpa kemanusiaan. Sedangkan tujuan liberasi, pembebasan dari
kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi dan pemerasan kemewahan. Adapun
tujuan transendensi adalah mengembalikan manusia pada fitrahnya yang
berketuhanan dan bermoral.
3.
Pandangan
Islam tentang Sistem Ekonomi
Mengingat pentingnya masalah
ekonomi dalam kehidupan manusia, maka Islam senantiasa memberikan perhatian
utama terhadap masalah ini dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan sosial.
Sekalipun keadilan sosial itu hanya sebagai sesuatu yang dicita-citakan, namun
hal itu diharapkan betul-betul merupakan realitas yang hidup dan berkembang
dalam kehidupan manusia.
Al-Qur’an sendiri sebagai sumber
ajaran Islam memberikan penjelasan tentang bagaimana sistem ekonomi yang baik
dan dapat diterima oleh semua manusia. Hal itu terbukti pada ancaman-ancaman
Allah yang ditujukan kepada pelaku-pelaku ekonomi yang menyimpang.
Pandangan Islam tentang sistem
ekonomi itu berpijak pada tiga faktor: Pertama,
faktor akidah. Faktor ini jelas berpengaruh kuat pada jiwa seseorang dan pada
sikap hidupnya. Kedua, faktor moral.
Faktor ini menjadikan seseorang mempunyai rasa kemanusiaan (humanis) dan
bertanggungjawab pada setiap perilakunya. Ketiga, faktor syariah. Faktor ini berfungsi sebagai sistem
komando seseorang dalam bersosialisasi dengan masyarakat luas.[3]
Ketiga faktor
di atas juga dikatakan sebagai azas dasar Islam atau falsafah pandangan Islam
tentang sistem ekonomi, dimana ketiganya mempunyai pegaruh kuat pada perilaku
individu dalam berekonomi.
Dalam sistem
ekonomi Islam, pengorganisasian aktivitas-aktivitas pribadi maupun kolektif
yang bersifat ekonomis harus diarahkan untuk mewujudkan suatu kondisi yang
memungkinkan tercapainya kemaslahatan umat. Di samping itu, aktivitas ekonomi
juga harus dijadikan sebagai suatu cara untuk mencapai kesejahteraan umat
manusia telah ditentukan oleh prinsip-prinsip dan kandungan-kandungan ajaran
Islam. Islamlah yang telah memberikan nilai-nilai kepada keadilan sosial. Dengan
kata lain, egalitarianisme ekonomi akan menjadi batu uji bagi keadilan
sosialisme islami.[4]
4.
Islam dan
Sosialisme
Sosialisme Islam muncul sebagai
reaksi atas dua sistem ekonomi kapitalis dan sosialis-marxis yang dalam
prakteknya tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman dan nilai-nilai kemanusiaan
secara universal. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kehidupan manusia
khususnya umat Islam, pemikiran sosialisme Islam diharapkan mampu dijadikan
sistem ekonomi alternatif dan prospektif.
Al-Qur’an memegang prinsip
keadilan distributif (distributive
justice), dimana sekelompok masyarakat tidak diperkenankan menjadi terlalu
kaya sementara kelompok lainnya menderita kemiskinan yang bertentangan dengan
harkat kemanusiaan. “Kekayaan tidak boleh berputar hanya dalam lingkaran
orang-orang kaya” (Qs. Al-Hasyr: 7) merupakan suatu kebijakan ekonomi dalam
Islam. Dengan demikian, menjadi tanggung jawab manusia dan umat-tauhid untuk
selalu bekerja keras dan mencari pemecahan-pemecahan yang feasible untuk
melaksanakan prinsip-prinsip keadilan sosial tersebut.[5]
Sosialisme
Islam memandang keadilan sosio-ekonomi atau kesenangan materi hanya sebagai
sarana, bukan sebagai tujuan. Hal ini membawa konsekuensi pertanggungjawaban
manusia atas segala perbuatannya, baik secara individu maupun secara kolektif
dalam perekonomian dan kemasyakatan.[6]
B.
KESIMPULAN
Di dunia ini, terjadinya ketidaksamaan kesempatan dalam mengakses
kepemilikan materi menjadi dasar bagi timbulnya seluruh aktivitas konflik
antarkelas. Ketika itu, kaum lemah (proletar) senantiasa tertindas oleh
kesewenangan kaum borjuis yang mengendalikan iklim perekonomian dan kehidupan
mereka.
Oleh karenanya, dari dulu sampai kapanpun, selama sistem
penindasan terus berlangsung, selama itu pula timbul gejolak sampai terjadilah
revolusi. Revolusi ini, dalam pandangan Karl Marx (1818 – 1883), akan menghapus
perpecahan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang saling bertentangan, dan dengan
demikian menghapus hak milik pribadi dan menghasilkan masyarakat yang sosialis.[7]
Islam, sebagai agama yang fitri, memiliki konsep masyarakat yang
ideal, yang membedakannya dari sosialisme-marxisme. Islam mengakui adanya
kepemilikan pribadi, dan dalam saat yang sama memiliki tanggung jawab sosial
dalam mengangkat kesejahteraan kaum lemah (mustadh’afin,
proletar). Konsep mengenai sedekah, zakat, wakaf, hibah, dan sebagainya
merupakan bentuk tanggung jawab itu.
C. DAFTAR
PUSTAKA
1)
Adnan,
Islam Sosialis Pemikiran Sistem Ekonomi
Sosialis Religius Sjafruddin Prawiranegara, Menara Kudus, Yogyakarta,
2003.
2)
M.
Faruq an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam,
Terj. Muhadi Zainuddin, UII Pers, Yogyakarta,
2000.
3)
Franz
Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1999.
4)
M.
Amin Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1989.
[1]Drs. Adnan, M.Ag, Islam Sosialis Pemikiran Sistem Ekonomi
Sosialis Religius Sjafruddin Prawiranegara, Menara Kudus, Yogyakarta,
2003, hlm. 38.
[3]M. Faruq an-Nabahan, Sistem Ekonomi Islam, Terj. Muhadi
Zainuddin, UII Pers, Yogyakarta, 2000, hlm. 3.
[4]Drs. Adnan, M.Ag, op. cit., hlm. 53.
[5]M. Amin Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung,
1989, hlm. 16.
[6]Drs. Adnan, M.Ag, op. cit., hlm. 136.
[7]Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 51.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar