“MEMBACA”
DAHLAN ISKAN
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I,
M.Pd.I
Lagi-lagi,
Menteri BUMN Dahlan Iskan, menuai kontroversi. Upayanya melakukan test drive
pada tunggangan barunya, Tucuxi, senilai 1,5 milyar rupiah mengalami kecelakaan
di Magetan (5/1). Mobil listrik yang diproyeksikan sebagai mobil nasional masa
depan itu mengalami masalah pengereman, sehingga Dahlan pun mengambil risiko
dengan menabrakkannya pada tebing. Alhasil, mobil itu ringsek, meski sang
menteri selamat.
Masalah
tidak berhenti di situ. Polemik yang menyertainya kian menambah rumit
persoalan, mulai tidak adanya izin pengujian, plat nomor “DI 19” yang palsu,
hingga kelayakan pelaku test drive. Pihak polisi hingga kini masih menyelidiki
persoalan itu dan Dahlan siap-siap dijerat pasal pelanggaran lalu lintas.
Dahlan mengakui kesalahannya dan siap menerima risiko apapun atas kasus yang
disebutnya sebagai “demi ilmu pengetahuan”.
Tulisan
ini tidak bermaksud memperpanjang polemik atau berupaya mendudukkan Dahlan
Iskan sebagai pesakitan, seperti kecenderungan media akhir-akhir ini. Juga
bukan berarti pembelaan atas tindakan sang menteri yang dinilai keluar dari
“pakem” seorang menteri. Tulisan ini hanya berupaya “membaca” Dahlan Iskan dari
sisi humanisnya, baik karakter maupun motivasi tindakannya yang unik.
Membaca Karakter
Sebagaimana
manusia biasa, Dahlan tidak luput dari kekurangan-kekurangan. Tetapi menilai
seseorang hanya dari kekurangannya, justru akan membatasi pemahaman yang utuh,
dan itu tidak fair. Tidak menjadi masalah jika Dahlan dinilai ceroboh,
memiliki motif tersembunyi, dibuat-buat, terlalu percaya diri hingga ambisius. Penilaian
seperti ini merupakan hal yang wajar dalam alam demokratis.
Mengenai
pasal pelanggaran berkendara yang diancamkan, dalam jumpa persnya (8/1) di
Jakarta, Dahlan mengatakan, “Saya melakukan pelanggaran. Tetapi saya tahu bahwa
ini bukanlah sebuah kejahatan. Dan saya tentu harus menyadari dan menerima
apapun konsekuensi dari palanggaran itu, saya akan hadapi.” Kendati
demikian, Dahlan tidak kecewa apalagi malu. “Daripada saya melanggar karena
melakukan korupsi, atau menghamili anak orang,” ujar Dahlan yang disambut
riuh.
Lantas,
apa yang menarik dari tipe pemimpin seperti ini? Tentu saja, lompatan-lompatan
pemikiran dan tindakannya yang progresif, dan tidak jarang “terlalu maju” untuk
ukuran zamannya. Buktinya, berulangkali publik dibuat terkaget-kaget dan kadang
menghujat, tetapi kemudian mengakui kebenaran dan efektivitas langkah yang
ditempuh. Tipe pemimpin seperti ini
memang mulai langka di negeri ini, karena itu biasanya mengundang kontroversi.
Selain Dahlan, kita barangkali melihat sosok itu dalam diri Mahfud MD, Jokowi,
atau Jusuf Kalla, yang acap membuat terobosan-terobosan penting.
Pertanyaannya,
apa yang menjadi kesamaan di antara pemimpin-pemimpin tersebut? Visi yang jauh
ke depan, misi yang jelas, strategi yang kreatif dan inovatif, serta
orientasinya pada hasil dan manfaat. Bila perlu, disertai langkah-langkah
radikal dan “menggebrak” atas nama tugas dan fungsi seorang pemimpin. Karakter
seperti ini memang dibutuhkan (dan dirindukan) untuk melakukan perbaikan dan
pembenahan di negeri ini, di tengah kelambanan dan kekakuan birokrasi yang akut.
Motivasi Dahlan
Kembali
pada Dahlan; motivasi apa yang mendasari tindakannya? Abraham H. Maslow dalam Motivation
and Personality (1987, NY), menyatakan motivasi seseorang dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dibagi ke dalam 5 jenjang. Maslow menyebutnya Hierarchy
of Needs. Piramida Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan: (1) fisiologis; (2)
rasa aman; (3) cinta dan rasa memiliki; (4)
penghargaan; dan (5) aktualisasi diri.
Mari
menganalisis teori motivasi tersebut pada diri Dahlan Iskan; pada sisi motivasi
mana ia mendasari tindakannya yang kontroversial itu. Pertama, kebutuhan
fisiologis. Kita tentu tidak menilai motivasi Dahlan mengembangkan mobil
listriknya untuk mencari sesuap nasi. Toh, tanpa ambisinya yang satu ini,
Dahlan sudah memiliki kekayaan yang lebih dari cukup untuk sekadar memenuhi
nafkah keluarganya.
Kedua,
kebutuhan akan rasa aman, baik itu secara
fisik, ekonomi, maupun moral. Sebagai menteri, Dahlan tentu merasa aman secara
fisik. Sebagai pengusaha sukses, Dahlan tentu merasa aman dari kesulitan
ekonomi. Dan sebagai orang pesantren, Dahlan tentu memiliki keyakinan dan
moralitas yang relatif terjaga (Ingat, perjalanannya dari Solo menuju Magetan untuk menghadiri pengajian).
Ketiga,
kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki,
baik itu kepada keluarga, teman, dan sesamanya. Kita tidak meragukan motivasi
Dahlan adalah karena cintanya kepada sesama. Biaya riset yang dibiayai dari
kantong pribadinya menggambarkan bahwa itu adalah demi cintanya pada
pengembangan ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya untuk masyarakat di kemudian
hari.
Keempat,
kebutuhan akan penghargaan. Apakah
Dahlan terlihat tipe orang yang butuh pujian? Jika ya, tentu kita tidak akan
melihat tindakan-tindakannya yang memancing kontroversi. Bukankah kita mengenal
Dahlan sebagai menteri yang cuek, spontan, dan cenderung tidak peduli dengan
penampilannya? Dari sini kita tahu Dahlan bukan orang yang berupaya merekayasa
citra diri demi mendapatkan sanjungan.
Dan
kelima, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Inilah tingkatan
motivasi tertinggi manusia menurut Maslow. Orang-orang dalam kualitas ini
memiliki moralitas, kreativitas, spontanitas, kemampuan memecahkan masalah,
bebas dari kecurigaan-kecurigaan, dan penerimaan atas fakta. Kita melihat semua
kualitas tersebut ada pada sosok Dahlan Iskan. Keentengannya mengakui kesalahan
dan siap menerima risiko merupakan wujud pribadinya yang jujur dan bertanggung
jawab.
Karakter
seperti ini mengingatkan kita pada sosok almarhum Gus Dur. Seperti Gus Dur,
Dahlan juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi, keyakinan yang kuat, tanpa
adanya rasa takut atas risiko. Jika dulu Gus Dur memiliki ungkapan khas “Gitu
aja kok repot!” kini kita mulai dibiasakan mendengar ucapan Dahlan, “Silakan
saja!”, “Tidak masalah!” atau “Tidak apa-apa!”
Terlepas dari itu semua, tema besarnya bukan pada
peristiwa kecelakaan itu sendiri, tetapi lebih pada upaya pengembangan ilmu
pengetahuan (dalam hal ini teknologi mobil listrik) dan terobosan-terobosan
yang diperlukan guna mengatasi kelangkaan bahan bakar fosil. Hal ini patut
diapresiasi, meski diakui, hal-hal teknis dalam regulasi pengujian kelayakan
mobil dan lain-lain juga penting untuk diperhatikan. Maju terus, Pak Dahlan!
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar