Semarang, 29
November 2006
In Aid of My Sister,
Wahyu
Lina
Di –
Purwokerto
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Allah senantiasa memberikan
keteguhan iman, jalan hidayah, kesehatan lahir dan batin untuk kita semua. Dan
semoga kita mampu terus menerus mensyukuri nikmat itu sedemikian rupa, hingga
kelak berhimpun ke dalam golongan orang-orang yang beruntung.
Mbak
Wahyu, saya mohon maaf atas keterlambatan surat yang mungkin telah Mbak
nanti-nanti. Kepadatan aktivitas pengangguran macam saya ini memang memaksa
saya untuk pandai-pandai mengatur waktu. Harap maklum, bahkan surat ini pun
baru sempat saya ketik ketika terpaksa bermalam di Semarang, padahal biasanya nglajo.
Di samping itu, tugas-tugas kuliah yang bejibun mendekati akhir tahun
memang menyita waktu, meski konsentrasi atas janji saya berkirim surat tak
mungkin terlupakan. Saya bahkan berharap bisa terus berkomunikasi dengan Mbak,
untuk menyambung tali silaturrahmi, tukar pengalaman dan ilmu, dan menyegarkan
kembali persaudaraan ini tentu saja.
Tentang pertanyaan teman Mbak akan saya coba jawab
semampunya. Tapi sebelum itu akan saya sampaikan beberapa landasan berpikir
dalam memahami ajaran-ajaran Islam; agar hal tersebut membantu kita memahami
substansi dari suatu ajaran, bukan bentuk atau kemasan ajaran itu sendiri.
Agama Islam, seperti agama-agama Semitik lainnya
(Yahudi dan Nasrani), memiliki lima hal pokok: 1) Ideologi, 2) Ritual, 3)
Intelektual, 4) Pengalaman Spiritual, dan 5) Konsekuensi.
Ideologi merupakan élan vital bagi suatu agama. Bahkan ideologi itu
sendiri merupakan bentuk dan tanda keimanan orang beragama. Ideologi ini tidak
bisa dimasuki wilayah nalar (mind). Ia hanya bisa diyakini dan tidak
bisa dirasionalkan. Dan memang, itulah beda agama versus filsafat. Agama
lahir dari keyakinan, sedangkan filsafat lahir dari akal. Untuk memahami
ideologi dari suatu agama (keyakinan) tidak bisa dipaksa harus masuk akal
(filsafat). Dus, ideologi dalam agama hanya bisa diyakini. Contohnya
tentang eksistensi Tuhan. Keyakinan bahwa Tuhan itu ada, misalnya, tidak bisa
dinalar. Sebab jika dikatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, secara filsafat,
pendapat itu pun bisa dibenarkan. Karena keberadaan (eksistensi) Tuhan
merupakan perkara gaib, dan ilmu pengetahuan serta filsafat (akal) tidak bisa
memasukinya, maka hal tersebut termasuk wilayah keimanan / ideologi.
Sedangkan ritual merupakan bentuk
praksis / simbol ketertundukan manusia atas hal gaib (Tuhan). Islam punya
ritual sendiri, demikian juga dengan agama langit lainnya (Yahudi dan Nasrani)
dan agama bumi (Hindu, Buddha, Hindu-Buddha (Bhairawa/Bhirawa), Kongfusianisme, Taoisme, Jainisme, Madraisme, Agama
Jawa Kuno, Animisme, Dinamisme, dll), bahkan juga aliran kepercayaan /
kebatinan (pseudo agama) seperti Subud, Pangestu, Sapta Sila, Paguyuban
Sumarah, Paguyuban Ilmu Sejati, dan ratusan aliran lainnya di Indonesia
(mayoritas di Jawa Tengah).* Ritual
ini pun tidak bisa dinalar. Upacara keagamaan (ibadah), seperti shalat, puasa,
haji (dalam Islam) atau misa natal, paskah, baptis (dalam Nasrani) merupakan
bentuk penghambaan manusia atas Penciptanya.
Intelektual adalah
bentuk keistimewaan manusia yang diberikan Tuhan. Dia memberi manusia akal
untuk mengatur bumi. Andai manusia tidak memiliki akal, sebagaimana binatang,
maka hancurlah bumi ini. Akal tersebut digunakan untuk memahami alam raya, agar
kemudian setelah itu dapat mengenal Tuhannya melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Selain itu juga akal digunakan untuk memahami perintah-perintah dan
larangan-larangan Tuhan. Dalam al-Qur’an, perintah untuk shalat, misalnya, hanya
berbunyi “Dirikanlah shalat”. Nah, akal / ilmu kemudian mempelajari
bagaimana shalat itu dipraktikkan Nabi. Hal itu dipelajari melalui ilmu hadits.
Inilah akal / intelektual.
Setelah manusia meyakini ideologi, menjalankan ritual
/ ibadah, dan memahaminya secara intelektual, maka dalam jiwa manusia akan
ter-memori pengalaman spiritual. Dalam puasa, orang menghayati
tujuan penyucian jiwa. Dalam haji, orang menyadari kebersatuan umat Islam. Dan
lain-lain. Artinya, banyak hikmah dari tujuan pengamalan syariat (maqhasid
al-syar’iyyah) sehingga membekaskannya menjadi pengalaman. Pengalaman ini,
dalam dunia psikologi, sangat mempengaruhi aktivitas kerja selanjutnya. Jika
suatu ibadah direnungi dan dihayati, maka besar kemungkinan perilaku setelah
ibadah akan menjadi lebih baik.
Salah satu perenungan yang timbul adalah efek dari
tiap perbuatan. Jika manusia menjalankan ibadah, dan ibadah itu memberi
pengalaman yang dapat menjadikannya lebih baik, maka ada ganjaran (reward,
surga) atas usahanya itu. Demikian sebaliknya, jika manusia melakukan suatu
dosa, akan mendapatkan hukuman (punishment, neraka).
Pemahaman atas aspek eskatologis seperti ini memunculkan spirit bagi manusia
untuk selalu berbuat yang baik dan terbaik menuju hidup bahagia dunia akhirat. “Mudah-mudahan
semua makhluk berbahagia” (Siddharta Gautama).
Mengenai pertanyaan atas dasar apa babi dsb. haram
dikonsumsi? Maka jawaban teologisnya adalah karena hal tersebut diharamkan
Tuhan. Pertanyaan selanjutnya, kenapa Tuhan mengharamkannya? Jawabannya, hanya
Tuhan sendiri yang mengetahui. Inilah wilayah ideologi tersebut. Mengapa
wilayah ideologi, dan tidak wilayah intelektual? Kerja intelektual akan
menyatakan bahwa babi mengandung cacing pita yang sangat berbahaya bagi
manusia. Dan jika oleh sebab kecanggihan ilmu pengetahuan, cacing pita tsb.
bisa dihilangkan, apa babi menjadi halal? Jawabannya, tentu saja tidak. Allah
saja yang tahu hikmahnya. Manusia hanya bisa meraba.
“Dan diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging babi,
dan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah …” (QS. al-Maidah: 3)
“Nabi Saw. melarang memakan hewan yang berkuku tajam
dan burung yang menyambar” (al-Hadits)
Mengenai katak, ulama berbeda pendapat. Malikiyah
mengatakan boleh / makruh, sedangkan jumhur (mayoritas ulama) berpendapat
haram. (Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu).
Dalam sejarah agama di dunia, terdapat
peraturan-peraturan (syari’at) yang
itu menjadi ciri agama tersebut. Kita mungkin heran, kenapa dalam agama Hindu,
sapi begitu dihormati dan melarang melukai apalagi membunuh dan memakannya.
Kenapa dalam agama Buddha, para bhikku dan bhikkuni dilarang menikah dan
diharuskan mencari makan dengan mengemis. Kenapa dalam Kekristenan, pastur
dilarang menikah dll. hingga memunculkan protes seorang Martin Luther hingga
muncul Protestan. Dan kenapa cerai dalam teologi Kristen (Vatikan) dilarang
hingga memunculkan Kristen Anglikan di Inggris. Kenapa pemilihan Paus sangat tertutup dan dipimpin oleh Kardinal tertua
dan termuda. Kenapa ketika pemilihan belum berhasil maka dibakarlah kertas
suara para Kardinal bersama jerami basah hingga muncul asap hitam, dan kenapa
jika sudah berhasil dengan jerami kering hingga muncul asap putih.
Demikianlah agama dengan masing-masing keyakinannya
telah menyebabkan pemeluknya fanatik dan masing-masing mengklaim sebagai yang
paling benar (the truth of claim only). Dan dalam sejarah agama, agama-agama
Semitik (agama wahyu dari Tuhan), turun dengan syariatnya (kitab suci)
sendiri-sendiri. Mulai dari Torah (Taurat, Perjanjian Lama), Zabur, Injil,
kemudian yang terakhir al-Qur’an.
(Al-Qur’an, sebagai kitab penyempurna bagi kitab-kitab
Allah sebelumnya, dengan tegas mengatakan bahwa kitab sebelum al-Qur’an itu
telah dirubah oleh pemuka-pemuka agama itu. Agama Kristen baru muncul sejak disebarkan St. Paulus. Dan ajaran Jesus
berbeda dengan ajaran Kristen tersebut.)
Tentang pernyataan mengenai bagaimana status
perkawinan pria Kristen yang menikah dengan muslimah dalam tata cara Islam,
maka dapat dipahami dalam penjelasan berikut ini:
Dalam
tata cara perkawinan Islam, kedua mempelai diharuskan mengucapkan dua kalimat
syahadat. Ini berarti, sang pria Kristen ketika menikah sudah masuk Islam dan
status perkawinannya sah menurut agama dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
Dalam
kasus setelah menikah si pria mu’allaf tidak
menjalankan kewajiban seperti layaknya muslim, patut disayangkan. Dalam bahasa
agama, dia disebut fasiq, yakni orang
Islam (sudah bersyahadat) yang tidak menjalankan rukun Islam selanjutnya, (shalat,
zakat, puasa, dan haji). Dan andaikata dia kembali ke agamanya semula (murtad),
maka perkawinannya akan batal secara otomatis, baik dari segi agama maupun
Undang-undang.
Saya
telah bertanya kepada Prof. Amin Syukur, Guru Besar IAIN Walisongo dan Kepala
KUA Kecamatan Demak, Drs. H. Ahmad Anas. Jawabannya sama. Bahkan dinyatakan,
banyak kasus berindikasi seperti itu. Bahkan menantu Nurcholish Madjid (Cak
Nur) adalah mu’allaf dari Yahudi.
Anaknya, Nadya Madjid yang janda, menikah dengan Yahudi Amerika yang kemudian
mengikrarkan kalimat syahadat ketika menikah.
Yang
perlu ditekankan adalah jangan sampai pasca pernikahan si istri justru tidak
bisa membimbing sang suami ke dalam pelukan Islam. Harus diwaspadai, betapa
banyak kristenisasi bermodus pernikahan. Betapa banyak gadis-gadis muslimah
terjebak oleh sindikat pemurtadan.
Oleh
karenanya agama kemudian menyarankan konsep kafa’ah
dalam perkawinan. Untuk memilih pasangan hidup, perlu diperhatikan empat hal:
agama, nasab, fisik (wajah, dsb.), dan harta. Jika tidak imbang, maka sangat
rentan oleh ketimpangan dan konflik, disadari atau tidak. Karena menikah tidak hanya persoalan aku
dan kamu, tapi juga persoalan agama
dan masyarakat. Al-Qur’an menyebutnya mitsaqan
galizha (perjanjian yang berat).
Demikian Mbak Wahyu, jawaban saya yang panjang lebar
dan agak melebar tersebut. Saya hanya ingin menegaskan bahwa dalam Islam banyak
hal belum dipelajari sehingga menimbulkan sikap a priori dan skeptis
terhadap Islam, termasuk terhadap ajaran-ajarannya. Semoga ini menjadikan pintu
pertama bagi usaha pencarian Islam yang sesungguhnya.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb.
*Bahkan aliran-aliran kebatinan ini
memiliki jaringan dan pengikut sampai ke luar negeri, seperti Subud.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar