KULTUM RAMADAN: PUASA DAN KECERDASAN EMOSI
Seorang psikolog dan peneliti, Daniel Goleman, menemukan sebuah
fakta yang mencengangkan. Dalam penelitiannya, ia mengumpulkan anak-anak
berusia empat tahun di sebuah Taman Kanak-kanak Stanford. Mereka diminta satu
persatu masuk ke dalam sebuah ruangan, dengan sepotong marshmallow yang
diletakkan di atas meja di hadapan mereka. “Kalian boleh memakan marshmallow
ini jika mau, tetapi kalau kalian tidak memakannya setelah saya kembali
lagi ke sini, kalian berhak mendapatkan satu lagi.”
Sekitar empat belas tahun kemudian, sewaktu mereka lulus SMA,
anak-anak yang dulu langsung memakan marshmallow, dibandingkan dengan
anak-anak yang mampu menahan diri (sehingga mendapatkan dua potong marshmallow),
memiliki ketahanan mental yang jauh berbeda. Mereka yang tahan menunggu,
cenderung lebih tahan menghadapi stres, tidak mudah tersinggung dan tidak mudah
berkelahi. Sedangkan mereka yang dulu langsung melahapnya cenderung kurang
tahan uji dalam mengejar cita-cita. Bahkan nilai yang didapat pun lebih rendah
dari anak-anak yang dulu bersabar menghadapi marshmallow.
Di saat usia mereka hampir 30 tahun, kondisi keduanya juga
berbeda. Mereka yang dulu lulus uji marshmallow, tergolong menjadi
pemuda yang sangat cerdas, berminat tinggi, dan lebih mampu berkonsentrasi.
Mereka lebih mampu mengembangkan hubungan yang baik dengan orang lain, lebih
andal, lebih bertanggungjawab, dan kendali dirinya lebih baik saat menghadapi
tekanan. Sebaliknya, mereka yang dulu tidak lulus uji marshmallow
cenderung kurang dapat diandalkan, lebih sering kesepian, lebih mudah
kehilangan konsentrasi, dan tidak sabar menunda kepuasan dalam mengejar
sasaran. Mereka juga tidak luwes, bahkan emosinya sering meledak-ledak dalam
menghadapi tekanan.
Inilah manfaat puasa secara psikologis. Orang yang berpuasa
sesungguhnya sedang menjalani pelatihan ketahanan emosi. Mereka yang bisa
mengendalikan dirinya adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi. Salah seorang ulama berkata: “Jika manusia yang hidup di dunia tidak
tertarik mencintai dunia, di saat banyak orang justru mengejarnya, maka dialah
orang yang cerdas.” Hal ini senada dengan hadits Nabi: “Orang yang
paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan
setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah)
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar