PEMIKIRAN
TEOLOGI ISLAM
Dalam
berbagai literatur, yang secara khusus berbicara tentang ilmu kalam atau
teologi, sering ditemukan pembahasannya lebih diarahkan kepada adanya
pertentangan-pertentangan antara satu aliran teologi dalam Islam dengan aliran
yang lainya. Pembahasan yang demikian memang tidak salah, bahkan benar adanya.
Sebab, ditilik dari sejarahnya perkembangan teologi dalam Islam memang
demikianlah adanya. Namun demikian, dalam konteks sekarang ini, pembahasan dan
pemaknaan yang demikian itu sudah tidak relevan lagi. Disamping pemaknaan yang
demikian ini tidak mengusung ide-ide pembebasan juga sangat statis dan rigid,
bahkan sangat komunal dan menindas.
Golongan
Asy’ariyah dan Maturidiyah yang selama ini diklaim sebagai kelompok “Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah” dipahami sebagai kelompok yang pemahamannya selalu
sesuai dengan norma-norma ajaran al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Sementara kelompok
lain, seperti Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah, dan lain-lainnya, sebagai kelompok
yang menyimpang dan menyalahi al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Pemikiran yang
demikian ini mengandaikan bahwa kelompok Asy’ariyah sebagai aliran yang benar,
sementara yang lainnya sebagai aliran yang salah.
Dengan
meminjam term yang ditawarkan oleh Amin Abdullah sebagaimana dalam judul
bukunya: “Studi Agama: Normativitas atau Historisitas”, maka istilah ini
(Normativitas dan Historisitas) akan digunakan untuk mengkaji lebih jauh
tipologi pemahaman yang ada dalam aliran-aliran teologi Islam tersebut. Dengan
pendekatan ini, diharapkan akan ditemukan pemahaman yang benar dan proporsional
serta sesuai dengan keadaan dan realitas yang sebenarnya. Sehingga, satu
kelompok tertentu tidak boleh mengklaim bahwa kelompok yang berbeda dengannya
sebagai kelompok yang “salah” dan “menyimpang”, sementara kelompok yang
sealiran dengannya sebagai kelompok yang benar.
A.
Genealogi Teologi Islam
Pada masa Rasulullah saw. masih hidup, semua persoalan yang
dihadapi oleh komunitas umat Islam saat itu, baik yang berhubungan dengan
bidang akidah, akhlak, maupun syari’ah, dapat secara langsung ditangani dan
mendapatkan apresiasi justifikatif yang sangat cepat dari beliau. Namun setelah
sepeninggal beliau, problematika yang dihadapi umat Islam semakin beragam dan
meningkat baik secara kwalitas maupun kwantitas.
Sebagaimana diketahui bahwa persoalan awal yang muncul dalam Islam
adalah masalah-masalah yang bersifat politis ketimbang masalah agama.[1]
Meskipun demikian, persoalan politis ini secara eskalatif telah berimplikasi
jauh pada masalah teologi. Polemik politik akibat terbunuhnya Utsman b. Affan
(th. 35 H.),[2]
berlanjut pada masa kekhalifahan ‘Ali b. Abi Thalib. Polemik ini mencapai
puncaknya ketika terjadi perang Jamal (th. 35 H/656 M.) antara pasukan ‘Ali
dengan pasukan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr, yang kemudian disusul dengan
perang Siffin (th. 36 H/657M) antara pihak ‘Ali dengan Mua’wiyah.[3]
Pertentangan politik antara keduanya, yang pada akhirnya berujung
pada peristiwa tahkim (arbitrase),[4]
telah memunculkan aliran Khawarij. Menurut aliran ini, tahkim bukanlah
penyelesaian yang dikehendaki oleh Allah sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an.
Dengan berlandasakan QS. al-Maidah/5: 44, (“Barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir”),
kaum Khawarij menghukum orang-orang yang menerima tahkim – seperti
‘Ali, Mu’awiyyah, Amr b. al-‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan semua yang terlibat
dan menyetujui tahkim, bahkan ‘Utsman, ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubayr -
sebagai pembuat dosa besar (almurtakib al-kabair) dan oleh karenanya
mereka menjadi kafir[5],
lawan dari mu’min.
Paham kaum Khawarij yang demikian, telah mendorong
munculnya aliran baru dalam teologi Islam (ilm al-kalam), seperti
kaum Murji’ah[6]
yang berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap sebagai mu’min dan
bukan kafir.[7]
Sementara itu, kaum Mu’tazilah[8]
– aliran teologi ketiga setelah Khawarij dan Murji’ah dan
kemunculannya lebih sebagai sintesa dari dua ekstrimitas yang berbeda tersebut
– tidak sependapat dengan dua aliran sebelumnya. Menurutnya, orang yang berbuat
dosa besar tidak dihukumi sebagai kafir dan juga bukan mu’min,
tetapi menempati posisi di antara keduanya, yaitu fasiq. Konsep Mu’tazilah
yang demikian itu, kemudian dikenal dengan istilah al-manzilah baina
almanzilatain (posisi di antara dua posisi).[9]
Dalam perkembangannya, faham Mu’tazilah yang rasionalis itu,[10]
mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Ini dapat dilihat dari banyaknya
penganut Wasil di daerah Tahart, suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko,
mencapai 30 ribu pengikut. Kemudian, pengaruh Mu’tazilah ini, mencapai
puncaknya pada zaman Khlaifah-khalifah Bani Abbas al-Ma’mun, al-Mu’tashim dan
al-Wasiq (813-847M), bahkan pada masa kekhalifahan al-Ma’mun faham Mu’tazilah
dijadikan sebagai madzhab resmi negara.[11]
Karena telah menjadi aliran resmi negara, kaum Mu’tazilah mulai menyiarkan
ajaran-ajarannya secara paksa dengan cara mengadakan ujian (mihnah) bagi
para pemuka pemerintahan dan masyarakat, terutama faham mereka bahwa al-Qur’an
bersifat makhluk dalam arti diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam
arti kekal dan tidak diciptakan.[12]
Faham Mu’tazili yang bercorak rasional ini, mendapat tantangan
yang keras dari golongan tradisional Islam, terutama pengikut aliran hadits dan
yurisprudensi (fuqaha) yang sangat keras, seperti pengikut Ahmad Ibn
Hanbal. Politik menyiarkan aliran Mu’tazliah secara kekerasan berkurang setelah
al-Ma’mun meninggal dunia pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazliah
sebagai madzhab resmi dari negara dibatalkan oleh Khalifah al-Mutawakkil pada tahun
856 M. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kedudukan mereka semula,
tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang tidak sedikit di kalangan umat
Islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi
tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M), yang sebelumnya merupakan
salah seorang penganut aliran Mu’tazliah. Selama masih muda, ia menjadi murid
al-Jubba’i, seorang Mu’tazili dari Basra yang sangat mashur, tetapi ketika
berusia 40 tahun, mungkin karena hasil mimpinya bertemu dengan Rasulullah,[13]
ia berbalik melawan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mencoba kembali kepada
ajaran-ajaran al-Qur’an secara murni. Ia pergi ke masjid Basra dan kemudian menyatakan: Siapa yang
mengatahui saya, mengetahui siapa saya, dan siapa yang tidak mengetahui saya,
kemudian mengatahui bahwa saya adalah Abu al-Hasan ‘Ali al-Asy’ari, yang dahulu
mempertahankan bahwa al-Qur’an diciptakan, mata manusiatidak akan dapat melihat
Tuhan, dan menyatakan bahwa makhluk menciptakan aktifitas gerak mereka sendiri.
Oh! Saya menyesal bahwa saya telah menjadi seorang Mu’tazili. Saya meninggalkan
aliran ini dan saya berjanji untuk menolak aliran Mu’tazilah dan mengekspose
pertumbuhan dan kejahatan mereka”.[14]
Menurut keterangan Harun Nasution yang ia kutip dari kitab Dzuhr
al-Islam bahwa sebab lain keluarnya al-Asy’ari dari kelompok Mu’tazilah adalah
sikap ragu-ragu (syak)[15]
dan tidak puas lagi terhadap aliran Mu’tazilah yang selama ini dianutnya. Hal
ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari mengasingkan diri
di rumah selama lema belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Setelah itu ia keluar dan pergi ke masjid, naik mimbar seraya mengatakan:
“Hadirin
sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berfikir tentang keterangan-keterangan
dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang
diajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta
petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan
keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis
dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya
melemparkan baju ini”.[16]
Selain alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, baik yang dikemukakan
oleh para teolog Muslim, dan juga para orientalis tentang keluarnya al-Asy’ari
dari aliran Mu’tazilah, belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Terlepas
dari itu semua, yang jelas bahwa dalam lapangan teologi Islam aliran Asy’ariyah
dan Maturidi merupakan refleksi dari aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
B.
Meninjau Kembali Makna Ahl al-Sunnah waal-Jama’ah
Jika melihat genealogi aliran teologi dalam Islam seperti telah dijelaskan
sebelumnya, jelas bahwa aliran Asy’ariyah atau Maturidiyah merupakan aliran
yang dalam sejarah kemunculannya sebagai antitesa dari kelompok Mu’tazilah yang
ekstrim dan rasional. Kelompok Asy’ariyah ini dalam teologi Islam sering
disebut sebagai aliran “ahl al-sunnah wa al-jama’ah”. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Zabidi dalam kitab Itihaf Sadat al-Muttaqin
syarah Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali mengatakan bahwa “apabila
disebut kaum ahlussunnah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang
yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi” (Idza
Uthliqa ahl alsunnah fa al-muradu bihi al-Asya’riatu wa al-Maturidiyatu).[17]
Pernyataan semacam ini, baik secara langsung maupun tidak, akan berdampak
pada munculnya polemik yang berkepanjangan. Artinya, jika yang dimaksud ahl
al-sunnah itu hanyalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, lalu bagimana
dengan lairan-aliran yang lain? Seperti, Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah, dan
sebagainya. Padahal, sebagaimana disabdakan Nabi saw., bahwa hanya aliran “ahl
al-sunnah wa al-jama’ah” sajalah yang nantinya akan masuk surga, sementara
kelompok yang lainnya akan masuk ke neraka. Sehubungan dengan hal ini Nabi saw pernah
bersabda:
“Bahwasannya
Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 golongan (millah), dan
akan berfirqah umatku sebanyak 73 golongan (firqah), semuanya masuk neraka
kecuali satu. Para sahabat bertanya: “Siapakah
yang satu itu wahai Rasulullah?” Nabi menjawab: “yang satu itu adalah orang
yang berpegang padaku dan sahabat-sahabatku”. (HR. Turmudzi).
Demi
Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah
umatku
sebanyak 73 golongan, yang satu masuk sorga dan yang 72 masuk neraka. Para sahabat bertanya: “siapakah golongan yang tidak
masuk neraka itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Ahlal-sunnah waal-jama’ah.
(HR. Thabrani).[18]
Hadis di atas lebih merupakan eskatologi (ramalan tentang masa depan)
akan terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan. Nampaknya ramalan ini
dalam sejarahnya sudah menjadi kenyataan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya
golongan (firqah) yang berkembang di kalangan umat Islam. Dalam sejarah
perkembangan teologi Islam kita mengenal beberapa faham seperti Syi’ah,
Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Najariyah, Qadariyah, Jabbariyah, Musyabbihah,
Mujassimah, dan sebagainya. Persoalannya sekarang adalah benarkah
golongan-golongan yang disebutkan ini kesemuanya akan masuk neraka?
Hadis di atas, dan beberapa hadis yang memiliki substansi yang senada
sering digunakan untuk menjastifikasi masing-masing kelompoknya sebagai “ahl
sunnah wa al-jama’ah”. Bukan saja, kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyah yang
diklaim sebagai kelompok ahl alsunnah, tetapi kelompok lain, seperti
Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Qadariyah, Jabbariyah, dan sebagainya juga
mengklaim bahwa kelompoknya juga merupakan aliran yang menganut faham ahl
alsunnah. Jika demikian keadaannya, maka semua aliran yang berkembang dalam
Islam berhak mendapatkan keselamatan sebagaimana janji Nabi Muhammad saw. dalam
hadisnya tersebut.
Kenyataannya, sekarang ini memang sulit untuk menentukan siapakah
yang termasuk kelompok ahl al-sunnah ini. Hal ini, disamping karena
masing-masing kelompok mengklaim sebagai ahl al-sunnah, juga tidak
nampak lagi perbedaannya, mana yang disebut Asy’ariyah, Maturidiyah,
Mu’tazilah, atau Syi’ah sekalipun. Sebab, di antara beberapa aliran yang
berkembang saat ini – terutama yang masih memiliki pengikut – tidak ada yang
tidak berpegang pada al-Qur’an, hadis, dan juga perkataan sahabat. Bahkan,
kalau kita mau jujur, kebanyakan kita ini merupakan bagian dari kelompok
Mu’tazilah yang rasionalis. Mengapa demikian?
Dalam beberapa kasus, kita sering mengagung-agungkan akal dalam memutuskan
persoalan. Apalagi dengan keadaan yang seperti sekarang ini, di mana semua
aspek kehidupan manusia telah mengalami perkembangan yang kapasitasnya jauh
berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Rasulullah ketika itu.
Persoalan-persoalan tersebut menuntut untuk diselesaikan melalui ijtihad ketimbang
merujuk pada al-Qur’an, hadis, atau aqwal sahabat. Sebab, secara
konkrit, memang persoalan-persoalan tersebut tidak ada teksnya dalam beberapa
sumber yang disebutkan terakhir itu. Oleh karena itu, dalam memaknai
persoalan-persoalan yang secara tekstual tidak ada nashnya, baik dalam
al-Qur’an maupun hadis Nabi, maka kita harus menggunakan seluruh kemampuan
nalar yang kita miliki, bahkan dengan nalar itu kita bisa memaknainya jauh
melampaui teks.
C.
Menuju Teologi yang Membebaskan
Dari beberapa pemaparan di atas, apa yang hendak saya katakan di
sini sebenarnya adalah kita harus merekonstruksi ulang, bahkan mendekonstruksi
pendikotomian yang selama ini telah menghegemoni umat Islam dalam hal
aliran-aliran teologi Islam ini. Artinya, ketika seseorang harus mengkaji
persoalan teologi dalam Islam, yang menjadi persoalan utamanya adalah adanya
pembedaan-pembedaan pemahaman antara ahl al-sunnah wa al-jama’ah,
Asy’ariyah, Maturidiyah, Mu’tazilah, dan sebagainya dengan karakteristiknya masing-masing.
Oleh karenaya, aliran-aliran yang berkembang itu bersifat “normatif ataukah
historis?”
Maksud “normatif” di sini adalah memahami sebuah teks berdasarkan
norma-norma atau aturan-aturan yang telah mapan sebagaimana terjadi dalam
sejarah. Artinya, ketika aliran-liran teologi dalam Islam itu harus dimaknai
dengan pendekatan “normatif”, maka pemaknaannya adalah suatu aliran yang lahir
dan berkembang berdasarkan norma-norma yang dibentuk oleh aliran tersebut serta
menggunakan konstituen-konstituen yang melekat pada aliran dimaksud. Sehingga,
seorang Mu’tazilah, harus dimaknai sebagai orang yang secara institusional
menganut paham Mu’tazilah dan dalam pola pemahaman keagamaannya pun juga
menjunjung tinggi nilai-nilai yang digariskan oleh kelompok Mu’tazilah.
Seperti, mendahulukan akal ketimbang teks al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. dalam
memahami teks itu sendiri, sekalipun teks keagamaannya sangat jelas tertuang
dalam kedua sumber dimaksud.
Jika pendekatan yang pertama ini digunakan, maka pemaknaannya lebih
bersifat kaku, rigid dan mengikat, bahkan sangat menindas. Apalagi untuk
melihat suatu komunitas yang dalam sejarahnya telah berkembang demikian pesat
dengan atribut-atribut yang digunakannya. Kelompok Mu’tazilah, misalnya, pada
masa pemerintahan al-Makmun telah menjadi aliran resmi yang ajaran-ajarannya diakui
secara meluas oleh masyarakat. Bahkan, paham keagamaannya dijadikan sebagai
madzhab resmi negara dan pemerintahan. Secara normatif, aliran ini, untuk masa
sekarang nampaknya – untuk tidak mengatakan tidak ada – sudah tidak banyak pengikutnya,
apalagi di Indonesia.
Sebab, jarang ditemukan suatu komunitas tertentu yang secara langsung mengklaim
bahwa kelompoknya adalah komunitas Mu’tazilah. Meskipun, nilai-nilai Mu’tazilahnya
jelas dapat dijumpai dalam aktifitasnya sehari-hari.
Pemaknaan pada sebuah komunitas dengan melihat perilaku, nilai-nilai
dan pola pemahaman inilah yang kemudian saya maksudkan sebagai pemaknaan secara
“historis”. Yakni, pemaknaan yang berkembang disesuaikan dengan perkembangan
zaman dan tempat. Ketika kita harus memaknai term “Mu’tazilah”, maka yang dimaksudkan
bukan lagi suatu komunitas yang dengan sengaja mengklaim bahwa kelompoknya
mengaku dan secara institusional sebagai “Mu’tazilah”, tetapi lebih melihatnya
dari aspek pola pemahaman, sifat, dan nilai-nilai yang diusung oleh komunitas Mu’tazilah
sebagai karakteristiknya. Hal yang demikian ini, tidak saja berlaku bagi
komuinitas Mu’tazilah saja, tetapi juga diterapkan pada aliran-aliran lainnya,
seperti Asy’ariyah, Maturidiyah, Murji’ah, Qadariyah, Jabbariyah, dan
sebagainya.
Jika pendekatan kedua ini yang digunakan, maka pemaknaannya akan
lebih bersifat fleksibel dan tidak komunal. Dengan melihat karekteristik dan
corak pemahamannya, kita dapat mengkategorikan komunitas apa ia berada,
sekalipun secara institusional dirinya tidak menganut aliran atau madzhab
tertentu.
D.
Penutup
Walhasil, siapapun dan dari komunitas
apapun ia berada, jika pola pemahamannnya sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah
Nabi, serta pendapat para sahabat, maka ia pun berhak mendapatkan sebutan “ahl
al-sunnah wa al-jama’ah”. Sehingga, sebutan yang disebutkan terakhir ini,
yang nota bene oleh Nabi akan dijanjikan masuk surga, tidak lagi menjadi
monopoli dan otoritas aliran tertentu, seperti Asy’ariyah atau Maturidiyah,
tetapi terbuka bagi kelompok dan komunitas apapun. Pemahaman yang demikian
inilah yang menurut saya tidak bersifat komunal, bahkan mengusung semangat “pembebasan”.
Bibliografi :
Abbas, Sirajjuddin, I’tiqad
Ahlussunnah Wal-jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1977)
Al-Barsyaniy, Noer Iskandar, Aktualisasi
Ahlussunah Waljamaah (Purwokerto: Program Pascasarjana UNISMA Pondok
Pesantren al-Hidayah, 1999)
Ichwan , Mohammad Nor, Teologia, Vol.
16, No. 1, Januari 2005
Nasr, Seyyed Hossein, Intelektual
Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis, terj. Suharsono daan Djamaluddin MZ
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996)
Nasution, Harun, Teologi Islam,
Aliran-aliran, Sejarah, Analisa perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986)
[1]Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 3
[3]Mohammad Nor Ichwan, Teologia, Vol. 16, No. 1,
Januari 2005, hlm. 56
[4]Harun Nasution, op. cit, hlm. 5
[5]Mohammad Nor Ichwan, op. cit., hlm. 57
[6]Harun Nasution, op. cit., hlm. 23)
[7]Mohammad Nor Ichwan, loc. cit.
[9]Harun Nasution, op. cit., hlm. 7.
[14]Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam:
Teologi, Filsafat, dan Gnosis, terj.Suharsono daan Djamaluddin MZ
(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), hlm.
11
[15]Harun Nasution, op. cit., hlm. 67
[18]Noer Iskandar al-Barsyaniy, Aktualisasi Ahlussunah
Waljamaah (Purwokerto: Program Pascasarjana UNISMA Pondok Pesantren
al-Hidayah, 1999), hlm. 5
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar