QIRA’AH
DALAM ULUMUL QUR’AN
Oleh:
Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
Bangsa
Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya.
Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan
suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti
letak geografis dan sosio-kultural pada masing-masing suku. Laiknya Indonesia
yang memiliki bahasa persatuan, maka bangsa Arab pun demikian. Mereka
menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam
berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk
interaksi lainnya. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami alasan
al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Di
sini, perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa konsekuensi lahirnya
bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya
bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena
itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan al-Qur’an dengan berbagai macam
qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila
hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf) dan hadis-hadis lainnya yang sepadan
dengannya.[1]
A. Pengertian Qira’ah
Berdasarkan
etimologi (bahasa),
qira’ah
merupakan kata jadian (mashdar)
dari kata kerja qiraah
(membaca), jamaknya yaitu qira’at.
Bila dirujuk berdasarkan pengertian terminology
(istilah), ada beberapa definisi yang diperkenalkan oleh ulama :
- Menurut az-Zarqani : Az-Zarqani mendefinisikan qira’ah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.
- Menurut Ibn al Jazari : Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya
- Menurut al-Qasthalani : Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
- Menurut az-Zarkasyi : Perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.
- Menurut Ibnu al-Jazari : Pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada penukilnya.[2]
Perbedaan
cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama,
yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal
dari satu sumber, yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan
di atas, maka ada tiga qira’at yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu:
- Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang iman dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
- Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
- Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persolan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washil.
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
1. Latar
Belakang Historis
Qira’at
sebenarnya
telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan merupakan
sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini,
yaitu :
Suatu
ketika Umar bin Khattab menemukan perbedaan cara membaca ayat al-Qur’an dengan
Hisyam. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini mereka laporkan ke Rasulullah
Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya, yang artinya :“Memang begitulah Al-Qur’an
diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka
bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”
Menurut
catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at
dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di
berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mngemukakan
qira’at gurunya
daripada mengikuti qira’at
imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at
tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai
kepada imam qira’at
baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
Timbulnya
sebab lain dengan penyebaran qari’-qari’
ke berbagai penjuru pada masa Abu Bakar, maka timbullah qira’at yang beragam.
Lebih-lebih setelah terjadinya transpormasi bahasa dan akulturasi akibat
bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya perbedaan qira’at
itu berada pada kondisi itu secara tepat.[3]
2. Latar
Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat
al-Ada’)
Menurut
analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari
bagaimana seorang guru membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Dan kalau
diruntun, cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus
Umar dengan Hisyam, dan itupun diperbolehkan oleh Nabi sendiri. Hal itulah yang
mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara
menghafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut :
a. Perbedaan
dalam i’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat,
misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Bukhli” (artinya
kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha”
pada huruf Ba’-nya,
sehingga dibaca Bil Bakhli,
dapat pula dibaca “Dhommah”
pada Ba’-nya,
sehingga menjadi Bil Bukhli.
b. Perbedaan
i’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada
firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya
“Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami.” Kata yang diterjemahkan
menjadi “jauhkanlah” di atas adalah “ba’id” karena statusnya fi”il amar,
maka boleh juga dibaca “ba’ada” yang berarti kedudukannya menjadi fi’il
madhi artinya telah jauh.
c. Perbedaan
pada perubahan huruf tanpa perubahan i’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan
maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 259, (وانظر
الى العظام كيف ننشزها) yang artinya “……dan lihatlah kepada
tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam
ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun
kembali), yang ditulis dengan huruf za’ (ز)
diganti dengan huruf ra’ (ر) sehingga berubah
bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
d. Perubahan
pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak
berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat 5: (وتكون
الجبال كالعهن المنفوش) yang artinya “…. dan gunung-gunung
seperti bulu yang dihamburkan.” Dalam ayat tersebut terdapat perubahan bacaan
“kal-‘ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna
bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
e. Perbedaan
pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada
ungkapan “thal-in mandhud” menjadi “thalhin mandhud.” (QS. al-Waqi’ah : 29)
f. Perbedaan
dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah
Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan
sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat
al-haqq bi al-maut”. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan
memasukkan kata “al-Haq”.
Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang
benar-benar dengan kematian”.
g. Perbedaan
dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah
al-Baqarah: 25, yang artinya “…surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut
terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa menjadi
tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa
menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang
serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.[4]
C. Penyebab Perbedaan Qira’at
Sebab-sebab
munculnya beberapa qira’at
yang berbeda adalah :
- Perbedaan qira’at nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya Nabi pernah membaca surat as-Sajadah ayat 17 sebagai berikut :
xsù
ãNn=÷ès? Ó§øÿtR !$¨B
uÅ"÷zé& Mçlm; `ÏiB
Ío§è% &ûãüôãr& Lä!#ty_ $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷èt
Pada
huruf (ة) dalam kata (قرة) ayat ini, nabi
membaca dengan “ta”
(ت) biasa.
- Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu, hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an. Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia menghendaki “hatta hin”. Ada riwayat dari para sahabat nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada atau perbedaan riwayat dari para sahabat nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.[5]
- Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.[6]
- Perbedaan syakl, harakat atau huruf. Contohnya pada surat al-Baqarah : 222
( wur
£`èdqç/tø)s?
4Ó®Lym tbößgôÜt
Kata
yang digaris bawahi bisa dibaca “yathurna”
dan bisa dibaca “yatthoh-har-na”.
jika dibaca qira’at
pertama, maka berarti : “dan
janganlah kamu mendekati mereka (istri-istrimu) sampai mereka suci (berhenti
dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu). Sedangkan qira’at kedua berarti: “dan janganlah kamu mendekati mereka
(istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi
wajib terlebih dahulu).”[7]
D. Sab’at Ahruf dan Qira’ah Sab’ah
Pembahasan ini sering dihubungkan dengan
hadits Nabi SAW yang menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan ke dalam sab’at ahruf (tujuh huruf). Tidak
kurang dari dua puluh satu orang sahabat yang meriwayatkan hal tersebut,
diantaranya adalah Umar bin Khattab, Ubay bin Ka’b, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, ‘Utsman bin Affan,
dan lain-lain. Salah satu diantaranya yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Abbas adalah : “Rasulullah bersabda: Jibril telah membacakan al-Qur’an
kepadaku satu huruf. Aku membacanya berulang-ulang. Aku terus menerus
memintanya agar ditambah, dan ia menambahnya hingga tujuh huruf. ”
Para ulama berbeda pendapat tentang makna “Tujuh
Huruf” pada hadits di atas. Diantara pendapat tersebut adalah[8] :
1. Al-Qur’an
mengandung tujuh bahasa Arab yang memiliki satu makna. Pendapat
ini adalah yang paling kuat yaitu al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang
memiliki satu makna, seperti aqbil,
ta’al, halumma, ‘ajjil, asri’ yang memiliki satu
makna yaitu “datang kemari”. Kata-kata tersebut,
walaupun berbeda, mempunyai makna yang sama, yakni panggilan untuk segera
datang.
2. Tujuh
dialek bahasa kabilah Arab yaitu Quraisy, Hudzail, Tamim, Tasqif, Hawazin,
Kinanah dan Yaman. Pendapat ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah tujuh bahasa terbaik dari bahasa Arab
yang tersebar di berbagai surah. Bahasa
terbanyak digunakan adalah bahasa Quraisy.
3. Tujuh
aspek kewahyuan seperti perintah, larangan, janji, halal, haram, muhkam,
mutasyabih dan amtsal. Pendapat ini mengatakan bahwa yang
dimaksud sab’at ahruf ialah
bentuk kalimat yang tujuh, yakni al-amr, al-nahy, al-wa’d , al-wa’id,
al-jadal, al-qashash, dan al-amtsal; atau al-amr, an-nahy, al-halal, al-haram,
al-muhkam , al-mutasyabih , dan al-amtsal.
4. Tujuh
perubahan perbedaan yaitu ism, i’rab, tashrif, taqdim dan ta’khir, tabdil dan
tafkhim. Pendapat ini yang paling populer dan disepakati oleh jumhur ulama’
adalah pendapat Abu al-Fadhl al-Razy. Menurut al-Razy yang dimaksud dengan sab’at
ahruf ialah segi-segi perbedaan yang tujuh yang meliputi perbedaan dalam bentuk singural-plural,
seperti bacaan li amanatihim
(jamak) dan li amanatihim (tunggal) (Q.S. 23:8). Kemudian perbedaan
dari segi i’rab, seperti ma hadza basyaran dengan ra’
berharakat fathah atau ma hadza basyarun dengan ra’ berharakat dlammah
(Q.S. 12:31). Perbedaan tashrif
seperti rabbana ba’id baina
asfarina (dalam bentuk permohonan) atau
rabbuna ba’ada baina asfarina (bentuk kata kerja lampau) (Q.S 34:19). Juga
dalam soal mendahulukan (taqdim) atau mengakhirkan (ta’khir), seperti ja’at
sakarat al-haqq bi al-maut atau ja’at sakarat al-maut bi al-haqq
(Q.S.50:19). Selanjutnya perbedaan dari segi al-ibdal (penggantian),
seperti nunsyizuha atau nansyuruha (Q.S.2;259), atau
dalam penambahan (al-ziyadah) dan
pengurangan (an-naqsh), seperti wa a’adda lahum jannat tajri min tahtiha
al-anhar (dengan min ) dan wa a’adda lahum jannat tajri tahtaha al-anhar
(tanpa min) (Q.S.9:100). Kemudian terakhir
perbedaan dalam dialek (al-lahjat), seperti soal imalah (pengucapan
dalam vocal e) (Q.S.20;9), antara hal
ataka haditsu musa (dengan a) atau hal ateka haditsu muse (dengan
e).
5. Tujuh
huruf diartikan bilangan yang sempurna seperti 70, 700, 7000 dan seterusnya. Pendapat
ini mengatakan bahwa perkataan sab’ah dalam ucapan Nabi SAW tidak
mengandung makna bilangan yang sebenarnya, melainkan hanya simbol (rumz)
untuk menunjuk pada kesempurnaan.
6. Tujuh
huruf diartikan tujuh bangsa selain bangsa Arab seperti Yunani, Persia
dan lain-lain.[9] Seperti
kata “kafur” (wewangian di surga) ditengarai berasal dari Indonesia, yakni
daerah Barus Tapanuli sehingga dikenal dengan kapur barus.
7. Tujuh
Qira’at yang disebut dengan Qira’ah Sab’ah. Pendapat ini mengatakan
bahwa sab’at ahruf ialah al-qira’ah al-sab’ah (bacaan yang
tujuh), yakni tujuh varian atau tujuh aliran bacaan al-Qur’an yang berasal dari
tujuh orang imam. Pendapat tersebut berasal dari Ibnu Mujahid (w.324 H/936 M),
tokoh al-Qur’an terkemuka abad ke-3,[10]
dengan alasan bahwa qira’ah sab’ah itulah yang relevan dan merealisir sab’at
ahruf dalam hadits.
Namun jumhur ulama, menentang pendapat
tersebut. Di antara alasannya adalah :
a. Istilah
qira’ah sab’ah tidak dikenal pada masa Nabi SAW dan pada saat para ahli al-Qur’an
pertama kali menyusun karya tentang qira’ah. Ia muncul pada akhir abad
ke-dua (dibukukan pada abad ke-tiga) hijriyah sedang sab’at ahruf sudah
ada sejak abad pertama hijriyah.
b. Hadits
Nabi yang mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf tidak akan
ada artinya jika yang dimaksud adalah qira’ah sab’ah, sebab ahli-ahli
qira’ah tersebut baru lahir pada abad kedua.[11]
Namun qira’ah sab’ah versi Mujahid
sudah begitu masyhur karena disangka itulah yang dimaksud sab’at ahruf
dalam hadits Nabi SAW. Padahal ada banyak pendapat tentang qira’ah. Ibnu Jabr
al-Makki membatasi qira’ah kepada lima imam karena ‘Utsman bin Affan
sendiri menyebarkan mushaf terbatas ke lima wilayah.
Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa qira’ah
yang memenuhi syarat bukan tujuh, melainkan sepuluh, bahkan empat belas.
Qira’at berjumlah sepuluh karena memasukkan Ya’qub (w. 205 H/821 M) dari Basra, Khalaf bin Hisyam
(w. 229 H/844 M) dari Kufah, serta Abu Ja’far (w. 130 H/738 M) dari Madinah.
Adapun empat belas karena menyertakan qira’ah Hasan al-Basri (w. 110 H/729 M)
dari Basra, Ibnu Muhaisin (w. 123 H/741 M) dari
Mekah, Yahya bin Mubarok al-Yazidi (w. 202 H/818 M) dari Basra, dan Abi al-Faraj Muhammad bin Ahmad
al-Syanbud (w. 388 H/998 M). Kesemua itu berdasarkan riwayat-riwayat yang
shahih.[12]
Pendapat al-Razy yang didukung jumhur bahwa sab’at
ahruf adalah tujuh aspek menyangkut keragaman lafadz atau kalimat dalam al-Qur’an
nampaknya lebih kuat. Sebab, sesuai dengan fakta yang terdapat dalam ragam qira’at
serta sesuai dengan konteks hadits. Pendapat ini juga dapat mengakomodasi
seluruh versi qira’at yang memenuhi syarat-syarat sebagai qira’at
yang shahih. Membatasi sab’at ahruf hanya terbatas pada tujuh versi
bacaan yang diriwayatkan oleh tujuh orang imam itu saja berarti menafikan
bacaan lain yang mutawatir. Dan ini jelas tidak benar.
Qira’at al-Qur’an,
khususnya istilah “qira’ah sab’ah” sering dimaknai dan dikorelasikan identik dengan ‘Tujuh Huruf’, tetapi pendapat ini tidak
kuat. Meski demikian, istilah ‘Tujuh Huruf’ merupakan
salah satu sebab munculnya multiple reading (banyak bacaan) al-Qur’an.[13]
E. Analisis
Al-Qur’an yang merupakan kitab
suci yang sangat unik, dengan melalui proses sejarah yang panjang, tetap dapat
dijaga kemurniannya. Walaupun masih banyak disana-sini kritik dan bantahan dari
para orientalis bahwa al-Qur’an yang sudah berumur berabad-abad sudah mengalami
beberapa perubahan yang dapat dibuktikan dengan ketidaksamaannya dalam bacaan
dan penulisan. Hal tersebut dipandang mengakibatkan ketidaksamaan dalam
memutuskan dan menetapkan sebuah hukum. Sehingga beberapa orientalis
berpendapat bahwa al-Qur’an tidak dapat dipercaya keorisinilannya, dan tidak
wajib untuk diikuti.
Pendapat para
orentalis tersebut bermaksud untuk menghilangkan keorisinalan al-Qur'an, dengan
berpendapat bahwa al-Qur'an hasil olah tangan manusia, ada campur tangan
manusia dan hasil rekayasa Muhammad. Sehingga al-Qur'an yang diyakini oleh umat
Islam dengan seperangkat hukum-hukum yang ada didalamnya tidaklah dapat
dipercaya. Oleh karena itu al-Qur'an yang merupakan rujukan umat Islam,
tidaklah murni dari Tuhan dan tidak perlu dipercayai atau diikuti.
Untuk membuktikan bahwa
al-Qur’an bukan hasil rekayasa dan penciptaan para imam, terutama dalam qira’at
al-qur’an dan juga untuk menolak ketidakbenaran pendapat para orientalis
tersebut, maka dapat dikemukakan beberapa argumen sebagai berikut:
1. Sejarah mencatat, bahwa
al-Qur'an termasuk qira'ah-nya telah dihafal oleh sahabat sejak masa Abu
Bakar, dan sebelum dibukukan oleh Ustman bin Affan, hafalan tersebut berlanjut
sampai masa imam Qira’ah al-Sab'ah.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Qira'ah al-Qur'an bersumber dari periwayatan dan pendengaran yang sanadnya bersambung pada Nabi, perbedaan bacaan bukan karena tidak adanya tanda baca atau tanda huruf.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Qira'ah al-Qur'an bersumber dari periwayatan dan pendengaran yang sanadnya bersambung pada Nabi, perbedaan bacaan bukan karena tidak adanya tanda baca atau tanda huruf.
2. Seandainya yang menjadi
penyebab perbedaan Qira'ah al-Qur'an itu karena ketiadaan tanda huruf
dan tanda baca, tentu setiap Qira'ah al-Qur'an yang memungkinkan dibaca
sesuai dengan rasm al-mushhaf, akan diakui eksistensinya sebagai qira'ah.
Akan tetapi kenyataanya tidaklah demikian.
3. Seandainya perbedaan Qira'ah
al-Qur'an itu karena tidak adanya tanda huruf dan tanda baca dalam mushaf, dan
setiap imam memiliki versi sendiri tentang bacaan, maka yang akan terjadi
adalah al-Qur'an bukan lagi Kalam Allah tetapi hasil rekayasa manusia, dan di dalamnya
ada campur tangan manusia. Namun yang terjadi tidak demikian. Dan jikalau
setiap imam memiliki versi sendiri tentang pembacaan al-Qur’an, sudah berapa
banyak cara baca al-qur’an mulai sejak al-Qur’an itu diturunkan.
4. Dalam (Qs. Yunus/10: 15)
Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak berhak mengubah, menambah, dan
mengurangi, tidak mempunyai wewenang untuk mengubah suatu huruf dengan huruf
lain. Apabila nabi sendiri dilarang keras mengubah, menambah atau mengurangi
yang menyangkut lafadz atau huruf al-Qur'an, maka terlebih lagi para sahabat,
tabi'in ataupun yang lainnya.
5. Allah SWT telah berjanji
dalam al-Qur'an bahwa Dia akan memelihara al-Qur'an dari hal-hal yang memungkinkan
terjadinya perubahan, pergantian, dan lain-lain (Qs. Al-Hijr/15: 9) dan juga
tidak akan terjamah oleh tangan-tangan kotor atau pemalsuan-pemalsuan (Qs.
Fushshilat/41: 41-42).
6. Al-Qur'an yang merupakan
kitab samawi berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya yang mengalami
perombakan, perubahan karena tangan-tangan jahil dan tangan kotor para tokoh
kafir. Sehingga kitab-kitab samawi yang ada sekarang tidak murni lagi, berbeda
dengan al-Qur'an yang diriwayatkan secara mutawatir melalui sanad yang sahih.
Adil lagi dlabith dari generasi ke generasi berikutnya. Ia langsung diterima
oleh Nabi SAW huruf demi huruf, lafaz demi lafaz, kalimat demi kalimat. Nabi Muhammad
hanya bertugas menyampaikan kepada sahabat dan kaum muslimin di kala itu. (Qs.
Al-Maidah/5: 67)
F. Penutup
Qira’at
sebagai satu sistem bacaan menjadi sangat vital bagi para pembacanya, terlebih lagi al-Qur’an merupakan sumber pokok rujukan
dalam segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks wahyu
yang diturunkan dalam bentuk lisan, diajarkan oleh Nabi
SAW dalam cara yang sama, meski tetap ada usaha dalam
bentuk penulisan teks al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan,
metode ajar secara lisan tetap menjadi metode utama hingga saat
ini. Itulah mengapa dalam sejarahnya, al-Qur’an banyak mengalami ragam
cara baca, sesuai dengan dialek Arab
yang ada saat itu.
Jika al-Qur’an merupakan
inti ajaran Islam, maka ilmu Qira’at menjadi sebuah sunnah yang harus dipegang, sebagaimana Nabi SAW selalu menjaga
orisinalitas al-Qur’an dengan cara memanggil para sahabat
penghafal al-Qur’an untuk kemudian mengulang dan
mengingat kembali bacaannya.[14] Zaid bin Tsabit, orang yang begitu penting
dalam pengumpulan Al-Qur'an, menyatakan bahwa “al-Qira’ah sunnatun
muttaba’ah” (seni bacaan [qira'at] Al-Qur'an merupakan
sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh).[15]
Download
Download
Mushaf Qira'ah Sab'ah terdiri atas 14 macam Qira'ah menurut 14 imam, yaitu:
(1) Qalun an Nafi' (2) Warsy an Nafi' (3) Al Bazzi an Ibn Katsir (4) Qonbul anIbn Katsir (5) Ad-Duri an Abi 'Amr (6) As-Susi an Abi 'Amr (7) Hisyam an IbnAmir (8) Ibn Dzakwan an Ibn Amir (9) Syu'bah an 'Ashim (10) Hafsh an 'Ashim
(11) Kholaf an Hamzah (12) Khollad an Hamzah (13) Abu al-Harist al-Kisa'i (14)
Ad-Duri an al-Kisa'i
Bibliografi
:
Al A’zami, M. M., Sejarah
Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin
dkk, Jakarta:
Gema Insani Press, 2005.
Anonim, “Qira’atul Quran”, dalam
http://pintania.wordpress.com/qira’atul-quran, diakses pada 5 September 2010.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia,
2000.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu,
2000.
Khon, Abdul Majid, Praktikum
Qira’at; Keanehan Bacaan Al-Qur’an Qira’at Ashim dan Hafash, Jakarta:
Amzah, 2008.
Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul
Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999.
Syafruddin, Didin, “Ilmu al-Qur’an sebagai Sumber
Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, IV, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.
Thabathaba’i, MH, Mengungkap
Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani dan Hamim Ilyas, Bandung: Mizan, 1990.
[1]Anonim, “Qiraatul
Quran”, dalam http://pintania.wordpress.com/qiraatul-quran.
[4]Rosihon Anwar, Ulumul
Qur’an, Bandung:
Pustaka Setia, 2000, hlm. 110-112.
[7]Quraish Shihab, dkk. Sejarah dan
Ulumul Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 99-100.
[8]Abdul Majid Khon, Praktikum Qira’at; Keanehan Bacaan Al-Qur’an Qira’at Ashim dan
Hafash, Jakarta:
Amzah, 2008, hlm. 33-34.
[9]M. Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir,
Jakarta: Bulan
Bintang, 1992, hlm. 68. Hal ini disebabkan karena terdapat kata-kata dalam
al-Qur’an yang berasal dari bahasa lain, seperti istibraq
(Yunani), sijjil (Parsi), haunan
(Suryayi), shirath (Rum).
[10]Didin Syafruddin,
“Ilmu al-Qur’an sebagai Sumber Pemikiran” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam, IV, Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, tt, hlm. 45-47
[11]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu,
2000, hlm. 340
[12]Didin Syafruddin, op. cit.,
hlm. 47
[13]M. M. Al A’zami, Sejarah
Teks Al-Qur’an, Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Sohirin Solihin
dkk, Jakarta:
Gema Insani Press, 2005, hlm. 73.
[14]MH. Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madani
dan Hamim Ilyas, Bandung:
Mizan, 1990, hlm. 138.
[15]M. M. Al A’zami, loc. cit.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar