KEKEKALAN AKHIRAT DALAM AL-QUR'AN
(Studi Tematik dengan
Pendekatan Teologis-Filosofis)
BAB
III
MAKNA
KEKEKALAN AKHIRAT DALAM AL-QUR’AN
A. Kehidupan Akhirat dalam Al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an, dijelaskan adanya
kehidupan setelah kehidupan di dunia, yakni kehidupan akhirat. Kehidupan
akhirat ini dijelaskan dalam berbagai ayat yang tersebar di berbagai surat.
Kehidupan akhirat dimulai ketika seluruh
makhluk di alam dunia, baik penghuni langit maupun bumi, mengalami kiamat.
Secara lebih ringkas, kehidupan akhirat dimulai dari peniupan sangkakala
pertama yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia, kemudian disusul dengan
dibangkitkannya seluruh makhluk dengan peniupan sangkakala kedua. Setelah itu,
seluruh makhluk akan menjalani hisab dan mizan (penghitungan dan
timbangan amal), dan melewati shirath atau jembatan untuk menuju
tempatnya yang terakhir: antara di surga atau di neraka.
1. Pengertian
Akhirat dalam Al-Qur’an
Kata
akhirah (آخرة) disebut 115 kali di dalam al-Quran. Kata ini selalu disebut
secara tersendiri, di samping dihubungkan dengan kata dar (دار) atau nasy’ah
(نَشأَة).
Selain kata akhirah (أخرة), al-Quran juga menggunakan kata al-yaum al-akhir (اليوم الآخير)
untuk menunjuk pengertian yang sama, dan ini terulang sebanyak 26 kali. Asal
kata akhirah (آخرة) adalah al-akhir (الآخر) yang berarti lawan dari al-awwal (الأوّل)
atau “yang terdahulu”. Kata itu juga berarti “ujung dari sesuatu”, sebagaimana
ditunjukkan Qs. Yunus (10): 10 sebagai berikut:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلاَمٌ وَآَخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya
: “Doa mereka di dalamnya ialah: Subhanakallahumma, dan salam
penghormatan mereka ialah: Salam. Dan penutup do'a mereka ialah: Alhamdulilaahi Rabbil
'aalamin.”[1]
Di
samping itu, kata akhir (آخر) biasanya juga menunjuk pada jangka waktu.
Hal ini ditunjukkan oleh pengertian dari Qs. al-Hadid (57): 3 sebagai berikut:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya
: “Dialah
Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.”[2]
Penggunaan
kata akhirat di dalam al-Quran menunjuk pada pengertian alam yang akan terjadi
setelah berakhirnya alam dunia. Dengan kata lain, kata akhirat merupakan
antonim dari kata dunia. Hal ini ditunjukkan oleh Qs. al-Baqarah (2): 201 Qs.
Ali Imran (3): 152 sebagai berikut:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ
النَّارِ
Artinya : “Dan
di antara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”[3]
.... مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا
وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ اْلآَخِرَةَ ....
Artinya : “….
di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang
menghendaki akhirat ….”[4]
Sejalan
dengan pengertian asli kata akhirat, yang merupakan lawan dari yang awal,
al-Quran juga menggunakan kata al-ula (الأولى = yang pertama) untuk menunjuk pengertian
dunia. Hal ini ditunjukkan dalam ayat berikut:
فَلِلَّهِ اْلآَخِرَةُ
وَاْلأُولَى
Artinya : “Maka
hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”[5]
Selain
penggunaan kata akhirat secara langsung, al-Quran juga menggunakan istilah atau
kata lain untuk menggambarkan peristiwa dalam alam akhirat, antara lain yaum
al-qiyamah (يوم القيامة = hari kebangkitan) dalam Qs. al-Qashshash (28): 42; yaum
ad-din (يوم الدّين = hari pembalasan) dalam Qs. al-Fatihah (1): 4; as-sa‘ah
(السّاعة
= waktu) dalam Qs. al-Kahfi (18): 21; yaum al-fashl (يوم الفصل = hari
keputusan) dalam Qs. al-Mursalat (77): 14; yaum al-hisab (يوم الحساب
= hari perhitungan) dalam Qs. al-Mukmin (40): 27.
Selain
itu juga digunakan istilah yaum al-fath (يوم
الفتح = hari kemenangan) pada
Qs. as-Sajadah (32): 29; yaum al-jam‘i (يوم
الجمع = hari pengumpulan) dan yaum
at-taghabun (يوم التّغابن = hari pengungkapan kesalahan) pada Qs. at-Taghabun (64): 9; yaum
al-khulud (يوم الخلود = hari kekekalan) pada Qs. Qaf (50): 34; yaum al-khuruj
(يوم الخروج
= hari keluar) pada Qs. Qaf (50): 42; yaum ‘azhim (يوم عظيم = hari yang
besar) pada Qs. al-An‘am (6): 15; yaum kabir (يوم
كبير = hari yang besar) pada
Qs. Hud (11): 3; yaum alim (يوم اليم = hari yang menyedihkan) pada Qs. Hud
(11): 26; yaum muhith (يوم محيط = hari yang membinasakan) pada Qs. Hud
(11): 84; yaum al-hasrah (يوم الحسرة = hari penyesalan) pada Qs. Maryam (19):
39; yaum ‘aqim (يوم عقيم = hari siksaan) pada Qs. al-Hajj (22): 55; yaum azh-zhullah
(يوم الظلّة
= hari naungan) pada Qs. asy-Syu‘ara’ (26): 189; yaum al-ba‘ts (يوم البعث =
hari kebangkitan) pada Qs. ar-Rum (30): 56.
Di
samping juga digunakan istilah yaum ath-thalaq (يوم الطلاق = hari
pertemuan) dalam Qs. al-Mukmin (40): 15; yaum al-azifah (يوم الآزفة
= hari yang dekat) dalam Qs. al-Mukmin (40): 18; yaum at-tanad (يوم التّناد
= hari panggil-memanggil) dalam Qs. al-Mukmin (40): 32; Qs. al-Waqi‘ah (الواقعة =
yang pasti terjadi) dan yaum ma‘lum (يوم معلوم = hari yang dikenal) dalam Qs. al-Waqi‘ah
(56): 1 dan 50; yaum al-haqq (يوم الحقّ = hari kebenaran) dalam Qs. an-Naba’ (78):
39; al-yaum al-mau‘ud (اليوم الموعود = hari yang dijanjikan) dalam Qs. al-Buruj
(85): 2; al-qari‘ah (القارعة = bencana yang menggetarkan) dalam Qs.
al-Qari‘ah (101): 1 dan al-ghasyiyah (الغاشية = pembalasan) dalam Qs. al-Ghasyiyah (88):
1. Nama-nama lain dari hari akhirat di atas pada umumnya menggambarkan keadaan
peristiwa yang terjadi di alam tersebut.[6]
Salah
satu nama lain dari akhirat adalah hari kebangkitan (yaum al-ba‘ts).
Konsep tentang kebangkitan ini telah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam.
Kebangkitan yang dimaksud adalah kebangkitan dari kematian. Dalam al-Qur’an,
ditemukan ucapan orang kafir tentang pengingkaran terhadap gagasan kebangkitan
itu.
وَقَالُوا إِنْ هِيَ
إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
Artinya
: “Dan
tentu mereka akan mengatakan : Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja,
dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan.”[7]
إِنْ هِيَ إِلاَّ مَوْتَتُنَا
اْلأُولَى وَمَا نَحْنُ بِمُنْشَرِينَ
Artinya
: “Tidak
ada kematian selain kematian di dunia ini. Dan kami sekali-kali tidak akan
dibangkitkan.”[8]
Pengingkaran
terhadap gagasan kebangkitan tidak mungkin tanpa adanya anggapan bahwa
orang-orang kafir sejak awal memiliki konsep tentang kebangkitan. Pengingkaran
atas suatu konsep meniscayakan adanya pemahaman terhadap konsep tersebut.
Masyarakat Arab pra-Islam telah mengenal konsep tentang adanya kebangkitan itu.
Hal itu dapat diketahui melalui syair-syair Arab masa jahiliyah.
Al-Shaddakh
ibn Ya’mar, seorang penyair jahiliyah, sebagaimana dikutip Toshihiko Izutsu,
menyatakan:
اَلْقَوْمُ اَمْثَالَكُمْ
لَهُمْ شَعْرٌ * فِى الرَّأْسِ لاَ يَنْشِرُوْنَ إِنْ قُتِلُوْا
Dari
syair di atas, dapat diketahui bahwa penyair berusaha mendorong orang-orang
dari sukunya yang tidak mau menyerbu musuhnya yang kuat, dengan mengatakan
bahwa “musuh-musuh kita juga orang biasa seperti engkau, yang sama-sama
memiliki rambut di kepala, dan juga tidak akan pernah hidup kembali apabila
mereka terbunuh”. Ungkapan “mereka tidak akan pernah hidup kembali” sama sekali
tidak ada artinya dan tidak ada maknanya apabila konsep tentang kebangkitan
tidak dikenal.[9]
Salmah
al-Ju’fi, seorang penyair Mukhadram, yang meratapi kematian saudara
laki-lakinya mengatakan:
‘Aku dulu mengalami sesuatu
seperti kematian karena perpisahan pada suatu hari; bagaimana mungkin aku dapat
menahan perpisahan yang panjang yang hanya akan berakhir sehingga bertemu
kembali pada hari kebangkitan?’[10]
Dengan
demikian, gagasan tentang hari kebangkitan atau akhirat telah dikenal oleh
masyarakat Arab pra-Islam. Hal ini menunjukkan bahwa ketika al-Qur’an
menginformasikan eksistensi akhirat, maka pada umumnya masyarakat Arab telah
mengenal tentang adanya gagasan tersebut. Hanya saja orang-orang kafir di
antara mereka mengingkarinya.
2. Peristiwa-peristiwa
dalam Akhirat
Peristiwa
hari akhir atau akhirat dimulai dari peniupan sangkakala yang menyebabkan
seluruh penghuni langit dan bumi di alam dunia mengalami kematian. Hal ini
diinformasikan oleh Qs. az-Zumar (39): 68 sebagai berikut:
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ
فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ مَنْ شَاءَ اللهُ
....
Artinya : “Dan ditiuplah
sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa
yang dikehendaki Allah ….”[11]
Ath-Thabathabai
berpendapat bahwa makhluk yang dikehendaki Allah agar tidak langsung mati dalam
keterkejutan yang luar biasa dalam peniupan sangkakala yang pertama adalah
mereka yang dijelaskan oleh al-Qur’an sebagai orang-orang yang sampai akhirat
dengan membawa kebaikan.[12] Hal ini
sesuai dengan firman-Nya, “Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia
memperoleh yang lebih baik dari padanya,
sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram dari pada kejutan yang
dahsyat pada hari itu.” (Qs an-Naml [27] : 89).
Dalam
kehancuran dunia digambarkan bahwa benda-benda langit seperti matahari menjadi
padam, bintang-bintang berjatuhan, gunung-gunung dan bumi serta segala isinya
hancur pula.
إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
. وَإِذَا النُّجُومُ انْكَدَرَتْ . وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ .
Artinya : “Apabila
matahari digulung dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila
gunung-gunung dihancurkan”[13]
Setelah
itu, seluruh makhluk yang telah mati akan dibangkitkan kembali dengan peniupan
sangkakala kedua. Al-Qur’an menjelaskannya sebagai berikut:
.... ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى
فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُون
Artinya : “….
kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri
menunggu .”[14]
Setelah
seluruh makhluk dibangkitkan kembali dengan peniupan sangkakala yang kedua,
maka mereka akan digiring untuk berkumpul di padang mahsyar. Al-Qur’an
menggambarkan keadaan mereka ketika dikumpulkan di padang mahsyar tersebut.
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ
وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ
إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ . وَأَمَّا الَّذِينَ
ابْيَضَّتْ وُجُوهُهُمْ فَفِي رَحْمَةِ اللَّهِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya : “Pada hari yang di waktu
itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun
orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): Kenapa kamu
kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu
itu. Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam
rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.”[15]
Tujuan
mereka dikumpulkan adalah untuk dihisab, yakni dihitung atau ditimbang seluruh
amal perbuatannya ketika hidup di dunia.[16] Saat
itu, bumi menjadi saksi atas segala peristiwa yang pernah terjadi di atasnya.
Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an:
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ
أَخْبَارَهَا
Artinya : “Pada
hari itu bumi menceritakan beritanya.”[17]
Dalam
sebuah hadits dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa pada saat Rasulullah
membaca ayat di atas, maka para sahabat ditanya tentang apa yang akan
diberitakan oleh bumi. Para sahabat menjawab bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui. Maka Rasulullah bersabda:
فَإِنَّ أَخْبَارَهَا
أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ وَ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا تَقُوْلُ:
عَمِلَ يَوْمَ كَذَا كَذَا وَكَذَا فَهَذِهِ اَخْبَارُهَا
Artinya
: “Maka
sesungguhnya yang diberitakan bumi adalah bahwa dia akan menjadi saksi atas
setiap hamba lelaki dan wanita, perihal apa yang dilakukan di atas punggungnya
(bumi); dia berkata: Dia berbuat demikian dan demikian pada hari demikian.
Begitulah beritanya.”[18]
Seperti
halnya bumi yang akan menceritakan setiap perbuatan yang dilakukan di atasnya,
begitu pula dengan lidah, tangan, kaki, dan kulit manusia akan menjadi atas
perbuatan dirinya sendiri.
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ
أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ . يَوْمَئِذٍ
يُوَفِّيهِمُ اللهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ
Artinya
: “Pada
hari lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang
dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag
setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar,
lagi yang menjelaskan.”[19]
Ketika
itu, catatan amal perbuatan manusia diperlihatkan kepadanya untuk menjadi
penghisab atas dirinya sendiri. Al-Qur’an menjelaskannya sebagai berikut:
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ
طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا
. اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Artinya
: “Dan
tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya
pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri
pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.”[20]
Orang
yang baik catatan amalnya akan mendapatkan kebajikan dan dihadapkan di
depannya, sementara orang yang buruk catatan amalnya juga akan mendapatkan
keburukan.
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ
نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ
أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ ....
Artinya : “Pada hari ketika
tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga)
kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan
hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya
….”[21]
Selain itu,
pada hari akhirat juga akan dilakukan penimbangan amal. Timbangan tersebut
adalah kebenaran atau keadilan. Bagi mereka yang berat timbangannya, merekalah
yang beruntung. Dan bagi mereka yang ringan timbangannya, merekalah yang rugi
karena akan berada dimasukkan ke dalam neraka.
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ
الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : “Timbangan pada hari
itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[22]
وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ
فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
Artinya : “Dan barangsiapa yang
ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya
sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.”[23]
Setelah
dilakukan hisab dan penimbangan amal, maka dapat ditentukan orang-orang yang
akan menerima balasan surga dan neraka. Untuk mencapai tempat tujuannya, maka
orang-orang itu akan melewati sebuah jalan atau shirath. Shirath
ini adalah jalan yang terbentang di atas punggung neraka jahannam. Semua
makhluk, yang baik atau yang durhaka, akan melewatinya. Kemudian Allah akan
menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zhalim
terjerumus ke dalamnya dalam keadaan takut yang mencekam serta kehinaan yang
meliputi jiwa mereka.[24] Hal ini
sebagaimana diinformasikan oleh al-Qur’an sebagai berikut:
احْشُرُوا الَّذِينَ
ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ . مِنْ دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ
إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ
Artinya : “Kumpulkanlah orang-orang
yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembahan-sembahan yang selalu
mereka sembah, selain Allah; maka tunjukkanlah kepada mereka jalan (shirath)
ke neraka.”[25]
Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, diterangkan bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
....
يُضْرَبُ الصِّرَاطُ بَيْنَ ظَهْرَانَىْ جَهَنَّمَ فَأَكُوْنُ أَوَّلَ مَنْ يُجُوْزُ
مِنَ الرُّسُلِ بِأُمَّتِهِ وَلاَ يَتَكَلَّمُ يَوْمَئِذٍ أَحَدٌ إِلاَّ الرُّسُلُ. وَكَلاَمُ الرُّسُلُ يَوْمَئِذٍ: اَللَّهُمَّ سَلِّمْ
سَلِّمْ
Artinya : “…. dipasanglah
shirath di antara kedua punggung jahannam. Maka aku adalah orang yang
pertama-tama melewatinya di antara para rasul dan umatnya. Pada hari itu tak
ada seorang pun yang berbicara kecuali para rasul. Adapun ucapan para rasul itu
ialah: Allahumma sallim sallim (Ya Allah selamatkanlah umatku,
selamatkanlah umatku).”[26]
Maka
Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa serta membiarkan orang-orang yang
zhalim jatuh ke dalam neraka. Ayat berikut menjelaskan hal tersebut:
ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ
اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا
Artinya : “Kemudian Kami akan
menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan
berlutut.”[27]
3. Surga dan
Neraka
Setelah
masing-masing melewati shirath, maka orang-orang yang celaka akan
memasuki neraka, sementara orang-orang yang beruntung akan memasuki surga.
Penghuni neraka adalah orang-orang kafir dan musyrik, sedangkan penghuni surga
adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Al-Qur’an menjelaskan hal
itu sebagai berikut:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ
هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ . إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ
هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ . جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ....
Artinya : “Sesungguhnya
orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke
neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya ….”[28]
Dinyatakan
dalam al-Qur’an bahwa pahala surga disediakan bagi mereka yang memenuhi
beberapa hal, yakni 1) melakukan shalat dan melakukannya dengan baik, 2) yang
dalam harta kekayaannya tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta
dan orang yang tidak mampunyai apa-apa, 3) yang mempercayai hari pembalasan, 4)
yang takut terhadap adzab Tuhannya, 5) yang memelihara kemaluannya, 6) yang
memelihara amanat-amanat dan janjinya, dan 7) yang memberikan kesaksiannya. Beberapa
kriteria tersebut dapat dilihat dalam Qs. al-Ma’arij (70) : 22-35 sebagai
berikut:
إِلاَّّ الْمُصَلِّينَ
. الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ دَائِمُونَ . وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ
مَعْلُومٌ . لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ . وَالَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ
. وَالَّذِينَ هُمْ مِنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ . إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ
غَيْرُ مَأْمُونٍ . وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ . إِلاَّّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ . فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ ِلأَمَانَاتِهِمْ
وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ . وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ أُولَئِكَ فِي
جَنَّاتٍ مُكْرَمُونَ
Artinya : “Kecuali
orang-orang yang mengerjakan salat, yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya,
dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang
yang takut terhadap azab Tuhannya. Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak
dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara
salatnya. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.”[29]
Sedangkan
dalam ayat lain, ditambahkan adanya kesabaran dalam mencari ridha Allah Swt, seperti
terlihat dalam potongan ayat berikut:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا
ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ ... أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى
الدَّارِ . جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا....
Artinya : “Dan
orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya … orang-orang itulah
yang mendapat tempat kesudahan surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya .…”[30]
Dalam
al-Qur’an, orang-orang yang memasuki surga disebut sebagai ashhab al-yamin
(golongan kanan). Mereka akan mendapatkan berbagai kenikmatan yang disediakan
karena iman dan amal baik mereka. Al-Qur’an menjelaskan berbagai kenikmatan
yang didapat oleh mereka sebagai berikut:
وَأَصْحَابُ الْيَمِينِ
مَا أَصْحَابُ الْيَمِينِ . فِي سِدْرٍ مَخْضُودٍ . وَطَلْحٍ مَنْضُودٍ . وَظِلٍّ مَمْدُودٍ
. وَمَاءٍ مَسْكُوبٍ . وَفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ . لاَ مَقْطُوعَةٍ وَلاَ مَمْنُوعَةٍ
. وَفُرُشٍ مَرْفُوعَةٍ
Artinya : “Dan
golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon
bidara yang tidak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), dan
naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang
banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya, dan
kasur-kasur yang tebal lagi empuk. ”[31]
يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِكَأْسٍ مِنْ مَعِينٍ . بَيْضَاءَ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ
. لاََ فِيهَا غَوْلٌ وَلَا هُمْ عَنْهَا يُنْزَفُونَ . وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ
عِينٌ
Artinya : “Diedarkan
kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir. (Warnanya)
putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar
itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya. Di sisi mereka ada
bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya.”[32]
Sedangkan
penghuni neraka adalah mereka yang tidak memiliki sifat-sifat ‘positif’, atau
bahkan memiliki ciri-ciri yang sangat berlawanan dengan sifat-sifat baik. Dan
orang-orang kafir adalah golongan yang berada dalam rombongan paling depan yang
memasuki jahannam.[33]
وَلِلَّذِينَ كَفَرُوا
بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Artinya : “Dan
orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, memperoleh azab Jahanam. Dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.”[34]
Di
antara sifat-sifat orang kafir yang dimasukkan ke dalam neraka adalah karena
kesombongan dan kefasikan yang mereka lakukan ketika di dunia. Mereka
senantiasa membangkang terhadap perintah Allah sehingga ditimpakan atas mereka
adzab yang menghinakan.
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ
كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ
بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي
اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ
Artinya : “Dan
(ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka
dikatakan): Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan
duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini
kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri
di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.”[35]
Penghuni
neraka akan memperoleh berbagai macam siksaan yang pedih. Dalam al-Qur’an,
mereka disebut sebagai ashhab asy-syimal (golongan kiri). Ayat berikut
menjelaskan hal tersebut:
وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ
مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ . فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ . وَظِلٍّ مِنْ يَحْمُومٍ . لاَ بَارِدٍ وَلاَ كَرِيمٍ
Artinya : “Dan
golongan kiri, siapakah golongan kiri itu. Dalam (siksaan) angin yang amat
panas dan air yang panas yang mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam.
Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.”[36]
إِنَّا أَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ سَلاَسِلَ وَأَغْلاََلاًً وَسَعِيرًا
Artinya : “Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu
dan neraka yang menyala-nyala.”[37]
Begitu
banyak kengerian siksaan yang didapat oleh penghuni neraka, bahkan mereka akan
kekal di dalam siksaan itu. Al-Qur’an berulangkali menjelaskan kekekalan
neraka, antara lain dalam ayat berikut:
....
مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيئَتُهُ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya : “…. barangsiapa berbuat
dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.”[38]
B.
Kekekalan
Allah dan Kekekalan Akhirat
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah adalah
Dzat yang tidak memiliki sekutu, tidak ada yang sebanding dengan-Nya, dan Dia
tidak ada yang patut disembah selain-Nya. Allah berfirman:
.... لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya
: “…. tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.[39]
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
Artinya
: “Tuhan (yang menguasai) langit dan
bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh
hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang
sama dengan Dia (yang patut disembah)?”[40]
Namun, dalam al-Qur’an, Allah
menjelaskan sifat beberapa makhluk Allah yang kekal. Hal ini tampak pada
beberapa ayat tentang kekekalan surga dan neraka. Pada penjelasan selanjutnya
akan dibahas mengenai perbedaan keduanya, baik dari sudut pandang al-Qur’an maupun
tinjauan teologis-filosofisnya. Namun sebelum itu, akan dikupas terlebih dulu
mengenai kekekalan Allah sehingga didapat beberapa pertimbangan dan
perbandingan dalam memaknai kekekalan akhirat.
1.
Kekekalan
Allah
Al-Qur’an menggunakan setidaknya dua redaksi
dalam menjelaskan kekekalan Allah, yakni baqa’ (بقاء) dan hayy
(حيّ).
Kata (بقاء)
berarti kekal sebagai lawan dari musnah, sedangkan hayy (حىّ)
berarti hidup sesungguhnya, yakni hidup kekal.
Dalam ayat berikut, dijelaskan bahwa
segala sesuatu yang ada di bumi akan musnah, sedangkan Dzat Allah sajalah yang
kekal.
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ . وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ
ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Artinya : “Semua
yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.”[41]
Meskipun ayat tersebut berbicara tentang kebinasaan bumi,
tapi yang dimaksud adalah kebinasaan alam. Sebab dalam ayat lain juga
disinggung tentang kebinasaan segala sesuatu, dan bagi Allah saja segala
penentuan waktu kebinasaannya. Ayat berikut menjelaskan hal tersebut:
.... كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ
وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya : “….
tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan,
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”[42]
Penjelasan tersebut didukung oleh asbab an-nuzul Qs.
al-Qashash (28) : 28, yakni ketika Allah berfirman “kullu man alaiha fan”
(semua yang ada di bumi itu akan binasa), maka malaikat berkata: rusaklah
penghuni bumi. Dan malaikat berharap dengan bangga akan berada dalam kekekalan.
Maka Allah menyatakan bahwa penghuni langit dan bumi akan mati. Dan Dia
berfirman, “Tiap-tiap sesuatu dari kehidupan akan rusak, yakni mati, kecuali
Dzat Allah yang Hidup dan tidak mati. Maka kemudian malaikat yakin akan
kematian.[43]
Dzat sekaligus sifat Allah yang kekal, tidak dapat dibantah
oleh argumentasi apapun. Ini adalah sebuah kenyataan dan kebenaran hakiki.
Sebab jika ada sesuatu yang memiliki kualitas sebagaimana Allah, hal tersebut
tidak dapat diterima. Yusuf Qaradhawi menyatakan bahwa keimanan kepada
eksistensi Allah dan keesaan-Nya harus disertai keimanan bahwa Allah Swt
memiliki sifat kesempurnaan yang pantas sesuai dengan Dzat-Nya Yang Maha Kekal,
suci dari segala kehancuran.[44]
Sedangkan dalam redaksi al-hayy (الحيّ),
lebih berbicara mengenai kekhususan sifat Allah yang Hidup Kekal. Dalam
al-Qur’an, kata ini hanya digunakan untuk menyifati Allah.
Maksud kata al-hayy (الحيّ)
adalah Dzat yang memiliki kehidupan hakiki yang tidak berasal dari dzat lain,
yaitu kehidupan yang sempurna dan abadi, yang tidak akan berakhir dan tidak
hilang, baik di awal maupun di akhir.
Al-Qurthubi mengutip pendapat Qatadah
yang menyatakan, (الحيّ) adalah Dzat yang tidak mati; dan Imam as-Suddi yang
berpendapat, “Maksud (الحيّ) adalah (الباقى) Yang
Maha Abadi.[45]
Al-Hafizh Ibn Katsir mengatakan maksud (الحيّ)
adalah “Yang Maha Hidup dalam diri-Nya yang tidak akan mati selama-lamanya.[46]
Sedangkan al-Imam ath-Thabari
berpendapat bahwa (الحيّ) artinya adalah Dzat yang memiliki kehidupan yang kekal abadi
yang tidak ada batasan awalnya dan tidak ada ujung penghabisannya. Selain Dia,
meskipun memiliki kehidupan, tetapi kehidupan yang memiliki batasan awal dan
akhir, yang akan berhenti jika habis masanya dan akan selesai pada batas akhir
kehidupannya.[47]
Dengan kata lain, Allah adalah Dzat Yang Awal dan Yang Akhir, tidak
berpermulaan dan tidak berakhir. Dia berfirman:
هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلآَخِرُ
وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir
dan Yang Bathin ; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”[48]
Yang dimaksud Yang Awal adalah yang
telah ada sebelum segala sesuatu ada. Sedangkan Yang Akhir adalah yang tetap
ada setelah segala sesuatu musnah.
Kehidupan yang azali, kekal, dan abadi
hanya dimiliki oleh Allah. Segala sesuatu selain Dia, siapa pun dia, pasti akan
mati dan binasa. Kenyataan ini telah ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat
al-Qur’an. Di antaranya adalah sebagai berikut:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ
أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ....
Artinya : “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu…”[49]
Kalau saja ada salah seorang di antara
makhluk yang kekal dan abadi, sudah pasti yang paling pantas mendapatkannya
adalah pemimpin semua makhluk yang awal dan yang akhir, yaitu Muhammad Saw.
Akan tetapi, kenyataannya, beliau juga mengalami kematian dan tidak kekal.[50]
Meskipun derivasi kata hayy (حيّ) ini
juga digunakan untuk selain Allah, tetapi hal tersebut hanya berhenti pada
pengertian kehidupan yang tidak kekal. Misalnya ketika al-Qur’an menjelaskan
tentang kehidupan dunia yang tidak kekal sebagai berikut:
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا
نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ
عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّونَ
Artinya : “Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain
hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang
akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”[51]
Dengan demikian, kekekalan Allah adalah
kebenaran mutlak yang tidak diragukan lagi. Meski terdapat beberapa ayat yang
berbicara mengenai kehidupan akhirat yang kekal, namun kekalnya akhirat
tersebut tidak sebanding dengan kekekalan Allah. Sebab Allah tidak memiliki
sekutu, baik dalam sifat-sifat uluhiyah maupun rububiyah-Nya.
2.
Kekekalan
Akhirat
Akhirat dalam al-Qur’an disifati oleh
Allah sebagai negeri yang kekal. Banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang
hal itu. Di antaranya adalah sebagai berikut:
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ....
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan-amalan yang saleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang
di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya ….”[52]
وَعَدَ اللهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ
وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا هِيَ حَسْبُهُمْ وَلَعَنَهُمُ اللهُ
وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ
Artinya : “Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki
dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di
dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi
mereka azab yang kekal.”[53]
Ayat di atas dengan gamblang menjelaskan
kekalnya surga dan kenikmatannya serta kekalnya neraka dan siksanya. Dalam ayat
di atas, digunakan redaksi khalidin, abada, dan muqim.
Ketiga redaksi tersebut mengandung pengertian kekal, selama-lamanya. Ini
berarti bahwa surga dan neraka, menurut informasi al-Qur’an, adalah kekal.
Selain itu, dalam beberapa ayat yang
lain, digunakan makna serupa namun dalam redaksi yang berbeda. Seperti misalnya
akhirat disebut al-Qur’an sebagai dar al-qarar atau negeri yang kekal.
Kata qarar ini berarti tetap, stabil, tidak berubah. Jadi, negeri akhirat
merupakan sebuah negeri yang selalu tetap keadaannya dan tidak mengalami
perubahan.
يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
مَتَاعٌ وَإِنَّ اْلآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
Artinya : “Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah kesenangan dan sesungguhnya
akhirat itulah negeri yang kekal.”[54]
Selain
itu, penyebutan akhirat sebagai negeri yang kekal juga ditunjukkan
dengan redaksi dar al-muqamah. Hal ini untuk menunjukkan bahwa segala
kenikmatan dalam surga di akhirat bersifat kekal. Allah berfirman dalam Qs.
Fathir (35) : 35 sebagai berikut:
الَّذِي أَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهِ
لاَ يَمَسُّنَا فِيهَا نَصَبٌ وَلاَ يَمَسُّنَا فِيهَا لُغُوبٌ
Artinya : “Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal
(dar al-muqamah) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah
dan tiada pula merasa lesu”[55]
Ayat di atas turun berkaitan dengan
pertanyaan seorang laki-laki kepada Nabi. Dia bertanya, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya tidur itu adalah kenikmatan dari Allah di dunia ini. Adakah nanti
di surga kita tidur? Rasulullah menjawab, Tidak ada! Karena tidur itu kawannya
mati, dan di surga tidak ada mati ….”[56]
Dalam sebuah hadits dari Ummu Salamah,
diriwayatkan bahwa ketika dia bertanya kepada Rasulullah Saw tentang sifat
bidadari di surga, Nabi menjawab: “Mereka (para bidadari) berkata : Kami ini
kekal dan tidak akan mati selama-lamanya. Kami akan selalu merasakan nikmat dan
tidak akan pernah bersedih (putus asa). Kami akan tetap tinggal di sini dan
tidak akan pergi ….”[57]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Abdullah ibn Umar bahwa dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah
bersabda, ‘Allah memasukkan ahli surga ke dalam surga dan ahli neraka ke dalam
neraka, kemudian seorang penyeru yang berdiri di antara mereka berkata, ‘Wahai
ahli surga! Kamu tidak akan mati. Wahai ahli neraka! Kamu juga tidak akan mati,
masing-masing kekal di tempat mereka’.”[58]
Abu Hurairah meriwayatkan sebuah hadits
bahwa Rasulullah bersabda, “Dikatakan kepada ahli surga: kalian akan kekal,
tidak akan mati. Dan kepada ahli neraka: kalian akan kekal, tidak akan mati.”[59]
Diriwayatkan dari Abdullah ibn Umar
bahwa Nabi bersabda, “Ketika ahli surga menuju surga dan ahli neraka menuju
neraka, didatangkan kematian di antara mereka, kemudian kematian itu
disembelih. Lalu seorang penyeru menyeru kepada ahli surga: tidak ada kematian,
dan kepada ahli neraka: tidak ada kematian. Maka ahli surga bertambah
kegembiraannya dan ahli neraka bertambah kesedihannya.”[60]
Abu Laits as-Samarqandi dalam Tanbih
al-Ghafilin meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Nabi bersabda, “Didatangkan
maut seperti kambing kibas (belang). Maka dikatakan: Wahai ahli surga, kenalkah
kalian dengan maut itu? Mereka melihatnya dan mengenalinya. Dan dikatakan:
Wahai ahli neraka, kenalkah kalian dengan maut itu? Mereka melihatnya dan
mengenalinya. Kemudian maut itu disembelih di antara surga dan neraka dan
dikatakan: Wahai ahli surga, kalian akan kekal tidak akan mati. Dan dikatakan:
Wahai ahli neraka, kalian akan kekal tidak akan mati.”[61]
Berangkat dari pandangan di atas, dapat
disimpulkan bahwa akhirat termasuk makhluk Allah yang ditetapkan oleh-Nya agar
tetap kekal dan tidak rusak. Pengertian ini diperoleh dari banyaknya ayat dan
hadits yang menegaskan tentang hal itu. Keyakinan ini telah menjadi kesepakatan
para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah disertai argumen-argumen teologisnya.
Hal ini dapat dilihat dari pendapat
Syeikh Abd al-Qadir al-Jailani yang menyatakan bahwa surga dan neraka adalah
makhluk; keduanya adalah tempat yang disediakan Allah untuk hamba-Nya. Sejak
diciptakan, surga dan neraka ini, dengan kehendak Allah, akan menjadi kekal
selama-lamanya dan tidak akan pernah berakhir.[62]
Al-Qahtani mengutip pendapat Imam Ahmad
yang menyatakan bahwa neraka dan isinya telah diciptakan, demikian juga dengan
surga. Allah menciptakan keduanya kemudian menciptakan penghuninya. Keduanya
bersifat tidak rusak dan abadi. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah, ada
yang hancur dan ada yang abadi. Surga dan neraka termasuk makhluk Allah yang
diciptakan untuk diabadikan, bukan dihancurkan. Dan keduanya termasuk dalam
alam akhirat, bukan alam dunia.[63]
Imam Ahmad juga menyatakan bahwa dalam
Al-Qur’an, Allah menginformasikan
tentang surga dan kekekalan penghuninya di dalamnya dalam beberapa ayat. Adapun
langit dan bumi akan lenyap dan penghuninya akan memasuki surga. Sedangkan
‘Arsy adalah kekal dan tidak lenyap sebab berfungsi sebagai atap atau langit
surga. Allah berada di atasnya dan tidak rusak selama-lamanya.[64]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa telah
terjadi kesepakatan di antara para salaf umat ini dan imam-imamnya serta
pengikut Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa ada di antara makhluk Allah yang tidak
rusak dan tidak binasa seluruhnya, seperti surga, neraka, ‘Arsy dan sebagainya.[65]
Ibrahim ibn Muhammad al-Baijuri ketika
mengomentari ayat kullu syai’in halikun illa wajhah (كلّ شيئ هالك الاّ وجهه)
selanjutnya menyatakan bahwa jika Allah mengadakan pengecualian terhadap
kerusakan Dzat-Nya melalui ayat tersebut, maka para ulama dengan berpedoman
dengan hadits-hadits Nabi, juga menetapkan pengecualian tersebut terhadap ruh,
mukjizat, jasad para Nabi dan syuhada’, ‘Arsy, Kursi, surga, neraka, bidadari,
dan semisalnya.[66]
Selanjutnya, al-Baijuri mengutip
Jalaluddin as-Suyuthi dalam syairnya:
ثَمَانِيَةٌ حُكْمُ الْبَقَاءِ
يَعُمُّهَا * مِنَ الْخَلْقِ
وَالْبَاقُوْنَ فِى حَيْزِ الْعَدَمِ
هِيَ الْعَرْشُ وَالْكُرْسِىُّ نَارٌ
وَجَنَّةٌ * وَعَجْبٌ وَاَرْوَاحٌ كَذَا اللَّوْحُ وَالْقَلَمُ
“Ada delapan makhluk yang dilingkupi
status kekal, sementara sisanya masuk ke dalam kebinasaan. Yaitu ‘Arsy, Kursi,
Neraka, Surga, Mukjizat, Ruh, Lauh, dan Qalam.”[67]
Ibrahim
al-Liqani menolak pandangan Kaum Jahmiyah yang menyatakan tentang kefanaan
surga dan neraka serta penghuni keduanya. Mereka kafir karena menyalahi
al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, surga adalah tempat yang kekal bagi
orang-orang yang beruntung, yakni orang yang mati dalam keadaan Islam, meskipun
sebelumnya kafir. Orang mukmin yang berbuat maksiat, tempat kekekalan mereka
adalah surga; mereka tidak kekal di dalam neraka meski memasukinya.[68]
C.
Konsep
Kekekalan Akhirat
Meski telah ditegaskan berulangkali oleh
al-Qur’an dan didukung dengan beberapa hadits yang menyatakan kekekalan
akhirat, namun hal itu masih memerlukan kajian yang lebih mendalam mengenai
makna kekalnya akhirat dalam al-Qur’an. Hal ini mengingat dalam sejumlah ayat,
ditemukan redaksi dengan pemahaman yang agak berbeda. Dengan demikian, perlu
adanya penafsiran ulang terhadap ayat-ayat tersebut serta hakikat kekekalan
akhirat melalui cara kerja tematik. Tetapi terlebih dahulu akan disajikan
beberapa pandangan yang berbeda mengenai kekekalan akhirat.
1.
Kontroversi
Kekekalan Akhirat
Dalam al-Qur’an, dari sekian banyak ayat
al-Qur’an yang menyatakan tentang kekalnya surga dan neraka atau akhirat,
ditemukan celah-celah ayat lainnya yang mengisyaratkan adanya pemahaman yang
berbeda. Beberapa ayat tersebut sebagaimana disebutkan di bawah ini:
Pertama,
dalam Qs. al-An’am (6) : 128 yang menyatakan bahwa neraka adalah tempat tinggal
yang kekal, kecuali Allah menghendaki yang lain. Allah berfirman:
.... قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا
إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
Artinya : “…. Allah berfirman: Neraka itulah tempat diam
kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang
lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”[69]
Kedua, dalam Qs. Hud
(11) : 106-108 disebutkan bahwa surga dan neraka bersifat kekal, kecuali Allah
menghendaki yang lain. Allah berfirman:
فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا
زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ . خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ إِلاَّ
مَا شَاءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ . وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا
فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ إِلاَّ مَا
شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ
Artinya : “Adapun orang-orang yang celaka, maka
(tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas
(dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali
jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pelaksana
terhadap apa
yang
Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam
surga mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”[70]
Dalam tafsir al-Maraghi, redaksi madamat
al-samawat wa al-ardl (مادامت السموات والارض) dimaknai bahwa manusia yang celaka,
ditempatkan tinggal di dalam neraka selama-lamanya, seabadi langit yang
menaungi mereka, dan bumi yang menjadi pijakan mereka. Maksudnya adalah bahwa
mereka tinggal dalam neraka secara abadi, tidak ada kesudahannya.[71] Jadi,
seperti halnya orang mengatakan: “Saya tidak akan melakukannya selagi
bintang-bintang masih kelihatan, fajar masing menyingsing, dan merpati masih
bernyanyi.”
Sedangkan Rasyid Ridha menyatakan redaksi madamat
al-samawat wa al-ardl (مادامت
السموات والارض) dimaknai bahwa mereka akan kekal dengan masa kekekalan langit yang menaungi
mereka dan bumi tempat berpijak mereka di akhirat. Ini semakna dengan firman
Allah dalam ayat yang lain, “Mereka kekal di dalamnya selamanya” (Qs.
an-Nisa [4] : 57). Ungkapan redaksi ini menolak pengertian bahwa langit dan
bumi yang dimaksud adalah langit dan bumi yang ada di dunia. Sebab keduanya
akan akan diganti dan musnah dengan datangnya hari kiamat.[72]
Senada dengan Rasyid Ridha, al-Alusi
berpendapat bahwa langit dan bumi yang dimaksud dalam ayat di atas adalah
langit dan bumi yang ada di akhirat, sehingga bersifat kekal.[73] Hal ini
sesuai dengan firman Allah:
يَوْمَ تُبَدَّلُ اْلأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
....
Artinya : “Pada hari (ketika) bumi
diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit ….”[74]
Adapun langit dari ahli surga dan neraka
adalah apa saja yang di atas mereka, sedangkan bumi adalah apa saja yang di
bawah mereka, yakni tempat tinggal mereka. Ibn Abbas as-Sady dan al-Hasan
mengatakan, “Segala sesuatu mempunyai bumi dan langit.”[75]
Sedangkan pada redaksi illa ma sya’a
rabbuk (الاّ ما شاء ربّك), al-Maraghi berpendapat bahwa keabadian akhirat tetap akan
berlangsung, kecuali ada perubahan yang dikehendaki Allah mengenai tatanan ini
pada tahapan selanjutnya, karena keabadian itu dibuat dengan kehendak Allah
juga. Maka, kelangsungannya pun dengan kehendak Allah pula.[76]
Ketiga, disebutkan
dalam Qs. an-Naba’ (78) : 21-23 yang menyatakan bahwa penghuni neraka akan
tinggal di dalam neraka berabad-abad lamanya. Allah berfirman:
لَابِثِينَ فِيهَا أَحْقَابًا
Artinya : “Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad
lamanya”[77]
Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan
bahwa kata ahqaba adalah jamak dari huqub (حقب) yang masih
memiliki bentuk tunggal hiqbah (حقبة), yang berarti “masa yang belum diketahui
batasnya”.[78]
Mutammim ibn Nuwairah, seorang penyair Arab, menunjukkan arti hiqbah
sebagai masa yang seakan-akan tidak ada ujungnya. Dia berkata dalam syairnya:
وَكُنَّا كَنَدْمَانَىْ جَذِيْمَةٍ
حِقْبَةً * مِنَ الدَّهْرِ
حَتَّى قِيْلَ اَيْنَ تَتَصَدَّعَا
فَلَمَّا
تَفَرَّقْنَا كَأَنِّى وَمَالِكًا * لِطُوْلِ اجْتِمَاعٍ لَمْ نَبِتْ
لَيْلَةً مَعًا
“Kami
berdua bagaikan dua orang pecandu (kampung) Jadzimah yang berada dalam suatu
masa yang seakan-akan kami tidak pernah berpisah. Tetapi setelah kami berpisah,
seakan-akan saya dan Malik, karena lamanya berkumpul bersama, tidak tidur
semalam suntuk”[79]
Namun ada juga pendapat yang menyatakan
bahwa kata ahqaba (احقابا) adalah jamak dari huqban (حقبا) yang berarti masa yang tidak ada
akhirnya.[80]
Selain itu, dalam beberapa riwayat
sahabat, tabi’in, dan imam-imam salaf yang mengisyaratkan ketidakkekalan
neraka. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam Syifa al-‘Alil meriwayatkan dari
al-Hasan bahwa Umar ibn al-Khathab berkata, “Seandainya ahli neraka tinggal di
neraka selama sebanyak bilangan pasir di padang Alij, niscaya ada kesempatan
bagi mereka untuk keluar (dari neraka).”[81]
Menurut Ibn Taimiyah, al-Hasan tidak
mendengar langsung atsar di atas dari Umar. Namun, jika memang perkataan ini
tidak sahih, tentu para imam tidak akan menyebarluaskannya, mengingat ucapan
tersebut menyimpang dari ijma’, kitab, dan sunnah.”[82]
Ibn Mas’ud berkata, “Sungguh akan datang
pada mereka Jahanam suatu waktu yang ketika tidak ada seorang pun di dalamnya.
Dan ini terjadi setelah mereka tinggal di sana selama berabad-abad.” Pendapat
serupa juga diriwayatkan dari Abdullah ibn Amr ibn Ash. Sedangkan Abu Hurairah berkata,
“Sesungguhnya akan datang pada Jahanam suatu hari yang pada saat itu sudah
tidak ada seorang pun di dalamnya.”[83]
Asy-Sya’bi berkata, “Jahanam itu adalah
yang paling ramai di antara dua tempat (surga dan neraka) dan yang paling cepat
sunyi/kosong.” Abu Mijlaz berkata tentang neraka, “Balasan bagi yang
bersangkutan; jika Allah menghendaki, dia dilepaskan dari adzabnya.”[84]
Ibn
al-Qayyim al-Jauziyah dalam Al-Wabil ash-Shaib mengatakan bahwa manusia
terdiri dari tiga tingkatan: yaitu orang yang baik yang sedikit dikotori oleh
keburukan, orang jahat yang tidak ada kebaikan padanya, dan orang yang ada
kebaikan dan keburukan pada dirinya.
Oleh
karena itu, menurutnya, tempat mereka pun terbagi menjadi tiga: kampung yang
khusus bagi orang-orang baik, kampung yang khusus bagi orang-orang jahat, dan kedua kampung ini tidak rusak, serta kampung
bagi orang-orang yang pada dirinya terdapat kebaikan dan keburukan. Kampung
inilah yang nantinya akan binasa (rusak). Yaitu kampung orang-orang mukmin yang
berbuat maksiat, karena orang-orang bertauhid yang berbuat maksiat tidak abadi
di dalam neraka. Setelah itu, mereka dimasukkan ke dalam surga. Tidak abadi
kecuali kampung orang-orang yang baik sekali atau kampung orang-orang yang
buruk sekali.[85]
Jadi,
menurut al-Jauziyah, di akhirat terdapat surga dan neraka yang kekal dan tidak
kekal. Surga dan neraka yang kekal diperuntukkan bagi orang-orang yang baik
sekali atau buruk sekali. Sedangkan surga dan neraka yang tidak kekal
diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki kebaikan dan keburukan, yakni
orang mukmin yang berbuat maksiat (fasiq).
2.
Tinjauan Teologis-Filosofis
Kekekalan Akhirat
Allah merupakan sebuah realitas yang
azali dengan arti bahwa Dia telah ada “sejak awal” dan tidak ada suatu “masa”
sebelumnya dimana Allah tidak berwujud. Pada sisi lain, Allah juga merupakan
realitas yang abadi yaitu pada “masa mendatang” Dia tidak akan pernah tiada
atau punah. Dengan kata lain, baik pada “masa lampau” maupun “masa mendatang”
Allah tidak akan pernah tiada yaitu senantiasa berwujud. Dia memiliki sifat qadim
sejak azali dan akan selalu memilikinya di masa mendatang.
Selain penggunaan kata azali dan abadi,
juga digunakan kata qadim (eternal) dan baqi (the
continuant, kekal). Selain itu digunakan juga istilah sarmadi (eternal,
sempiternal) yang para teolog mengartikannya sebagai sifat yang
terkomposisi dari dua sifat azali dan abadi; dan berdasarkan hal ini, realitas
eternal adalah suatu realitas yang senantiasa ada pada setiap masa baik masa
lampau, masa kini maupun masa mendatang.[86]
Terdapat dua perbedaan pandangan dan
interpretasi tentang keazalian dan keabadian Allah di kalangan teolog Islam. Pertama,
bahwa Allah ada pada setiap masa. Dia ada pada masa lampau, sekarang dan masa
mendatang. Interpretasi ini memiliki makna bahwa Allah adalah suatu realitas
yang berada pada zaman dan terbatas pada zaman. Kedua, bahwa Allah lebih
luas dari zaman, Dia meliputi dan mencipta zaman. Pandangan tentang keabadian
Allah harus dimaknai bahwa Dzat Allah di atas zaman, meliputi realitas zaman,
dan senantiasa berwujud.[87]
Hal tersebut berbeda dengan keabadian
atau kekekalan makhluk. Makhluk yang bersifat huduts (baru) jelas tidak
sama dengan Allah Yang Qadim. Sedangkan segala sesuatu yang huduts
akan kembali pada sifat aslilnya, yakni berasal dari ketiadaan dan akan kembali
menuju ketiadaan.
Akhirat yang termasuk makhluk Allah yang
bersifat huduts juga akan mengalami hal yang sama. Ia akan kembali
kepada ketiadaan ketika Allah menghendakinya demikian. Dan sebaliknya, akhirat
akan kekal jika Allah masih menghendakinya. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa
makhluk Allah yang temporal, akan sekaligus non-temporal (kekal) karena
kehendak Allah adalah non-temporal. Namun begitu Dia tidak lagi menghendakinya,
maka makhluk tersebut akan kembali temporal. Demikian yang terjadi dengan
akhirat.
Dari berbagai pendapat tentang
kontroversi kekekalan akhirat serta tinjauan teologis-filosofisnya, maka
diperoleh beberapa pemikiran sebagaimana disebutkan dalam penjelasan berikut
ini:
Bahwa untuk menunjukkan kekekalan Allah
yang tanpa akhir, al-Qur’an tidak menggunakan kedua istilah azali dan abadi
Allah, melainkan memakai istilah yang lain. Sebagai contoh, al-Qur'an terkadang
menyebut Allah dengan “Yang Awal” dan “Yang Akhir”. Maksud dari kedua sifat
tersebut identik dengan apa yang dimaksudkan dalam makna azali dan abadi.
“Yang Awal” adalah sebutan lain bagi
sifat qadim Allah. Artinya, Dia tidak memiliki permulaan, sehingga tidak
membutuhkan pencipta atau sebab. Hal ini berarti menolak teori kausalitas
tentang hubungan sebab-akibat. Dia Maha Dahulu tanpa ada yang mendahului dan
tidak ada yang menyamai Dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya yang Maha Dahulu.
Demikian juga dengan “Yang Akhir” yang merupakan
sebutan lain dari sifat baqi Allah. Dialah yang kekal tanpa mempunyai
akhir. Dia selalu ada terus menerus tidak berkesudahan. Sifat ini adalah
konsekuensi dari adanya sifat qadim, sebab sesuatu yang tidak
berpermulaan, maka tidak pula berakhir.
Ungkapan “Awal” dan “Akhir” sebenarnya
hanya istilah teknis bagi sifat Allah. Sebab, dalam bahasa manusia, kata awal
dan akhir menunjukkan adanya suatu periode atau waktu. Jika ada awal dan akhir
berarti ada juga pertengahan. Hal ini mustahil bagi Allah, sebab Dia tidak
menempati ruang dan waktu. Dengan demikian, maka pengertian kekekalan akhirat
sudah seharusnya dipahami sebagai suatu bentuk kekekalan yang terbatas pada
ukuran-ukuran manusia di dunia.
Selain itu. dalam sekian banyak ayat
al-Qur’an yang menyatakan kekekalan akhirat, tidak satu pun yang menunjukkan
bahwa kekekalan itu tanpa akhir. Hal ini berarti bahwa kekekalan yang dimaksud
berarti suatu masa yang lama dan karena begitu lamanya sehingga disebut sebagai
kekal. Redaksi yang dipakai kebanyakan adalah khuld, baqa’, qarar,
dan sebagainya yang tidak memiliki makna tanpa akhir. Hal ini berbeda dengan
kekekalan Allah yang tanpa akhir, sehingga selain disebut al-Baqi (Maha
Kekal), Dia juga disebut al-Akhir (Maha Akhir) yang tidak berkesudahan.
Selanjutnya, menurut al-Jauziyah,
kekekalan dalam kehidupan surga dan neraka, sebagaimana dijelaskan al-Qur’an,
digunakan menurut ukuran masa kehidupan di dunia. Kekekalan dalam bahasa di
dunia ini berarti masa yang lama.[88] Bahkan
dalam al-Qur’an juga dijelaskan bahwa penghuni neraka akan tinggal di dalam
neraka selama berabad-abad. Hal ini tercatat dalam firman-Nya, “Mereka
tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya” (Qs. an-Naba’ [78] : 23).
Di samping itu, al-Qur’an juga
menyatakan adanya syarat bagi kekekalan akhirat, yakni adanya kehendak Allah.
Karena bagaimanapun, segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak-Nya.
Al-Qur’an berulangkali menyatakan persyaratan ini ketika menekankan betapa
penting dan menentukannya peranan Allah dalam mewujudkan terjadinya segala
sesuatu.
Dalam Qs. Ibrahim (14) : 32, Allah
menjelaskan bahwa Dia telah menundukkan bahtera supaya dapat berlayar di lautan
sesuai kehendak-Nya.
.... وَسَخَّرَ لَكُمُ
الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ
Artinya : “…. Dia telah menundukkan bahtera bagimu
supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah
menundukkan bagimu sungai-sungai.”[89]
Jika Allah menghendaki sesuatu, maka
tidak akan ada yang bisa menghalangi-Nya. Kehendak Allah itu bisa saja untuk
memberi mudharat ataupun manfaat. Hal ini dijelaskan sebagai berikut:
.... فَمَنْ يَمْلِكُ
لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا
بَلْ كَانَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya : “…. maka siapakah yang
dapat menghalang-halangi kehendak
Allah jika Dia
menghendaki kemudharatan
bagimu atau jika
Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”[90]
Demikian juga pada kehendak Allah untuk
menjadikan neraka sebagai tempat yang kekal. Ia akan tetap kekal selama Dia
menghendakinya.
.... قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا
إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ
Artinya : “…. Allah berfirman: Neraka itulah tempat diam
kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang
lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”[91]
Begitu penting dan menentukannya peran
kehendak Allah dalam mewujudkan terjadinya sesuatu, sampai-sampai Allah
berfirman bahwa manusia tidak dapat berkehendak, kecuali Allah juga
menghendakinya. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ
الْعَالَمِينَ
Artinya : “Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”[92]
Dengan demikian, kehendak Allah adalah
mutlak bagi terjadinya segala sesuatu, termasuk dengan kekekalan akhirat.
Dialah Dzat Yang Maha Kuasa menjadikan akhirat kekal tanpa akhir atau pun
berakhir. Tidak ada yang dapat menuntut-Nya untuk berbuat sesuatu karena Dialah
“Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki” (Qs. Hud [11] : 107).
Bahkan Dia dapat saja menyiksa
orang-orang yang taat dan para kekasih-Nya serta menurunkannya ke dalam neraka
yang paling bawah; atau memberi nikmat kepada musuh-musuh-Nya, orang-orang
musyrik dan mengangkatnya ke dalam surga yang paling tinggi dalam keabadian;
atau menjadikan neraka kekal bagi orang yang Dia kehendaki tanpa sebab dan amal
perbuatan.[93]
Tetapi Allah menyatakan bahwa Dia sangat
mencintai para kekasih-Nya dan tidak akan memasukkan ke dalam neraka. Dengan
ilmu-Nya, Allah menghendaki bahwa orang-orang yang taat akan memasuki surga dan
orang-orang yang durhaka akan memasuki neraka.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan
Hakim dari Anas ibn Malik, bahwa Rasulullah Saw berjumpa serombongan sahabat
dan anak-anak di jalan. Ketika seorang ibu melihat rombongan tersebut, dia
takut anaknya akan terhimpit, maka dia segera datang untuk mendapatkan anaknya,
dan berkata: “Anakku, anakku, maka dia memegang (memeluk) anaknya. Para sahabat
bertanya: “Wahai Rasulullah, tidaklah ia akan menemui anaknya di neraka?
Rasulullah menjawab:
وَاللهِ
لاَ يَلْقِى اللهُ حَبِيْبَهُ فِى النَّارِ
Artinya : “Demi Allah, Allah tidak akan menemui
kekasihnya di dalam neraka.”[94]
Dan orang yang mengucapkan La ilaha
illa Allah dengan mengharapkan ridha Allah, diharamkan memasuki neraka. Hal
ini tercermin dalam hadits Nabi:
إِنَّ اللهَ قَدْ
حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِى بِذَلِكَ
وَجْهَ اللهِ
Artinya : “Sesungguhnya Allah benar-benar mengharamkan
neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illa Allah, sedang dia
mengharap dengan itu akan ridha Allah.”[95]
Imam ath-Thahawi menyatakan bahwa segala
yang Allah kehendaki pasti terlaksana. Dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti
gagal.[96] Dengan
kehendak-Nya, Dia berbuat sesuai ilmu-Nya. Tidak ada perbedaan antara keduanya;
keduanya qadim. Dan Allah telah menginformasikan kehendak-Nya untuk
menjadikan akhirat kekal.
Dengan kehendak-Nya, Dia juga berkuasa
untuk mengadakan atau meniadakan sesuatu. Tanpa adanya kuasa (qudrah),
tentu segala kehendak tidak dapat terwujud. Begitu juga dengan kemauan (iradah)
tidak akan terwujud tanpa adanya sifat qudrah-Nya. Dalam sekian banyat
ayat, Allah menjelaskan betapa Dia sangat berkuasa atas segala sesuatu. Hal itu
antara lain ditunjukkan oleh ayat berikut:
فَلاَ أُقْسِمُ بِرَبِّ
الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُونَ
Artinya : “Maka aku bersumpah dengan
Tuhan Yang memiliki timur dan barat, sesungguhnya Kami benar-benar Maha Kuasa.”[97]
.... إِنَّ اللهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : “…. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”[98]
Inilah intisari tauhid yang membebaskan
Allah dari segala sesuatu yang tidak layak atas-Nya. Tidak ada yang dapat
menghalangi-Nya untuk menjadikan akhirat kekal tanpa akhir sebagaimana tidak
ada yang bisa memaksa-Nya untuk mengekalkannya sampai batas waktu tertentu.
Semuanya berpulang pada kehendak Allah semata.
[1]Qs. Yunus (10) : 10
[2]Qs. al-Hadid (57) : 3
[3]Qs. al-Baqarah (2) : 201
[4]Qs. Ali Imran (3) : 152
[5]Qs. Ali Imran (3) : 152; Periksa
juga Qs. al-Lail (92) : 13 dan Qs adh-Dhuha (93) : 4
[6]Anonim, “Akhirah”, dalam
www.psq.or.id/ensiklopedia_detail.asp?mnid=34&id=39-49k-, diakses pada
tanggal 25 November 2007.
[7]Qs. al-An‘am (6) : 29
[8]Qs. ad-Dukhan (44) : 35
[9]Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan
dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri
Husain, et.al., Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet. II, 2003, hlm. 97-98.
[10]Sebagaimana dikutip Izutsu, Ibid,
hlm. 98.
[11]Qs. az-Zumar (39) : 68
[12]Muhammad Husain ath-Thabathabai, Ada
Apa Setelah Mati : Pandangan Al-Qur’an, Terj. Ahmad Hamid Alatas, Penerbit
Misbah, Jakarta, Cet. II, 2006, hlm. 74.
[13]Qs. at-Takwir (81): 1-3
[14]Qs. az-Zumar (39) : 68
[15]Qs. Ali Imran (3) : 106-107
[16]A. Choiran Marzuki, Qiamat,
Surga, dan Neraka, Mitra Pustaka, Yogyakarta, Cet. II, 1999, hlm. 123.
[17]Qs. az-Zalzalah (99): 4
[18]Muhammad ibn Isa at-Tirmidzi, Sunan
At-Tirmidzi, Thoha Putra, Semarang, Juz V, t.th., hlm. 116-117.
[19]Qs. an-Nur (24) : 24-25
[20]Qs. al-Isra’ (24) : 24-25
[21]Qs. Ali Imran (3) : 30
[22]Qs. al-A‘raf (7) : 8
[23]Qs. al-Mukminun (23) : 103
[24]Muhammad Husain ath-Thabathabai, op.
cit., hlm. 105.
[25]Qs. ash-Shaffat (37) : 22-23
[26]Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz VII,
1992, hlm. 195-196.
[27]Qs. Maryam (19) : 72
[28]Qs. al-Bayyinah (98) : 6-8
[29]Qs. al-Ma’arij (70) : 22-35
[30]Qs. ar-Ra’d (13) : 22-23
[31]Qs. al-Waqi‘ah (56) : 27-37
[32]Qs. ash-Shaffat (37) : 45-48
[33]Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep
Etika Religius dalam Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein, et.al., Tiara
Wacana, Yogyakarta, Cet. II, 2003, hlm. 135.
[34]Qs. al-Mulk (67) : 6
[35]Qs. al-Ahqaf (46) : 20
[36]Qs. al-Waqi‘ah (56) : 41-44
[37]Qs. al-Insan (76) : 4
[38]Qs. al-Baqarah (2) : 81
[39]Qs. asy-Syura (42) : 11
[40]Qs. Maryam (19) : 65
[41]Qs. ar-Rahman (55) : 26-27
[42]Qs. al-Qashash (28) : 88
[43]Ali Sami an-Nasyar, Nasy’ah
al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, Dar al-Ma’arif, Kairo, Jilid I, Cet. VIII,
t.th., hlm. 255.
[44]Yusuf Qaradhawi, Pengantar
Kajian Islam, Terj. Setiawan Budi Utomo, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1997,
hlm. 64.
[45]Abu Abdillah al-Qurthubi, Tafsir
Al-Qurthubi, Dar al-Ihya’, Beirut, Jilid VII, t.th., hlm. 271.
[46]Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir,
Dar al-Fikr, Beirut, Jilid I, t.th., hlm. 380.
[47]Abu Ja’far ath-Thabari, Tafsir
ath-Thabari, Dar al-Ma’arif, Mesir, Jilid V, t.th., hlm. 286-287.
[48]Qs. al-Hadid (57) : 3
[49]Qs. Ali Imran (3) : 185. Periksa
juga Qs. al-Anbiya’ (21) : 35 dan Qs. al-Ankabut (29) : 57.
[50]Fadhl Ilahi, Fadhilah dan
Tafsir Ayat Kursi, Terj. Abul Hasan, Maktabah al-Hanif, Yogyakarta, 2005,
hlm. 69-70.
[51]Qs. al-Jatsiyah (45) : 24
[52]Qs. an-Nisa’ (4) : 57
[53]Qs. at-Taubah (9) : 68
[54]Qs. al-Mukmin (40) : 39
[55]Qs. Fathir (35) : 35
[56]Qamaruddin Shaleh, et.al., Asbabun
Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, CV.
Diponegoro, Bandung, Cet. XIV, 1992, hlm. 414.
[57]Abdul Qadir al-Jailani, Wasiat
Terbesar Sang Guru Besar, Terj. Abad Badruzzaman dan Nunu Burhanuddin,
Sahara Publishers, Jakarta, Cet. VIII, 2007, hlm. 67.
[58]Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il
al-Bukhari, op. cit., hlm. 255. Lihat juga Imam Muslim ibn Hajjaj
al-Qusyairi an-Naisaburi, Terjemah Shahih Muslim, Terj. Fachruddin HS,
Bulan Bintang, Jakarta, Jilid I, Cet. II, 1981, hlm. 282.
[59]Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, loc. cit.
[61]Abu Laits as-Samarqandi, Tanbih
al-Ghafilin, Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, t.th., 24.
[62]Abdul Qadir al-Jailani, op.
cit., hlm. 66.
[63]Sa’id
ibn Musfir al-Qahtani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Terj.
Munirul Abidin, PT. Darul Falah, Jakarta, Cet. III, 1995, hlm. 320.
[64]Sebagaimana dikutip Ali Sami
an-Nasyar, op. cit., 254-255.
[66]Ibrahim ibn Muhammad al-Baijuri, Tuhfah
al-Murid (Syarh Jauharah at-Tauhid), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1995,
hlm. 163.
[67]Ibid. Al-Albani juga mengutip syair
yang sama yang berasal dari Ibn al-Qayyim al-Jauziyah yang terdapat dalam
kitabnya, al-Kafiyah asy-Syafiyah. (Lihat Muhammad ibn Ismail al-Amir
ash-Shon’ani, Perbedaan Ulama Salaf dan Khalaf tentang Keabadian Neraka,
Tahqiq: Muhammad Nashiruddin al-Albani, Terj. Kamran, Pustaka Azzam, Jakarta,
2004, hlm. 34).
[68]Ibrahim ibn Muhammad al-Baijuri, op.cit.,
hlm. 183.
[69]Qs. al-An’am (6) : 128
[70]Qs. Hud (11) : 106-108
[71]Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah
Tafsir Al-Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar, Toha Putra, Semarang, Juz 10-12,
Cet. II, 1992, hlm. 168.
[72]M. Rasyid Ridha, Tafsir
Al-Manar, Dar al-Kutub, Beirut, Jilid XII, t.th., hlm. 124.
[75]Ahmad Mustafa al-Maraghi, loc.
cit.
[77]Qs. an-Naba’ (78) : 21-23
[78]Ahmad Mustafa al-Maraghi, op.
cit., Juz 28-30, 1993, hlm. 15.
[80]Jalaluddin al-Mahalli dan
Jalaluddin as-Suyuthi, op. cit., hlm. 487.
[81]Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Syifa’
al-‘Alil fi Masa’il al-Qadha’ wa al-Qadar wa al-Hikmah wa at-Ta‘lil, Dar
al-Fikr, Beirut, 1988, hlm. 259.
[82]Sebagaimana dikutip dari Hadi
al-Arwah oleh Muhammad ibn Ismail al-Amir ash-Shon’ani, op. cit.,
hlm. 108.
[84]Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa
Kontemporer, Terj. As’ad Yasin, Gema Insani Press, Jakarta, 1995. hlm. 268.
[85]Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Al-Wabil
ash-Shaib min Kalim ath-Thayyib, Dar al-Kutub, Beirut, t.th., hlm. 25.
[86]Anonim, “Telaah Teologis
atas Sifat-sifat Tuhan”, dalam http://www.wisdoms4all.
com/Indonesia/doc/Pustaka/Mengenal%20Sifat2/telaah%20teologis10.htm, diakses
pada tanggal 28 Desember 2007.
[88]Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Syifa’
al-‘Alil …, op. cit., hlm. 257.
[89]Qs. Ibrahim (14) : 32
[90]Qs. al-Fath (48) : 11
[91]Qs. al-An’am (6) : 128
[92]Qs. at-Takwir (81) : 29
[93]Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Syifa’
al-‘Alil …, op. cit., hlm. 252.
[94]Ibn Hamzah al-Husaini al-Hanafi
ad-Damsyiqi, Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya Hadits-hadits
Rasul, Terj. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Kalam Mulia, Jilid III,
Cet. III, 2005, hlm. 369.
[96]Abd al-Akhir Hammad al-Ghunaimi, Tahdzib
Syarh ath-Thahawiyah: Dasar-dasar Aqidah menurut Ulama Salaf, Terj. Abu
Umar Basyir, Pustaka At-Tibyan, Solo, Cet. III, 2001, hlm. 148.
[97]Qs. al-Ma’arij (70) : 40
[98]Qs. an-Nahl (16) : 77; Qs. An-Nur
(24) : 45; Qs. al-Baqarah (2) : 109, 148; Qs. Ali Imran (3) : 165; Qs.
al-Ankabut (29) : 20
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar