KEKEKALAN AKHIRAT DALAM AL-QUR'AN
(Studi Tematik dengan
Pendekatan Teologis-Filosofis)
BAB IV
KONSEKUENSI TEOLOGIS-FILOSOFIS
KEKEKALAN AKHIRAT
A. Ta’adud
al-Qudama’
Para teolog membagi sesuatu yang dapat
dicapai akal kepada tiga bagian: mungkin (mumkin al-wujud), wajib (wajib
al-wujud), dan mustahil (mustahil al-wujud). “Mustahil” adalah
sesuatu yang dzatnya memang tidak mungkin ada. Adapun “wajib” adalah sesuatu
yang dzatnya memang sudah semestinya ada. Sedangkan “mungkin” adalah sesuatu
yang tidak ada wujudnya, tetapi tidak pula dapat dikatakan tidak ada dzatnya,
karena ia bisa juga terwujud oleh sesuatu sebab yang menyebabkan adanya.[1]
Dalam hukum mustahil al-wujud,
tidak mungkin sesuatu itu wujud karena “tidak ada” (adam) telah menjadi
kemestian bagi hakikat sesuatu itu. Jika sekiranya sesuatu yang mustahil itu
mengada (maujud), maka hal tersebut telah mencabut kelaziman sesuatu itu
sendiri. Dan ini jelas tidak mungkin, sebab ia sendiri bukan merupakan sesuatu
yang ada (wujud).
Sedangkan mumkin al-wujud berarti
bahwa ia tidak mungkin “ada” kecuali dengan adanya sebab. Begitu pula bahwa ia
tidak mungkin “tidak ada” kecuali dengan sebab pula. Hal tersebut terjadi
karena tidak ada satu pun di antara “ada” dan “tidak ada” tersebut yang
dimiliki oleh sesuatu itu sekaligus.
Di antara hukum mumkin al-wujud adalah
bahwa sesuatu itu bersifat huduts. Karena itu pastilah bahwa ia tidak
mungkin ada kecuali dengan adanya sebab. Jadi, adanya sebab lebih dulu daripada
akibat. Hal ini menimbulkan adanya teori mata rantai (tasalsul)
sebab-akibat yang tidak berkesudahan dalam hukum.
Menurut teori
tasalsul ini, segala sesuatu di dunia ini memiliki hukum
sebab-akibat (causality
law). Hukum kausalitas ini meniscayakan adanya ‘sebab’
bagi suatu ‘akibat’. Keberadaan sesuatu membutuhkan sesuatu lain yang
membuatnya menjadi ada. Demikian mata rantai sebab-akibat ini
sambung-menyambung tanpa ada batas akhirnya. Hal tersebut mustahil dan tidak
masuk akal. Sehingga harus ada Wujud Pertama bagi wujud-wujud selanjutnya.
Wujud Pertama ini tidak membutuhkan sebab lagi, karena Dialah sumber segala
sebab.
Sedangkan
mengenai persepsi argumen kausalitas yang menyatakan bahwa “setiap eksistensi
membutuhkan sebab”. Maka dapat dikatakan bahwa persepsi seperti itu keliru.
Sebab, kaidah kausalitas sama sekali tidak berarti bahwa setiap eksistensi
membutuhkan sebab. Kaidah ini hanya mengatakan bahwa setiap akibat dan fenomena
membutuhkan sebab, dan bukan “setiap eksistensi”. Dengan kata lain, subyek dari
proposisi di atas adalah “akibat dan fenomena”, bukan “eksistensi”.[2]
Adalah kaidah logika yang diterima oleh
semua orang yang berakal, bahwa setiap makhluk di jagad raya ini membutuhkan
sebab. Namun, berangkat dari pengertian hukum kausalitas; bahwa setiap realitas
membutuhkan kepada sebab, sebagian orang menganggap bahwa seharusnya wujud
Tuhan Pencipta pun mempunyai sebab.
Mereka lalai bahwa subjek pada hukum
kausalitas itu bukanlah realitas secara mutlak, tetapi realitas yang bersifat mumkin.
Dengan kata lain, bahwa setiap realitas “yang tidak berdiri sendiri”
membutuhkan sebab. Sedangkan realitas Tuhan Yang Mandiri tidak membutuhkan sebab.
Sebab, jika realitas Tuhan Pencipta itupun memiliki sebab, maka akan terjadi tasalsul.
Sementara tasalsul telah dibuktikan invaliditas dan kebatilannya.
Dengan mengakui dan menyadari bahwa
segala maujud di jagad raya ini adalah “baru” (hadits) dan berasal dari
wujud yang Mahakaya yang maujud dengan sendirinya, maka terhentilah rangkaian
mata rantai sebab akibat pada Dzat tersebut. Karena Dia-lah sebab utama atas
segala sebab dan akibat. Dialah Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Setelah
dibuktikan bahwa setiap makhluk itu sebelumnya tidak ada dan tidak hidup,
kemudian mendapatkan kehidupan dari Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, maka dapat
disimpulkan bahwa mata rantai tak berujung setiap maujud adalah sesuatu yang
mustahil.[3]
Sesuatu yang huduts dalam ke-huduts-an
terjadinya, membutuhkan kepada sebab yang menjadikannya. Bukti ke-huduts-an
alam adalah bahwa jisim alam tidak lepas dari gerak dan diam, sedangkan gerak
dan diam adalah baru. Konsekuensinya adalah sesuatu yang terikat dengan sesuatu
yang huduts maka ia pun huduts.[4]
Dengan demikian, maka wujud setiap
makhluk itu pasti ada yang mengatur dan menciptakannya. Dialah yang memberikan
spirit dan aktivitas kepada seluruh makhluk-Nya. Dialah ujung mata rantai
eksistensi sumber dari semua maujud. Dialah sebab yang mutlak yang tidak
diakibatkan oleh sebab lain karena Dia bersifat azali (tidak bermula). Oleh
karena itu, maka hukum mumkin al-wujud menghendaki adanya wajib
al-wujud, yakni sesuatu yang wajib adanya. Dan Dialah Allah yang qadim
dan azali.
Dalam hukum wajib al-wujud, bila ada yang lebih awal dari Allah, maka Dia
tidak ada bedanya dengan makhluk. Dengan demikian berarti sama dengan makhluk.
Kalau sama, pasti bukan Tuhan. Kalau bukan Tuhan, tidak mungkin ada semesta
ini. Padahal akal sendiri sudah memastikan bahwa alam ini pasti ada yang
menciptakannya. Dan Sang Pencipta tidak mungkin sama dengan yang diciptakan.[5]
Dasar keyakinan tersebut adalah argumen
rasional yang menggugurkan teori mata rantai (tasalsul) sebab akibat
yang tak terbatas. Dialah yang merupakan realitas yang ada dengan sendirinya;
tidak bergantung kepada realitas yang lain. Maka realitas ini bersifat azali
(tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Lantaran, apabila sesuatu itu ma'dum
(tiada) pada masa tertentu, maka hal ini menunjukkan bahwa wujud sesuatu itu
bukan berdasarkan pada dirinya sendiri, tetapi wujudnya membutuhkan kepada
realitas selainnya yang merupakan sebab atau syarat keberadaannya. Jika sebab
atau syarat itu tidak ada, maka sesuatu tersebut tidak akan mengada.
Allah adalah
Dzat Yang Maha Kuasa, Dia senantiasa azali, wujud-Nya tidak ada awal (qadim) bahkan Dia adalah awal dari segala sesuatu, dan
sebelum apa yang mati dan hidup. Bukti ke-qadim-annya adalah seandainya Dia itu huduts dan tidak qadim, maka Dia membutuhkan dzat yang menciptakan; dan
dzat yang menciptakan itu membutuhkan lagi dzat yang menciptakan; dan itu tidak
akan ada habisnya. Itulah sebabnya segala sesuatu membutuhkan kepada Dzat yang qadim, tidak ada permulaan.[6]
Al-Qadim artinya lebih dahulu dari segala yang dahulu; al-Qidam artinya awal tidak berpermulaan; dan al-Muqaddim berarti Maha Mendahulukan. Jadi, Allah adalah Dzat
yang paling dahulu dan tidak memiliki permulaan.[7]
Allah adalah
awal dari segala yang awal (tanpa permulaan) dan akhir dari segala yang akhir
(tanpa berkesudahan). Dalam bahasa teologi, Dialah satu-satunya yang wajib al-wujud, dan selain-Nya disebut mumkin al-wujud. Wujud
Ilahi yang bermanifestasi dalam alam semesta dan jiwa manusia adalah wujud yang
unik dan tanpa banding. Tidak ada sesuatu pun yang menyamai wujud-Nya, karena
hanya Allah-lah Sang Pencipta itu. Juga, wujud-Nya adalah bersifat meliputi,
mengagumkan, dan menguasai.[8]
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan
bahwa Allah saja yang qadim; tidak ada sesuatu selain-Nya yang qadim.
Pendapat mengenai adanya zaman, ‘Arsy, bahkan air sebelum penciptaan langit dan
bumi tidak dapat diterima secara naqli maupun aqli. Sebab, semua
itu adalah makhluk Allah yang terkena teori tasalsul sebab akibat, yakni
membutuhkan sebab. Segala sesuatu
yang mumkin al-wujud jelas
tidak qadim karena memiliki permulaan. Dan karena tidak qadim,
konsekuensinya adalah sesuatu itu tidak pula kekal dan abadi.
Alam ini bersifat mumkin al-wujud
karena membutuhkan sebab untuk menjadikannya wujud. Alam yang diciptakan oleh
Allah yang qadim tidak memiliki ke-qadim-an sehingga akan
mengalami kepunahan. Oleh karena itu, dengan demikian, wujud alam ini secara
keseluruhan adalah tidak azali dan tidak abadi.
B.
Kekekalan
yang Terbatas
Waktu di akhirat berbeda dengan waktu di
dunia karena penciptaan waktu di akhirat tidak lagi bergantung pada matahari,
bentuk yang bulat seperti bumi dengan rotasi dan garis edarnya. Waktu di
akhirat merupakan rahasia Allah Swt kecuali yang diberitahukannya, yakni
bersifat kekal, abadi, dan tidak ada batas akhirnya.[9]
Dalam akhirat, tidak ditemukan lagi
pergantian siang dan malam. Manusia tidak memerlukan tidur dan istirahat,
maupun rasa lelah dan lesu. Al-Qur’an telah menjelaskan keadaan itu ketika
menggambarkan kehidupan penghuni surga (Qs. Fathir [35] : 35). Demikian juga
yang terjadi pada penghuni neraka yang tidak henti-hentinya menerima siksaan.
Mereka akan kekal di tempat masing-masing untuk menerima balasan sesuai amal
perbuatan mereka ketika di dunia. Dengan kata lain, kehidupan di akhirat
bersifat kekal dan abadi.
Namun demikian, pandangan mengenai tidak
adanya sesuatu yang qadim selain Allah yang berarti menolak adanya
konsep “Ke-Qadim-an yang Berbilang” (Ta’adud al-Qudama’) membawa
konsekuensi bahwa segala sesuatu yang tidak qadim berarti tidak pula
azali dan abadi. Oleh karena itu, kekekalan kehidupan akhirat yang dimaksud
harus memiliki batas atau syarat tertentu. Dalam al-Qur’an, kekekalan itu
dibatasi oleh kehendak Allah (Baca: Qs. Hud [11] : 106-108; Qs. al-An’am [6] :
128).
Akhirat yang kekal merupakan bentuk dari
kehendak Allah untuk menjadikannya kekal. Penyandaran sifat-sifat makhluk
kepada sifat-sifat yang hanya layak dimiliki oleh Allah ini, pada dasarnya,
berhubungan dengan perbuatan Allah terhadap ciptaan-Nya. Padahal makhluk adalah
hal yang temporal dan material.
Perbuatan Allah yang dihubungkan pada
hal-hal yang temporal dan material tersebut, memiliki dua aspek, yakni 1)
dihubungkan kepada Allah dan bersifat kekal atau nontemporal (tidak terjadi
dalam kerangka waktu); dan 2) dihubungkan dengan alam yang bersifat temporal.[10]
Ketika Allah menciptakan sesuatu yang
temporal, waktunya juga diciptakan bersamanya, karena waktu merupakan salah
satu dimensi dari sesuatu tersebut. Oleh karena itu, meski alam adalah
temporal, tetapi karena diciptakan oleh Allah yang kekal, maka akan kekal juga.[11] Jika
makhluk yang terikat waktu diciptakan oleh Allah yang tidak terikat waktu, maka
makhluk tersebut akan tetap ada selama kehendak Yang Menciptakan masih ada.
Dengan kata lain, makhluk akan kekal selama Allah masih menghendakinya
demikian.
Demikian juga dengan salah satu
perbuatan Allah yang menjadikan akhirat sebagai kekal. Akhirat akan tetap kekal
selama Allah masih menghendaki kekekalannya. Ini berarti kekekalan akhirat
bersifat terbatas, karena adanya syarat yang mendasari sifatnya. Allah akan
berbuat sesuai yang dikehendaki-Nya. Dalam hal ini Dia berfirman:
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ
إِلاَّ مَا شَاءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
Artinya : “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit
dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”[12]
Sedangkan kehendak Allah sesuai dengan
ilmu-Nya yang qadim. Menurut Muhammad Abduh, segala yang maujud
harus menurut ketentuan yang khusus dan sifat tertentu, menurut waktu, tempat
dan ruang yang tertentu pula. Kehendak atau kemauan (iradah) Allah tidak
seperti pengertian selama ini, yakni berkemauan leluasa melaksanakan
kehendak-Nya atau untuk mengurungkannya dengan semau-Nya. Pengertian iradah
Allah semacam ini adalah mustahil pada Dzat yang Wajib al-Wujud.[13]
C.
Konsep
Tauhid dalam Islam
Berangkat dari uraian di atas, maka
konsep tauhid dalam Islam, secara lebih luas dapat dijabarkan ke dalam tujuh
keyakinan sebagai berikut[14]:
1.
Bahwa Allah Esa
dalam Dzat-Nya, yakni beri’tikad bahwa Dzat-Nya itu satu, tidak berbilang dan
tidak tersusun dari beberapa benda yang
berlainan. Dzatnya bukan materi (maddah); bukan pula terjadi dari
beberapa unsur atau beberapa pokok yang bukan benda.
2.
Bahwa Allah Esa
dalam sifat-Nya, yakni beri’tikad bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai Allah
dan sifat-Nya; dan bahwa Allah sendiri yang memiliki sifat keutamaan dan
kesempurnaan.
3.
Bahwa Allah Esa
dalam wujud-Nya, yakni beri’tikad bahwa Allah sendiri yang wajib wujud-Nya (wajib
al-wujud). Selain Allah, semuanya mungkin (mumkin al-wujud).
4.
Bahwa Allah Esa
dalam perbuatan-Nya, yakni beri’tikad bahwa Allah Esa menjadikan segala yang mumkin,
menjadikan alam, menghidup-matikan, memberi rezeki, membuat senang atau susah,
membuat sulit atau mudah, serta mewujudkan pekerjaan makhluk.
5.
Bahwa Allah Esa
dalam menerima ibadah hamba-Nya, yakni beri’tikad bahwa Allah sendiri yang
berhak menerima ibadah; yang berhak disembah dan diibadahi. Tidak ada yang
selain-Nya yang berhak diibadahi, baik dengan jalan doa maupun dengan jalan
yang lain.
6.
Bahwa Allah yang
dituju langsung dan dikehendaki oleh makhluk dalam menyelesaikan segala hajat
keperluan; dan Allah tidak membutuhkan kepada selain-Nya.
7.
Bahwa Allah
sendiri yang menetapkan hukum: halal haram dan pokok-pokok aturan lainnya.
Tegasnya, Allah menentukan ibadah untuk diri-Nya sendiri serta keesaan dalam
Dzat, sifat, serta perbuatan-Nya.
Dalam penjabaran konsep tauhid yang
pertama dijelaskan tidak adanya unsur penyusun atau sesuatu yang ditambahkan
kepada keesaan Dzat-Nya. Ini berarti sifat Allah bukanlah tambahan atau berdiri
sendiri, tetapi sifat Allah adalah Dzat-Nya itu juga. Karena tidak mungkin
suatu sifat berdiri sendiri tanpa adanya dzat. Sifat Allah adalah qadim
sebagaimana Dzat-Nya yang qadim pula.
Penjabaran konsep tauhid yang kedua
dijelaskan bahwa sifat-sifat yang disandangkan kepada Allah itu tidak sama
dengan pengertian sifat-sifat manusia; hakikat keduanya berbeda. Tidak ada
sekutu bagi Allah dalam segala sesuatu.
Sedangkan dalam penjabaran konsep tauhid
yang ketiga, dijelaskan bahwa Allah sebagai satu-satunya yang wajib al-wujud,
yakni tidak ada kemustahilan bagi wujud-Nya. Sedangkan selain-Nya adalah mumkin
al-wujud yang maujud karena adanya sebab. Sedangkan Allah tidak memerlukan
sebab, karena Dialah sumber segala sebab.
Penjabaran konsep tauhid keempat
menghendaki adanya keyakinan bahwa perbuatan Allah adalah esa dalam menjadikan
segala yang mumkin al-wujud. Tidak ada suatu perbuatan yang hakikatnya
sama dengan perbuatan Allah. Bahkan Allahlah yang menjadikan segala perbuatan.
Allah menciptakan makhluk sebab
keinginan-Nya ingin dikenal (hadits qudsi kanzan makhfiyyan, khazanah tersembunyi),
dan dengan rahmat-Nya terpancarlah substansi dasar yang terajut padanya
benang-benang ciptaan dan makhluk. Dia adalah Muhyi (Maha Menghidupkan)
dan Dia pula Mumit (Maha Mematikan). Dia adalah Hadi (Maha
Memberi Hidayah) dan Dia pula adalah Mudhill (Maha Menyesatkan). Dia
adalah Ghafur (Maha Pengampun) terhadap hamba-hamba pendosa dan bersalah
yang kembali pada-Nya, tapi Dia adalah Muntaqim (Maha Membalas Dendam)
terhadap hamba-hamba yang berdosa dan tetap menjauh dari-Nya. Tuhan, Dia adalah
Yang Mutlak, Tak Terbatas, dan Maha Sempurna.
Keesaan Allah tidak hanya meniscayakan
transendensi tetapi juga imanensi. Al-Qur'an berulang-ulang menegaskan
transendensi Allah, Dia melampaui segala kategori pemikiran, imajinasi dan
fantasi manusia. Hal ini seperti yang ditegaskan-Nya dalam al-Qur’an:
لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ
وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya : “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan
mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus
lagi Maha Mengetahui.”[15]
....
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَصِفُونَ
Artinya : “…. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari
sifat-sifat yang mereka berikan”[16]
Spiritual Islam didasarkan atas
kesadaran perennial terhadap transendensi tauhid ini, ketidakberdayaan segala
sesuatu di hadapan kekuasaan-Nya dan kefanaan semua eksistensi yang berlawanan
secara diametris dengan hakikat kekekalan dan keabadian-Nya. Allah menegaskannya
sebagai berikut:
.... كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ
وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya
: “…. tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan
hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”[17]
Tidak ada sesuatu pun yang serupa, setara, atau sebanding
dengan-Nya dalam segala hal. Al-Qur’an menegaskannya sebagai berikut:
.... لَيْسَ كَمِثْلِهِ
شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya
: “…. tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.[18]
Di samping Allah yang transenden, Dia
juga imanen dalam cahaya transendensi-Nya, karena Dia tidak hanya berada di
atas segala sesuatu dan segala tingkatan eksistensi, tetapi Dia juga imanen dan
sangat dekat kepada makhluk-Nya. Bahkan dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa
sebenarnya Allah itu lebih dekat dengan hamba-Nya daripada dengan urat lehernya
sendiri.
....
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya : “….
Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri”[19]
وَِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا
تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Luas lagi Maha Mengetahui.”[20]
Oleh sebab itu, realitas Allah adalah
realitas esa dan tauhid yang transenden dan imanen. Dan Islam mengarahkan
seorang muslim pada suatu titik kesempurnaan realitas, suatu realitas mutlak
yang esa dan maha sempurna. Untuk itulah Allah berfirman:
.... لاَ يَخْفَى عَلَى
اللهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ ِللهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
Artinya : “…. tiada suatupun dari keadaan mereka yang
tersembunyi bagi Allah. Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan
Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.”[21]
Pandangan mengenai “kekekalan akhirat yang
terbatas” menjadikan konsep tauhid menjadi lebih bisa diterima. Memang benar
bahwa akhirat akan kekal sebagaimana yang dijanjikan Allah. Tetapi keyakinan
teologi menyatakan bahwa Allah tidak memiliki kewajiban yang harus
dilakukan-Nya untuk tetap menjadikannya kekal. Dia berbuat sesuai kehendak-Nya
dan tidak terikat harus memenuhi janji-Nya. Sebab jika ada sesuatu yang
membebani diri-Nya, maka sesuatu itu pasti lebih tinggi dari-Nya. Padahal
Allah-lah Dzat tertinggi dari segala yang tinggi.
Dalam al-Qur’an telah disebutkan
beberapa bentuk kekekalan surga dan neraka. Dalam kaitannya dengan konsep
tauhid, maka terdapat beberapa aspek yang berkaitan dengan keyakinan atas
keesaan Allah sebagai titik puncak hakikat segala sesuatu. Allah tidak memiliki
sekutu dalam Dzat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Oleh karena itu, perlu adanya
elaborasi dari beberapa konsep yang ada, sehingga ditemukan makna dari hakikat
tauhid yang sesungguhnya.
Dari penjelasan di atas, dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa kehidupan akhirat merupakan persoalan yang hakikatnya
hanya diketahui oleh Allah sendiri. Informasi al-Qur’an dan hadits Nabi
mengenai sifatnya yang kekal harus dibarengi dengan pemahaman yang komprehensif
sesuai dengan landasan tauhid yang benar. Sebab, penafsiran ayat dan pemahaman
atas hadits dengan pendapat yang dianut tidak jarang justru menimbulkan
‘pemaksaan’ atas ayat al-Qur’an dan atau dalil naqli lainnya.
Persoalan mengenai sifat kekal yang
dimiliki oleh Allah dan akhirat tidak lantas dapat dinilai bahwa keduanya sama,
sebab antara keduanya jelas berbeda. Allah adalah dzat yang wajib al-wujud,
sedangkan akhirat termasuk di antara yang mumkin al-wujud. Keberlangsungan
segala sesuatu selain wajib al-wujud adalah nisbi; kemaujudannya
tergantung kepada yang menjadikannya wujud. Selama kehendak itu ada, selama itu
pula kewujudan dan ‘kekekalan’nya berlangsung. Namun jika kehendak itu dicabut,
maka selesai sudah keber-‘ada’-an mumkin al-wujud itu.
Allah telah menjanjikan bahwa akhirat
dijadikan kekal sesuai kehendak-Nya. Namun persoalan mengenai apakah Allah akan
memenuhi janji-Nya, tidak ada yang berhak menghukumi. Semuanya kembali kepada
kebijaksanaan dan kekuasaan Allah Yang Maha Bijak lagi Maha Berkuasa atas
segala sesuatu.
[1]Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,
Terj. Firdaus AN, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. IX, 1992, hlm. 19.
[2]Anonim, “Argumen
Kausalitas”, dalam http://www.wisdoms4all.com/Indonesia/doc/
Pustaka/Seri%20Argumen%20Filosofis/04.htm, diakses pada tanggal 28 Desember 2007
[3]Ibid.
[4]Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya’
Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama Islam), Terj. Moh. Zuhri, CV. Asy
Sifa’, Semarang, Jilid I, 1990, hlm. 340.
[5]Haderanie HN, Asma’ul Husna:
Sumber Ajaran Tauhid / Tasauf, Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 235.
[6]Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, op.
cit., hlm. 342.
[7]Haderanie HN, op. cit.,
hlm. 234.
[8]Sayyid Quthb, Tafsir fi
Zhilalil-Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an), Jilid VII, Gema Insani Press,
Jakarta, 2003, hlm. 25.
[9]Hadari Nawawi, Demi Masa: Di
Bumi dan Di Sisi Allah Swt, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995,
hlm. 240.
[10]Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Filsafat
Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui Nalar dan Firman, Terj. M. Habib Wijaksana,
Penerbit Arasy, Bandung, 2003, hlm. 182.
[11]Ibid, hlm. 183.
[12]Qs. Hud (11) : 107
[13]Muhammad Abduh, op. cit.,
hlm. 31.
[14]M. Hasbi Ash Shiddieqy, Al
Islam, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, Jilid I, 1998, hlm. 149-150.
[15]Qs. al-An‘am (6) : 103
[16]Qs. al-An‘am (6) : 100
[17]Qs. al-Qashash (28) : 88
[18]Qs. asy-Syura (42) : 11
[19]Qs. Qaf (50) : 16
[20]Qs. al-Baqarah (2) : 115
[21]Qs. al-Mukmin (40) : 16
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar