KULTUM RAMADAN: JIHADUN NAFSI
Pada tahun 2 Hijriyah, terjadi pertempuran sengit di Badar, sebuah
lembah pasir yang terletak antara Makkah dan Madinah. Perang ini sangat
menentukan masa depan Islam yang baru tumbuh. Umat Islam sudah harus menghadapi
tentara kafir yang jumlahnya tiga lipat lebih banyak. Begitu gentingnya perang
tersebut hingga Rasulullah saw. berdoa: “Ya Allah, jika Engkau biarkan pasukan Islam ini binasa, niscaya
tidak ada lagi yang menyembah-Mu di muka bumi ini.” (HR. Muslim
dan Ahmad). Allah swt. menjawab doa tersebut dan memberikan kemenangan gemilang.
Pada tahun 15 Hijriyah, di bawah komando Sa’ad bin Abi Waqash, pasukan
Islam berperang melawan kezaliman Kekaisaran Majusi Persia yang menyembah api
di Qadisiyah, Irak. Kekaisaran Persia yang kini merupakan daratan Iran dan
Afghanistan ini juga takluk di tangan umat Islam. Padahal sebelum Islam,
bersama Romawi, Imperium Persia selama ratusan tahun adalah kekuatan terbesar
yang paling disegani di dunia. Toh, berbekal kekuatan tauhid, umat Islam
berhasil melumpuhkannya.
Pada tahun 92 Hijriyah, dipimpin panglima Thariq bin Ziyad, pasukan
Islam berhasil menyeberangi Eropa. Setibanya di pantai Andalusia (Spanyol,
Portugal, Andorra, Gibraltar dan sekitarnya), Thariq membakar seluruh kapal,
kemudian membakar semangat pasukannya: “Tidak ada jalan untuk melarikan
diri! Laut di belakang kalian, dan musuh di depan kalian. Demi Allah, tidak ada
yang dapat kalian sekarang lakukan kecuali bersungguh-sungguh penuh keikhlasan
dan kesabaran.” Walhasil, pasukan Islam pun meraih kemenangan.
Yang menakjubkan, semua peristiwa di atas terjadi di bulan
Ramadan, saat umat Islam dalam keadaan berpuasa. Semangat dan keyakinan yang
sangat tinggi kepada Allah membawa mereka dapat mengatasi semua kesulitan
hingga mendapatkan kejayaan. Terbukti, kekuatan iman dapat mengatasi lemahnya
fisik dan keterbatasan justru menjadi kekuatan yang mengagumkan.
Di bulan Ramadan ini, kita tidak sedang berperang melawan musuh
yang kasat mata. Musuh yang kita hadapi adalah hawa nafsu kita sendiri. Seorang
tabi’in, Ibrahim bin Abi ‘Ublah berkata: “Kalian telah pulang dari perang
terkecil, lalu perbuatan apa yang kalian perbuat untuk menghadapi perang besar
(melawan hawa nafsu)?” (al-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’).
Perang melawan hawa nafsu, itulah inti dari puasa. Tanpa itu,
puasa tidak memiliki pengaruh apapun dalam mengubah perilaku seseorang menjadi
lebih baik dan bertakwa. Nabi mengingatkan: “Betapa banyak orang yang
berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, selain lapar dan
dahaga.” (HR. Thabrani). Nah!