1. Pengantar
2. Betulkah pintu ijtihad sudah tertutup?
3. Mengapa kitab madzhab Syafi’i menyebut ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum?
4. Mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal hanya tahu Sulam, Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in?
5. Adzan Jum’at dua kali tidak mengubah sunah Rasul?
6. Apakah beduk termasuk sunah?
7. Sunahkah tambahan Sayyidina dalam solawat?
8. Tarawih di zaman Umar bin Khattab menjadi dua puluh rakaat, bagaimanakah itu?
9. Bagaimana hukumnya tahlil?
10. Semua bid’ah sesat, mengapa ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah?
11. Islam tidak mengenal selamatan, mengapa tidak diberantas?
12. Mengapa orang yang memegang atau membawa Al-Qur’an harus berwudlu dahulu?
13. Bagaimana hukumnya talqin mayit, setelah mayit selesai dikubur?
14. Sebaiknya sholat hari raya dilaksanakan di masjid atau lapangan?
15. Apakah sah dan tidak bid’ah untuk mengucapkan niat shalat padahal mestinya niat dengan hati?
16. Bagaimana hukumnya baca manaqib?
2. Betulkah pintu ijtihad sudah tertutup?
3. Mengapa kitab madzhab Syafi’i menyebut ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum?
4. Mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal hanya tahu Sulam, Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in?
5. Adzan Jum’at dua kali tidak mengubah sunah Rasul?
6. Apakah beduk termasuk sunah?
7. Sunahkah tambahan Sayyidina dalam solawat?
8. Tarawih di zaman Umar bin Khattab menjadi dua puluh rakaat, bagaimanakah itu?
9. Bagaimana hukumnya tahlil?
10. Semua bid’ah sesat, mengapa ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah?
11. Islam tidak mengenal selamatan, mengapa tidak diberantas?
12. Mengapa orang yang memegang atau membawa Al-Qur’an harus berwudlu dahulu?
13. Bagaimana hukumnya talqin mayit, setelah mayit selesai dikubur?
14. Sebaiknya sholat hari raya dilaksanakan di masjid atau lapangan?
15. Apakah sah dan tidak bid’ah untuk mengucapkan niat shalat padahal mestinya niat dengan hati?
16. Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Pengantar
Tanya jawab yang ada dalam artikel ini dicuplik dari buku “Apa, Bagaimana dan Siapa Itu Ahlussunnah Wal Jamaah”, buku ini pada awalnya tertulis dalam huruf arab pegon, kemudian diterjemahkan dan ditulis kembali oleh PC NU Pekalongan. Buku ini sendiri merupakan materi upgrading tentang ahlussunnah wal jamaah yang disampaikan KH. Bisri Mustofa di Pondok Pesantren Rembang pada tanggal 3-14 Romadlon 1386/15-26 Desember 1966. Tanya jawab ini merupakan arsip pertanyaan dan jawaban yang disampaikan dalam acara tersebut. Materi Tanya jawab ini sendiri sangat penting dikaji kembali oleh generasi muda Islam karena pada era masa kini banyak sekali pengaburan makna ahlussunnah.
KH. Bisri Mustofa adalah menantu dari KH. Cholil Harun Kasingan Rembang. KH. Cholil Harun sendiri adalah termasuk salah satu guru dari KH. Mahrus Ali Lirboyo dan KH. Aqiel Cirebon (orang tua dari KH. Said Aqiel Siroj, PBNU). KH. Bisri Mustofa sendiri adalah paman dan orang tua angkat dari Ibu Nyai Chasinah binti KH. Chamzawi Umar isteri dari pengasuh Pesantren Nurul Huda Mergosono Malang, KHA. Masduqi Machfudz. Semoga risalah ini bermanfaat.
Betulkah pintu ijtihad sudah tertutup?
Permasalahannya bukan sudah tertutup atau belum tertutup akan tetapi memandang telah lama (beratus-ratus tahun) pintu tidak pernah dimasuki orang.
Mengapa kitab madzhab Syafi’i menyebut ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum?
Berdasarkan hadits:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِى
Maka landasan hukum di dalam Islam itu hanya dua, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mengapa di dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i ada dua masukan sebagai landasan hukum, ijma’ dan qiyas?
Kalau menurut prinsip dari pendirian golongan syi’ah, memang ijma’ dan qiyas itu tidak dapat digunakan sebagai landasan Hukum. Akan tetapi bagi madzhab Syafi’i dan juga madzhab mu’tabar yang lain, menggunakan ijma’ dan qiyas sebagai landasan hukum itu, tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan Hadits, sebab Al-Qur’an dan Hadits sendiri juga memerintahkan supaya kita menggunakan Ijma’ dan Qiyas. Kami persilahkan baca Al-Qur’an ayat 115 di dalam surat An-Nisa’:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ اْلهَدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ اْلمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيْرًا.
Barang siapa menentang Rasul sesudah terang petunjuk baginya dan menuruti selain jalannya ornag-orang mu’min, maka Allah membiarkan akan dia bersama apa yang dia sukai, dan Allah akan memasukkan dia di dalam neraka jahannam, sejelek-jelek tempat kembali.
Hadits Shohihain:
لاَتَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَتِى ظَاهِرِيْنَ عَلىَ اْلحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ خِلاَفُ مَنْ خَالَفَهُمْ.
Tidak henti-hentinya segolongan dari umatku, selalu terang-terangan bersama-sama membela hak (kebenaran), tidak mempengaruhi mereka tentangan orang-orang yang menentang kepadanya.
Kami persilahkan baca ayat surat Al-Hasyr:
فَاعْتَبِرُوْا يَا اُولِى اْلأَبْصَارِ
Maka ambil contohlah engkau, hai orang-orang yang mempunyai pengertian.
Surat Amirul Mu’minin Umar bin Khottob yang ditujukan kepada Abi Musa Al-Asy’ari:
َالْفَهْمَ اَلْفَهْمَ فِيْمَا اَدَّى إِلَيْكَ مِمَّا لَيْسَ فِى قُرْآنٍ وَلاَ فِى سُنَّةٍ، ثُمَّ قِسِ اْلأُمُوْرَ عِنْدَ ذَلِكَ
Pahamilah! Pahamilah! Di dalam apa yang datang kepadamu, daripada yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul, kemudian kiaskanlah perkara-perkara itu ketika perkara-perkara itu tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal hanya tahu Sulam Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in
Orang-orang ahli taqlid mengaku taqlid kepada Imam Syafi’i, padahal mereka hanya tahu Sulam Safinah, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in. Apakah itu dapat dibenarkan?
Kitab-kitab Sulam Safinah, Fathul Qorib, dan lain sebagainya itu adalah kitab-kitab bermadzhab Syafi’i. mengapa tidak dapat dibenarkan?
Tetapi kadang-kadang Fathul Mu’in itu, di dalamnya terdapat keterangan-keterangan yang tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam kitab Al-Um (Imam Syafi’i)?
Saudara jangan mengira bahwa kitab Imam Syafi’i itu hanya al-Um saja, tetapi ada lagi yang lain. Yaitu Al-Imla’ dan Al-Buwaity. Lain daripada itu, Imam Syafi’i juga mempunyai qoidah-qoidah yang qoidah-qoidah itu adalah poros daripada Al-Qur’an dan Hadits sehingga kalau ada sesuatu masalah yang tidak terdapat nashnya di dalam kitab-kitab Imam Syafi’i, masalah itu dapat diselesaikan dengan qoidah-qoidah Imam Syafi’i oleh para mujtahid madzhab, dan atau mujtahid fatwanya.
Adzan Jum’at dua kali tidak mengubah sunah Rasul?
Di zaman Rasulullah Abu Bakar dan Umar, adzan Jum’at itu terdapat hanya sekali. Tetapi di zaman Utsman bin Affan, menjadi dua kali. Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul?
Dua kali itu artinya sekali ditambah sekali, bukan? Apakah saudara dapat menunjukkan dalil yang melarang menambah adzan satu kali?
Betul. Akan tetapi ayat:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
(Al-Asyr ayat 8 )
Memerintahkan supaya kita mengambil apa yang diberikan oleh Rasul kepada kita.
Kita sudah menjalankan satu kali. Itu adalah yang diberikan Rasulullah kepada kita, dengan tambahan satu kali. Tambahan satu kali ini meskipun tidak diperintahkan, apakah dilarang? Bukankah perbuatan itu ada yang dilarang, ada yang diperintahkan dan ada pula yang tidak dilarang, dan juga tidak diperintahkan. Sehingga di dalam istilah mantiq disebut “Maani’ul jam’i jaizul kholwi” saudara harus dapat membedakan antara ibarat
1. ambilah yang hijau, dan tinggalkan yang merah,
2. ambilah yang hijau, dan tinggalkan yang lainnya.
Ibarat ke-1 adalah ibarat maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan merah tidak mungkin kumpul, tetapi mungkin benda itu tidak hijau dan tidak merah).
Sedang ibarat yang ke-2 adalah maani’ul jam’i jaizul kholwi (hijau dan yang lainnnya tidak mungkin kumpul, dan juga tidak mungkin benda itu tidak hijau dan tidak yang lain dari pada hijau).
Lalu sebaiknya bagi kita ini ikut Rasulullah ataukah ikut Utsman bin Affan?
Kita ikut Utsman bin Affan itu juga berarti ikut Rasulullah SAW.sebab Rasulullah telah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ.
Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian daripada sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh sudah menjadi ijma’ sukuti.
Apakah beduk termasuk sunah?
Kalau sunah itu tidak. Akan tetapi Rasulullah tidak melarang memukul beduk, kalau saudara melarang itu namanya keterlaluan.
Sunahkah tambahan Sayyidina dalam solawat?
Pada waktu Rasululah ditanya, bagaimana kami membaca sholawat atas paduka? Rasulullah menjawab, bacalah “Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa ‘Ala Aali Muhammad” tetapi di dalam keterangan ahli taqlid selalu digunakan tambahan Sayyidina, sunahkah tambahan itu?
Fathul Mu’in hanya menerangkan:
لاَبَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّد
Tidak ada bahayanya dengan tambahan kalimat sayyidina sebelum kalimat Muhammad.
Adakah pada saudara dalil yang melarang tambahan sayyidina?
لاَ تَُسَوِّدُنِى فِى الصَّلاَةِ
Bukankah hadits itu melarang membaca sayyidina di dalam sholat?
Di manakah saudara dapat hadits itu? Saya tanyakan ini sebab sayyada yusayyidu
سَيَّدَ - يُسَيِّدُ
di dalam lughoh tidak atau belum pernah saya menjumpainya, yang ada di dalam lughoh itu sawwada-yusawwidu.
سَوَّدَ - يُسَوِّدُ
Jadi termasuk fi’il yang wawiyyul ‘ain, bukan yaiyyul ‘ain sedang kalimat Sayyid itu aslinya saiwid ‘ala wazni Fa’yil dari Sa’da-Yasudu. Wawu (و) diganti dengan Ya’ (ي) kemudian ya’ awal di-idghomkan pada ya’ tatsniyah, berdasar:
إِنْ يَسْكُنِ السَّابِقُ مِنْ وَاوٍ وَيَا *
وَاتَّصَلاَ وَمِنْ عُرُوْضٍ عَرِيَا *
فَيَاءًا الوَاوَ اقْلِبَنَّ مُدْغَمَا.
Adapun masdarnya siyadatan itu asalnya juga siwadatan, kemudian wawu diganti dengan ya’, seperti qiyam asalnya Qiwam, dan Inqiyad asalnya Inqiwad, berdasarkan:
ذَا أَيْضًا رَوَوْا فِي مَصْدَرِ اْلمُعْتَلِّ عَيْنًا
Lihat al-Khulashoh bab Ibdal. Apakah saudara juga akan berkata bahwa Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu? Kemudian sekaligus wawu dua diganti dengan ya’ dua? Jika demikian apakah dasarnya? Baiklah! Andaikata hadits itu shohih, dan benar Tusayyidu itu asalnya Tusawwidu, itu juga tidak melarang orang membaca Sayyidina. Sebab arti harfiahnya (letterlijk) adalah ”Jangan engkau mempertuan aku di dalam sholat”. Kami membaca “sayyidina” itu, tidak kami maksudkan mempertuan, akan tetapi sekedar menyesuaikan dengan kedudukan Nabi sebagai Sayyidu Waladi Adam.
Bukankah kalimat sayyidu itu artinya tuan, itu dalam bahasa Arab (Jawa) bendoro?
Tidak selamanya kalimat sayyidina itu mempunyai arti tuan itu bendoro, tapi juga yang artinya: yang mulia, yang terhormat, pemimpin bahkan ada yang artinya suami. Bacalah ayat 55 surat Yusuf.
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى اْلبَابِ.
Tarawih di zaman Umar bin Khattab menjadi dua puluh rakaat, bagaimanakah itu?
Sholat tarawih di zaman Rasullah dan Abu bakar As-Shiddiq terdapat hanya delapan rakaat, tetapi di zaman Umar bin Khottob menjadi dua puluh rakaat, bagaimana itu?
Dua puluh rakaat itu adalah delapan rakaat ditambah dua belas rakaat, adakah pada saudara itu dalil yang melarang tambahan dua belas rakaat.
Lalu bagimanakah yang lebih baik ikut Rasulullah atau Umar bin Khottob?
Kami telah mengikuti sunah Nabi di dalam yang menjalankan delapan, dan mengikuti sunah Umar bin Khottob di dalam tambahan dua belas rakaat. Dan kami mengikuti sunah Umar bin Khottab itu juga dengan dasar perintah Rasulullah SAW. Sebab Rasulullah bersabda:
اِقْتَدُوْا بِالَّذِيْنَ مِنْ بَعْدِى اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ.
Ikutilah dua orang sesudah aku, Abu bakar dan Umar (HR. Ahmad).
Bagaimana hukumnya tahlil?
Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa saudara tanyakan hukumnya tahlil? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah, Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah saudara juga masih tanya hukumnya?
Apakah pahala tahlil itu pasti sampai kepada orang yang ditahlilkannya?
Pasti sampai itu tidak, kami dan saudara sama-sama tidak tahu. Akan tetapi si pembaca tahlil itu, memohon kepada Allah hendaknya pahala tahlil yang disampaikan kepada yang ditahlilkannya.
Apakah yang demikian itu tidak bertentangan dengan ayat:
وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Bahwa manusia itu tidak mendapat pahala kecuali pahala hasil amalnya sendiri. Sehingga seseorang tidak dapat menerima manfaat dari orang lain.
Itu memang wajar. Juru tulis tidak mendapat gaji kecuali gaji sebagai juru tulis, dan tidak mendapat gajinya gubernur. Juga yang bukan juru tulis dia tidak akan bisa mendapatkan gajinya juru tulis. Demikian pula orang yang membaca kalimat Thoyyibah, dia tidak bisa mendapat pahala, kecuali pahalanya sebagai pembaca kalimat Thoyibah, dan tidak bisa mendapatkan pahalanya membaca Al-Qur’an 30 Juz. Juga yang tidak dapat membaca kalimat Thoyyibah, dia tidak dapat mendapat pahalanya membaca kalimat Thoyyibah. Akan tetapi soalnya kita memohon kepada Allah yang Maha Murah, agar pahala tahlil kita disampaikan kepada orang-orang yang dimaksud. Apa salahnya memohon? Sebagaimana halnya orang-orang yang berdosa besar selain syirik, untuk dihapus dosanya, dia harus bertaubat, tetapi kita memohon kepada Allah Ta’ala:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ
Kalau memang orang itu diberi ampunan oleh Allah Ta’ala itu yang kita harapkan. Kalau tidak, itu adalah semata-mata kekuasaaan Allah sendiri. Saya kira saudara ada lebih baik, tidak mempersempit rahmat Allah yang sangat besar, lagi maha luhur itu. Lain dari pada ayat:
وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
Itu adalah ayat ‘Amah Makhshushoh. Saudara saya persilahkan baca tafsir-tafsir yang Mu’tabar. Masalah-masalah yang dikeluarkan dari ayat ini banyak sekali. Yaitu masalah-masalah dimana orang dapat menerima manfaat dari amalnya orang lain. Sebagai contoh:
* Mayit dapat manfaat sesuatu, karena do’anya orang lain ( اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ)
* Rasulullah dapat memberi syafaat kepada Ahlil Mauquf Fi Al Hisab.
* Rasululah dapat memberi syafaat kepada orang yang berdosa besar sehingga mereka dapat dikeluarkan dari neraka. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa seseorang menerima manfaat dari amalnya orang lain?
* Malaikat memohonkan ampun kepada penghuni Bumi.
* Allah Ta’ala dapat mengeluarkan dari neraka, orang-orang yang sama sekali tidak pernah beramal baik, dan dimasukkan di dalam surga dengan rahmat Allah. Bukankah yang demikian itu berarti bahwa seseorang telah menerima manfaat tidak dari hasilnya sendiri?
* Anak-anaknya orang mu’min yang belum sampai umur, mereka dapat masuk surga tidak karena amalnya sendiri, akan tetapi sebab amalnya orang-orang tua mereka.
* Dua anak yatim yang diceritakan di dalam kisah Nabi Allah Khidir, Allah Ta’ala bersabda: وَكَانَ اَبُوْهُمَا صَالِحًا Kisah ini memberikan kesimpulan bahwa dua anak yatim ini, mendapat manfaat, sebab kebaikan ayahnya, bukankah ini keluar daripada jiwa: وَأَنَّ لَيْسَ لِْلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
* Mayit, dapat menerima manfaat Bis Shodaqoh Anhu Wa Bil ‘Atiq, dengan nash sunah dan Ijma’
* Haji dapat gugur dari mayit, dengan amal hajinya salah satu dari walinya bi Nash assunah.
* Haji Nadzar atau puasa nadzar dapat gugur dengan amalnya orang lain, bi Nash assunnah.
* Ada orang mati di zaman Rasulullah, orang itu banyak mempunyai hutang, pada waktu itu Rasulullah tidak mau mensholatkan. Sehingga Abu Qotadah membayar hutangnya mayit itu. Baru Rasulullah mau mensholatkan. Bukankah ini terang-terangan bahwa si mayit mendapat manfaat berupa sholatnya Rasulullah atasnya, sebab amal orang lain, yaitu qotadah yang telah membayar hutang si mayit.
* Rasulullah melihat ada orang sholat munfarid. Beliau berkata:”Tidakkah ada seseorang yang mau shodaqoh kepada orang itu, yaitu mau sholat bersama dia, agar banyak hasil fadlilah jama’ah.”
* Seorang yang banyak hutang, dia dapat bebas dari tanggungannya apabila hutangnya dibayar lunas oleh orang lain.
* Orang yang ikut duduk di dalam majlis ahli dzikir, dia turut mendapat rahmat, meskipun dia tidak turut dzikir.
* Jama’ah sholat yang lebih besar jumlahnya, pahalanya ada lebih besar daripada jama’ah yang kecil jumlahnya. (bukankah kebesaran pahala itu disebabkan amal orang lain?). Allah Ta’ala berfirman: وَمَاكَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيْهِمْ Tidaklah Allah itu menyiksa mereka sedang engkau berada di tengah-tengah mereka.
* Bukankah manfaat tidak diturunkannya siksa kepada mereka itu sebab orang lain? Rasulullah bersabda: لَوْلاَ عِبَادٌ ِللهِ رُكَّعٌ وَصِبْيَةٌ رُضَّعٌ وَبَهَائِمٌ رُتَّعٌ لَصُبَّ عَلَيْكُمُ اْلعَذَابُ صَبًّا Andaikata tidak ada orang-orang yang ibadah kepada Allah yang sama ruku’ dan anak-anak yang masih menyusui dan binatang-binatang yang sama mencari makanan, maka dituangkan atas kamu sekalian siksaan, benar-benar dituangkan. (HR. At-Thobroni dan Al-Baihaqi). Bukankah manfaat tidak diturunkannya siksa Allah ini, sebab orang lain? Dan masih banyak lagi.
Semua bid’ah sesat, mengapa ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah?
Saya pernah dengar hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Semua bid’ah itu sesat
Tetapi saya juga dengar dari kyai-kyai katanya bid’ah itu ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyiah, mana itu yang benar?
Kalau bid’ah Dholalah itu lafadnya umum, tiap-tiap lafad umum yaitu biasanya kemasukan takhsis, contohnya:
Hadits:
كُلُّ شَيْئٍ خُلِقَ مِنَ اْلمَاءِ
Segala sesuatu itu dibikin dari air
Apakah malaikat juga dibikin dari air? Iblis apakah dari air?
Hadits:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
Segala yang memabukan itu khomer, dan semua khomer itu haram
Kecubung itu memabukan, apakah itu juga namanya khomer? Khomer bagi orang yang مُضْطَرٌّ apakah juga haram hukumnya?
Hadits:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَتِهِ
Semua kamu itu penggembala, dan semua kamu itu ditanya dari hal ro’iyahnya
Apakah orang gila dan orang makruh, juga masuk dalam hadits ini? Kesemuanya itu dijawab tidak? Demikian pula kalau bid’ah dholalah. Apakah karena hadits ini maka saudara sampai hati mengatakan bahwa perbuatan Utsman bin Affan yang memerintahkan adzan jum’at dua kali itu dholalah? Dan Umar bin Khottob yang menjalankan tarawih dua puluh rakaat itu juga dholalah? Baca Barzanji yang isinya sejarah Maulid Nabi itu juga dholalah? Mendirikan pondok pesantren dan madarasah itu juga dholalah? Dan saudara sendiri yang tidak dholalah. Apalagi kalau menurut riwayat yang diriwayatakan oleh Ad Dailamy Fi Musnadil Firdausi, hadits itu berbunyi:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ إِلاَّ فِي عِبَادَةٍ
Kami persilahkan melihat Kunuzul Haqoiq fi Hadits Khoirul Kholaiq juz Tsani Shohifah 39.
Bagaimana kebenaran hadits berikut?
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هذَا مَا َليْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Hadits itu memang benar diceritakan oleh Bukhori wa Muslim wa Abi Dawud wa Ibnu Majah dari Aisyah, akan tetapi perhatikanlah benar-benar terjemahannya! “Barang siapa mengada-ada (menimbulkan) di dalam agama kita ini, sesuatu yang tidak bersumber darinya, maka ia ditolak”. Lalu apalagi yang saudara maksud? Kalau kita mengerjakan sholat shubuh empat rakaat, atau sholat mayit pakai ruku’, sujud, itu memang ditolak, sebab yang demikian itu tidak ada sumbernya dari agama. Adapun yang ada sumbernya dari agama, sebagaimana masalah-masalah yang disebut dimuka (adzan jum’at dua kali, tarawih dua puluh rakaat dan lain sebagainya) ia tidak termasuk yang ditolak.
Sesungguhnya apakah yang disebut bid’ah itu?
Memang arti Bid’ah ini sesungguhnya harus ditanyakan terlebih dahulu, sebelum disodorkannya hadits:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Bid’ah itu ada dua macam:
1. Bid’ah syar’iyah
2. bid’ah lughowiyah.
Tiap-tiap ucapan, perbuatan atau i’tikad yang tidak bisa disaksikan kebenarannya oleh ushulis syar’iyah (Al Kitab, Sunah, Al Ijma’, Qiyas) maka itu Bid’ah Mardudah. Inilah yang dimaksud oleh haditsnya Aisyah tersebut di atas. Ini pula yang disebut Bid’ah Syar’iyah.
Adapun Bid’ah lughowiyah, yaitu segala yang belum pernah terjadi pada zaman Rasululah SAW. Bid’ah lughowiyah terbagi menjadi lima:
1. Bid’ah Wajibu Ala Kifayah, misal mempelajari Al Ulumul Arabiyah sebagai alat masuk memahami Al-Qur’an Dan Hadits.
2. Bid’ah Muharromah, misanya seperti I’tiqod dan hal ihwal ahli bid’i yang bertentangan dengan thoriqoh Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
3. Bid’ah Mandubah, yaitu perbuatan-perbuatan yang baik tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.seperti mendirikan madrasah-madrasah untuk memudahkan cara-cara memberi pelajaran agama kepada murid-murid.
4. Bid’ah Makruhah, misalnya seperti menghias masjid dengan hiasan yang berlebih-lebihan.
5. Bid’ah Mubahah, sepeti bermewah-mewah dalam makan minum.
Islam tidak mengenal selamatan, mengapa tidak diberantas?
Selamatan-selamatan model Budha seperti ambengan, kupat lepet, bubur (jenang) mirah, dan lain sebagainya itu apakah tidak seharusnya diberantas? Sebab sudah terang di dalam Islam tidak ada?
Shodaqoh itu pada prinsipnya adalah anjuran Islam.
وَفىِ اْلحَدِيْثِ: اَلصَّدَقَةُ أَفْضَلُ مِنَ الصِّيَامِ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ.
Shodaqoh lebih utama dari pada puasa, dan puasa itu sebagai tameng dari pada neraka. (HR. Addailamy Fi Musnadihi Al Firadus)
الَصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا تُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ
Shodaqoh itu dapat memadamkan kesalahan, laksana air memadamkan api. (HR. Addailamy Fi Musnadihi Al Firadus).
Dan masih banyak lagi. Kemudian macam apa, dan berupa apa shodaqoh itu, Islam tidak menentukan, bahwa Rasulullah pernah berkata,
تَصَدَّقُوْا وَلَوْ بِتَمَرَةٍ
Shodaqohlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma. (HR. Al Bukhori). Hadits ini menunujukkan bahwa shodaqoh itu, berupa apa saja dan berapa saja jumlahnya, Rasulullah tidak menentukan. Berupa bubur (jenang), berupa panggang ayam, berupa kupat lepet, berupa ambeng, pendek kata berupa apa sajalah, meskipun hanya dengan sebutir kurma, cukuplah buat shodaqoh.
Adapun shodaqoh di Jawa dilaksanakan berupa ambeng, jenang, kupat lepet, dan lain sebagainya itu adalah halnya adat yang tidak bertentangan dengan Islam. Memang wali sembilan di zaman dahulu ( ± lima ratus tahun yang lalu) di dalam menyiarkan agama Islam di Jawa, caranya amat bijaksana. Yaitu tiap-tiap adat yang tidak bertentangan dengan Islam sama sekali tidak diberantas. Baik adat itu cara berpakaian, cara berumah tangga, cara bersosial dan lain sebagainya. Apalagi adat di dalam pelaksanaan selamatan di Jawa ini memang mengandung hikmah-hikmah yang dalam. Sebagai misal umpamanya:
* Ambengan. Akhir-akhir ini telah banyak terjadi diganti dengan takiran (nasi kotak). Coba bandingkan. Jika yang diundang selamatan sebanyak 20 orang, persediaan takiran juga 20 buah, kemudian karena suatu hal yang hadir 30 orang. Bagaimana caranya mengatasi nasibnya kelebihan undangan yang sepuluh orang? Tetapi kalau dengan cara ambeng mudah sekali. Yang dipanggil selamatan 20 orang, pesediaan ada 30 ambeng. Kemudian yang datang ada 30? Baiklah, sekarang tiga buah ambeng untuk tiga puluh orang.
* Saudara mungkin akan berkata, “Dengan takiran juga mudah, yaitu yang tidak membawa surat undangan ditolak.” Menurut kami cara demikian itu tidak cocok dengan kepribadian orang-orang Timur, terutama orang Jawa. Perasaan orang timur itu sangat halus. Kalau dia mengundang tetangganya untuk hadir dalam upacara khitanan umpamanya, kemudian turut datang juga beberapa orang yang tidak diundang, maka dia tidak sampai hati untuk menolak mereka. Di sini, inilah letak faedah daripada ambengan.
* Bubur (jenang). Sudah menjadi watak bagi manusia, terutama orang-orang Indonesia bahwa disamping mereka itu senang menerima pemberian, juga senang memberi kepada orang lain, meskipun kiranya kalau mereka itu hanya selalu diberi, tetapi tidak pernah memberi. Malu agaknya mereka itu kalau mereka itu hanya selalu dundang selamatan, tetapi tidak pernah mengundang selamatan. Agar supaya orang-orang yang tidak memberi itu juga dapat turut menikmati amal perbuatan memberi, aka dianjurkanlah pemberian itu berupa bubur (jenang), sebab bubur itu kecuali kelihatan pantas, juga modalnya sederhana sekali. Kalau beras sekilo itu apabila dijadikan nasi hanya cukup buat enam orang, tetapi kalau dibagikan bubur bisa cukup buat lima belas orang sampai dua puluh ornag. Belum lagi dihintung pengantarnya. Kalau nasi sekurang-kuranngnya harus diantar oleh lauk pauk, tetapi bubur cukup dihantar dengan kelapa tua dan gula jawa.
* Kupat atau ketupat. Ketupat itu bahannya sederhana sekali. Ketupat yang agak lumayan besarnya itu bisa cukup dua sendok beras. Lain daripada itu, kalau tiap setahun sekali kita selamatan ketupat itu berarti kita memberikan peringatan kepada tetangga kita supaya tetap bersatu. Kalau dua sendok beras yang dapat bercerai berai itu dapat dipersatukan, sehingga kumpul menjadi satu merupakan benda berat yang sedang ia tidak berakal, mengapa manusia yang berakal tidak dapat disatukan dalam satu rangka ketupat? Saya rasa tiga contoh ini cukup.
Mengapa orang yang memegang atau membawa Al-Qur’an harus berwudlu dahulu?
Di dalam Al-Qur’an ada ayat yang berbunyi:
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
Yang maksudnya bila kamu sekalian akan berdiri sholat, maka basuhlah mukamu (dan seterusnya).
Jadi jelas bahwa ada perintah wudlu itu digantungkan pada apabila orang akan sholat.
Tetapi mengapa kyai-kyai selau mengatakan orang yang akan memegang Al-Qur’an atau membawa Al-Qur’an dia harus ambil air wudlu dahulu. Dan kalau tidak berwudlu maka haram menyentuh, memegang/membaca Al-Qur’an?
Kalau demkian caranya saudara memahami ayat Al-Qur’an maka bisa terjadi hukum itu menjadi kacau, sebab ayat-ayat yang bentuknya semisal ayat yang saudara sebutkan itu banyak sekali. Sebagai contoh umpamanya
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَاْلفَتْحُ وَرَأَيْتَ الناَّسَ يَدْخُلُوْنَ فِى دِيْنِ اللهِ اَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرُهُ
Apabila datang pertolongan Allah, dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk di dalam agama Allah, maka bacalah tasbih dengan memuji Tuhanmu Dan mohon ampunlah.
Apakah saudara juga akan berkata, “Mengapa kyai-kyai membaca Subhanallah Wabihamdihi?” Astaghfirullah! Toh pertolongan Allah belum datang, kemenangan juga belum datang?
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرُ اَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لهَمُاَ اُفٍّ
Kalau salau satu daripada bapak ibu, atau kedua duanya telah sampai umur tua, berada pada sisimu, maka jangan kamu bentak-bentak.
(Surat Al Isro’ ayat 23)
Jelas bahwa orang yang membentak kepada bapak ibu itu, digantungkan pada: kalau bapak ibu sudah berumur tua dan terkumul dengan anaknya.
Apakah saudara juga akan berkata, “Mengapa kyai-kyai itu selalu melarang saya membentak bapak ibuku, sedang bapak ibu tuh masih muda-muda dan tidak berkumpul bersamaku?” Masih banyak contoh-contoh lain.
Adapun para ulama’ berfatwa, bahwa orang yang tidak berwudlu, maka dilarang menyentuh atau membawa Al-Qur’an, itu dasarnya adalah Ijma’ Al Aimatul Arba’ah, disamping memang ada haditsnya yaitu: hadits yang diriwayatkan oleh Hakim ibnu Hazm:
إِنَّ النَّبِي صَليَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَمَسَّ اْلقُرْآنَ إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Jangan engkau membentuk al-Qur’an kecuali engkau suci
(HR. At Thobroni Dan ad Darruquthni dan Al Hakim).
Juga ayat
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ
Kalau ayat
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ اْلمُطَهَّرُوْنَ
Ini saya kira tidak dapat digunakan sebagai dasar, sebab yang dimaksud adalah Al-Qur’an pada waktu masih di Lauhil Mahfudl, dan Muthohharun adalah malaikat. Jadi artinya kalam Allah di Lauhil Mahfud itu tidak dapat disentuh kecuali oleh malaikat yang suci.
Saudara saya persilahkan membaca ayat sesudahnya, yaitu:
تَنْزِيْلٌ مِنْ رَبِّ اْلعَالمَِيْنَ
Jadi jelas bukan Al-qur’an (Lauhil Mahfud). Tetapi Al-Qur’an yang diturunkan. Kalau yang dimaksud dengan Muthoharun itu malaikat yang suci-suci berarti ada malaikat yang tidak suci, padahal semua malaikat adalah suci. Lain dari pada itu kalam Allah (Lauhil Mahfudl) itu tidak ada huruf dan suaranya, bagaimana itu bisa disentuh? Baiklah, kalau saudara tidak mau menerima ayat tadi sebagai dasar hukum, apakah haditsnya Hakim Ibnu Hazm juga tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum?
Bagaimana hukumnya talqin mayit, setelah mayit selesai dikubur?
Bagaimana hukumnya talqin mayit, setelah mayit selesai dikubur?
Talqin mayit, kalau mayitnya muslim mukallaf, para ulama’ Ahlu Sunah wal Jama’ah menetapkan hukumnya sunah. Dengan dasar ayat:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرى َتَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ
Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu, manfaat bagi orang-orang mu’min (Adz-Dzariyat ayat 55)
Dan hadits yang diriwayatkan oleh Utsman ra.berkata:
كاَنَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ اْلمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اِسَتَغْفِرُوْا ِِلاَخِيْكُمْ وَاسْئَلُوْا اللهَ لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْئَلُ
Adalah Rasulullah itu manakala selesai dari menanam mayit, maka berhentilah beliau di atas kubur mayit itu (sejenak) Dan berkata,”Mohon ampunlah kamu untuk saudaramu dan mohonlah kepada Allah ketabahan bagi saudaramu, karena dia sekarang ini sedang ditanya. (Hadits hasan HR. Abu Dawud)
Apa gunanya orang sudah mati dan telah berada di dalam qubur mesti diperingatkan?
Sebab pada waktu itu, dia sangat membutuhkan peringatan dan doa dari teman-teman yang masih hidup, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat dan Hadits tersebut.
Adakah Hadits yang menerangkan bahwa pelaksanaan talqin itu sebagaimana yang berlaku di kampung-kampung sekarang ini?
Rasulullah bersabda dalam hadits yang amat panjang. Oleh sebab itu saudara saya persilahkan melihat sendiri di dalam haditsnya Thobroni ini atau I’anatut Tholibin juz Tsani shohifah 14 (HR. At Thobroni)
Apakah Hadits yang diriwayatkan Thobroni itu tadi bukan Hadits dho’if?
Hal itu terserah pada penilaian saudara. Akan tetapi meskipun dho’if tidak ada halangannya hadits itu dipergunakan sebagai landasan, sebab masalah talqin itu termasuk Fadhoil.
Imam Ahmad Hambali wa Ghoirihi minal aimmati pernah berkata, “Manakala kami meriwayatkan di dalam soal-soal halal dan haram, maka kami perkeras penelitian kami, dan manakala kami meriwayatkan di dalam Fadhoil maka kami peringan penelitian kami.”
Tadi dibawa-bawa ayat di dalam surat Dzariyat. Bukankah yang dimaksud mukmin ini, orang-orang mukmin yang masih hidup?
Apakah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan mu’min itu orang-orang mu’min yang masih hidup? Apakah bapak-bapak kita yang telah wafat itu tidak dapat disebut orang-orang mu’min?
Bukan begitu maksud saya. Maksud saya kalau orang-orang yang sudah mati itukan tidak ada gunanya diperingatkan, sebab mereka sudah tidak dapat mendengar.
Saudara saya persilahkan baca tarikh, pada waktu selesai perang badar, dan beberapa gembong musyrikin telah dimasukkan ke dalam sumur, pada waktu itu Rasulullah mendekati sumur kemudian memanggil nama-nama gembong-gembong tadi satu persatu dan kemudian berkata:
أَيَسُرُّكُمْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ أَطَعْتُمُ اللهَ وَرَسُولَهُ (إِلَى أَخِرِ مَا قَالَ)
Mendengar Rasulullah memanggil bangkai orang-orang musyrik itu, shahabat Umar bin Khottob berkata, “Apa artinya berbicara dengan bangkai-bangkai yang telah tidak bernyawa itu?” Rasulullah menjawab
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُولُ مِنْهُمْ. لَكِنَّكُمْ لاَيَسْتَطِيْعُونَ جَوَابًا
Demi Allah, tidaklah kamu itu lebih dapat menedengar apa yang kamu katakan daripada mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawab.
Kalau tarikh itu betul, apakah tidak bertentang dengan ayat:
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمَعٍ مَنْ فِى القُبُورِ
Tidaklah engkau Muhammad, dapat memberikan pendengaran orang-orang yang berada di dalam kubur
إِنَّكَ لاَتُسْمِعُ المَوْتَى
Sesungguhnya engkau tidak dapat memberikan pendengaran kepada orang-orang yang mati
Ayat ini, tersebut dalam surat Fathir ayat 22. Sebaiknya di dalam memahami sesuatu ayat, hendaknya ayat sebelum dan sesudahnya, saudara datangkan pula, agar tidak menyalahkan paham. Lain daripada itu, juga harus menggunakan tafsir yang mu’tabar. Baiklah ini saya datangkan ayat-ayat itu berikut dengan tafsirnya:
(وَمَا يَسْتَوِى الأَعْمَى وَالبَصِيْرُ)
al kafir wa Mu’min
(وَلاَالظُّلُمَاتُ)
al kafir
(وَلاَالنُورُ)
al Iman
(وَلاَالظِّلُّ وَلاَ الحُرُورُ)
al Jannah wa an Nar
(وَمَا يَسْتَوِى الأَحْيَاءُ وَلاَ الأَمْوَاتُ)
al Mu’min wal Kuffar.
(إنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ) هِدَايَتَهُ فَيُجِيبُهُ بِالإِيِمَانِ (وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى القُبُورِ) اي الكُفَّارِ شَبَّهَهُمْ بِالمَوتَى فِى عَدَمِ الإِجَابَةِ (إنْ أَنْتَ إِلاَّ نَذِيْرٌ)
Dengan tafsir ini jelas bahwa (Man fil Qubur):
Orang-orang yang di dalam qubur itu artinya orang-orang kafir yang disamakan dengan orang-oang yang ada di dalam qubur, sama di dalam tidak menjawab panggilan Rasululah SAW. Orang-orang kafir mendengar ajakan Rasulullah tetapi tidak menyambut baik. Abu Jahal dan kawan-kawannya yang dimasukkan ke dalam sumur di Badar, juga mendengar panggilan Rasulullah SAW. Tetapi mereka tidak dapat menjawab.
Ayat (An Nahl ayat 80):
إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ المَوتَى
Saya tuliskan ayat itu berikut kelanjutan serta tafsirnya.
قَالَ الجَلاَلُ : ثُمَّ ضَرَبَ أَمْثَالَهُمْ (اي لِلْكُفَّارِ ) بِالمَوتَى وَبِالصُمِّ وَبِالعُمْيِ فَقَالَ (إِنَّكَ لاَتُسْمِعُ المَوتَى وَلاَ تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَاءَ إِذَا وَلَّوا مُدْبِرِيْنَ)(وَمَا أَنْتَ بِهَادِى العُمْيِ عَنْ ضَلاَلَتِهِمْ إِنْ)مَا(تُسْمِعُ) سَمَاعَ إِفْهَامٍ وَقَبُولٍ (إِلاَّ مَنْ يُؤْمِنُ بِأَيَاتِنَا)القُرْآنِ (فَهُمْ مُسْلِمُونَ)مُخْلِصُونَ بِتُوحِيدِ اللهِ.
Jelas bahwa yang dimaksud dengan maut adalah orang-orang kafir. Mereka sesungguhnya mendengar ajakan Rasulullah SAW tetapi tetap tidak iman. Disamping itu coba perhatikan hadits Rasulullah tentang ziarah qubur berikut ini:
وَعَنْ بُرْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُهُمْ إِذَا خَرَجُوا إِلَى المَقَابِرِ أَنْ يَقُولَ قَائِلُهُمْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ المُؤْمِنِِيْنَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّ إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمْ العَافِيَةَ. رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Buraidah RA, dia berkata, “Adalah Rasulullah SAW itu memberikan pelajaran kepada orang-orang manakala mereka keluar ke qubur, hendaknya salah satu dari mereka mengucapkan: “Assalamualaikum hai keluarga desa dari orang-orang mukmin dan muslim. Sesungguhnya kami, Insya Allah, akan menyusulmu. Kami memohon kepada Allah ta’ala keselamatan untuk kami dan untuk kamu”.
Tolong pikirkan sejenak kawan! Kalau sekiranya orang-orang mati itu tidak mendengar, apa gunanya diberi salam. Doanya menggunakan kalimah Walakum (dlomir khitob), tidak walahum (dlomir ghoibah). Apa itu artinya?
Sebaiknya sholat hari raya dilaksanakan di masjid atau lapangan?
Sholat hari raya itu sebaiknya dilaksanakan di masjid kah atau di lapangan?
Sholat hari raya itu dilaksanakan di masjid boleh, di musholla atau di lapanganpun boleh. Tentang mana yang lebih afdlol itu ada tafsil/perinciannya. Kalau masjid setempat sempit, tetapi diantara umat Islam setempat terdapat orang-orang dloif/lemah, sebab sudah tua agak sakit-sakitan sehingga berat untuk hadir di lapangan, maka disamping sholat hari raya di lapangan juga diadakan di Masjid, untuk menampung teman-teman yang dloif. Yang tersebut tadi kalau tidak kebetulan hujan. Kalau terjadi hujan, maka sholat hari raya dilaksanakan di Masjid.
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أصَابَنَا مَطَرٌ فِى يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى مسْجِدٍ.
Dari Abu Hurairah, dia berkata: datang hujan pada kami sewakti hari raya, maka Rasulullah sembahyang dengan kami di dalam Masjid.
Kalau Masjid setempat luas, sehingga dapat menampung pengunjung sholat ied, maka dilaksanakan di Masjid adalah lebih afdlol. Itulah sebabnya sejak dahulu hingga sekarang sholat ied di Makkah dan Madinah selalu dilaksanakan di Masjid, karena Masjid adalah lebih mulia dan lebih bersih daripada lapangan.
Apakah sah dan tidak bid’ah untuk mengucapkan niat shalat padahal mestinya niat dengan hati?
Niat itu tempatnya di hati, dan memang seharusnya niat itu dengan hati, akan tetapi saya dengar orang-orang bersembahyang di Masjid, niatnya dengan ucapan Usholli fardlo dzuhri dst. Sahkah itu?
Niat itu memang tempatnya di hati. Kalau hanya ucapan Usholli fardlo dzuhri dan seterusnya saja itu namanya bukan niat.
Kalau demikian, lalu apa gunanya baca Usholli?
Gunanya untuk menolong agar hati kita itu ingat mensahajakan, sebab manusia itu tempatnya lupa. Apalagi di dalam niat itu, kita harus Ta’ridh dan Ta’yin. Untuk ingat mensahajakan sholat berikut ta’ridh dan Ta’yin adalah tidak mudah.
Bagaimana hukumnya kalau orang sholat tidak baca usholli, tetapi sudah niat hati? dan bagaimana hukumnya baca usholli padahal juga juga niat dengan hati?
Sholat dengan niat yang mencakup syarat, tanpa baca usholli ila akhirihi hukumnya sah. Melengkapi dengan bacaan usholli ila akhirihi hukumnya mandub. Menurut keterangan kitab-kitab fiqih yang menjadi pegangan para ulama’seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in dan lain sebagainya.
Tetapi saya pernah membaca majalah berbahasa Indonesia. Di sana diterangkan bahwa bacaan Usholli ila akhirihi itu tidak baik, bahkan termasuk bid’ah yang sesat.
Hal itu terserah kepada saudara. Kami dan saudara sama-sama mempunyai pegangan. Kami mempunyai pegangan kitab-kitab Fathul Mu’in dan sebagainya. Dan saudara sama-sama mempunyai pegangan. Saudara juga mempunyai pegangan majalah. Sayangnya ada sedikit perbedaan yaitu Fathul Mu’in mengatakan bahwa tidak membaca Usholli juga boleh, dan tidak sesat, tetapai majalah yang saudara sebutkan mengatakan bacaan Usholli tidak baik dan sesat. Jadi Fathul Mu’in tidak menganggap salah kepada orang yang tidak membaca Usholli dan majalah tersebut mengangggap salah kepada orang yang membaca Usholli.
Sebabnya dikatakan sesat dan dikatakan salah, karena menambah aturan-aturan di dalam sholat.
Keterangan saudara itu tidak benar, karena sholat itu dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Jadi sebelum waktu takbir itu namanya belum sholat, sedang bacaan Usholli itu dilakukan sebelum Takbirotul Ihrom. Itu dengan kata-kata lain diucapkan di luar sholat, dan sama sekali tidak mengganggu tata tertibnya sholat.
Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Bagaimana hukumnya baca manaqib?
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.
Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.
Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misanya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?
Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?
Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.
Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)
قَالَ اللهُ تَعَالَى : قَالَ الَّذِى عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الكِتَابِ أَنَا آتِيِكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ. فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّى لِيَبْلُوَنِى أَأَ;شْكُرُ اَمْ أَكْفُرُ. وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّى غَنِيٌّ كَرِيْمٌ.
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?
Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.
Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?
Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara. Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.
Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim
وَقَالَ رَبُّكُمْ أُدْعُونِى أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)
فَادْعُو اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيِنَ
Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)
وَالَّذِيْنَ لاَيَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا أَخَرَ
Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:
Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”. Coba perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar itu?
Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta?
Semoga kiranya risalah yang kecil ini, dapat memenuhi harapan ihwanul muslimin, terutama jamaah Nahdlatul Ulama. Semoga risalah ini bermanfaat.
Penyusun: KH. Bisri Mustofa
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar