abiquinsa: Metode Meraih Kebahagiaan dalam Psikologi Sufistik

Metode Meraih Kebahagiaan dalam Psikologi Sufistik


METODE MERAIH KEBAHAGIAAN DALAM PSIKOLOGI SUFISTIK
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I

A.    Metodologi Psikologi Islam
Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti sosiologi Islam, ekonomi Islam, dan sebagainya. Penggunaan kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma, atau aliran-aliran tersendiri yang berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga hakikat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung pada ikhtiarnya.

Dari sini tampak bahwa psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun kebebasan itu tetap dalam koridor sunnah-sunnah Allah SWT. Psikologi Islam mempunyai tujuan yang hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih sempurna untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[1]
Sampai saat ini, setidaknya ada dua usaha untuk mengintegrasikan psikologi dan Islam; pertama, psikologi digunakan sebagai pisau analisis masalah-masalah umat Islam, dan kedua, Islam dipakai sebagai pisau analisis untuk menilai konsep-konsep psikologi. Usaha pertama mempunyai keunggulan, psikologi dimanfaatkan untuk menjelaskan problem umat Islam serta meningkatkan sumber daya umat. Sedangkan kelemahannya, konsep-konsep psikologi mempunyai keterbatasan dan kemungkinan bias yang sangat besar, karena seringkali mereduksi Islam ke dalam pengertian-pengertian parsial dan tidak utuh.
Cara yang kedua, keunggulannya adalah kajian kritis yang dilakukan terhadap psikologi sehingga dapat diketahui kelemahan dan kekuatan konsep psikologi. Tapi kelemahan cara kedua ini terletak pada titik pembahasan pada konsep psikologi, sehingga sering membuat seseorang terjebak dengan memandang persoalan lebih berangkat dari pemahaman terhadap konsep psikologinya ketimbang Islamnya. Untuk itu perlu dengan cara pandang ketiga, yaitu membangun konsep psikologi baru yang didasarkan pada Islam.[2] Caranya dengan merumuskan pengembangan metodologi psikologi Islam dengan memperhatikan paradigma dan metode yang khas Islam.
Metodologi dalam pembahasan filsafat disebut dengan logika material yang berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu hal atau keadaan.[3] Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode disertai dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode, yang dalam karya ilmiah akan ditindaklanjuti dengan memilih dan menentukan metode yang digunakan. Metodologi psikologi Islam berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu hal atau keadaan dalam perspektif Islam.
Kaitannya dengan metodologi psikologi Islam tersebut, ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli. Pertama, psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[4]
B.     Pendekatan dalam Psikologi Islam
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam membangun psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para psikolog muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan filosofis dan pendekatan sufistik.[5]
1.      Pendekatan Skriptualis
Pendekatan ini mengacu kepada teks wahyu. Pendekatan skriptualis dalam psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran atau hadits dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilâlah) yang sudah dianggap jelas (sarîkh). Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah menciptakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya. Epistemologi dalam pendekatan ini bersifat bayanî, yaitu metode pemikiran yang menekankan otoritas teks, secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlâl).[6]
2.      Pendekatan Filosofis
Pendekatan ini mengacu kepada akal (burhanî). Pendekatan filosofis dalam psikologi Islam ini didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan universal yang didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa meninggalkan nas, hanya cara memahaminya dengan mengambil makna esensi yang tersirat di dalamnya. Jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, berarti akal belum mampu menangkap pesan nas tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wîl) terhadap lafal nas.
3.      Pendekatan Sufistik
Pendekatan ini mengacu kepada intuisi (‘irfanî). Pendekatan sufistik dalam psikologi Islam didasarkan pada prosedur intuitif, ilham dan cita-cita dengan cara menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) untuk membuka tabir (hijâb) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kashf) dan mampu mengungkapkan hakikat jiwa sesungguhnya. Pengetahuan ‘irfanî tidak diperoleh melalui analisis teks (seperti dalam pendekatan skriptualis), tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.[7]
C.    Metode Operasional Psikologi Sufistik
Metodologi psikologi sufistik adalah cara menyusun pikiran untuk memahami kehidupan jiwa manusia, sesuai dengan penjelasan Allah. Hal ini disebabkan karena psikologi sufistik menemukan landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam. Secara konseptual, metodologi psikologi sufistik bertolak dari aksiologi yang berdasarkan wahyu. Epistemologinya menyangkut perumusan dan pengembangan psikologi sufistik yang memadukan antara akal dan wahyu, sedangkan ontologinya menetapkan substansi yang ingin dicapai.
Dengan demikian, berangkat dari pandangan di atas, psikologi sufistik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai psikologi Islam dengan pendekatan tasawuf (esoteris Islam). Dalam metode operasionalnya, Abdullah Hadziq setidaknya mencatat 4 metode yang digunakan dalam psikologi sufistik,[8] yaitu:
1.      Metode Mulâhadah Tabî’iyah
Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh hal-hal yang terkait dengan tingkah laku manusia secara sadar, sistematis dengan tujuan sesuai yang telah direncanakan.[9] Mulâhadah tabî’iyah sebagai suatu metode dapat digunakan untuk mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang diamati, karena dalam pandangan psikologi agama, tingkah laku seseorang yang nampak secara lahiriah lebih banyak dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya atau kerangka pikir teologi yang mendasarinya.
2.      Metode Tajrîb Rûhânî
Metode tajrîb rûhânî ini merupakan metode eksperimen dalam situasi khusus yang bernuansa spiritual, dimana gejala-gejala yang diteliti disederhanakan sedemikian rupa, sehingga peneliti dapat menguasai seluruh proses eksperimen yang ada. Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat antara usaha-usaha yang bersifat spiritual dengan tingkah laku keseharian pada objek yang dijadikan uji coba.[10]
3.      Metode Interpretasi Kitab Suci
Munculnya metode interpretasi kitab suci ini, dilatarbelakangi oleh suatu fakta bahwa dasar-dasar objek keilmuan psikologi sufistik dirumuskan atas kerangka pikir kitab suci sebagai referensi utamanya. Hal ini dapat diperhatikan pada pemikiran-pemikiran psikologinya tentang nafs, ‘aql, qalb, rûh, dan fitrah.[11]
Selain di atas, munculnya metode interpretasi kitab suci tersebut dilatarbelakangi juga oleh dasar pemikiran, bahwa realitas yang ada tidak hanya terbatas segala sesuatu yang bersifat empiris inderawi yang dapat dinalar, seperti paham rasionalisme dan positivisme, melainkan ada juga realitas lain yang keberadaannya tidak dapat diukur dengan kriteria indera dan rasio. Sehingga keberadaan metode interpretasi kitab suci dalam psikologi sufistik menjadi mutlak adanya.
4.      Metode Kashf
Maksudnya adalah metode pemahaman tentang apa yang tertutup bagi pemahaman rasional dan sensual, yang tersingkap bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang.[12] Cara intuitif ini, sekalipun dalam wacana tertentu dikategorikan sebagai pendekatan “non ilmiah”, tetapi keberadaannya masih bisa diakui sebagai metode untuk memperoleh kebenaran/ pengetahuan.[13]
Hal ini sejalan dengan pandangan al-Ghazâlî yang menyatakan bahwa metode kashf (intuitif) masih dapat dibenarkan sebagai sarana untuk memperoleh bahan pengetahuan, selama pengetahuan yang dihasilkan tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip agama.[14] Untuk memperoleh pengetahuan intuitif melalui metode kashf, subjek pencari pengetahuan ini, disyaratkan terlebih dahulu melakukan mujâhadah dan riyâdah, dengan melewati tahapan demi tahapan (maqâmât) yang telah ditentukan.[15]
Menurut Suhrawârdî, secara metodologis, pengetahuan ruhani dalam metode kashf diperoleh melalui tiga tahapan, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Dalam tahap persiapan, penempuh jalan spiritual (sâlik) harus menyelesaikan jenjang-jenjang spiritual yang disebut maqâmât, seperti tawbah, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkul, dan rida.
Selanjutnya dalam tahap penerimaan, seorang sâlik akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif atau neotic. Dalam tahap ini, ia akan mendapatkan kesadaran realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kashf), sehingga dirinya mampu melihat realitas dirinya sendiri (mushâhadah). Sedangkan pada tahap pengungkapan, merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian pengetahuan ‘irfanî, dimana pengetahuan mistik dinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan maupun tulisan, meskipun harus disadari, tidak semua pengalaman ‘irfanî bisa diungkapkan.[16]
D.    Kebahagiaan dalam al-Qur’an
Al-Qur’an menjadi dasar argumen bagi kaum sufi dalam menyusun teori tasawufnya, seperti halnya teoretisi yang lain. Mereka mendasarkan pandangan tasawufnya dengan memberikan tafsir (dan bila perlu takwil) dalam memahami suatu ayat. Banyak dari kaum sufi yang menyusun kitab-kitab tafsir sesuai pandangan sufistiknya. Kebanyakan (untuk tidak mengatakan semua) corak dari tafsir kaum sufi ini memiliki corak tafsir isyârî, yakni tafsir yang mengandalkan pada makna tersirat (isyârî, isyarat) dari suatu bunyi teks yang tersurat, dengan menggunakan epistemologi ‘irfanî.
Kaitannya dengan kebahagiaan, kaum sufi memaknai ayat yang berbicara mengenai kebahagiaan sebagai bentuk kebahagiaan eskatologis. Menurut mereka, kebahagiaan tidak hanya dalam kehidupan ini, tetapi juga kehidupan setelahnya. Al-Qur’an mengajarkan kebahagiaan hidup di dunia serta cara-cara meraihnya, disamping mengharuskan keselarasannya dengan tujuannya di akhirat. Ia menjelaskan akhirat sebagai akibat perbuatan di dunia. Para pendurhaka di dunia mendapatkan neraka sebagai balasannya di akhirat, dan dia termasuk orang yang celaka. Sebaliknya, orang yang bahagia adalah mereka yang menjalankan petunjuk Tuhan di dunia, dan surga menjadi balasannya di akhirat.
Secara teknis, al-Qur’an menyebut konsep kebahagiaan dengan redaksi “bahagia” (سعد) dalam satu tempat, yakni pada Surat Hud ayat 105-108. Pembahasan mengenai kebahagiaan dalam ayat tersebut sebelumnya diawali dengan kontradiksinya dengan kesengsaraan penghuni neraka pada ayat sebelumnya.
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ (۱۰٥) فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ (۱۰٦) خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (۱۰۷) وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (۱۰۸)
Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.[17]
Al-Qur'an secara gamblang menyebut para penghuni neraka sebagai orang-orang yang celaka dan para penghuni surga sebagai orang-orang yang bahagia. Model pemahaman yang ditawarkan al-Qur’an tampaknya mengajak untuk melihat keterbalikan dan kontradiksi dari suatu terma. Kata bahagia tidak dipahami dengan mencari padanan katanya, seperti sejahtera, untung, gembira, dan sebagainya, tetapi justru dijelaskan dengan melihat lawan katanya, yakni celaka. Hal ini mengindikasikan terma kebahagiaan bersifat obyektif dan tidak terkait dengan kondisi psikis yang subyektif, seperti gembira, untung, dan sebagainya.
Selain itu, dimensi eskatologis yang menonjol dari konsep kebahagiaan di atas menunjukkan adanya transendentalisasi. Hal ini dapat dilihat dari cara al-Qur’an menunjukkan bentuk majhul (passive voice) dari makna “bahagia”. Penyebutan “orang-orang yang bahagia” dalam redaksi alladhîna su’idû (اَلَّذِيْنَ سُعِدُوْا), menunjukkan bahwa kebahagiaan yang mereka raih tidak semata-mata atas hasil usahanya sendiri, tetapi lebih pada pemberian atau karunia dari Allah.
Selain itu, bentuk ayat tersebut menunjukkan isyarat yang jelas tentang penafian segala kebahagiaan yang berlawanan dengan hasil akhir di akhirat. Artinya, konsep bahagia-celaka di dunia tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur kebahagiaan yang sejati. Betapapun seseorang meraih kesuksesan, kesejahteraan, kebahagiaan di dunia, tetapi jika di akhirat justru mendapatkan kebalikannya, maka ia layak disebut sebagai orang yang celaka. Artinya, tolok ukur kebahagiaan sejati tidak berasal dari persepsi duniawi, tetapi tolok ukur ukhrawi.
Tolok ukur inilah yang dapat dipakai sebagai acuan dalam meraih kebahagiaan di dunia. Orang yang tolok ukurnya ukhrawi akan menjalani hidup dengan berpatokan dengan tuntunan Tuhan. Betapapun beratnya beban hidup di dunia tidak menghalanginya dalam meraih kebahagiaan. Kemiskinan tidak menjadi hambatan untuk bersyukur. Keyakinan atas takdir begitu mantap hingga ia tidak lagi mempedulikan keinginannya. Ia sudah menyerah, pasrah, dan tidak lagi memiliki motif kecuali cintanya pada Tuhan.
Selain kebahagiaan dalam redaksi sa’âdah, al-Qur’an menggunakan dua redaksi lainnya, yaitu tûbâ (طوبى) dan na’mâ’ (نعماء). Hal ini terlihat dalam ayat berikut:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآَبٍ
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.[18]

وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاءَ بَعْدَ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ
Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.[19]
Dalam redaksi tûbâ, kebahagiaan diraih dengan cara beriman dan dan mengimplementasikan iman tersebut dengan amal saleh. Dengan cara seperti itu, seseorang akan meraih kebahagiaan dan tempat kembali yang baik, yaitu surga, seperti dijelaskan dalam Qs. Hûd ayat 10: “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga.”
Sedangkan dalam redaksi na’mâ’ dalam ayat di atas, kebahagiaan dirasakan sebagai perasaan gembira dan bangga setelah melewati suatu bencana. Ini mengindikasikan bahwa kebahagiaan dapat tumbuh dengan cara mencari hikmah dan suatu musibah, atau segala sesuatu yang menyebabkan ketidakbahagiaan. Dengan berakhirnya ketidakbahagiaan yang dilanjutkan dengan mencari makna di dalamnya, kebahagiaan akan timbul sebagai perasaan riang, gembira, senang, serta kebanggaan telah dapat melewati kesulitan tersebut.
Selain itu, redaksi-redaksi yang sinonim maknanya dengan “kebahagiaan” misalnya terungkap dalam redaksi ladhah, kelezatan (Qs. 48:71), matâ’, perhiasan atau kesenangan (Qs. 11:3), ni’mah, nikmat atau kesenangan (Qs. 3:20), aflaha, berbahagia atau beruntung (Qs. 23:1), sakînah, ketenangan atau ketenteraman jiwa (Qs. 89:27-28), âminah, keamanan atau merasa aman tenteram (Qs. 16:112), salâm, keselamatan atau kesejahteraan (Qs. 10:25), farihîn, gembira bersuka ria (Qs. 3:170), hayah tayibah, penghidupan yang baik (Qs. 16:97), dan fâ’izûn, orang-orang yang beruntung dan jaya atau menang (Qs. 24:52). Semua redaksi yang digunakan al-Qur’an dalam menjelaskan makna kebahagiaan tersebut merujuk pada terwujudnya kebahagiaan sebagai puncak dari berbagai hal positif dari perasaan, tujuan, dan nilai-nilai kebaikan dari manusia.
E.     Metode Sufistik Meraih Kebahagiaan
Dalam tasawuf, para ulama menyusun suatu sistem yang dapat digunakan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Sistem ini merupakan dasar didikan dalam latihan ruhani (riyâdah) bagi para sufi yang tersusun dalam tiga tingkat takhallî, tahallî, dan tajallî.[20] Dalam sistem ini, Ibn al-Qayyim menggambarkan kondisi-kondisi psikologis yang dilalui oleh seorang sâlik dalam memulai perjalanan spiritualnya, yaitu al-yaqzah, al-‘azm, al-fikrah, dan al-basîrah.[21]
Al-Yaqzah berarti kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu pembenahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan satu keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian. Jika sudah tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya dan menuju persinggahannya yang pertama dan ke tempat dimana dia ditawan.
Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan al-‘azm, yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan ke tujuan. Seberapa jauh seseorang memiliki kesadaran, maka sejauh itu pula tekadnya, dan seberapa jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang dilakukannya.
Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah, yaitu pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya sudah benar, tentu dia memiliki al-basîrah, yaitu cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya.  Di dalam hatinya seakan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan dia juga melihat bagaimana dunia ini yang begitu cepat berlalu.
Al-Basîrah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati, sehingga seseorang bisa melihat hakikat pengabaran para rasul, seakan-akan dia bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dengan begitu dia bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.
Siapa pun yang mengadakan perjalanan kepada Allah tidak lepas dari al-yaqzah, al-basîrah, al-fikrah, dan al-‘azm. Jika sudah memiliki kesadaran (yaqzah), maka dia harus mengetahui (al-basîrah) segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir (al-tafkîr) untuk mengadakan persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad (al-‘azm) yang bulat untuk memulai perjalanan tersebut.[22]
1.      Takhallî
Takhallî merupakan upaya seseorang membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela, kotoran hati, maksiat lahir dan batin. Upaya ini merupakan langkah awal seseorang dalam menempuh tasawuf, karena sifat-sifat tercela tersebut merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah.
Sifat-sifat yang mengotori jiwa manusia itu seperti dzalim, bakhil, berbuat dosa besar, berlaku sia-sia, berlebihan, bermegah-megah, khianat, dendam, dengki, dusta, egois, homoseksual, kufur nikmat, membunuh, bunuh diri, minum khamr, menjerumuskan diri, mengadu domba, mengikuti syahwat, mencuri, merasa tidak butuh, merusak, marah, riya’, sombong, mencari muka, cinta dunia, dan seterusnya.
Dasar ajaran takhallî ini adalah firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا .
Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.[23]
Sifat-sifat tercela seperti di atas merupakan maksiat lahir, yaitu segala perbuatan yang dikerjakan anggota badan yang akibatnya merusak diri sendiri maupun orang lain, sehingga membawa korban harta benda, pikiran, dan perasaan. Adapun maksiat batin lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan dan kurang disadari sehingga sukar menghilangkannya. Maksiat batin inilah sesungguhnya yang menggerakkan maksiat lahir. Selama maksiat batin belum bersih selama itu pula maksiat lahir tiap saat dapat terulang, bahkan menimbulkan jenis maksiat yang lebih banyak. Kedua jenis maksiat tersebut, lahir dan batin, tidak diragukan lagi selalu mengganggu keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup manusia. Sebab maksiat itu mengotori jiwa manusia sehingga menjadikan hijab yang membatasi dirinya dengan Allah.
Untuk membuka hijab tersebut, para ulama tasawuf memberikan beberapa jalan yang harus ditempuh, yaitu[24]:
a.       Mensucikan diri dari najis dan hadats
Cara ini dilakukan dengan beristinja’, baik dengan air atau tanah. Bila berhadats besar dilakukan dengan mandi, dan bila hadats kecil dengan wudlu. Intinya, seseorang yang hendak berhubungan dengan Allah harus bersih dan suci badannya, pakaiannya, tempatnya, lahir dan batinnya.
b.      Mensucikan diri dari dosa lahir
Ada tujuh anggota badan yang membuat dosa lahir dan harus disucikan, yaitu:
1)      Mulut yang biasa berdusta dan ghibah
2)      Mata yang biasa melihat yang haram
3)      Telinga yang biasa mendengar cerita bohong
4)      Hidung yang biasa menimbulkan rasa benci
5)      Tangan yang biasa merusak
6)      Kaki yang biasa berjalan berbuat maksiat
7)      Kemaluan yang biasa bersyahwat dan berzina (termasuk perut yang biasa diisi dengan barang haram)
c.       Mensucikan diri dari dosa batin
Mensucikan diri dari dosa batin dilakukan dengan cara berzikir. Rasulullah bersabda:
اِنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ صَقَالَةً وَصَقَالَةُ اْلقَلْبِ ذِكْرُ اللهِ
Sesungguhnya tiap sesuatu ada alat untuk mensucikan dan alat untuk mensucikan hati adalah zikrullah.
Ulama tasawuf menjelaskan 7 macam zikir untuk mensucikan diri dari dosa batin, yaitu[25]:
1)      Latîfah al-Qalb, letaknya dua jari di bawah susu kiri, berhubungan dengan jantung jasmani. Di sini letaknya sifat-sifat syirik, kufur, tahayul, dan sifat-sifat iblis. Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sebanyak 5000 kali. Pada tingkat ini, hati diisi dengan iman, Islam, ihsan, tauhid, dan makrifat. Cahaya latîfah ini berwarna kuning, dan bila cahaya tersebut keluar dari depan pundak dan melaju ke atas, atau padanya diperoleh getaran atau gerakan kuat, tuntunlah dengan latîfah al-rûh.
2)      Latîfah al-Rûh, letaknya dua jari di bawah susu kanan, berhubungan dengan rabu jasmani. Di sinilah letak sifat bahîmiyah (binatang jinak), seperti menuruti hawa nafsu. Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sekeras-kerasnya sebanyak 1000 kali. Cahaya latîfah ini berwarna merah, dan bila cahaya tersebut bergerak atau menyala, tuntunlah dengan latîfah al-sirr.
3)      Latîfah al-Sirr, letaknya dua jari di atas susu kiri. Di sinilah letak sifat shabâ’iyah (binatang buas), seperti zalim, pemarah, pendendam, dan sebagainya. Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sebanyak 1000 kali. Ada pula sifat baiknya, seperti kasih sayang dan ramah. Cahaya latîfah ini berwarna putih, dan bila menyala, tuntunlah dengan latîfah al-khafî.
4)      Latîfah al-Khafî, letaknya dua jari di atas susu kanan, berhubungan dengan limpa jasmani. Di sinilah letak sifat dengki, khianat, dan sifat-sifat syaithaniyah lainnya. Sifat-sifat ini membawa kecelakaan dan kebinasaan dunia dan akhirat. Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sekeras-kerasnya sebanyak 1000 kali. Ada pula sifat baiknya, seperti syukur dan sabar. Cahaya latîfah ini berwarna hitam, dan bila menyala, tuntunlah dengan latîfah al-akhfâ.
5)      Latîfah al-Akhfâ, letaknya di tengah dada, berhubungan dengan empedu jasmani. Di sinilah letak sifat rabbâniyah, seperti riya’, takabur, ujub, sum’ah, dan sebagainya. Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sebanyak 1000 kali. Ada pula sifat baiknya, seperti ikhlas, khusyuk, tadaru’, tawadu’, tafakur.
6)      Latîfah Nafs al-Natîqah, letaknya di antara dua kening. Di sinilah letak nafsu amarah yang selalu mendorong berbuat jahat. Sifat ini yang menjadi penghalang besar untuk perbaikan masyarakat. Dalam latîfah ini juga terdapat sifat jahat seperti banyak hayalan dan panjang angan-angan. Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sebanyak 1000 kali. Ada pula sifat baiknya, seperti tenteram dan pikiran tenang.
7)      Latîfah Kulli Jasad, letaknya di seluruh tubuh jasmani. Di sinilah letak sifat-sifat jahl dan ghaflah (kebodohan dan kealpaan). Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sebanyak 1000 kali. Hal ini berguna untuk menghilangkan sifat-sifat materialistik sehingga mengalir zikir di sekujur tubuh jasmani dan tidak ada tempat lagi sifat-sifat buruk. Ada pula sifat baiknya, seperti ilmu dan amal.
Selain dengan membaca “Allah” seperti zikir di atas, dapat ditempuh pula dengan cara yang lain, seperti membaca “Lâ ilâha Illallâh”. Tata caranya, hendaknya orang yang berzikir menempelkan lidahnya pada langit-langit tenggorokan. Setelah mengambil nafas, tahanlah rongga mulut dan mulailah dengan mengucapkan “Lâ” sambil berimajinasi dari bawah pusar dan membentangkannya ke tengah dada (latîfah akhfâ) sehingga berhenti pada latîfah nafs al-natîqah yang berada di bagian dalam otak pertama yang disebut selaput otak (ra’is dimagh).
Setelah itu, mulailah dengan mengucapkan hamzah kalimat “Ilâha” mulai dari otak sambil berimajinasi dan turun hingga berhenti di bahu sebelah kanan, lalu mengalirkannya ke dalam ruh. Setelah itu, mulailah mengucapkan hamzah kalimat “Illallâh” sambil berimajinasi. Dimulai dari bahu dan membentangkannya secara menurun ke ambang tengah dada sehingga bersamanya berhenti di hati. Lalu berimajinasi memukul kehitaman hati dengan lafal Jalalah (Allah) melalui kekuatan nafas yang tertahan sehingga pengaruh dan panasnya terasa pada seluruh tubuh (latîfah kulli jasad). Dengan begitu panasnya menghanguskan seluruh bagian tubuh yang jelek serta bagian-bagian yang baik diterangi dengan cahaya keagungan Allah.[26]
2.      Tahallî
Tahallî merupakan upaya seseorang untuk mengisi dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin. Tahallî dilakukan setelah seseorang membersihkan diri dari hal-hal yang mengotori jiwanya dari bermacam sifat tercela dan maksiat. Selanjutnya dibarengi dengan penyinaran hati agar hati yang kotor dan gelap menjadi bersih dan terang, karena hati yang demikian itulah yang dapat menerima pancaran cahaya Tuhan.
Sifat-sifat terpuji yang harus mengisi jiwa itu antara lain adil, belas kasihan, amal saleh, berani, baik sangka, berbudi pekerti luhur, berjiwa kuat, berlaku benar, bijaksana, dapat dipercaya, ikhlas, cinta, manis muka, menghormati tamu, menyimpan rahasia, mencegah kejahatan, pemaaf, pemalu, penyantun, penolong, penunjuk jalan kebenaran, sabar, zuhud dan sebagainya. Dasar ajaran tahallî adalah firman Allah:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[27]
Dalam tahallî ini, terdapat dua terma yang lazim dipakai dalam menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dilalui dan keadaan seorang penempuh jalan spiritual (sâlik) dalam usahanya mengisi jiwanya dengan sifat-sifat terpuji, yaitu terma maqâmât dan ahwâl.
Maqâmât menunjukkan “posisi” seseorang dalam perjalanan menuju Allah, dengan memenuhi segala kewajiban berkaitan dengan maqâm tersebut dan tetap berada di dalamnya hingga dia memahami kesempurnaannya sejauh itu berada dalam batas kemampuan manusia. Ahwâl adalah sesuatu yang diturunkan Allah kepada hati manusia yang setitik pun manusia oleh kehendaknya sendiri tidak bisa menolak ketika ahwâl mendatanginya, atau mempertahankannya ketika ahwâl beranjak pergi.[28] Dengan kata lain, ahwâl atau hâl sifatnya sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan. Hâl terkadang datang dalam waktu yang lama dan terkadang hanya sekejap.[29]
a.       Maqâmât
Maqâmât adalah bentuk jamak dari maqâm. Maqâm secara literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokas, posisi, atau tingkatan. Secara terminologis berarti kedudukan spiritual.[30] Abû Nasr al-Sarrâj mendefinisikan maqâmât sebagai:
مَقَامُ الْعَبْدِ بَيْنَ يَدَىِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيْمَا يُقَامُ فِيْهِ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالْمُجَاهَدَاتِ وَالرِّيَاضَاتِ وَاْلاِنْقِطَاعِ اِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujâhadah), latihan-latihan spiritual (riyâdah), dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya (inqitâ’ ila Allâh).[31]
Hal ini seperti dijelaskan dalam al-Qur’an:
.... ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ
....Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.[32]
Abû Nasr al-Sarrâj, dalam kitabnya Al-Luma’, menyebutkan 7 maqâmât yang harus ditempuh oleh sâlik, yaitu tawbah, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal, dan rida.[33]
1)      Tawbah
Secara literal, taubat (tawbah) berarti “kembali”. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya kembali, kemudian kembali kepada Allah. Al-Qushayrî memaknai “kembali” (rujû’) dengan kembali dari sesuatu yang dicela syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.[34] Senada dengan al-Qushayrî, Yûsuf ibn Hamdân al-Sûsî berpendapat bahwa taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela oleh ilmu menuju kepada yang dipuji oleh ilmu.[35]
Al-Sarrâj membagi taubat ke dalam 4 bagian: (1) taubatnya orang-orang yang berkehendak (murîdin); (2) tobatnya para pembangkang (muta’âridîn); (3) tobatnya para pencari (tâlibîn); dan (4) tobatnya para penuju (sidîn). Mereka ini adalah orang-orang yang kadang bertobat tetapi kadang pula lalai.[36]
Hakikat taubat ini adalah kembali dari jalan yang jauh menuju jalan kedekatan dengan Allah. Dasar taubat adalah iman, yakni dengan adanya pemancaran cahaya makrifat terhadap hati sehingga menjadi jelas di dalamnya bahwa dosa-dosa itu adalah racun yang membinasakan. Kemudian memancar darinya cahaya ketakutan dan penyesalan, serta memancar dari cahaya ini kecintaan dalam menjauhi dosa dan kewaspadaan terhadapnya.[37] 
Urgensi taubat menurut al-Ghazâlî disebabkan karena dua hal: pertama, memudahkan seorang hamba melakukan taat kepada Allah; dan kedua, menjadikan ibadah seorang hamba diterima Allah. Selanjutnya ia menyatakan syarat-syarat diterimanya taubat: (1) meninggalkan dosa; (2) bertaubat dari dosa yang pernah dikerjakan; (3) meyakini dosa yang telah dikerjakan sama dengan dosa yang ditinggalkan, dalam hal kedudukan dan tingkatannya, bukan dalam hal bentuk; dan (4) bertujuan mengagungkan Allah serta takut murka dan siksa-Nya.[38]
Menurut Yahyâ ibn Sharîf al-Nawawî, taubat hukumnya wajib dari tiap dosa. Jika maksiatnya kepada Allah dan tidak ada kaitannya dengan manusia, ada 3 syarat taubat yang harus dipenuhi: (1) harus menghentikan maksiatnya; (2) harus menyesali perbuatan yang terlanjur dilakukannya; dan (3) niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Adapun jika maksiatnya menyangkut manusia, selain 3 syarat tersebut, ditambah syarat taubat yang keempat (4) menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan meminta maaf atau halalnya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan.[39]
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya, justru akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Qs. al-Baqarah (2): 222).
Allah senantiasa menerima taubat hamba-Nya yang sungguh-sungguh berniat mensucikan dirinya, sebesar apapun dosanya, kecuali syirik. Ibn ‘Atâ’illâh menyarankan agar orang tersebut berprasangka baik bahwa Allah akan menerima taubatnya.
لَا يُعَظِّمِ الذَّنْبُ عِنْدَكَ عَظَمَةً تَصُدُكَ عَنْ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللهِ تَعَالَى فَاِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اِسْتَغْفَرَ فِى جَنْبِ كَرَمِهِ ذَنْبَهُ لَا صَغِيْرَةً اِذَا قَابَلَكَ عَدْلُهُ وَلَا كَبِيْرَةً اِذَا وَاجَهَكَ فَضْلُهُ                    
Janganlah dianggap besar dosa yang ada padamu sehingga engkau terhalang dari berbaik sangka kepada Allah Ta’ala, maka orang yang mengenal Tuhannya menganggap kecil dosanya di sisi sifat kemurahan-Nya.[40]
Perasaan batin orang yang bertaubat akan dihinggapi kelegaan karena kesalahan dan dosa secara jujur telah diakuinya. Sebaliknya, orang yang tidak mengakui kesalahannya akan menanggung beban menyembunyikan perasaannya itu sekian lama sehingga akan menjadikan hatinya selalu gelisah. Orang yang bertaubat, dalam usahanya menjaga diri dari mengulang kesalahan yang sama, akan berusaha menjauhkan diri dari dosa dan maksiat untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
2)      Wara’
Secara literal, wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa dan menahan dari hal-hal yang syubhat dan maksiat. Dalam perspektif tasawuf, wara’ berarti menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas, sia-sia, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang haram (terlarang), atau menjauhkan diri dari hal-hal yang meragukan (syubhat).[41]
Menurut al-Sarrâj, wara’ merupakan maqâm yang mulia, sebab ia terkait erat dengan sendi agama. Ia membagi wara’ ke dalam tiga kelompok: (1) wara’ dari hal-hal yang syubhat, yakni dengan menyelidiki dulu kehalalan dan keharaman sesuatu; (2) wara’ dari hal-hal yang membuat hati gelisah; dan (3) wara’ dari hal-hal yang membuat lupa kepada Allah atau menjauhkan diri dari-Nya.[42]
Yahyâ ibn Mu’âdh berpendapat bahwa wara’ adalah berhenti pada aturan ilmu dengan tanpa takwil dan qiyas, juga dengan menjauhi riba dan syubhat. Ia membagi wara’ ke dalam dua jenis: pertama, wara’ dalam pengertian lahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu pun tindakan selain karena Allah; kedua, wara’ dalam pengertian batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu pun sesuatu yang memasuki hati sang hamba kecuali Allah.[43]
Jadi, wara’ dapat diartikan dengan meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, berupa ucapan, penglihatan, pendengaran, perbuatan, ide, atau aktivitas lainnya. Orang yang bersikap wara’ adalah yang terus berupaya agar setiap ucapannya memberi manfaat bagi diri sendiri atau orang lain. Jika tidak, ia memilih diam. Demikian juga penglihatan, pendengaran, perbuatan, atau ide sekiranya memberi manfaat akan dilakukannya.[44]
3)      Zuhd
Secara literal, zuhud (al-zuhd) berarti meninggalkan, tidak tertarik, dan tidak menyukai. Pengertian ini seperti dijelaskan al-Qur’an, “Dan mereka (kepada Yusuf) tidak tertarik hatinya (min al-zâhidîn).”[45] Dalam tasawuf, pengertian ini diartikan sebagai sikap tidak tertarik terhadap dunia dengan cara meninggalkan kehidupan duniawi, tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan; mengasingkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[46] Dalam tasawuf, zuhud dijadikan maqâm dalam upaya melatih diri dan mensucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia.[47]
Abû Sa’îd al-Kharrâj berkata, “Seorang hamba tidak akan menjadi zâhid yang sempurna, sehingga ia memandang batu dan emas sama belaka tidak bernilai padanya. Batu dan emas tidak pula dipandangnya sama, sehingga ia mendapat suatu tanda dari Allah SWT, yang kemudian tanda itu bisa menukar keadaan batu menjadi emas. Apabila ia telah mencapai  tingkat ini, barulah mata benda dunia ini akan tersingkir dari lubuk hatinya.”[48]
Menurut al-Ghazâlî, tanda-tanda orang yang zuhud ada tiga: (1) tidak gembira dengan yang ada, dan tidak sedih dengan yang hilang; (2) kesamaan sikap antara dicela dan dipuji; dan (3) keintimannya dengan Allah dalam hal ketaatan dan cinta kepada-Nya.[49] Al-Qur’an menjelaskan sikap zuhud ini dalam ayat berikut:
لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.[50]   
Ragam penafsiran mengenai zuhud ini, tetapi semuanya berkonotasi pada mengurangi dan jika mungkin mengabaikan kehidupan duniawi dengan segala kenikmatannya.[51] Sehingga secara sederhana zuhud adalah sikap seseorang dalam memandang perkara duniawi secara tidak berlebihan.
4)      Faqr
Fakir (al-faqr) berarti senantiasa merasa butuh kepada Allah. Seorang hamba merasa tidak memiliki sesuatu, bebas dari segala jenis keterikatan kepada hal-hal duniawi, merasakan kebutuhan, dan ketidakberdayaan di hadapan Allah.[52] Hal ini seperti dinyatakan dalam al-Qur’an,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى االلهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Wahai manusia, kamulah yang fâqir (butuh) kepada Allah, sedangkan Allah Maha Kaya lagi Terpuji.[53]
Abû Bakr al-Misrî berpendapat bahwa fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu. Abû ‘Abdillâh ibn Al-Jallâ berkata,  “Bahwa engkau tidak memiliki apa pun dan jika engkau memiliki sesuatu, engkau masih tidak memilikinya, dan sejauh engkau tidak memilikinya, engkau tidak memilikinya”.[54]
Menurut al-Sarrâj fakir dibagi menjadi tiga: (1) mereka yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apa-apa kepada seseorang, baik secara lahir maupun batin, dan jika diberi sesuatu, maka tidak diambilnya; (2) mereka yang tidak memiliki apa-apa, tidak meminta sesuatu kepada siapapun, tidak mencari, tidak berpaling, namun jika diberi sesuatu, maka ia terima; dan (3) mereka yang tidak memiliki apa-apa, namun jika butuh sesuatu, ia mengadu kepada seseorang.[55]
Fakir bukan orang yang tidak punya bekal hidup, tapi orang yang bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi. Dengan kata lain, fakir diartikan sebagai orang yang hanya memperkaya ruhani atau batinnya dengan Allah. Yahya ibn Muadz al-Razi berpendapat bahwa tanda orang yang fakir adalah merasa takut atas hilangnya kefakiran, dalam arti merasa aman dengan ketentuan Allah.[56]
Fakir adalah maqâm yang bertujuan untuk mensucikan diri dari segala keinginan selain Allah. Tidak ada yang lebih penting dalam menghambakan diri kepada sang Khalik selain membebaskan keterikatan batin kepada selain-Nya. Dengan pengertian bahwa melalui fakir, para sâlik akan menyadari serba terbatasnya dirinya sebagai hamba, sehingga perasaan itu melahirkan kepasrahan dan ketundukan. Pesan yang tersirat di dalam fakir adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negatif akibat keinginan kepada harta kekayaan.[57]
5)      Sabr
Sabar (al-sabr) menurut pengertian bahasa adalah menahan atau bertahan. Jika dikatakan, “Qutila Fulân Sabrân”, artinya Fulan terbunuh karena hanya bertahan. Jadi sabar artinya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah; menahan anggota tubuh dari kekacauan. Sabar ini ada tiga macam: sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan sabar dalam ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.[58]
Sabar mengandung pengertian memiliki kekuatan jiwa yang cukup agar tetap sabar dalam keadaan sengsara dan menderita, serta tetap gigih di tengah-tengah kesulitan dalam memperjuangkan tujuannya sendiri. Secara semantik, kata sabr merupakan lawan dari jazâ’ yang artinya sifat yang dimiliki oleh mereka yang tidak dapat menahan dengan sabar apa yang menimpanya dan cepat menunjukkan agitasi.[59] Kedua sifat yang berlawanan tersebut ditunjukkan oleh al-Qur’an ketika menyifati penduduk neraka yang berkata:
.... سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ
….Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh (jazi’nâ) ataukah bersabar (sabarnâ), sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.[60]
Al-Sarrâj membagi sabar menjadi tiga: (1) mutasâbir, yaitu orang yang sabar fillâh, kadang sabar atas musibah, kadang tidak; (2) sâbir, yaitu orang yang sabar fillâh lillâh, tidak merasa cemas, tidak dihinggapi rasa cemas, dan tidak mengeluh; dan (3) sabbâr, yaitu orang yang menunjukkan kesabarannya fillâh lillâh ma’allâh, orang yang jika ditimpa seluruh penderitaan tidak akan lemah, tidak berubah hakikat dan kewajibannya, juga tidak berubah bentuk dan ciptaannya.[61]
Ibn Taymiyah pernah berkata bahwa sabar dalam melaksanakan ketaatan lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan ketaatan lebih disukai Allah daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan tidak taat lebih dibenci Allah daripada keburukan adanya kedurhakaan.[62]
6)      Tawakal
Secara literal, tawakal (al-tawakkul) berarti memasrahkan, menyerahkan kepada-Nya, dan mencukupkan diri dengan-Nya. Dalam tasawuf, tawakal berarti mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Allah sepenuhnya dan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai masalah yang dihadapi. Tawakal merupakan inti ajaran Islam karena berkaitan erat dengan iman. Tanpa keimanan kepada Allah, tak mungkin seseorang percaya kepada-Nya. Tanpa percaya kepada-Nya (tawakal), tak mungkin seseorang bersikap tunduk dan pasrah (islâm) kepada-Nya.[63]
Al-Sarrâj membagi tawakal menjadi tiga: (1) tawakalnya orang-orang yang beriman, yakni mereka mengabdikan jasad untuk beribadah, mengaitkan hati kepada Allah, dan bersikap tenang dalam mencari kebutuha, jika diberi ia bersyukur, dan jika tidak ia bersabar; (2) tawakalnya orang yang bertawakal (khusûs), yakni mereka yang benar-benar bertawakal kepada Allah, bersama Allah, hanya untuk Allah, bukan disebabkan oleh yang lain; dan (3) tawakalnya orang yang istimewa (khusûs al-khusûs), yakni mereka yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah semata dan menyadari ketidakpunyaannya akan eksistensi diri sendiri.[64]
Dalil-dalil yang digunakan dalam membagi tingkatan tawakal tersebut berasal dari al-Qur’an yang menyebut istilah tawakalnya orang yang beriman, tawakalnya orang yang bertawakal, dan tawakalnya orang yang istimewa, sebagai berikut:
وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ
….Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu harus bertawakal.[65]
وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
….Dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.[66]
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
….Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya….[67]
Beberapa ulama berpendapat mengenai tawakal ini, dan sebenarnya definisi dari mereka tidak saling berseberangan, bahkan saling melengkapi. Sederhananya, tawakal berarti penyerahan penuh diri hamba kepada sang khalik setelah melalui ikhtiar yang maksimal dari hamba tersebut. Tawakal yang didahului dengan ikhtiar merupakan tuntunan syariat Islam.[68]
7)      Ridha
Ridha (al-rida) berarti sikap menerima dengan lapang dan senang terhadap apapun keputusan dan perlakuan Allah kepada seorang hamba, entah itu menyenangkan atau tidak. Ridha kepada Allah muncul dari keyakinan bahwa ketetapan Allah terhadap sang hamba lebih baik daripada keputusan hamba itu bagi dirinya sendiri.[69] Jika seseorang merasa ridha kepada Allah, niscaya Allah pun ridha kepadanya.[70]
Ridha merupakan pintu Allah yang paling agung, surga dunia. Hendaknya seorang hamba hatinya merasa tenang di bawah hukum Allah. Al-Qannâd, al-Muhâsibî, maupun Dhunnûn sepakat bahwa ridha adalah senang atau tenangnya hati dalam menjalani ketetapan Allah. Ibn Atâ’illâh menambahkan, ridha adalah mengarahkan perhatian hati pada berlakunya ketetapan Allah bagi sang hamba, dan hendaknya ia tahu bahwa Allah telah memilihkan baginya yang terbaik.[71]
Ibn Khafîf mengatakan, ridha adalah kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai Allah untuknya. Menurut Rabî’ah al-’Adâwiyah, ridha adalah jika ia telah gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat. Sepertinya pengertian ridha demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi.[72]
Segala peristiwa yang terjadi dihadapi seorang hamba dengan hati yang tenang. Sekalipun peristiwa itu perkara musibah, kebahagiaan, atau apa saja di matanya sama saja. Ridha merupakan maqâm terakhir dari perjalanan sâlik. Tidak mudah dalam menggapai kedudukan pada maqâm ini. Para sâlik harus berjuang dan berkorban (mujâhadah) secara bertahap serta terus-menerus melakukan riyâdah sebagai media untuk mensucikan ruhaninya.
Al-Sarrâj membagi ridha menjadi tiga: (1) mereka yang tetap beramal pada saat susah hingga kemudian hatinya serasi dengan Allah terhadap apapun yang terjadi atas dirinya dengan sebab ketetapan Allah, baik itu berupa musibah, hal-hal yang dibenci, penolakan, dan pemberian; (2) mereka yang meloncat dari pandangan ridhanya terhadap Allah menuju pandangan ridha Allah terhadap dirinya; dan (3) mereka yang melewati pandangan ridha Allah terhadap dirinya dan ridhanya kepada Allah menuju pengetahuan bahwa Allah telah ridha terhadap seluruh makhluk-Nya sejak azali.[73]
b.      Ahwâl
Ahwâl adalah jama’ dari hâl yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang dalam oleh para sufi dalam menempuh jalan untuk dekat kepada Tuhan. Atau, situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan berasal dari hasil usahanya. Ahwâl atau hâl merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut, dan sebagainya. Dapat juga diartikan sebagai keadaan-keadaan spiritual sebagai anugerah dan karunia Allah kepada hati para penempuh jalan spiritual.
Abû Nasr al-Sarrâj menyebutkan ada 10 ahwâl yang dirasakan para sâlik, yaitu murâqabah, qurb, mahabbah, khawf, rajâ’, shawq, uns, tuma’nînah, mushâhadah, dan yaqîn.[74]
1)      Murâqabah
Secara literal, murâqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Secara terminologis, menurut al-Qushayrî, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinya, sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaannya, Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam.[75] Dasar murâqabah ini adalah firman Allah:
.... وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا
….Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.[76]

Dalam pandangan al-Sarrâj, murâqabah adalah pengetahuan dan keyakinan bahwa Allah mengawasi apa-apa yang ada di hatinya dan siratan batinnya, Allah juga mengawasi bisikan-bisikan tercela yang menyibukkan hati dari mengingat Allah.[77]
Al-Sarrâj membagi murâqabah menjadi tiga: (1) bahwa sang hamba senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karena Allah selalu mengawasi setiap apa yang tersirat di dalam batin; (2) bahwa sang hamba mengawasi Yang Haq dengan Yang Haq di dalam fana’ kepada selain yang haq dan senantiasa mengikuti Nabi Muhammad dalam perbuatan, akhlak, dan adabnya; dan (3) bahwa sang hamba senantiasa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga mereka dalam murâqabah, dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus hamba-hamba-Nya yang mulia tersebut untuk tidak mempercayakan mereka dan segala kondisi mereka kepada seseorang selain-Nya, dan hanya Allah saja yang melindungi mereka.[78]
Murâqabah artinya pengetahuan hamba secara terus-menerus dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui lahir dan batinnya. Murâqabah ini merupakan hasil pengetahuannya bahwa Allah mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amalnya di setiap waktu dan di mana pun, mengetahui setiap hembusan napas dan tak sedetik pun lolos dari perhatian-Nya.[79]
2)      Qurb
Secara literal, qurb berarti dekat darinya dan kepadanya. Menurut Sârî al-Saqatî, qurb adalah taat kepada Allah. Sementara Ruwaym ibn Ahmad menjelaskannya sebagai menghilangkan setiap hal yang merintangi dirimu untuk bersama-Nya.[80]
Dasar qurb ini adalah firman Allah:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.[81]
Menurut al-Sarrâj, qurb adalah penyaksian sang hamba dengan hatinya akan kedekatan Allah kepadanya, maka ia mendekat kepada Allah dengan ketaatannya, dan mengerahkan segenap keinginannya kepada Allah semata dengan cara mengingat-Nya secara kontinyu baik pada saat ramai maupun sendiri.[82]
Al-Sarrâj membagi qurb ini menjadi tiga: (1) orang-orang yang mendekat kepada Allah dan berjuang dengan berbagai ketaatan; (2) orang-orang yang dengan ketaatan dan ilmunya tentang Allah, merasa yakin melihat dan dekat kepada Allah; dan (3) orang-orang yang mampu menghilangkan hijab antara dirinya dengan Allah.[83]
3)      Mahabbah
Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah yang berarti waddahu, punya makna kasih atau mengasihi. Abd al-Wahîd ibn Zayd berjalan dengan seorang lelaki yang berdiri di atas salju. Abd al-Wahîd bertanya kepadanya, “Apakah engkau menemukan salju?” Ia menjawab, “Orang yang cintanya kepada Allah telah menyibukkannya tidak akan menemukan salju.”[84] Dasar mahabbah ini adalah firman Allah:
.... فَسَوْفَ يَأْتِيَ اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ ....
….Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya….[85]
Al-Sarrâj berpendapat bahwa mahabbah sang hamba kepada Allah pertama kali muncul dari pandangan mata lahirnya terhadap nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya, sementara mata batinnya memandang kedekatan Allah, merasakan besarnya pertolongan-Nya, serta pemeliharaan dan pengawasan Allah atas dirinya. Kemudian ia melihat inayah dan hidayah Allah dengan iman dan keyakinannya yang hakiki, yang telah mendahului cintanya kepada Allah. Dari situ, tumbullah cintanya yang mendalam kepada Allah.[86]
Cinta di sini sangat berbeda dengan pengertian cinta sesama makhluk Tuhan. Cinta yang dimaksud adalah cinta hakiki dari hamba kepada Khaliknya. Dengan kata lain, cinta itu perwujudan rasa kedekatan jiwa dan raga seorang hamba dihadapan Tuhannya. Walau cinta merupakan masalah asli dalam tasawuf, akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak mampu memaknai dan mendefinisikan cinta.
4)      Khawf
Menurut al-Ghazâlî, khawf (takut) dipandang sebagai hati yang sakit dan terbakar karena adanya bayangan atau imajinasi tentang sesuatu yang dibenci di masa depan. Abu Hafs menyatakan bahwa khawf adalah cambuk Allah yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari ambang pintu-Nya; ia adalah pelita hati, dengan khawf akan tampak baik buruknya seseorang.[87]
Menurut Ibn al-Qayyim, kata khawf tidak jauh maknanya dengan kata wajal, khashyah, rahbah, haybah, sekalipun mungkin ada sedikit perbedaan pada perincian atau penyertaannya. Ada yang berpendapat, khawf merupakan kegundahan hati dan gerakannya karena ingat sesuatu yang ditakuti. Ada pula yang berpendapat, khawf adalah upaya hati untuk menghindar dari datangnya sesuatu yang tidak disukainya, saat ia merasakannya. Sedangkan khashyah lebih khusus daripada khawf. Khashyah adalah milik orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang Allah. [88] Dasar khawf ini adalah firman Allah:
.... إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
….Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu.[89]
Khashyah merupakan khawf yang disertai makrifat. Sedangkan rahbah mencari peluang untuk lari dari sesuatu yang tidak disukai. Kebalikannya rahbah, yaitu gerakan hati untuk mencari sesuatu yang diinginkan. Wajal artinya hati yang menggigil dan bergetar karena mengingat orang yang ditakuti kekuasaan dan hukumannya atau saat melihatnya. Haybah artinya ketakutan yang disertai pengagungan dan penghormatan, yang biasanya juga disertai rasa cinta, karena penghormatan merupakan pengagungan yang disertai rasa cinta.
Khawf merupakan sifat orang-orang mukmin secara umum, khashyah merupakan sifat orang-orang yang berilmu dan memiliki makrifat, haybah merupakan sifat orang-orang yang mencintai, sedangkan ijlâl merupakan sifat orang-orang mendekatkan diri. Seberapa banyak ilmu dan makrifat yang dimiliki, maka sebanyak itu pula khawf dan khashyahnya.[90]
5)      Raja’
Raja’ artinya harapan, yakni keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang, seperti halnya takut juga berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan lenyapnya beban di hati. Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan kemurahan Tuhan. Harapan berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi.[91] Dasar raja’ ini adalah firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[92]
Menurut Ibn al-Qayyim, perbedaan raja' (mengharap) dengan tamannî (berangan-angan), bahwa berangan-angan disertai kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh-sungguh dan berusaha. Sedangkan mengharap itu disertai dengan usaha dan tawakal. Yang pertama seperti keadaan orang yang berangan-angan andaikan dia mempunyai sepetak tanah yang dapat dia tanami dan hasilnya pun dipetik. Yang kedua seperti keadaan orang yang mempunyai sepetak tanah dan dia olah dan tanami, lalu dia berharap tanamannya tumbuh. Karena itu para ulama telah sepakat bahwa raja' tidak dianggap sah kecuali disertai usaha.[93]
Lebih lanjut, Ibn al-Qayyim membagi raja' itu ada ke dalam 3 macam; dua macam terpuji dan satu macam tercela, yaitu: (1) harapan seseorang agar dapat taat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah, lalu dia mengharap pahala-Nya; (2) seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharap ampunan Allah, kemurahan dan kasih sayang-Nya; dan (3) orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah tanpa disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.[94]
Sebagian sufi memandang bahwa khawf dan raja’ merupakan sayapnya amal, tidak akan terbang amal itu kecuali dengan keduanya. Sementara Abû Bakr al-Warrâq menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak terkena itu binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka.[95]
6)      Syawq
Secara literal, syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora agar selalu bersama-Nya. Tiap denyut jantung, detak kalbu, dan desa nafas serta ingatan hanya kepada Allah, itulah syawq (rindu).[96]
Al-Sarrâj memandang syawq sebagai kelezatan memandang wajah Allah terjadi nanti di akhirat, sedangkan rasa rindu yang bergelora hendak bertemu dengan-Nya ada di dunia ini. Dalam hadits Nabi disebutkan, “Ya Allah, aku memohon padamu kelezatan memandang wajah-Mu dan rasa rindu bertemu dengan-Mu”[97]
Syawq berarti tetapnya rasa rindu sang hamba yang hendak bertemu dengan kekasihnya. Menurut sebagian kaum sufi, syawq adalah gelisahnya hati ketika disebut nama Kekasihnya. Menurut sebagian yang lain, syawq adalah api yang dinyalakan Allah di dalam hati para kekasih-Nya hingga terbakar seluruh yang bersemayam dalam hati mereka dari bisikan-bisikan, keinginan-keinginan, segala bentuk pengingkaran dan segala macam kebutuhan, yang ada hanya Dia.[98]
Yahyâ bin Mu’âdh berkata, “Tanda rindu ialah tersapihnya anggota tubuh dari syahwat.” Abû Uthmân berkata, “Tanda rindu ialah menyukai mati asalkan mendatangkan ketenangan jiwa, seperti keadaan Yûsuf AS ketika dimasukkan ke dalam sumur. Dalam keadaan seperti ini beliau tidak berkata, “Matikanlah aku!” Begitu pula saat beliau dijebloskan ke dalam penjara. Tetapi ketika semua urusan sudah beres, keamanan sudah terjamin dan nikmat ada di mana-mana, maka beliau berkata, “Matikanlah aku dalam keadaan berserah diri.”[99]  
7)      Uns
Secara literal, uns berarti keakraban atau keintiman. Abû Sa’îd al-Kharrâj berkata bahwa uns adalah perbincangan ruh dengan Sang Kekasih pada kondisi sangat dekat. Dhunnûn memandang uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Mâlik ibn Dinâr menegaskan bahwa siapa yang tidak merasa intim berbincang dengan Allah, malah ia merasa intim berbincang dengan makhluk, itu berarti sedikit ilmunya, buta mata hatinya, dan telah hilang umurnya. Menurut Suhrawârdî, uns didapatkan dengan ketaatan kepada-Nya, senantiasa menyebut nama-Nya, membaca firman-Nya, dan melakukan serangkaian kedekatan-kedekatan kepada-Nya.[100]
Menurut al-Sarrâj, uns bersama Allah adalah bersandar kepada-Nya, tenang bersama-Nya, senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak memiliki anggapan lain yang lebih besar dari hal ini semua. Sebagian ‘ârifîn menyatakan bahwa Allah memiliki hamba-hamba yang jika Dia menghendaki mereka mencapai kebenaran hakikat uns, Dia jauhkan mereka dari rasa takut kepada selain diri-Nya. Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya, serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah. Pada saat itulah Allah menjadikannya intim bersama-Nya.[101]
8)      Tuma’nînah
Tuma’nînah secara bahasa berarti tenang tenteram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarrâj, tuma’nînah berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya, dan kokoh realitas hakikatnya.[102] Dasar tuma’nînah ini adalah firman Allah:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.[103]
Ibn al-Qayyim membagi tuma’nînah ke dalam 3 derajat: (1) Tuma’ninah hati karena menyebut asma Allah. Ini merupakan tuma’nînah-nya orang takut yang beralih ke harapan, dari kegelisahan ke hukum dan dari cobaan ke pahala; (2) Tuma’nînah ruh saat mencapai tujuan pengungkapan hakikat, saat merindukan janji dan saat berpisah untuk berkumpul kembali. Ruh menjadi tuma’nînah jika melihat tujuannya dan tidak ingin menengok ke belakang; dan (3) Tuma’nînah karena menyaksikan kasih sayang Allah, tuma’nînah kebersamaan menuju kekekalan dan tuma’nînah kedudukan menuju cahaya azali. Derajat ini berkaitan dengan kefanaan dan kekekalan. Orang yang sampai kepada kesaksian kebersamaan merasa tentram karena kasih sayang Allah.[104]
Menurut Ibn al-Qayyim, terdapat dua perbedaan antara sakînah dan tuma’nînah, yaitu: (1) Sakînah merupakan keadaan secara tiba-tiba yang terkadang disertai dengan hilangnya rasa takut. Sedangkan tuma’nînah merupakan pengaruh yang timbul dari adanya sakînah. Seakan-akan tuma’nînah merupakan puncak dari sakînah; dan (2) Sebagai gambaran, keberuntungan yang diperoleh karena sakînah, seperti seseorang yang berhadapan dengan musuh. Ketika musuh lari darinya, maka hatinya menjadi tenang. Sedangkan tuma’nînah seperti benteng yang pintunya terbuka, lalu dia masuk ke dalamnya, sehingga dia merasa aman dari musuh. Tuma’nînah sifatnya lebih umum, karena ditunjang ilmu, pengabarannya, keyakinan dan keberuntungan.[105]
9)      Mushâhadah
Mushâhadah dalam tasawud berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. ‘Amr ibn ‘Uthman al-Makkî memaknai mushâhadah sebagai apa-apa yang dijumpai hati dari  yang gaib dengan sebab yang gaib pula, ia tidak bisa menjadikan yang gaib terlihat oleh mata dan tidak pula mewujud dalam bentuk.[106] Dasar mushâhadah ini adalah firman Allah:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.[107]
Ibn al-Qayyim membagi mushâhadah ini ke dalam 3 tingkatan: (1) Mushâhadah makrifat, yang berlalu di atas batasan ilmu, dalam cahaya wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan; (2) Mushâhadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian, mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat. Derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama; dan (3) Mushâhadah kebersamaan, yang menarik kepada kebersamaan, yang mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud. Menurut Ibn Taymiyah, orang yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam kedudukan mushâhadah, kebersamaan dan wujud serta lebih mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan makrifat.[108]
Hati kaum ârifîn ketika mushâhadah (menyaksikan Allah), menurut al-Makkî, sesungguhnya menyaksikan dengan penyaksian yang kokoh. Mereka menyaksikan Allah pada tiap sesuatu, termasuk pada jagat raya ini. Mereka hanya menyaksikan-Nya semata, demikian juga Allah menyaksikan mereka. Mereka hilang dalam kehadiran-Nya dan hadir dalam kegaiban-Nya. Mereka menyaksikan-Nya secara Zâhir dan Bâtin, Awal dan Âkhir.[109]
10)  Yaqîn
Yaqîn merupakan hâl yang terakhir dari seluruh ahwâl. Ia adalah fondasi sekaligus pangkalan terakhir. Ia juga merupakan esensi (batin) seluruh ahwâl. Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang menggelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, itulah yaqîn.
Yang disebut puncak keyakinan adalah mantapnya pembenaran terhadap Yang Maha Gaib dengan cara menghapus seluruh keraguan. Puncak dari keyakinan adalah sikap optimis dan perasaan gembira, merasakan manisnya munajat, bening dan tulusnya pandangan kepada Allah dengan sebab kesaksian hati, keyakinan yang hakiki, dan dengan cara menghapus penyakit-penyakitnya dan melawan keraguan yang masih melekat.[110] Dasar yaqîn ini adalah firman Allah:
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.[111]
Menurut Imam Qushayrî, setiap hâl merupakan karunia dan setiap maqâm adalah upaya. Pada hâl, datang dari wujud itu sendiri, sedangkan maqâm menempati diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memiliki maqâm menempati maqâm-nya dan orang yang berada dalam hâl bebas dari kondisinya. Meskipun hâl merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawâhib) namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. Dalam konteks demikian, ahwâl dan maqâmât adalah satu kesatuan, perbedaannya hanya ada dalam wilayah teoritis semata.[112]
Seseorang yang telah mengosongkan hatinya dari sifat-sifat tercela (takhallî) dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (tahallî), segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas. Ia ikhlas beribadah kepada Allah, mengabdikan diri kepada kepentingan agama, bekerja melayani kepentingan masyarakat dan negara, berbuat baik dan menolong sesama sesuai kemampuannya, dan seluruh hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari ridha Allah. Manusia seperti inilah yang selalu mendekatkan diri kepada Allah sehingga Allah memberikan rahmat dan perlindungan kepadanya. Hasilnya, kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat diraih.
3.      Tajallî
Tajallî inilah yang sesungguhnya dinanti para penempuh jalan spiritual untuk meraih kebahagiaan yang diidam-idamkan. Tajallî adalah merasakan adanya rasa ketuhanan yang sampai pada kenyataan ketuhanan, yakni lenyapnya hijab dari sifat-sifat kemanusiaan ketika tampak wajah Allah. Dasar tajallî ini adalah firman Allah:
اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ....
Allah itu cahaya langit dan bumi ….[113]
.... فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا ....
.... Tatkala Tuhannya menampakkan diri (tajallî) kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan ....[114]
Dalam tajallî terdapat 4 tingkatan, yaitu tajallî af’âl, tajallî asmâ’, tajallî sifât, dan tajallî dhât. Semua tingkatan tajallî merupakan perwujudan fana’ dari seorang hamba dalam baqa’ Allah, artinya leburnya seorang hamba di bawah pancaran cahaya Allah.
a.      Tajallî Af’âl (Perbuatan)
Yaitu lenyapnya perbuatan dari seorang hamba dan yang ada hanya perbuatan Allah semata. Hal ini sesuai firman Allah:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.[115]
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى ….
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar....[116]
b.      Tajallî Asmâ’ (Nama)
Yaitu lenyapnya seorang hamba dari dirinya sendiri, bebasnya ia dari sifat-sifat ke-huduth-an, dan lepasnya ikatannya dari tubuh kasarnya, ketika ia fana’ dalam baqa’ Allah karena telah sucinya ia dari sifat-sifat ke-huduth-an.
c.       Tajallî Sifât (Sifat)
Yaitu ibarat penerimaan tubuh seorang hamba atas sifat-sifat ketuhanan, sebagai penerimaan yang asli dan suatu ketentuan yang pasti. Ketika seorang hamba menerima sifat sama’ Allah, ia dapat mendengar semua wujud yang dapat bersuara, seperti binatang, kayu, batu, dan sebagainya.
d.       Tajallî Dhât (Zat)
Yaitu ketika Allah menghendaki tajallî atas hamba-Nya yang memfana’kan dirinya sehingga Allah memberinya karunia ketuhanan (latîfah al-ilâhiyah). Ketika itu terjadi pada seorang hamba, maka terjadilah “Tunggal yang Sempurna” (al-Fard al-Kâmil) yang menjadikan seorang hamba berada dalam situasi mâsiwâllâh, tiada wujud secara mutlak kecuali Allah (lâ maujud  ‘ala al-itlâq illallâh).
Proses tajallî, sebenarnya, dimulai dari tajallî dhât pada sifat-sifat dan asmâ’, kemudian pada perbuatan-perbuatan, sehingga memunculkan alam semesta. Akan tetapi, dalam rangka meningkatkan martabat ruhani, tajallî tersebut ditempatkan dengan urutan terbalik, dimulai dari tajallî perbuatan-perbuatan dan berakhir pada tajallî zat. Pemutarbalikan itu bukan tidak beralasan, tetapi didasarkan atas pandangan bahwa tajallî al-af’âl yang paling dekat dengan kenyataan empiris, sedangkan tajallî dhât merupakan yang paling abstrak dan jauh dari kenyataan. Maka untuk mendekatkan diri haruslah dimulai dari yang terdekat menuju yang jauh dan amat abstrak.
F.     Anatomi Kebahagiaan Sufistik
Al-Ghazâlî menguraikan beberapa definisi, persamaan, dan perbedaan dari istilah-istilah yang digunakan dalam mengidentifikasi konsep tentang hati (al-qalb), ruh (al-rûh), nafsu (al-nafs), dan akal (al-‘aql). Menurutnya, banyak kekeliruan yang digunakan dalam pembahasan topik ini, bersumber dari ketidaktahuan tentang hakikat istilah-istilah tersebut serta persamaan kandungannya.[117]
1.      Al-Qalb
Kata ini digunakan dalam dua makna: pertama, sepotong daging berbentuk buah ‘sanaubar’ yang terletak di bagian kiri dada, di dalamnya terdapat rongga berisi darah hitam, di situ pula terdapat pusat ruh. Kedua, latîfah, yaitu sesuatu yang amat halus dan lembut yang bersifat rabbânî rûhâ. Latîfah adalah komponen utama manusia yang berpotensi mencerap (memiliki daya persepsi), mengetahui dan mengenal segala hal yang ditujukan kepadanya.[118]
Hati (al-qalb) menjadi suci tercipta di samping karena kesempurnaan hidup dan keutuhan cahayanya, juga karena terhindarnya diri dari dosa dan maksiat. Kesuciannya sangat bergantung pada irâdah Allah, sebab jika Allah tidak menghendaki membersihkan hati orang-orang yang senang mengumbar kebatilan dan menyimpang dari kebenaran, tentu hati semacam itu tidak akan pernah mencapai kesuciannya.[119] Hal ini seperti dijelaskan dalam Hadits Nabi:
اِنَّ قُلُوْبَ بَنِى ادَمَ كُلِّهَا بَيْنَ اِصْبَعَيْنِ مِنْ اَصَابِعَ الرَّحْمنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ كَيْفَ يَشَاءُ. ثُمَّ يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَللَّهُمَّ مُصَرِّفَ اْلقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا اِلَى طَاعَتِكَ
Sesungguhnya seluruh hati anak Adam terletak di antara dua jari Tuhan yang Rahman bagaikan satu hati yang Dia gerakkan sesuai dengan kehendaknya. Lalu Rasulullah berujar: “Ya Allah yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami ke arah ketaatan kepada-Mu”.[120]
2.      Al-Rûh
Kata ini digunakan dalam dua makna: pertama, sesuatu yang abstrak yang bersemayam dalam rongga “hati biologis”, dan mengalir melalui urat-urat dan pembuluh-pembuluh, ke seluruh anggota tubuh dengan membawa limpahan cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman ke dalam seluruh anggota tubuh. Makna ini mirip dengan bukhar (uap atau gas) lembut yang dimatangkan oleh kehangatan hati, seperti yang dimaksud oleh ilmu medis. Kedua, latîfah, yang memiliki makna dan fungsi sebagaimana hati pada bahasan sebelumnya. Pengertian ruh ini membuat kebanyakan akal dan pemahaman manusia tidak berdaya dalam menangkap hakikatnya. [121]
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”[122]
3.      Al-Nafs
Kata ini digunakan dalam dua makna: pertama, emosi dan hasrat manusia yang berkonotasi negatif. Kedua, latîfah, seperti pada bahasan sebelumnya, yang membentuk diri manusia secara hakiki.[123] Ada 7 tingkatan nafsu, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, yaitu[124]:   
a.       Al-Nafs al-Ammârah (nafsu yang memerintah), yaitu nafsu yang cenderung pada tabiat tubuh yang bersifat alamiah, memerintah kepada kelezatan dan hasrat seksual (syahwat) yang terlarang dalam syara’, dan mendorong hati pada aspek-aspek yang rendah. Nafsu pada tingkatan ini merupakan tempat berlindung segala kejahatan dan sumber akhlak tercela.
b.      Al-Nafs al-Lawwâmah (nafsu yang mencela), yaitu nafsu yang menerima pencerahan hati, sesekali mengikuti kekuatan berpikir dan sesekali berbuat durhaka lalu menyesal dan mencela nafsunya sendiri. Nafsu dalam tingkatan ini merupakan sumber penyesalan sekaligus tempat bermula keinginan (hawa), kekeliruan dan kerakusan (hirs). 
c.       Al-Nafs al-Mutma’innah (nafsu yang tenteram), yaitu nafsu yang menerima pencerahan hati sehingga darinya tenggelam sifat-sifat tercela dan merasa tenteram terhadap berbagai kesempurnaan.
d.      Al-Nafs al-Mulhimah (nafsu yang terilhami), yaitu nafsu yang diilhami Allah dengan ilmu, rendah hati (tawadu’), merasa cukup dengan rizki yang hanya sedikit (qanâ’ah), dan dermawan (sakhâwah). Nafsu dalam tingkatan ini menjadi tempat memancar kesabaran, kesanggupan memikul beban derita, dan rasa syukur.
e.       Al-Nafs al-Râdiyah (nafsu yang ridha), yaitu nafsu yang ridha kepada Allah. Nafsu dalam tingkatan ini berada dalam kondisi berserah dan merasa lezat dengan kondisi tergila-gila (hiyârah).
f.       Al-Nafs al-Mardhiyah (nafsu yang diridhai), yaitu nafsu yang diridhai oleh Allah. Padanya tampak jejak keridhaan-Nya, seperti keramat, keikhlasan, dan zikir. Nafsu dalam tingkatan ini menginjak pengenalan pertama pada Allah (ma’rifatullâh).   
g.      Al-Nafs al-Kâmilah (nafsu yang sempurna), yaitu nafsu dengan segala kesempurnaannya yang menjadi tabiat dan wataknya. Nafsu pada tingkatan ini meningkat naik pada kesempurnaan dan kedudukannya berada pada posisi penampakan nama-nama (asmâ’) dan sifat-sifat Allah.
4.      Al-‘Aql
Kata ini digunakan dalam dua makna: pertama, pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu yang bertempat di dalam hati. Kedua, latîfah, seperti pada bahasan sebelumnya, yang bersifat rabbânî rûhânî.[125]
Dalam al-Quran, kata ‘aql tidak pernah digunakan dalam bentuk kata benda (isim), semuanya diungkap menggunakan kata kerja (fi’il). Hal ini menunjukkan bahwa ‘aql bukanlah suatu substansi (jauhar) yang bereksistensi, melainkan aktifitas dari suatu substansi. Substansi yang melakukan aktifitas berpikir tersebut adalah qalb.[126]
Akal dibagi menjadi tiga: (1) Akal Azîzî, berguna membedakan berbagai benda material; (2) Akal Kasabî, berguna melakukan usaha empiris; dan (3) Akal Ata’î, merupakan tempat hidayah Allah yang transenden.[127]
5.      Hubungan al-Qalb, al-Ruh, al-Nafs, dan al-‘Aql
Jika dalam psikoanalisa terdapat konsep mengenai id (nafsu), ego (akal), dan superego (hati), maka dalam Islam terdapat unsur ruhaniah yang disebut ruh. Ruh bekerja secara mutlak dan tidak kenal kompromi sehingga terjaga dari noda. Ketika hati jatuh dalam tarikan nafsu, ruh tetap bertahan dan mencela kelemahan hati. Ia mengawasi gerak-gerik hati dengan menyalurkan Nur Ilahi. Perasaan berdosa adalah hukuman yang ditimpakan ruh terhadap hati yang mengikuti nafsu.[128]
Ruh merupakan benteng terakhir guna memperkuat pertahanan hati yang senantiasa mendapat serangan dari nafsu. Ia berada di atas hati. Sedangkan Nur Ilahi yang ditangkap ruh berubah menjadi getaran-getaran suara (khawâtir) sehingga sering disebut “suara hati” atau “suara batin”. Dalam al-Qur’an, hal ini dijelaskan dalam ayat berikut:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ....
Begitulah kami mewahyukan kepadamu suatu ruh (wahyu al-Qur’an) dari perintah Kami .[129]
Bila hati secara konstan bertindak sesuai dengan kehendak-kehendak ruh, berarti hati tersebut telah sampai kepada derajat kesempurnaan, dan di situlah terbuka tabir rahasia ketuhanan (kashf) dan akhirnya ia makrifat kepada-Nya.[130]
Ruh sebagai tempat Nur Ilahi disalurkan kepada hati menjadi dasar atau sumber moral yang sebenarnya. Ia merupakan tempat yang dapat dipercaya guna meneruskan perintah-perintah Tuhan. Ruh memantulkan cahaya Tuhan ke alam kemanusiaan melalui hati untuk diteruskan ke akal. Bila akal yang disinari oleh hati berisi unsur-unsur nafsu, maka sinar itu dipantulkan kembali. Tetapi bila akal berisi unsur-unsur yang bersesuaian dengan hati, maka akal menghisapnya.[131]
G.    Tarekat: Jalan Sufi Menuju Kebahagiaan
Kaum sufi yang bertujuan mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (sâlik). Ia melakukan pengembaraan (sulûk) dengan perlahan-lahan melalui tahapan-tahapan (maqâmât) tertentu setelah melewati jalan (tarîqah) guna mencapai tujuan untuk bersatu dengan kenyataan (fanâ’ fi al-Haq). Masing-masing sufi dalam pengembaraannya bisa jadi menemukan “peta perjalanan ruhani” yang tidak sama seperti sufi sebelumnya.[132]
Dalam khazanah tasawuf, pencarian atas hakikat (haqîqah) diibaratkan dengan pengembaraan (suluk) seorang sâlik dalam mencari mutiara haqîqah di lautan syari’at (sharî’ah). Untuk mendapatkan mutiara yang terpendam di dasar lautan syariat tersebut, dibutuhkan perahu atau jalan (tarîqah, tarekat) dengan penunjuk jalan atau nahkoda seorang guru (shaykh). Seorang shaykh penunjuk jalan (murshîd) adalah pemandu jalan yang aman bagi seorang murîd (orang yang berkehendak) dalam melakukan perjalanan spiritual menuju Allah. Pentingnya murshid bagi seorang murîd ditunjukkan oleh al-Qur’an sebagai berikut:
.... مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
…. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk (murshid) kepadanya.[133]
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang tidak memiliki guru murshid yang dapat membimbingnya pada Allah, maka Allah tidak hendak memberinya petunjuk, bahkan ia akan tersesat. Dengan kata lain, orang yang menempuh perjalanan menuju Allah tanpa adanya pembimbing spiritual akan tersesat, sebab murshid adalah orang yang pernah sampai (wusûl) kepada Allah, sehingga mengetahui jalan (tarîqah) yang benar.
Para murshid memiliki jalan yang tidak sama dalam upaya wusûl kepada Allah. Mereka memiliki sistem dan metode yang beragam antara murshid satu dengan lainnya. Di kemudian hari, sistem dan metode tersebut berkembang menjadi organisasi tasawuf yang disebut tarekat. Berdirinya tarekat tidak dapat dilepaskan dari metode para pendirinya dalam perjalanannya yang telah sampai kepada Allah.
Tarekat adalah kelompok-kelompok pengikut ajaran tasawuf yang menekankan praktik-praktik ibadah dan zikir secara kolektif yang diikat oleh aturan-aturan tertentu, di mana aktifitasnya bersifat duniawi dan ukhrawi. Dengan kata lain, ia dapat dipahami sebagai suatu hasil pengalaman dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, menurut aturan/cara tertentu yang bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi berupa tata cara zikir, riyâdah, doa-doa yang telah diamalkan dan menurutnya –sang sufi-  telah berhasil mendekatkan diri sang sufi kepada Tuhan, inilah yang disusun sedemikian rupa menjadi aturan/tata cara yang  baku, yang juga harus diikuti oleh murid-murid tarekat.[134]
Pada mulanya tarekat hanya berarti jalan menuju Tuhan yang ditempuh seorang sufi secara individual. Akan tetapi, kemudian sufi-sufi besar mengajarkan tarekatnya kepada murid baik secara individual maupun secara berkelompok. Dengan demikian tarekat pun berarti jalan menuju Tuhan di bawah bimbingan guru. Selanjutnya mereka melakukan latihan bersama di bawah bimbingan guru. Inilah asal pengertian tarekat sebagai nama sebuah organisasi sufi. Mulai di abad ke-12 Masehi, tarekat menjadi kegiatan yang sifatnya kelembagaan atau organisasi sehingga di kalangan umat Islam muncul penerapan jenis aliran tarekat yang masing-masing mempunyai latar belakang, sejarah, dan cara sendiri-sendiri. Seperti tarekat Qâdiriyah, Naqshabandiyah, Rifâ’iyah, Ahmadiyah, Shâdhiliyah dan lain-lain.[135]
Tata cara pelaksanaan tarekat antara lain :
1.      Dengan Zikir, yaitu ingat yang terus menerus kepada Allah dalam hati secara menyebutkan namanya dengan liasan, zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
2.      Ratib, yaitu mengucapkan lafal “La Illaha Illallah” dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
3.      Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rebana.
4.      Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan tertentu untuk menimbulkan kehidmatan.
5.      Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir tertentu. Untuk mencapai tujuan tarekat sebagaimana disebutkan di atas, perlu mengadakan latihan batin, riyâdah dan mujâhadah (perjuangan kerohanian). Perjuangan seperti itu dinamakan pula sulûk dan yang mengerjakannya di sebut sâlik.[136]
Di antara berbagai macam tarekat yang ada, di Indonesia terdapat Tarekat Qâdiriyah wa Naqshabandiyah (TQN). TQN merupakan tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa. TQN yang ada di Indonesia didirikan oleh sufi dan shaykh besar Masjid al-Harâm, yaitu Ahmad Khâtib Sambas ibn Abd Ghaffâr al-Sambasî al-Jawî. Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M. Ia adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekah.
Tarekat ini merupakan penggabungan dari dua tarekat besar yaitu Tarekat Qâdiriyah dan Tarekat Naqshabandiyah. Penggabungan kedua tarekat ini dimodifikasi sedemikan rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tarekat induknya. Jadi TQN yang ada di Indonesia merupakan tarekat yang mandiri yang di dalamnya terdapat unsur-unsur Qâdiriyah dan Naqshabandiyah.[137] (Imran, 1980 : 72).
Tarekat Qâdiriyah didirikan oleh Shaykh Abd al-Qâdir al-Jaylanî (W. 561/1166 M). Shaykh Abd al-Qâdir al-Jaylanî selalu menyeru kepada murid-muridnya agar bekerja keras dalam kehidupan sebagai bekal untuk memperkuat ibadah yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Ia juga melarang kepada muridnya menggantungkan hidup kepada masyarakat. Al-Jaylanî juga mengingatkan kepada pengikut tarekat agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah dan syari’at agama Islam. Ia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan ahli tarekat dengan menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah melaksanakan tarekatnya.
Tarekat Qâdiriyah terus meluas jaringannya hampir ke seluruh negeri Islam termasuk Indonesia. Bahkan manâqib-nya (sejarah hidupnya), kini senantiasa mewarnai prosesi ritual Islam di daerah Jawa, setidak-tidaknya nama pendiri tarekat ini selalu disebut dalam prosesi ritual. Ini menunjukan betapa lestarinya ajaran yang dikembangkan oleh sebuah institusi tarekat.
Sementara itu, Tarekat Naqshabandiyah didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahâ’uddîn al-Naqshabandî yang hidup antara tahun 717-791 H / 1317-1389 M. Ia dilahirkan di desa yang bernama Qasrul ‘Ârifin yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, Rusia.
Kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi oleh Shaykh Khâtib Sambas. Sebagai seorang yang alim dan makrifat kepada Allah, Shaykh Khâtib Sambas memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qâdiriyah memang ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat murshid.
Dalam Tarekat Qâdiriyah apabila seorang murid telah mencapai derajat Shaykh seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk selalu mengikuti tarekat gurunya. Seorang shaykh Tarekat Qâdiriyah berhak untuk tetap mengikuti tarekat guru sebelumnya atau memodifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal ini karena ada petuah dari Shaykh Abdul Qadir al-Jaylanî bahwa murid yang telah mencapai derajat gurunya, maka ia jadi mandiri sebagai Shaykh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.
Shaykh Khâtib Sambas sangat berjasa dalam menyebarkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Mekah ia juga menjadi guru sebagian ulama Indonesia modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi guru tarekat dan mengajarkannya sehingga tarekat ini tersebar luas di seluruh Indonesia, di antaranya oleh Shaykh Nawawî al-Bantânî (wafat 1887 M), Shaykhanâ Khalîl Bangkalan (wafat 1918 M), Shaykh Mahz Termas Pacitan (wafat 1923 M), dan Hadratus Shaykh Hashîm Ash’arî pendiri NU di Indonesia (wafat 1947 M). Semuanya merupakan murid Shaykh Khâtib Sambas.
Pada masanya telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqshabandiyah di Mekah dan Madinah sehingga sangat memungkinkan Shaykh Khâtib Sambas mendapat baiat tarekat Naqshabandiyah dari kemurshidan tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti kedua ajaran tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qâdiriyah dan Tarekat Naqshabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya terutama yang berasal dari Indonesia. Penamaan Tarekat Qâdiriyah wa Naqshabandiyah tidak lepas dari sikap tawadu’ dan takzim Shaykh Khâtib Sambas kepada pendiri kedua tarekat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama tarekatnya pada dirinya sendiri. Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan tata cara ritual tarekatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khâtibiyah atau Tarekat Sambasiyah, karena memang tarekatnya merupakan buah dari ijtihadnya.
TQN yang terdapat di Indonesia bukan hanya merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan bersama-sama. Tarekat ini menjadi sebuah tarekat yang baru dan berdiri-sendiri, yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qâdiriyah dan Naqshabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Penggabungan inti dari kedua ajaran ini atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersikap saling melengkapi terutama dalam hal jenis zikir dan metodenya. Tarekat Qâdiriyah menekankan ajarannya pada zikir jahr nafî ithbât yaitu melafalkan kalimat “Lâ Ilâha Illallâh” dengan suara keras, sedangkan Tarekat Naqshabandiyah menekankan pada zikir sirrî ism dhat yaitu melafalkan kalimat Allah dalam hati.
Penyebaran TQN diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu semenjak tibanya kembali murid-murid Shaykh Khâtib Sambas ke tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Shaykh Khâtib Sambas, tarekat ini disebarkan oleh kedua orang muridnya yaitu Shaykh Nûruddîn yang berasal dari Filipina dan Shaykh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas. Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti pesantren maka tarekat hanya tersebar dikalangan orang awam dan tidak mendapatkan perkembangan yang berarti.
Lain halnya di pulau Jawa, tarekat ini disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran TQN di Jawa dilakukan oleh 3 (tiga) murid Shaykh Khâtib Sambas, yaitu Shaykh Abd al-Karîm Banten, Shaykh Talhâh Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullâh Madura. Shaykh Abd al-Karîm Banten merupakan murid kesayangan Shaykh Ahmad Khâtib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah TQN di Banten, tahun 1876 M diangkat oleh Shaykh Khâtib Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai murshid utama tarekat ini yang berkedudukan di Mekah.[138] Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi TQN di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya (silsilah) kepada ulama asal Banten tersebut.
Khalifah dari Kyai Talhâh Cirebon yang paling penting adalah Abdullâh Mubârak, belakangan dikenal sebagai Abah Sepuh. Abdullâh melakukan baiat ulang dengan Abd al-Karîm Banten di Mekah. Pada dekade berikutnya Abah Sepuh membaiat putranya Ahmad Sohibul Wafâ Tâjul Ârifîn yang lebih masyhur dengan panggilan Abah Anom.
Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini, TQN di kemurshidan Suryalaya berkembang pesat. Dengan menggunakan metode riyâdah dalam tarekat ini, Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obat terlarang, seperti, morfin, heroin dan sebagainya.
Sampai sekarang di Indonesia ada 3 (tiga) pondok pesantren yang menjadi pusat penyebaran Tarekat Qâdiriyah wa Naqshabandiyah, yaitu: (1) Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya Jawa Barat; (2) Pondok Pesantren Mranggen, Demak Jawa Tengah; dan (3) Pondok Pesantren Rejoso, Jombang Jawa Timur.


[1]Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), 23.  
[2]Djamaludin Ancok, Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 3-4.  
[3]Rif’at Syauqi Nawawi, et.al., Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 120.
[4]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 9.
[5]Abdul Mudjib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2000), 15.
[6]A. Khudori Soleh, “M. ‘Abîd al-Jabirî: Model Epistemologi Islam”, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), 233.       
[7]A. Khudori Soleh, M. ‘Abîd al-Jabirî …, 241.
[8]Abdullah Hadziq, “Psikologi Sufistik: Solusi Pengembangan Pendidikan Multikultural”, Teologia, 19(2), Juli 2008, 441-443.
[9]Abdullah Hadziq, Psikologi Sufistik …, 441.
[10]Abdullah Hadziq, Psikologi Sufistik …, 442. 
[11]Abdullah Hadziq, Psikologi Sufistik …, 442. 
[12]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, Edisi Abd al-Halîm Mahmûd (Misr: Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 1960), 422.
[13]Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), 4-5.
[14]Baca uraian lebih lengkap dalam Al-Ghazâlî, Keajaiban-Keajaiban Hati, Alih Bahasa Muhammad Al Baqir, (Bandung: Karisma, 2000), 96-106.
[15]Abdullah Hadziq, Psikologi Sufistik …, 443.
[16]A. Khudori Soleh, M. ‘Abîd al-Jabirî …, 241-244.
[17]Qs. Hûd: 105-108.
[18]Qs. al-Ra’d (13): 29
[19]Qs. Hûd (11): 10
[20]‘Alî ibn ‘Uthmân al-Jullâbî al-Hujwirî, Kashf al-Mahjûb: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, Alih Bahasa Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993), 345.
[21]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn Bayna Manazil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, Juz I, (al-Qâhirah: Mu’assasah al-Mukhtâr, 2001), 117.
[22]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 155. 
[23]Qs. al-Shams (91): 9-10
[24]‘Alî ibn ‘Uthmân al-Jullâbî al-Hujwirî, Kashf al-Mahjûb: Risalah Persia ..., 345.  
[25]Moh. Saifulloh al Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), 92-93 dan Cf. Muhammad Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb: Jalan ke Surga, Pengembaraan Spiritual Menuju Pencerahan Qalbu, Alih Bahasa M. Yaniyullah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 232-234.
[26]Muhammad Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb ..., 233-234.
[27]Qs. al-Nahl (16): 90
[28]Alî ibn ‘Uthmân al-Jullâbî al-Hujwirî, Kashf al-Mahjûb: Menyelami Samudera Tasawuf, Alih Bahasa Ahmad Afandi, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 213.
[29]Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2005), 7-8.
[30]Seperti dikutip Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqâmât dan Ahwâl dalam Tradisi Sufi, (Jakarta: Prenada, 2005), 31.  
[31]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 65. 
[32]Qs. Ibrâhîm (14): 14
[33]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 68-81.
[34]Al-Qushayrî, Risâlah al-Qushayrîyah: Induk Ilmu Tasawuf, Alih Bahasa Muhammad Luqman Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), 276. 
[35]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 68.
[36]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 68. 
[37]Al-Ghazâlî, Kitâb Arba’în fî Usûl al-Dîn: 40 Prinsip Agama (Jalan Mudah Menggapai Hidayah), Alih Bahasa Rojaya, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), 174.
[38]Al-Ghazâlî, Minhâj al-‘Âbidîn: Menuju Jalan Menuju Surga, Alih Bahasa M. Adib Bisri, (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), 39-42.
[39]Moh. Saifulloh al Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf, 111. 
[40]Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî, Al-Hikam al-Atâ’iyah, Edisi Ibn ‘Abbâd al-Nafazî al-Rundî, (al-Qâhirah: Markaz al-Ahrâm, 1988), 55 & 205.
[41]Al-Qushayrî, Risâlah al-Qushayrîyah …, 134.
[42]Al-Qushayrî, Risâlah al-Qushayrîyah …, 70-71. 
[43]Yahyâ ibn Mu’âdh al-Râzî, Jawâhir al-Tasawuf, (al-Qâhirah: Maktabah al-Adab, 2002), 80-81.
[44]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 52.
[45]Qs. Yûsuf (12): 20 
[46]M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 1.
[47]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 58.
[48]Dalam keterangan selanjutnya, disebutkan bahwa Abû Sa’îd al-Kharrâj menilai bahwa sesudah Rasulullah, belum ada sahabat yang sampai pada derajat zuhud seperti ini, melainkan Abû Bakr al-Siddîq. (Moh. Saifulloh al Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf, 132).
[49]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, (al-Qâhirah: Markaz al-Ahrâm, 1988), 349-350.
[50]Qs. al-Hadîd (57): 23
[51]A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 16.
[52]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 63.
[53]Qs. Fâtir (35): 15.
[54]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, 62.
[55]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 74-75.
[56]Yahyâ ibn Mu’âdh al-Râzî, Jawâhir al-Tasawuf, 90.   
[57]A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 119.
[58]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 555.
[59]Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al-Qur’an, Alih Bahasa Agus Fahri Husein, et. al., (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 122.
[60]Qs. Ibrâhim (14): 21
[61]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 76-77.
[62]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 556. 
[63]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 73.
[64]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 78-79. 
[65]Qs. Ibrâhîm (14): 12
[66]Qs. al-Mâ’idah (5): 11
[67]Qs. al-Talâq (65): 3
[68]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, 66.
[69]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 78. 
[70]Allah berfirman, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha atas-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” [Qs. al-Mâ’idah (5): 119].
[71]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 80.  
[72]A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 122. 
[73]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 80-81.
[74]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 82-104.
[75]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 83.  
[76]Qs. al-Ahzâb (33): 52
[77]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 66. 
[78]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 82-83.
[79]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 482.
[80]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 86-87.   
[81]Qs. al-Baqarah (2): 186
[82]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 84.  
[83]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 84-85. 
[84]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 362.  
[85]Qs. al-Mâ’idah (5): 54
[86]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 86. 
[87]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 96.
[88]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 416.
[89]Qs. Fâtir (35): 28
[90]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 417.
[91]Al-Qushayrî seperti dikutip Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 100. 
[92]Qs. al-Baqarah (2): 218
[93]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 458.
[94]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, 458.  
[95]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 91.  
[96]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 103-104. 
[97]Hadits shahih riwayat al-Nasâ’î dan al-Hâkim. (Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 94).
[98]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 94.
[99]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, Juz 2, 261. 
[100]Seperti dikutip Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 106.
[101]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 96. 
[102]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 98. 
[103]Qs. al-Ra’d (13): 28
[104]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, Juz 2, 216.
[105]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, Juz 2, 216.  
[106]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 101.  
[107]Qs. Qaf (50): 37
[108]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij al-Sâlikîn …, Juz 2, 403-406. 
[109]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 101.
[110]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 116.
[111]Qs. al-Takatsur (102): 5
[112]Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 8.
[113]Qs. al-Nûr (24): 35
[114]Qs. al-A’râf (7): 143
[115]Qs. al-Saffât (37): 96
[116]Qs. al-Anfâl (8): 17
[117]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 245.
[118]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 246.
[119]Abdul Hadi bin Hasan Wahbi, Menuju Kesucian Hati, Alih Bahasa Saifuddin Zuhri, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 9.
[120]HR. Ahmad dan Muslim, seperti dikutip Abdul Hadi bin Hasan Wahbi, Menuju Kesucian Hati, 64-65.
[121]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 246-247.
[122]Qs. al-Isrâ’ (17): 85
[123]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 247. 
[124]Muhammad Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb ..., 135-137.
[125]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, 248.
[126]Makhrus, “Berpikir dengan Jantung: (Studi terhadap Relasi ‘Aql dan Qalb dalam al-Qur’an)”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2009, 155.
[127]Paryana Suryadipura, Alam Pikiran, (Bandung: Sumur Bandung, 1963), 154. 
[128]Mudlor Ahmad, Etika dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.), 49. 
[129]Qs. al-Shûrâ (42): 52.
[130]Mudlor Ahmad, Etika dalam Islam, 51. 
[131]Mudlor Ahmad, Etika dalam Islam, 62.
[132]Reynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam, Alih Bahasa Tim Penerjemah Bumi Aksara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 22.
[133]Qs. al-Kahf (18): 17.
[134]M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta; Teras, 2008), 230.
[135]Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani, 1993), 74.
[136]Mustafa Zahri, Kunci memahai Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Bina Ilmu, 1995), 59.
[137]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), 89. 
[138]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren ..., 89.

Share This Article


Tidak ada komentar:

Posting Komentar