METODE MERAIH KEBAHAGIAAN
DALAM PSIKOLOGI SUFISTIK
Oleh: Rofi’udin, S.Th.I, M.Pd.I
A.
Metodologi Psikologi Islam
Psikologi Islam
memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman yang lain, seperti
sosiologi Islam, ekonomi Islam, dan sebagainya. Penggunaan
kata “Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigma,
atau aliran-aliran tersendiri yang berbeda dengan psikologi kontemporer pada
umumnya. Psikologi Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan
juga hakikat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa manusia
bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku sangat tergantung
pada ikhtiarnya.
Dari sini tampak bahwa psikologi Islam
mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi, berpikir,
berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun kebebasan itu tetap dalam
koridor sunnah-sunnah Allah SWT. Psikologi Islam mempunyai tujuan yang hakiki,
yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang lebih
sempurna untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[1]
Sampai saat ini, setidaknya ada dua usaha
untuk mengintegrasikan psikologi dan Islam; pertama, psikologi digunakan
sebagai pisau analisis masalah-masalah umat Islam, dan kedua, Islam
dipakai sebagai pisau analisis untuk menilai konsep-konsep psikologi. Usaha
pertama mempunyai keunggulan, psikologi dimanfaatkan untuk menjelaskan problem
umat Islam serta meningkatkan sumber daya umat. Sedangkan kelemahannya,
konsep-konsep psikologi mempunyai keterbatasan dan kemungkinan bias yang sangat
besar, karena seringkali mereduksi Islam ke dalam pengertian-pengertian parsial
dan tidak utuh.
Cara yang kedua, keunggulannya adalah kajian
kritis yang dilakukan terhadap psikologi sehingga dapat diketahui kelemahan dan
kekuatan konsep psikologi. Tapi kelemahan cara kedua ini terletak pada titik
pembahasan pada konsep psikologi, sehingga sering membuat seseorang terjebak
dengan memandang persoalan lebih berangkat dari pemahaman terhadap konsep
psikologinya ketimbang Islamnya. Untuk itu perlu dengan cara pandang ketiga,
yaitu membangun konsep psikologi baru yang didasarkan pada Islam.[2]
Caranya dengan merumuskan pengembangan metodologi psikologi Islam dengan
memperhatikan paradigma dan metode yang khas Islam.
Metodologi dalam pembahasan filsafat disebut
dengan logika material yang berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu
hal atau keadaan.[3]
Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode disertai dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing metode, yang dalam karya ilmiah akan
ditindaklanjuti dengan memilih dan menentukan metode yang digunakan. Metodologi
psikologi Islam berarti cara menyusun pikiran untuk memahami suatu hal atau
keadaan dalam perspektif Islam.
Kaitannya dengan metodologi psikologi Islam
tersebut, ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli. Pertama, psikologi
Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, sebab
hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut
pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah
metode. Kedua, psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan
ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka psikologi
Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode
ilmiah saja.[4]
B.
Pendekatan
dalam Psikologi Islam
Beberapa pendekatan yang dilakukan di dalam
membangun psikologi Islam sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para psikolog
muslim di masa klasik adalah pendekatan skriptualis, pendekatan filosofis dan
pendekatan sufistik.[5]
1.
Pendekatan
Skriptualis
Pendekatan ini mengacu kepada teks wahyu.
Pendekatan skriptualis dalam psikologi Islam didasarkan pada teks-teks al-Quran
atau hadits dengan lafal-lafal yang terkandung di dalamnya merupakan petunjuk (dilâlah)
yang sudah dianggap jelas (sarîkh). Asumsi filosofisnya adalah
bahwa Allah menciptakan nafs manusia dengan segala hukum psikologisnya.
Epistemologi dalam pendekatan ini bersifat bayanî, yaitu metode
pemikiran yang menekankan otoritas teks, secara langsung atau tidak langsung,
dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlâl).[6]
2.
Pendekatan
Filosofis
Pendekatan ini
mengacu kepada akal (burhanî). Pendekatan filosofis dalam psikologi
Islam ini didasarkan atas prosedur berpikir spekulatif (sistematis, radikal dan
universal yang didukung akal sehat). Pendekatan ini mengutamakan akal tanpa
meninggalkan nas, hanya cara memahaminya dengan mengambil makna
esensi yang tersirat di dalamnya. Jika terjadi pertentangan antara akal dan
wahyu, berarti akal belum mampu menangkap pesan nas tadi. Untuk itu diperlukan interpretasi filosofis (ta’wîl) terhadap
lafal nas.
3.
Pendekatan
Sufistik
Pendekatan ini
mengacu kepada intuisi (‘irfanî). Pendekatan sufistik dalam psikologi
Islam didasarkan pada prosedur intuitif, ilham dan cita-cita dengan cara
menajamkan struktur kalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs)
untuk membuka tabir (hijâb) yang menjadi penghalang ilmu-ilmu
Allah dengan jiwa manusia, hingga memperoleh ketersingkapan (al-kashf)
dan mampu mengungkapkan hakikat jiwa sesungguhnya. Pengetahuan ‘irfanî
tidak diperoleh melalui analisis teks (seperti dalam pendekatan skriptualis),
tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.[7]
C.
Metode Operasional Psikologi Sufistik
Metodologi psikologi
sufistik adalah cara menyusun pikiran untuk memahami kehidupan jiwa manusia,
sesuai dengan penjelasan Allah. Hal ini disebabkan karena psikologi sufistik menemukan
landasan filsafat ilmunya pada nilai-nilai Islam. Secara konseptual, metodologi
psikologi sufistik bertolak dari aksiologi yang berdasarkan wahyu. Epistemologinya
menyangkut perumusan dan pengembangan psikologi
sufistik yang memadukan antara akal dan wahyu, sedangkan ontologinya menetapkan
substansi yang ingin dicapai.
Dengan demikian, berangkat dari pandangan di
atas, psikologi sufistik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai psikologi
Islam dengan pendekatan tasawuf (esoteris Islam). Dalam metode operasionalnya, Abdullah
Hadziq setidaknya mencatat 4 metode yang digunakan dalam psikologi sufistik,[8]
yaitu:
1. Metode Mulâhadah Tabî’iyah
Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh
hal-hal yang terkait dengan tingkah laku manusia secara sadar, sistematis
dengan tujuan sesuai yang telah direncanakan.[9]
Mulâhadah tabî’iyah sebagai suatu metode dapat
digunakan untuk mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang
diamati, karena dalam pandangan psikologi agama, tingkah laku seseorang yang
nampak secara lahiriah lebih banyak dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya
atau kerangka pikir teologi yang mendasarinya.
2.
Metode Tajrîb
Rûhânî
Metode tajrîb rûhânî ini merupakan
metode eksperimen dalam situasi khusus yang bernuansa spiritual, dimana
gejala-gejala yang diteliti disederhanakan sedemikian rupa, sehingga peneliti
dapat menguasai seluruh proses eksperimen yang ada. Metode ini dimaksudkan
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat antara usaha-usaha yang
bersifat spiritual dengan tingkah laku keseharian pada objek yang dijadikan uji
coba.[10]
3.
Metode
Interpretasi Kitab Suci
Munculnya metode interpretasi kitab suci
ini, dilatarbelakangi oleh suatu fakta bahwa dasar-dasar objek keilmuan psikologi
sufistik dirumuskan atas kerangka pikir kitab suci sebagai referensi utamanya. Hal
ini dapat diperhatikan pada pemikiran-pemikiran psikologinya tentang nafs,
‘aql, qalb, rûh, dan fitrah.[11]
Selain di atas, munculnya metode
interpretasi kitab suci tersebut dilatarbelakangi juga oleh dasar pemikiran,
bahwa realitas yang ada tidak hanya terbatas segala sesuatu yang bersifat
empiris inderawi yang dapat dinalar, seperti paham rasionalisme dan positivisme,
melainkan ada juga realitas lain yang keberadaannya tidak dapat diukur dengan kriteria
indera dan rasio. Sehingga keberadaan metode interpretasi kitab suci dalam psikologi
sufistik menjadi mutlak adanya.
4.
Metode Kashf
Maksudnya adalah metode pemahaman tentang
apa yang tertutup bagi pemahaman rasional dan sensual, yang tersingkap bagi
seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang.[12]
Cara intuitif ini, sekalipun dalam wacana tertentu dikategorikan sebagai
pendekatan “non ilmiah”, tetapi keberadaannya masih bisa diakui sebagai metode
untuk memperoleh kebenaran/ pengetahuan.[13]
Hal ini sejalan dengan pandangan al-Ghazâlî
yang menyatakan bahwa metode kashf (intuitif) masih dapat dibenarkan
sebagai sarana untuk memperoleh bahan pengetahuan, selama pengetahuan yang
dihasilkan tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip agama.[14]
Untuk memperoleh pengetahuan intuitif melalui metode kashf, subjek pencari
pengetahuan ini, disyaratkan terlebih dahulu melakukan mujâhadah dan riyâdah,
dengan melewati tahapan demi tahapan (maqâmât) yang telah ditentukan.[15]
Menurut Suhrawârdî, secara metodologis,
pengetahuan ruhani dalam metode kashf diperoleh melalui tiga tahapan,
yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Dalam tahap persiapan,
penempuh jalan spiritual (sâlik) harus menyelesaikan jenjang-jenjang
spiritual yang disebut maqâmât, seperti tawbah, wara’, zuhud, faqr, sabar,
tawakkul, dan rida.
Selanjutnya dalam tahap penerimaan,
seorang sâlik akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan
secara iluminatif atau neotic. Dalam tahap ini, ia akan mendapatkan
kesadaran realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kashf), sehingga
dirinya mampu melihat realitas dirinya sendiri (mushâhadah). Sedangkan
pada tahap pengungkapan, merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian
pengetahuan ‘irfanî, dimana pengetahuan mistik dinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan maupun tulisan, meskipun harus disadari,
tidak semua pengalaman ‘irfanî bisa diungkapkan.[16]
D.
Kebahagiaan
dalam al-Qur’an
Al-Qur’an menjadi dasar argumen bagi kaum sufi
dalam menyusun teori tasawufnya, seperti halnya teoretisi yang lain. Mereka
mendasarkan pandangan tasawufnya dengan memberikan tafsir (dan bila perlu
takwil) dalam memahami suatu ayat. Banyak dari kaum sufi yang menyusun
kitab-kitab tafsir sesuai pandangan sufistiknya. Kebanyakan (untuk tidak
mengatakan semua) corak dari tafsir kaum sufi ini memiliki corak tafsir isyârî,
yakni tafsir yang mengandalkan pada makna tersirat (isyârî, isyarat)
dari suatu bunyi teks yang tersurat, dengan menggunakan epistemologi ‘irfanî.
Kaitannya dengan kebahagiaan, kaum sufi
memaknai ayat yang berbicara mengenai kebahagiaan sebagai bentuk kebahagiaan eskatologis. Menurut mereka, kebahagiaan tidak
hanya dalam kehidupan ini, tetapi juga kehidupan setelahnya. Al-Qur’an
mengajarkan kebahagiaan hidup di dunia serta cara-cara meraihnya, disamping
mengharuskan keselarasannya dengan tujuannya di akhirat. Ia menjelaskan akhirat
sebagai akibat perbuatan di dunia. Para pendurhaka di dunia mendapatkan neraka
sebagai balasannya di akhirat, dan dia termasuk orang yang celaka. Sebaliknya,
orang yang bahagia adalah mereka yang menjalankan petunjuk Tuhan di dunia, dan
surga menjadi balasannya di akhirat.
Secara teknis, al-Qur’an menyebut konsep
kebahagiaan dengan redaksi “bahagia” (سعد) dalam satu tempat, yakni
pada Surat Hud ayat 105-108. Pembahasan mengenai kebahagiaan dalam ayat
tersebut sebelumnya diawali dengan kontradiksinya dengan kesengsaraan penghuni
neraka pada ayat sebelumnya.
يَوْمَ
يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ (۱۰٥)
فَأَمَّا الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ (۱۰٦)
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (۱۰۷) وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي
الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا
شَاءَ رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (۱۰۸)
Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang
berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan
ada yang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam
neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih),
mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang
Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.[17]
Al-Qur'an secara gamblang
menyebut para penghuni neraka sebagai orang-orang yang celaka dan para penghuni
surga sebagai orang-orang yang bahagia. Model pemahaman yang ditawarkan
al-Qur’an tampaknya mengajak untuk melihat keterbalikan dan kontradiksi dari
suatu terma. Kata bahagia tidak dipahami dengan mencari padanan katanya,
seperti sejahtera, untung, gembira, dan sebagainya, tetapi justru dijelaskan
dengan melihat lawan katanya, yakni celaka. Hal ini mengindikasikan terma kebahagiaan
bersifat obyektif dan tidak terkait dengan kondisi psikis yang subyektif,
seperti gembira, untung, dan sebagainya.
Selain itu, dimensi eskatologis yang
menonjol dari konsep kebahagiaan di atas menunjukkan adanya transendentalisasi.
Hal ini dapat dilihat dari cara al-Qur’an menunjukkan bentuk majhul (passive
voice) dari makna “bahagia”. Penyebutan “orang-orang yang bahagia” dalam redaksi
alladhîna su’idû (اَلَّذِيْنَ سُعِدُوْا), menunjukkan bahwa
kebahagiaan yang mereka raih tidak semata-mata atas hasil usahanya sendiri,
tetapi lebih pada pemberian atau karunia dari Allah.
Selain itu, bentuk ayat tersebut menunjukkan
isyarat yang jelas tentang penafian segala kebahagiaan yang berlawanan dengan
hasil akhir di akhirat. Artinya, konsep bahagia-celaka di dunia tidak dapat
dijadikan sebagai tolok ukur kebahagiaan yang sejati. Betapapun seseorang
meraih kesuksesan, kesejahteraan, kebahagiaan di dunia, tetapi jika di akhirat
justru mendapatkan kebalikannya, maka ia layak disebut sebagai orang yang
celaka. Artinya, tolok ukur kebahagiaan sejati tidak berasal dari persepsi
duniawi, tetapi tolok ukur ukhrawi.
Tolok ukur inilah yang dapat dipakai
sebagai acuan dalam meraih kebahagiaan di dunia. Orang yang tolok ukurnya
ukhrawi akan menjalani hidup dengan berpatokan dengan tuntunan Tuhan. Betapapun
beratnya beban hidup di dunia tidak menghalanginya dalam meraih kebahagiaan.
Kemiskinan tidak menjadi hambatan untuk bersyukur. Keyakinan atas takdir begitu
mantap hingga ia tidak lagi mempedulikan keinginannya. Ia sudah menyerah,
pasrah, dan tidak lagi memiliki motif kecuali cintanya pada Tuhan.
Selain kebahagiaan dalam redaksi sa’âdah,
al-Qur’an menggunakan dua redaksi lainnya, yaitu tûbâ (طوبى) dan na’mâ’ (نعماء). Hal ini terlihat
dalam ayat berikut:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآَبٍ
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi
mereka kebahagiaan
dan tempat kembali yang baik.[18]
وَلَئِنْ
أَذَقْنَاهُ نَعْمَاءَ بَعْدَ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ
السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ
Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah
bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang
bencana-bencana itu daripadaku”; sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga.[19]
Dalam redaksi tûbâ,
kebahagiaan diraih dengan cara beriman dan dan mengimplementasikan iman
tersebut dengan amal saleh. Dengan cara seperti itu, seseorang akan meraih
kebahagiaan dan tempat kembali yang baik, yaitu surga, seperti dijelaskan dalam
Qs. Hûd ayat 10: “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di
dalam surga.”
Sedangkan dalam redaksi na’mâ’ dalam
ayat di atas, kebahagiaan dirasakan sebagai perasaan gembira dan bangga
setelah melewati suatu bencana. Ini mengindikasikan bahwa kebahagiaan dapat
tumbuh dengan cara mencari hikmah dan suatu musibah, atau segala sesuatu yang
menyebabkan ketidakbahagiaan. Dengan berakhirnya ketidakbahagiaan yang
dilanjutkan dengan mencari makna di dalamnya, kebahagiaan akan timbul sebagai
perasaan riang, gembira, senang, serta kebanggaan telah dapat melewati
kesulitan tersebut.
Selain itu, redaksi-redaksi yang sinonim
maknanya dengan “kebahagiaan” misalnya terungkap dalam redaksi ladhah, kelezatan
(Qs. 48:71), matâ’, perhiasan atau kesenangan (Qs. 11:3), ni’mah,
nikmat atau kesenangan (Qs. 3:20), aflaha, berbahagia atau
beruntung (Qs. 23:1), sakînah, ketenangan atau ketenteraman jiwa (Qs.
89:27-28), âminah, keamanan atau merasa aman tenteram (Qs. 16:112), salâm,
keselamatan atau kesejahteraan (Qs. 10:25), farihîn, gembira
bersuka ria (Qs. 3:170), hayah tayibah, penghidupan yang
baik (Qs. 16:97), dan fâ’izûn, orang-orang yang beruntung dan jaya atau
menang (Qs. 24:52). Semua redaksi yang digunakan al-Qur’an dalam menjelaskan
makna kebahagiaan tersebut merujuk pada terwujudnya kebahagiaan sebagai puncak
dari berbagai hal positif dari perasaan, tujuan, dan nilai-nilai kebaikan dari
manusia.
E.
Metode
Sufistik Meraih Kebahagiaan
Dalam tasawuf, para ulama menyusun suatu
sistem yang dapat digunakan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Sistem ini
merupakan dasar didikan dalam latihan ruhani (riyâdah) bagi para
sufi yang tersusun dalam tiga tingkat takhallî, tahallî, dan
tajallî.[20]
Dalam sistem ini, Ibn al-Qayyim menggambarkan kondisi-kondisi psikologis yang
dilalui oleh seorang sâlik dalam memulai perjalanan spiritualnya, yaitu al-yaqzah,
al-‘azm, al-fikrah, dan al-basîrah.[21]
Al-Yaqzah berarti kegalauan hati setelah terjaga dari
tidur yang lelap. Hal ini sangat penting dan membantu
pembenahan perilaku. Siapa yang merasakannya, berarti dia telah merasakan satu
keberuntungan. Jika tidak, berarti dia tetap dicengkeram kelalaian. Jika sudah
tersadar, dia diberi bekal hasrat untuk memulai perjalanannya dan menuju persinggahannya
yang pertama dan ke tempat dimana dia ditawan.
Jika perjalanan sudah dimulai, maka hati beralih ke persinggahan al-‘azm,
yaitu tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala
rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkan ke tujuan. Seberapa
jauh seseorang memiliki kesadaran, maka sejauh itu pula tekadnya, dan seberapa
jauh tekad yang dimilikinya, maka sejauh itu pula persiapan yang dilakukannya.
Jika sudah terjaga, maka dia memiliki al-fikrah, yaitu
pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia
belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana. Jika fikrah-nya sudah benar,
tentu dia memiliki al-basîrah, yaitu cahaya di dalam hati untuk
melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah
terhadap para wali dan musuh-Nya. Di
dalam hatinya seakan ada mata yang dapat melihat berbagai kejadian akhirat, dan
dia juga melihat bagaimana dunia ini yang begitu cepat berlalu.
Al-Basîrah merupakan cahaya yang
disusupkan Allah ke dalam hati, sehingga seseorang bisa melihat hakikat
pengabaran para rasul, seakan-akan dia bisa melihatnya dengan mata kepala
sendiri. Dengan begitu dia bisa mengambil manfaat dari seruan para rasul dan
melihat adanya bahaya yang mengancamnya jika dia bertentangan dengan mereka.
Siapa pun yang mengadakan
perjalanan kepada Allah tidak lepas dari al-yaqzah, al-basîrah,
al-fikrah, dan al-‘azm. Jika sudah memiliki kesadaran (yaqzah),
maka dia harus mengetahui (al-basîrah) segala urusan tentang perjalanannya,
bahaya, manfaat dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir (al-tafkîr) untuk
mengadakan persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia
harus memiliki tekad (al-‘azm) yang bulat untuk memulai perjalanan
tersebut.[22]
1.
Takhallî
Takhallî merupakan upaya seseorang membersihkan
dirinya dari sifat-sifat tercela, kotoran hati, maksiat lahir dan batin. Upaya
ini merupakan langkah awal seseorang dalam menempuh tasawuf, karena sifat-sifat
tercela tersebut merupakan pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan
dengan Allah.
Sifat-sifat yang
mengotori jiwa manusia itu seperti dzalim, bakhil, berbuat dosa besar, berlaku
sia-sia, berlebihan, bermegah-megah, khianat, dendam, dengki, dusta, egois,
homoseksual, kufur nikmat, membunuh, bunuh diri, minum khamr, menjerumuskan
diri, mengadu domba, mengikuti syahwat, mencuri, merasa tidak butuh, merusak,
marah, riya’, sombong, mencari muka, cinta dunia, dan seterusnya.
Dasar ajaran takhallî ini adalah firman Allah:
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا .
Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh
merugilah orang yang mengotorinya.[23]
Sifat-sifat
tercela seperti di atas merupakan maksiat lahir, yaitu segala perbuatan yang
dikerjakan anggota badan yang akibatnya merusak diri sendiri maupun orang lain,
sehingga membawa korban harta benda, pikiran, dan perasaan. Adapun maksiat
batin lebih berbahaya lagi, karena ia tidak kelihatan dan kurang disadari
sehingga sukar menghilangkannya. Maksiat batin inilah sesungguhnya yang
menggerakkan maksiat lahir. Selama maksiat batin belum bersih selama itu pula
maksiat lahir tiap saat dapat terulang, bahkan menimbulkan jenis maksiat yang
lebih banyak. Kedua jenis maksiat tersebut, lahir dan batin, tidak diragukan
lagi selalu mengganggu keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup
manusia. Sebab maksiat itu mengotori jiwa manusia sehingga menjadikan hijab
yang membatasi dirinya dengan Allah.
Untuk membuka
hijab tersebut, para ulama tasawuf memberikan beberapa jalan yang harus
ditempuh, yaitu[24]:
a. Mensucikan diri
dari najis dan hadats
Cara
ini dilakukan dengan beristinja’, baik dengan air atau tanah. Bila berhadats
besar dilakukan dengan mandi, dan bila hadats kecil dengan wudlu. Intinya,
seseorang yang hendak berhubungan dengan Allah harus bersih dan suci badannya,
pakaiannya, tempatnya, lahir dan batinnya.
b. Mensucikan diri
dari dosa lahir
Ada tujuh anggota badan yang membuat dosa lahir dan harus
disucikan, yaitu:
1) Mulut yang biasa
berdusta dan ghibah
2) Mata yang biasa
melihat yang haram
3) Telinga yang biasa
mendengar cerita bohong
4) Hidung yang biasa
menimbulkan rasa benci
5) Tangan yang biasa
merusak
6) Kaki yang biasa
berjalan berbuat maksiat
7) Kemaluan yang
biasa bersyahwat dan berzina (termasuk perut yang biasa diisi dengan barang
haram)
c. Mensucikan diri
dari dosa batin
Mensucikan diri dari dosa batin dilakukan dengan cara
berzikir. Rasulullah bersabda:
اِنَّ
لِكُلِّ شَيْئٍ صَقَالَةً وَصَقَالَةُ اْلقَلْبِ ذِكْرُ اللهِ
Sesungguhnya tiap
sesuatu ada alat untuk mensucikan dan alat untuk mensucikan hati adalah zikrullah.
Ulama tasawuf menjelaskan 7 macam zikir untuk mensucikan
diri dari dosa batin, yaitu[25]:
1)
Latîfah al-Qalb,
letaknya dua jari di bawah susu kiri, berhubungan dengan jantung jasmani. Di
sini letaknya sifat-sifat syirik, kufur, tahayul, dan sifat-sifat iblis. Untuk mensucikannya
dengan berzikir membaca “Allah” sebanyak 5000 kali. Pada
tingkat ini, hati diisi dengan iman, Islam, ihsan, tauhid, dan makrifat. Cahaya
latîfah ini berwarna kuning, dan bila cahaya tersebut keluar dari
depan pundak dan melaju ke atas, atau padanya diperoleh getaran atau gerakan
kuat, tuntunlah dengan latîfah al-rûh.
2)
Latîfah al-Rûh,
letaknya dua jari di bawah susu kanan, berhubungan dengan rabu jasmani. Di
sinilah letak sifat bahîmiyah (binatang jinak), seperti menuruti hawa
nafsu. Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sekeras-kerasnya
sebanyak 1000 kali. Cahaya latîfah ini berwarna merah, dan bila
cahaya tersebut bergerak atau menyala, tuntunlah dengan latîfah
al-sirr.
3)
Latîfah
al-Sirr, letaknya dua jari di atas susu
kiri. Di sinilah letak sifat shabâ’iyah (binatang buas), seperti zalim,
pemarah, pendendam, dan sebagainya. Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca
“Allah” sebanyak 1000 kali. Ada
pula sifat baiknya, seperti kasih sayang dan ramah. Cahaya latîfah ini
berwarna putih, dan bila menyala, tuntunlah dengan latîfah al-khafî.
4)
Latîfah al-Khafî,
letaknya dua jari di atas susu kanan, berhubungan dengan limpa jasmani. Di
sinilah letak sifat dengki, khianat, dan sifat-sifat syaithaniyah lainnya.
Sifat-sifat ini membawa kecelakaan dan kebinasaan dunia dan akhirat. Untuk mensucikannya
dengan berzikir membaca “Allah” sekeras-kerasnya sebanyak 1000 kali. Ada pula sifat baiknya,
seperti syukur dan sabar. Cahaya latîfah ini berwarna hitam, dan
bila menyala, tuntunlah dengan latîfah al-akhfâ.
5)
Latîfah al-Akhfâ,
letaknya di tengah dada, berhubungan dengan empedu jasmani. Di sinilah letak
sifat rabbâniyah, seperti riya’, takabur, ujub, sum’ah, dan sebagainya.
Untuk mensucikannya dengan berzikir membaca “Allah” sebanyak 1000 kali. Ada pula sifat baiknya,
seperti ikhlas, khusyuk, tadaru’, tawadu’, tafakur.
6)
Latîfah Nafs al-Natîqah,
letaknya di antara dua kening. Di sinilah letak nafsu amarah yang selalu
mendorong berbuat jahat. Sifat ini yang menjadi penghalang besar untuk
perbaikan masyarakat. Dalam latîfah ini juga terdapat sifat jahat
seperti banyak hayalan dan panjang angan-angan. Untuk mensucikannya dengan berzikir
membaca “Allah” sebanyak 1000 kali. Ada
pula sifat baiknya, seperti tenteram dan pikiran tenang.
7)
Latîfah Kulli Jasad,
letaknya di seluruh tubuh jasmani. Di sinilah letak sifat-sifat jahl dan
ghaflah (kebodohan dan kealpaan). Untuk mensucikannya dengan berzikir
membaca “Allah” sebanyak 1000 kali. Hal ini berguna untuk menghilangkan
sifat-sifat materialistik sehingga mengalir zikir di sekujur tubuh jasmani dan
tidak ada tempat lagi sifat-sifat buruk. Ada
pula sifat baiknya, seperti ilmu dan amal.
Selain dengan membaca “Allah” seperti zikir di atas,
dapat ditempuh pula dengan cara yang lain, seperti membaca “Lâ ilâha Illallâh”.
Tata caranya, hendaknya orang yang berzikir menempelkan lidahnya pada
langit-langit tenggorokan. Setelah mengambil nafas, tahanlah rongga mulut dan
mulailah dengan mengucapkan “Lâ” sambil berimajinasi dari bawah pusar dan
membentangkannya ke tengah dada (latîfah akhfâ) sehingga
berhenti pada latîfah nafs al-natîqah yang berada di bagian dalam otak pertama yang disebut selaput otak (ra’is
dimagh).
Setelah itu, mulailah dengan mengucapkan
hamzah kalimat “Ilâha” mulai dari otak sambil berimajinasi dan turun hingga
berhenti di bahu sebelah kanan, lalu mengalirkannya ke dalam ruh. Setelah itu,
mulailah mengucapkan hamzah kalimat “Illallâh” sambil berimajinasi. Dimulai
dari bahu dan membentangkannya secara menurun ke ambang tengah dada sehingga
bersamanya berhenti di hati. Lalu berimajinasi memukul kehitaman hati dengan lafal
Jalalah (Allah) melalui kekuatan nafas yang tertahan sehingga pengaruh dan
panasnya terasa pada seluruh tubuh (latîfah kulli jasad). Dengan
begitu panasnya menghanguskan seluruh bagian tubuh yang jelek serta
bagian-bagian yang baik diterangi dengan cahaya keagungan Allah.[26]
2.
Tahallî
Tahallî merupakan upaya seseorang untuk mengisi
dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin. Tahallî
dilakukan setelah seseorang membersihkan diri dari hal-hal yang mengotori
jiwanya dari bermacam sifat tercela dan maksiat. Selanjutnya dibarengi dengan
penyinaran hati agar hati yang kotor dan gelap menjadi bersih dan terang,
karena hati yang demikian itulah yang dapat menerima pancaran cahaya Tuhan.
Sifat-sifat
terpuji yang harus mengisi jiwa itu antara lain adil, belas kasihan, amal
saleh, berani, baik sangka, berbudi pekerti luhur, berjiwa kuat, berlaku benar,
bijaksana, dapat dipercaya, ikhlas, cinta, manis muka, menghormati tamu,
menyimpan rahasia, mencegah kejahatan, pemaaf, pemalu, penyantun, penolong,
penunjuk jalan kebenaran, sabar, zuhud dan sebagainya. Dasar ajaran tahallî
adalah firman Allah:
إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,
dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[27]
Dalam tahallî
ini, terdapat dua terma yang lazim dipakai dalam menjelaskan tahapan-tahapan
yang harus dilalui dan keadaan seorang penempuh jalan spiritual (sâlik)
dalam usahanya mengisi jiwanya dengan sifat-sifat terpuji, yaitu terma maqâmât
dan ahwâl.
Maqâmât menunjukkan “posisi” seseorang dalam perjalanan
menuju Allah, dengan memenuhi segala kewajiban berkaitan dengan maqâm
tersebut dan tetap berada di dalamnya hingga dia memahami kesempurnaannya
sejauh itu berada dalam batas kemampuan manusia. Ahwâl adalah
sesuatu yang diturunkan Allah kepada hati manusia yang setitik pun manusia oleh
kehendaknya sendiri tidak bisa menolak ketika ahwâl mendatanginya,
atau mempertahankannya ketika ahwâl beranjak pergi.[28]
Dengan kata lain, ahwâl atau hâl sifatnya
sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati
Tuhan. Hâl terkadang datang dalam waktu yang lama dan terkadang
hanya sekejap.[29]
a. Maqâmât
Maqâmât adalah bentuk jamak dari maqâm. Maqâm
secara literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokas, posisi, atau
tingkatan. Secara terminologis berarti kedudukan spiritual.[30]
Abû Nasr al-Sarrâj mendefinisikan maqâmât sebagai:
مَقَامُ الْعَبْدِ بَيْنَ يَدَىِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
فِيْمَا يُقَامُ فِيْهِ مِنَ الْعِبَادَاتِ وَالْمُجَاهَدَاتِ وَالرِّيَاضَاتِ
وَاْلاِنْقِطَاعِ اِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan
Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujâhadah),
latihan-latihan spiritual (riyâdah), dan mengarahkan segenap jiwa
raga semata-mata kepada Allah serta memutuskan selain-Nya (inqitâ’
ila Allâh).[31]
Hal ini seperti dijelaskan
dalam al-Qur’an:
.... ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ
....Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang
yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.[32]
Abû Nasr al-Sarrâj,
dalam kitabnya Al-Luma’, menyebutkan 7 maqâmât yang harus
ditempuh oleh sâlik, yaitu tawbah, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal,
dan rida.[33]
1) Tawbah
Secara literal, taubat (tawbah) berarti
“kembali”. Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali dari
perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya
kembali, kemudian kembali kepada Allah. Al-Qushayrî memaknai “kembali” (rujû’)
dengan kembali dari sesuatu yang dicela syara’ menuju sesuatu yang dipuji
olehnya.[34] Senada dengan al-Qushayrî, Yûsuf ibn Hamdân
al-Sûsî berpendapat bahwa taubat adalah kembali dari segala sesuatu yang dicela
oleh ilmu menuju kepada yang dipuji oleh ilmu.[35]
Al-Sarrâj membagi taubat ke dalam 4 bagian: (1)
taubatnya orang-orang yang berkehendak (murîdin); (2) tobatnya para
pembangkang (muta’âridîn); (3) tobatnya para pencari (tâlibîn);
dan (4) tobatnya para penuju (qâsidîn). Mereka ini adalah orang-orang yang kadang
bertobat tetapi kadang pula lalai.[36]
Hakikat
taubat ini adalah kembali dari jalan yang jauh menuju jalan kedekatan dengan
Allah. Dasar taubat adalah iman, yakni dengan adanya pemancaran cahaya makrifat
terhadap hati sehingga menjadi jelas di dalamnya bahwa dosa-dosa itu adalah
racun yang membinasakan. Kemudian memancar darinya cahaya ketakutan dan
penyesalan, serta memancar dari cahaya ini kecintaan dalam menjauhi dosa dan
kewaspadaan terhadapnya.[37]
Urgensi
taubat menurut al-Ghazâlî disebabkan karena dua hal: pertama, memudahkan
seorang hamba melakukan taat kepada Allah; dan kedua, menjadikan ibadah
seorang hamba diterima Allah. Selanjutnya ia menyatakan syarat-syarat diterimanya
taubat: (1) meninggalkan dosa; (2) bertaubat dari dosa yang pernah dikerjakan;
(3) meyakini dosa yang telah dikerjakan sama dengan dosa yang ditinggalkan,
dalam hal kedudukan dan tingkatannya, bukan dalam hal bentuk; dan (4) bertujuan
mengagungkan Allah serta takut murka dan siksa-Nya.[38]
Menurut
Yahyâ ibn Sharîf al-Nawawî, taubat hukumnya wajib dari tiap dosa. Jika
maksiatnya kepada Allah dan tidak ada kaitannya dengan manusia, ada 3 syarat
taubat yang harus dipenuhi: (1) harus menghentikan maksiatnya; (2) harus
menyesali perbuatan yang terlanjur dilakukannya; dan (3) niat
bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Adapun jika
maksiatnya menyangkut manusia, selain 3 syarat tersebut, ditambah syarat taubat
yang keempat (4) menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan
meminta maaf atau halalnya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikan.[39]
Taubat
dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan
Tuhannya, justru akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan
Tuhannya. Karena Allah sangat
mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri” (Qs. al-Baqarah (2): 222).
Allah senantiasa menerima taubat hamba-Nya yang
sungguh-sungguh berniat mensucikan dirinya, sebesar apapun dosanya, kecuali
syirik. Ibn ‘Atâ’illâh menyarankan agar orang tersebut berprasangka baik
bahwa Allah akan menerima taubatnya.
لَا
يُعَظِّمِ الذَّنْبُ عِنْدَكَ عَظَمَةً تَصُدُكَ عَنْ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللهِ
تَعَالَى فَاِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اِسْتَغْفَرَ فِى جَنْبِ كَرَمِهِ ذَنْبَهُ
لَا صَغِيْرَةً اِذَا قَابَلَكَ عَدْلُهُ وَلَا كَبِيْرَةً اِذَا وَاجَهَكَ فَضْلُهُ
Janganlah dianggap besar dosa yang
ada padamu sehingga engkau terhalang dari berbaik sangka kepada Allah Ta’ala,
maka orang yang mengenal Tuhannya menganggap kecil dosanya di sisi sifat
kemurahan-Nya.[40]
Perasaan
batin orang yang bertaubat akan dihinggapi kelegaan karena kesalahan dan dosa secara
jujur telah diakuinya. Sebaliknya, orang yang tidak mengakui kesalahannya akan
menanggung beban menyembunyikan perasaannya itu sekian lama sehingga akan
menjadikan hatinya selalu gelisah. Orang yang bertaubat, dalam usahanya menjaga
diri dari mengulang kesalahan yang sama, akan berusaha menjauhkan diri dari
dosa dan maksiat untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
2) Wara’
Secara literal, wara’ berarti menjauhkan diri dari dosa dan
menahan dari hal-hal yang syubhat dan maksiat. Dalam perspektif tasawuf, wara’ berarti menahan diri dari
hal-hal yang tidak pantas, sia-sia, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang haram
(terlarang), atau menjauhkan diri dari hal-hal yang meragukan (syubhat).[41]
Menurut al-Sarrâj, wara’ merupakan maqâm
yang mulia, sebab ia terkait erat dengan sendi agama. Ia membagi wara’
ke dalam tiga kelompok: (1) wara’ dari hal-hal yang syubhat, yakni
dengan menyelidiki dulu kehalalan dan keharaman sesuatu; (2) wara’ dari
hal-hal yang membuat hati gelisah; dan (3) wara’ dari hal-hal yang
membuat lupa kepada Allah atau menjauhkan diri dari-Nya.[42]
Yahyâ ibn Mu’âdh berpendapat bahwa wara’
adalah berhenti pada aturan ilmu dengan tanpa takwil dan qiyas, juga dengan
menjauhi riba dan syubhat. Ia membagi wara’ ke dalam dua jenis: pertama,
wara’ dalam pengertian lahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak
ada satu pun tindakan selain karena Allah; kedua, wara’ dalam
pengertian batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu pun
sesuatu yang memasuki hati sang hamba kecuali Allah.[43]
Jadi, wara’ dapat diartikan dengan
meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, berupa ucapan, penglihatan,
pendengaran, perbuatan, ide, atau aktivitas lainnya. Orang yang bersikap wara’
adalah yang terus berupaya agar setiap ucapannya memberi manfaat bagi diri
sendiri atau orang lain. Jika tidak, ia memilih diam. Demikian juga
penglihatan, pendengaran, perbuatan, atau ide sekiranya memberi manfaat akan
dilakukannya.[44]
3) Zuhd
Secara literal, zuhud (al-zuhd) berarti meninggalkan, tidak
tertarik, dan tidak menyukai. Pengertian ini seperti
dijelaskan al-Qur’an, “Dan mereka (kepada Yusuf) tidak tertarik hatinya (min
al-zâhidîn).”[45]
Dalam tasawuf, pengertian ini
diartikan sebagai sikap tidak tertarik terhadap dunia dengan cara meninggalkan
kehidupan duniawi, tidak terbelenggu oleh hidup kebendaan; mengasingkan diri
dari kesenangan dunia untuk ibadah.[46] Dalam tasawuf, zuhud dijadikan maqâm dalam upaya melatih diri dan mensucikan
hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia.[47]
Abû Sa’îd al-Kharrâj berkata, “Seorang
hamba tidak akan menjadi zâhid yang sempurna, sehingga ia memandang batu
dan emas sama belaka tidak bernilai padanya. Batu dan emas tidak pula
dipandangnya sama, sehingga ia mendapat suatu tanda dari Allah SWT, yang
kemudian tanda itu bisa menukar keadaan batu menjadi emas. Apabila ia telah
mencapai tingkat ini, barulah mata benda
dunia ini akan tersingkir dari lubuk hatinya.”[48]
Menurut al-Ghazâlî, tanda-tanda orang yang
zuhud ada tiga: (1) tidak gembira dengan yang ada, dan tidak sedih dengan yang
hilang; (2) kesamaan sikap antara dicela dan dipuji; dan (3) keintimannya
dengan Allah dalam hal ketaatan dan cinta kepada-Nya.[49] Al-Qur’an
menjelaskan sikap zuhud ini dalam ayat berikut:
لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا
تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
sombong lagi membanggakan diri.[50]
Ragam penafsiran mengenai zuhud ini,
tetapi semuanya berkonotasi pada mengurangi dan jika mungkin mengabaikan
kehidupan duniawi dengan segala kenikmatannya.[51] Sehingga secara sederhana zuhud adalah
sikap seseorang dalam memandang perkara duniawi secara tidak berlebihan.
4) Faqr
Fakir (al-faqr) berarti senantiasa merasa butuh kepada
Allah. Seorang hamba merasa tidak memiliki sesuatu, bebas dari segala jenis
keterikatan kepada hal-hal duniawi, merasakan kebutuhan, dan ketidakberdayaan
di hadapan Allah.[52]
Hal ini seperti dinyatakan dalam al-Qur’an,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى االلهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ
الْحَمِيدُ
Wahai
manusia, kamulah yang fâqir (butuh) kepada Allah, sedangkan Allah Maha
Kaya lagi Terpuji.[53]
Abû Bakr al-Misrî berpendapat bahwa fakir yang
sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan
sesuatu. Abû ‘Abdillâh ibn Al-Jallâ berkata,
“Bahwa engkau tidak memiliki apa pun dan jika engkau memiliki sesuatu, engkau
masih tidak memilikinya, dan sejauh engkau tidak memilikinya, engkau tidak
memilikinya”.[54]
Menurut al-Sarrâj fakir dibagi menjadi tiga: (1) mereka yang
tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apa-apa kepada seseorang, baik secara
lahir maupun batin, dan jika diberi sesuatu, maka tidak diambilnya; (2) mereka
yang tidak memiliki apa-apa, tidak meminta sesuatu kepada siapapun, tidak
mencari, tidak berpaling, namun jika diberi sesuatu, maka ia terima; dan (3)
mereka yang tidak memiliki apa-apa, namun jika butuh sesuatu, ia mengadu kepada
seseorang.[55]
Fakir bukan orang yang tidak punya bekal hidup, tapi orang yang
bersih atau kosong hatinya dari keinginan duniawi. Dengan kata lain, fakir diartikan
sebagai orang yang hanya memperkaya ruhani atau batinnya dengan Allah. Yahya
ibn Muadz al-Razi berpendapat bahwa tanda orang yang fakir adalah merasa takut
atas hilangnya kefakiran, dalam arti merasa aman dengan ketentuan Allah.[56]
Fakir adalah maqâm yang bertujuan untuk mensucikan diri dari
segala keinginan selain Allah. Tidak ada yang lebih penting dalam menghambakan
diri kepada sang Khalik selain membebaskan keterikatan batin kepada selain-Nya.
Dengan pengertian bahwa melalui fakir, para sâlik akan menyadari serba
terbatasnya dirinya sebagai hamba, sehingga perasaan itu melahirkan kepasrahan
dan ketundukan. Pesan yang tersirat di dalam fakir adalah agar manusia bersikap
hati-hati terhadap pengaruh negatif akibat keinginan kepada harta kekayaan.[57]
5) Sabr
Sabar (al-sabr) menurut pengertian bahasa adalah
menahan atau bertahan. Jika
dikatakan, “Qutila Fulân Sabrân”, artinya Fulan terbunuh karena
hanya bertahan. Jadi sabar artinya menahan diri dari
rasa gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah; menahan anggota
tubuh dari kekacauan. Sabar ini ada tiga macam: sabar dalam ketaatan kepada
Allah, sabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan sabar dalam ujian Allah. Dua
macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang
dikehendaki dan yang ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.[58]
Sabar
mengandung pengertian memiliki kekuatan jiwa yang cukup agar tetap sabar dalam
keadaan sengsara dan menderita, serta tetap gigih di tengah-tengah kesulitan
dalam memperjuangkan tujuannya sendiri. Secara semantik, kata sabr merupakan
lawan dari jazâ’ yang artinya sifat yang dimiliki oleh mereka yang tidak
dapat menahan dengan sabar apa yang menimpanya dan cepat menunjukkan agitasi.[59]
Kedua sifat yang berlawanan tersebut ditunjukkan oleh al-Qur’an ketika
menyifati penduduk neraka yang berkata:
.... سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ
مَحِيصٍ
….Sama saja bagi kita, apakah kita
mengeluh (jazi’nâ) ataukah bersabar (sabarnâ), sekali-kali
kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.[60]
Al-Sarrâj membagi sabar menjadi tiga: (1) mutasâbir,
yaitu orang yang sabar fillâh, kadang sabar atas musibah, kadang tidak;
(2) sâbir, yaitu orang yang sabar fillâh lillâh, tidak
merasa cemas, tidak dihinggapi rasa cemas, dan tidak mengeluh; dan (3) sabbâr,
yaitu orang yang menunjukkan kesabarannya fillâh lillâh ma’allâh, orang
yang jika ditimpa seluruh penderitaan tidak akan lemah, tidak berubah hakikat
dan kewajibannya, juga tidak berubah bentuk dan ciptaannya.[61]
Ibn Taymiyah pernah berkata bahwa sabar dalam melaksanakan ketaatan
lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan
melakukan ketaatan lebih disukai Allah daripada kemaslahatan meninggalkan
kedurhakaan, dan keburukan tidak taat lebih dibenci Allah daripada keburukan
adanya kedurhakaan.[62]
6) Tawakal
Secara literal, tawakal (al-tawakkul) berarti memasrahkan,
menyerahkan kepada-Nya, dan mencukupkan diri dengan-Nya. Dalam tasawuf, tawakal
berarti mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Allah sepenuhnya
dan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai masalah yang dihadapi. Tawakal
merupakan inti ajaran Islam karena berkaitan erat dengan iman. Tanpa keimanan
kepada Allah, tak mungkin seseorang percaya kepada-Nya. Tanpa percaya
kepada-Nya (tawakal), tak mungkin seseorang bersikap tunduk dan pasrah (islâm)
kepada-Nya.[63]
Al-Sarrâj membagi tawakal menjadi tiga: (1) tawakalnya orang-orang
yang beriman, yakni mereka mengabdikan jasad untuk beribadah, mengaitkan hati
kepada Allah, dan bersikap tenang dalam mencari kebutuha, jika diberi ia
bersyukur, dan jika tidak ia bersabar; (2) tawakalnya orang yang bertawakal (khusûs),
yakni mereka yang benar-benar bertawakal kepada Allah, bersama Allah, hanya
untuk Allah, bukan disebabkan oleh yang lain; dan (3) tawakalnya orang yang
istimewa (khusûs al-khusûs), yakni mereka yang menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Allah semata dan menyadari ketidakpunyaannya akan
eksistensi diri sendiri.[64]
Dalil-dalil yang digunakan dalam membagi tingkatan tawakal tersebut
berasal dari al-Qur’an yang menyebut istilah tawakalnya orang yang beriman,
tawakalnya orang yang bertawakal, dan tawakalnya orang yang istimewa, sebagai
berikut:
وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ
الْمُتَوَكِّلُونَ
وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
فَهُوَ حَسْبُهُ
….Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya….[67]
Beberapa ulama berpendapat mengenai tawakal ini, dan sebenarnya
definisi dari mereka tidak saling berseberangan, bahkan saling melengkapi.
Sederhananya, tawakal berarti penyerahan penuh diri hamba kepada sang khalik
setelah melalui ikhtiar yang maksimal dari hamba tersebut. Tawakal yang
didahului dengan ikhtiar merupakan tuntunan syariat Islam.[68]
7) Ridha
Ridha (al-rida) berarti sikap
menerima dengan lapang dan senang terhadap apapun keputusan dan perlakuan Allah
kepada seorang hamba, entah itu menyenangkan atau tidak. Ridha kepada Allah
muncul dari keyakinan bahwa ketetapan Allah terhadap sang hamba lebih baik
daripada keputusan hamba itu bagi dirinya sendiri.[69]
Jika seseorang merasa ridha kepada Allah, niscaya Allah pun ridha kepadanya.[70]
Ridha merupakan pintu Allah yang paling
agung, surga dunia. Hendaknya seorang hamba hatinya merasa tenang di bawah
hukum Allah. Al-Qannâd, al-Muhâsibî, maupun Dhunnûn sepakat bahwa ridha
adalah senang atau tenangnya hati dalam menjalani ketetapan Allah. Ibn Atâ’illâh
menambahkan, ridha adalah mengarahkan perhatian hati pada berlakunya ketetapan
Allah bagi sang hamba, dan hendaknya ia tahu bahwa Allah telah memilihkan
baginya yang terbaik.[71]
Ibn Khafîf mengatakan, ridha adalah kerelaan
hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridhai
Allah untuknya. Menurut Rabî’ah al-’Adâwiyah, ridha adalah jika ia telah
gembira menerima musibah seperti kegembiraannya menerima nikmat. Sepertinya
pengertian ridha demikian merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga
melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi
dan kondisi.[72]
Segala peristiwa yang terjadi dihadapi
seorang hamba dengan hati yang tenang. Sekalipun peristiwa itu perkara musibah,
kebahagiaan, atau apa saja di matanya sama saja. Ridha merupakan maqâm
terakhir dari perjalanan sâlik. Tidak mudah dalam menggapai kedudukan
pada maqâm ini. Para sâlik harus
berjuang dan berkorban (mujâhadah) secara bertahap serta terus-menerus
melakukan riyâdah sebagai media untuk mensucikan ruhaninya.
Al-Sarrâj membagi
ridha menjadi tiga: (1) mereka yang tetap beramal pada saat susah hingga
kemudian hatinya serasi dengan Allah terhadap apapun yang terjadi atas dirinya
dengan sebab ketetapan Allah, baik itu berupa musibah, hal-hal yang dibenci,
penolakan, dan pemberian; (2) mereka yang meloncat dari pandangan ridhanya
terhadap Allah menuju pandangan ridha Allah terhadap dirinya; dan (3) mereka
yang melewati pandangan ridha Allah terhadap dirinya dan ridhanya kepada Allah
menuju pengetahuan bahwa Allah telah ridha terhadap seluruh makhluk-Nya sejak
azali.[73]
b. Ahwâl
Ahwâl adalah jama’ dari hâl yang artinya
keadaan, yakni keadaan hati yang dalam oleh para sufi dalam menempuh jalan
untuk dekat kepada Tuhan. Atau, situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi
sebagai karunia Allah, bukan berasal dari hasil usahanya. Ahwâl
atau hâl merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang,
sedih, takut, dan sebagainya. Dapat juga diartikan sebagai keadaan-keadaan
spiritual sebagai anugerah dan karunia Allah kepada hati para penempuh jalan
spiritual.
Abû Nasr al-Sarrâj menyebutkan ada
10 ahwâl yang dirasakan para sâlik, yaitu murâqabah,
qurb, mahabbah, khawf, rajâ’, shawq, uns, tuma’nînah, mushâhadah,
dan yaqîn.[74]
1) Murâqabah
Secara literal, murâqabah berarti
menjaga atau mengamati tujuan. Secara terminologis, menurut al-Qushayrî,
berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinya, sehingga manusia
mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaannya, Allah
melihat dirinya dalam gerak dan diam.[75] Dasar murâqabah
ini adalah firman Allah:
.... وَكَانَ اللهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا
….Dan adalah Allah Maha mengawasi segala
sesuatu.[76]
Dalam pandangan al-Sarrâj, murâqabah adalah pengetahuan dan
keyakinan bahwa Allah mengawasi apa-apa yang ada di hatinya dan siratan batinnya,
Allah juga mengawasi bisikan-bisikan tercela yang menyibukkan hati dari
mengingat Allah.[77]
Al-Sarrâj membagi murâqabah menjadi tiga: (1) bahwa sang
hamba senantiasa menjaga rahasia-rahasia hati karena Allah selalu mengawasi
setiap apa yang tersirat di dalam batin; (2) bahwa sang hamba mengawasi Yang
Haq dengan Yang Haq di dalam fana’ kepada selain yang haq dan senantiasa
mengikuti Nabi Muhammad dalam perbuatan, akhlak, dan adabnya; dan (3) bahwa
sang hamba senantiasa mengawasi Allah dan meminta kepada-Nya untuk menjaga
mereka dalam murâqabah, dan Allah sendiri sudah menjamin secara khusus
hamba-hamba-Nya yang mulia tersebut untuk tidak mempercayakan mereka dan segala
kondisi mereka kepada seseorang selain-Nya, dan hanya Allah saja yang
melindungi mereka.[78]
Murâqabah artinya pengetahuan hamba
secara terus-menerus dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui lahir dan
batinnya. Murâqabah ini merupakan hasil pengetahuannya bahwa Allah
mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amalnya di setiap
waktu dan di mana pun, mengetahui setiap hembusan napas dan tak sedetik pun
lolos dari perhatian-Nya.[79]
2)
Qurb
Secara literal, qurb berarti dekat darinya dan kepadanya. Menurut
Sârî al-Saqatî, qurb adalah taat kepada Allah. Sementara Ruwaym
ibn Ahmad menjelaskannya sebagai menghilangkan setiap hal yang
merintangi dirimu untuk bersama-Nya.[80]
Dasar qurb ini adalah firman Allah:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.[81]
Menurut al-Sarrâj, qurb adalah penyaksian sang
hamba dengan hatinya akan kedekatan Allah kepadanya, maka ia mendekat kepada
Allah dengan ketaatannya, dan mengerahkan segenap keinginannya kepada Allah
semata dengan cara mengingat-Nya secara kontinyu baik pada saat ramai maupun
sendiri.[82]
Al-Sarrâj membagi qurb ini menjadi tiga: (1) orang-orang yang
mendekat kepada Allah dan berjuang dengan berbagai ketaatan; (2) orang-orang
yang dengan ketaatan dan ilmunya tentang Allah, merasa yakin melihat dan dekat
kepada Allah; dan (3) orang-orang yang mampu menghilangkan hijab antara dirinya
dengan Allah.[83]
3)
Mahabbah
Cinta dalam bahasa Arab disebut al-hubb atau mahabbah
yang berarti waddahu, punya makna kasih atau mengasihi. Abd al-Wahîd ibn
Zayd berjalan dengan seorang lelaki yang berdiri di atas salju. Abd al-Wahîd
bertanya kepadanya, “Apakah engkau menemukan salju?” Ia menjawab, “Orang yang
cintanya kepada Allah telah menyibukkannya tidak akan menemukan salju.”[84]
Dasar mahabbah ini adalah firman Allah:
.... فَسَوْفَ يَأْتِيَ اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ ....
….Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya….[85]
Al-Sarrâj berpendapat bahwa mahabbah sang
hamba kepada Allah pertama kali muncul dari pandangan mata lahirnya terhadap
nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya, sementara mata batinnya memandang
kedekatan Allah, merasakan besarnya pertolongan-Nya, serta pemeliharaan dan
pengawasan Allah atas dirinya. Kemudian ia melihat inayah dan hidayah Allah
dengan iman dan keyakinannya yang hakiki, yang telah mendahului cintanya kepada
Allah. Dari situ, tumbullah cintanya yang mendalam kepada Allah.[86]
Cinta di sini sangat berbeda dengan pengertian cinta sesama makhluk
Tuhan. Cinta yang dimaksud adalah cinta hakiki dari hamba kepada Khaliknya.
Dengan kata lain, cinta itu perwujudan rasa kedekatan jiwa dan raga seorang
hamba dihadapan Tuhannya. Walau cinta merupakan masalah asli dalam tasawuf,
akan tetapi para arif mengaku bahwa mereka tidak mampu memaknai dan
mendefinisikan cinta.
4)
Khawf
Menurut al-Ghazâlî, khawf (takut) dipandang sebagai hati yang
sakit dan terbakar karena adanya bayangan atau imajinasi tentang sesuatu yang
dibenci di masa depan. Abu Hafs menyatakan bahwa khawf adalah cambuk
Allah yang digunakan-Nya untuk menghukum manusia yang berontak keluar dari
ambang pintu-Nya; ia adalah pelita hati, dengan khawf akan tampak baik
buruknya seseorang.[87]
Menurut Ibn al-Qayyim, kata khawf tidak jauh maknanya dengan
kata wajal, khashyah, rahbah, haybah, sekalipun mungkin ada sedikit
perbedaan pada perincian atau penyertaannya. Ada yang berpendapat, khawf merupakan
kegundahan hati dan gerakannya karena ingat sesuatu yang ditakuti. Ada pula yang berpendapat,
khawf adalah upaya hati untuk menghindar dari datangnya sesuatu yang
tidak disukainya, saat ia merasakannya. Sedangkan khashyah lebih khusus
daripada khawf. Khashyah adalah milik orang-orang yang memiliki
pengetahuan tentang Allah. [88]
Dasar khawf ini adalah firman Allah:
.... إِنَّمَا
يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
….Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang yang berilmu.[89]
Khashyah merupakan khawf
yang disertai makrifat. Sedangkan rahbah mencari peluang untuk lari dari
sesuatu yang tidak disukai. Kebalikannya rahbah, yaitu gerakan hati
untuk mencari sesuatu yang diinginkan. Wajal artinya hati yang menggigil
dan bergetar karena mengingat orang yang ditakuti kekuasaan dan hukumannya atau
saat melihatnya. Haybah artinya ketakutan yang disertai pengagungan dan
penghormatan, yang biasanya juga disertai rasa cinta, karena penghormatan
merupakan pengagungan yang disertai rasa cinta.
Khawf merupakan sifat orang-orang mukmin
secara umum, khashyah merupakan sifat orang-orang yang berilmu dan
memiliki makrifat, haybah merupakan sifat orang-orang yang mencintai,
sedangkan ijlâl merupakan sifat orang-orang mendekatkan diri. Seberapa
banyak ilmu dan makrifat yang dimiliki, maka sebanyak itu pula khawf dan
khashyahnya.[90]
5)
Raja’
Raja’ artinya harapan, yakni keterpautan
hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa yang akan datang,
seperti halnya takut juga berkaitan dengan apa yang akan terjadi di masa
datang. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan akan lenyapnya beban di hati.
Harapan adalah melihat kegemilangan Ilahi dengan kemurahan Tuhan. Harapan
berarti melihat pada kasih sayang Allah Yang Maha Meliputi.[91]
Dasar raja’ ini adalah firman Allah:
إِنَّ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ
يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[92]
Menurut Ibn al-Qayyim, perbedaan raja' (mengharap)
dengan tamannî (berangan-angan), bahwa berangan-angan disertai
kemalasan, pelakunya tidak pernah bersungguh-sungguh dan berusaha. Sedangkan
mengharap itu disertai dengan usaha dan tawakal. Yang pertama seperti keadaan
orang yang berangan-angan andaikan dia mempunyai sepetak tanah yang dapat dia
tanami dan hasilnya pun dipetik. Yang kedua seperti keadaan orang yang
mempunyai sepetak tanah dan dia olah dan tanami, lalu dia berharap tanamannya
tumbuh. Karena itu para ulama telah sepakat bahwa raja' tidak dianggap
sah kecuali disertai usaha.[93]
Lebih lanjut, Ibn al-Qayyim membagi raja' itu ada ke dalam 3
macam; dua macam terpuji dan satu macam tercela, yaitu: (1) harapan seseorang
agar dapat taat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah, lalu dia mengharap
pahala-Nya; (2) seseorang yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharap
ampunan Allah, kemurahan dan kasih sayang-Nya; dan (3) orang yang melakukan kesalahan
dan mengharap rahmat Allah tanpa disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan
harapan yang dusta.[94]
Sebagian sufi
memandang bahwa khawf dan raja’ merupakan sayapnya amal, tidak
akan terbang amal itu kecuali dengan keduanya. Sementara Abû Bakr al-Warrâq
menerangkan bahwa raja’ adalah kesenangan dari Allah bagi hati
orang-orang yang takut, jika tidak terkena itu binasalah diri mereka dan
hilanglah akal mereka.[95]
6)
Syawq
Secara literal, syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya
cinta. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan
rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan
tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora agar selalu
bersama-Nya. Tiap denyut jantung, detak kalbu, dan desa nafas serta ingatan
hanya kepada Allah, itulah syawq (rindu).[96]
Al-Sarrâj memandang syawq sebagai kelezatan memandang wajah
Allah terjadi nanti di akhirat, sedangkan rasa rindu yang bergelora hendak
bertemu dengan-Nya ada di dunia ini. Dalam hadits Nabi disebutkan, “Ya Allah,
aku memohon padamu kelezatan memandang wajah-Mu dan rasa rindu bertemu
dengan-Mu”[97]
Syawq berarti tetapnya rasa rindu sang hamba yang hendak
bertemu dengan kekasihnya. Menurut sebagian kaum sufi, syawq adalah
gelisahnya hati ketika disebut nama Kekasihnya. Menurut sebagian yang lain, syawq
adalah api yang dinyalakan Allah di dalam hati para kekasih-Nya hingga
terbakar seluruh yang bersemayam dalam hati mereka dari bisikan-bisikan,
keinginan-keinginan, segala bentuk pengingkaran dan segala macam kebutuhan,
yang ada hanya Dia.[98]
Yahyâ bin Mu’âdh berkata, “Tanda
rindu ialah tersapihnya anggota tubuh dari syahwat.” Abû ‘Uthmân berkata, “Tanda rindu ialah menyukai mati
asalkan mendatangkan ketenangan jiwa, seperti keadaan Yûsuf AS ketika
dimasukkan ke dalam sumur. Dalam keadaan seperti ini
beliau tidak berkata, “Matikanlah aku!” Begitu pula saat beliau dijebloskan ke
dalam penjara. Tetapi ketika semua urusan sudah beres, keamanan sudah terjamin
dan nikmat ada di mana-mana, maka beliau berkata, “Matikanlah aku dalam keadaan
berserah diri.”[99]
7)
Uns
Secara literal, uns berarti keakraban atau keintiman. Abû
Sa’îd al-Kharrâj berkata bahwa uns adalah perbincangan ruh dengan Sang
Kekasih pada kondisi sangat dekat. Dhunnûn memandang uns sebagai
perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Mâlik ibn
Dinâr menegaskan bahwa siapa yang tidak merasa intim berbincang dengan Allah,
malah ia merasa intim berbincang dengan makhluk, itu berarti sedikit ilmunya,
buta mata hatinya, dan telah hilang umurnya. Menurut Suhrawârdî, uns didapatkan
dengan ketaatan kepada-Nya, senantiasa menyebut nama-Nya, membaca firman-Nya,
dan melakukan serangkaian kedekatan-kedekatan kepada-Nya.[100]
Menurut al-Sarrâj, uns bersama Allah adalah bersandar kepada-Nya,
tenang bersama-Nya, senantiasa memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak
memiliki anggapan lain yang lebih besar dari hal ini semua. Sebagian ‘ârifîn
menyatakan bahwa Allah memiliki hamba-hamba yang jika Dia menghendaki mereka
mencapai kebenaran hakikat uns, Dia jauhkan mereka dari rasa takut
kepada selain diri-Nya. Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah
ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya, serta terbebas
dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah. Pada saat itulah Allah
menjadikannya intim bersama-Nya.[101]
8)
Tuma’nînah
Tuma’nînah secara bahasa berarti tenang
tenteram. Tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak
ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena telah mencapai tingkat
kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarrâj, tuma’nînah
berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya, dan kokoh
realitas hakikatnya.[102]
Dasar tuma’nînah ini adalah firman Allah:
الَّذِينَ
آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ
تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.[103]
Ibn al-Qayyim membagi tuma’nînah ke dalam
3 derajat: (1) Tuma’ninah hati karena menyebut asma Allah. Ini
merupakan tuma’nînah-nya orang takut yang beralih ke harapan,
dari kegelisahan ke hukum dan dari cobaan ke pahala; (2) Tuma’nînah ruh
saat mencapai tujuan pengungkapan hakikat, saat merindukan janji dan saat
berpisah untuk berkumpul kembali. Ruh menjadi tuma’nînah jika
melihat tujuannya dan tidak ingin menengok ke belakang; dan (3) Tuma’nînah
karena menyaksikan kasih sayang Allah, tuma’nînah kebersamaan
menuju kekekalan dan tuma’nînah kedudukan menuju cahaya azali.
Derajat ini berkaitan dengan kefanaan dan kekekalan. Orang yang sampai kepada
kesaksian kebersamaan merasa tentram karena kasih sayang Allah.[104]
Menurut Ibn al-Qayyim, terdapat dua
perbedaan antara sakînah dan tuma’nînah, yaitu: (1) Sakînah
merupakan keadaan secara tiba-tiba yang terkadang disertai dengan hilangnya
rasa takut. Sedangkan tuma’nînah merupakan pengaruh yang timbul
dari adanya sakînah. Seakan-akan tuma’nînah merupakan
puncak dari sakînah; dan (2) Sebagai gambaran, keberuntungan yang
diperoleh karena sakînah, seperti seseorang yang berhadapan dengan
musuh. Ketika musuh lari darinya, maka hatinya menjadi tenang. Sedangkan tuma’nînah
seperti benteng yang pintunya terbuka, lalu dia masuk ke dalamnya, sehingga
dia merasa aman dari musuh. Tuma’nînah sifatnya lebih umum,
karena ditunjang ilmu, pengabarannya, keyakinan dan keberuntungan.[105]
9)
Mushâhadah
Mushâhadah dalam tasawud berarti melihat
Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan
mata kepala. ‘Amr ibn ‘Uthman al-Makkî memaknai mushâhadah sebagai
apa-apa yang dijumpai hati dari yang gaib
dengan sebab yang gaib pula, ia tidak bisa menjadikan yang gaib terlihat oleh
mata dan tidak pula mewujud dalam bentuk.[106]
Dasar mushâhadah ini adalah firman Allah:
إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ
شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.[107]
Ibn al-Qayyim
membagi mushâhadah ini ke dalam 3 tingkatan: (1) Mushâhadah makrifat, yang berlalu di
atas batasan ilmu, dalam cahaya wujud dan berada dalam kefanaan kebersamaan;
(2) Mushâhadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian,
mengenakan sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat. Derajat ini lebih
tinggi daripada derajat pertama; dan (3) Mushâhadah kebersamaan, yang
menarik kepada kebersamaan, yang mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang
perahu wujud. Menurut Ibn Taymiyah, orang yang ada dalam derajat ini lebih
mantap dalam kedudukan mushâhadah, kebersamaan dan wujud serta lebih
mampu membawa beban perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan
makrifat.[108]
Hati kaum ‘ârifîn ketika mushâhadah
(menyaksikan Allah), menurut al-Makkî, sesungguhnya menyaksikan dengan
penyaksian yang kokoh. Mereka menyaksikan Allah pada tiap sesuatu, termasuk
pada jagat raya ini. Mereka hanya menyaksikan-Nya semata, demikian juga Allah
menyaksikan mereka. Mereka hilang dalam kehadiran-Nya dan
hadir dalam kegaiban-Nya. Mereka menyaksikan-Nya secara Zâhir dan Bâtin,
Awal dan Âkhir.[109]
10)
Yaqîn
Yaqîn merupakan hâl
yang terakhir dari seluruh ahwâl. Ia adalah fondasi sekaligus
pangkalan terakhir. Ia juga merupakan esensi (batin) seluruh ahwâl.
Perpaduan
antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang
menggelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam
jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, itulah yaqîn.
Yang disebut puncak keyakinan adalah mantapnya pembenaran terhadap
Yang Maha Gaib dengan cara menghapus seluruh keraguan. Puncak dari keyakinan
adalah sikap optimis dan perasaan gembira, merasakan manisnya munajat, bening
dan tulusnya pandangan kepada Allah dengan sebab kesaksian hati, keyakinan yang
hakiki, dan dengan cara menghapus penyakit-penyakitnya dan melawan keraguan
yang masih melekat.[110]
Dasar yaqîn ini adalah firman Allah:
كَلَّا
لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.[111]
Menurut Imam Qushayrî, setiap hâl
merupakan karunia dan setiap maqâm adalah upaya. Pada hâl,
datang dari wujud itu sendiri, sedangkan maqâm menempati diperoleh
melalui upaya perjuangan. Orang yang memiliki maqâm menempati maqâm-nya
dan orang yang berada dalam hâl bebas dari kondisinya. Meskipun hâl
merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawâhib) namun seseorang
yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal
baik atau ibadah. Dalam konteks demikian, ahwâl dan maqâmât adalah
satu kesatuan, perbedaannya hanya ada dalam wilayah teoritis semata.[112]
Seseorang yang telah mengosongkan hatinya dari sifat-sifat tercela (takhallî)
dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji (tahallî), segala
perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas. Ia
ikhlas beribadah kepada Allah, mengabdikan diri kepada kepentingan agama,
bekerja melayani kepentingan masyarakat dan negara, berbuat baik dan menolong
sesama sesuai kemampuannya, dan seluruh hidup dan gerak kehidupannya
diikhlaskan untuk mencari ridha Allah. Manusia seperti inilah yang selalu
mendekatkan diri kepada Allah sehingga Allah memberikan rahmat dan perlindungan
kepadanya. Hasilnya, kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat diraih.
3.
Tajallî
Tajallî inilah yang
sesungguhnya dinanti para penempuh jalan spiritual untuk meraih kebahagiaan
yang diidam-idamkan. Tajallî adalah merasakan adanya rasa ketuhanan yang
sampai pada kenyataan ketuhanan, yakni lenyapnya hijab dari sifat-sifat
kemanusiaan ketika tampak wajah Allah. Dasar tajallî ini adalah firman
Allah:
اللهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
....
.... فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا
وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا ....
.... Tatkala Tuhannya
menampakkan diri (tajallî) kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan ....[114]
Dalam tajallî terdapat 4 tingkatan, yaitu tajallî af’âl, tajallî asmâ’, tajallî
sifât, dan tajallî dhât. Semua tingkatan tajallî
merupakan perwujudan fana’ dari seorang hamba dalam baqa’ Allah,
artinya leburnya seorang hamba di bawah pancaran cahaya Allah.
a. Tajallî Af’âl (Perbuatan)
Yaitu lenyapnya
perbuatan dari seorang hamba dan yang ada hanya perbuatan Allah semata. Hal ini
sesuai firman Allah:
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang
kamu perbuat.[115]
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَكِنَّ اللهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ
وَلَكِنَّ اللهَ رَمَى ….
Maka (yang sebenarnya)
bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar....[116]
b. Tajallî Asmâ’ (Nama)
Yaitu lenyapnya
seorang hamba dari dirinya sendiri, bebasnya ia dari sifat-sifat ke-huduth-an,
dan lepasnya ikatannya dari tubuh kasarnya, ketika ia fana’ dalam baqa’
Allah karena telah sucinya ia dari sifat-sifat ke-huduth-an.
c. Tajallî Sifât
(Sifat)
Yaitu ibarat
penerimaan tubuh seorang hamba atas sifat-sifat ketuhanan, sebagai penerimaan
yang asli dan suatu ketentuan yang pasti. Ketika seorang hamba menerima sifat sama’
Allah, ia dapat mendengar semua wujud yang dapat bersuara, seperti
binatang, kayu, batu, dan sebagainya.
d. Tajallî Dhât (Zat)
Yaitu ketika Allah
menghendaki tajallî atas hamba-Nya yang memfana’kan dirinya sehingga
Allah memberinya karunia ketuhanan (latîfah al-ilâhiyah). Ketika
itu terjadi pada seorang hamba, maka terjadilah “Tunggal yang Sempurna” (al-Fard
al-Kâmil) yang menjadikan seorang hamba berada dalam situasi mâsiwâllâh,
tiada wujud secara mutlak kecuali Allah (lâ maujud ‘ala al-itlâq illallâh).
Proses tajallî, sebenarnya, dimulai dari tajallî dhât pada
sifat-sifat dan asmâ’, kemudian pada perbuatan-perbuatan, sehingga
memunculkan alam semesta. Akan tetapi, dalam rangka meningkatkan martabat
ruhani, tajallî tersebut ditempatkan dengan urutan terbalik, dimulai
dari tajallî perbuatan-perbuatan dan berakhir pada tajallî zat.
Pemutarbalikan itu bukan tidak beralasan, tetapi didasarkan atas pandangan
bahwa tajallî al-af’âl yang paling dekat dengan kenyataan empiris,
sedangkan tajallî dhât merupakan yang paling abstrak dan jauh dari
kenyataan. Maka untuk mendekatkan diri haruslah dimulai
dari yang terdekat menuju yang jauh dan amat abstrak.
F.
Anatomi
Kebahagiaan Sufistik
Al-Ghazâlî
menguraikan beberapa definisi, persamaan, dan perbedaan dari istilah-istilah
yang digunakan dalam mengidentifikasi konsep tentang hati (al-qalb), ruh
(al-rûh), nafsu (al-nafs), dan akal (al-‘aql). Menurutnya,
banyak kekeliruan yang digunakan dalam pembahasan topik ini, bersumber dari
ketidaktahuan tentang hakikat istilah-istilah tersebut serta persamaan
kandungannya.[117]
1.
Al-Qalb
Kata ini
digunakan dalam dua makna: pertama, sepotong daging berbentuk buah
‘sanaubar’ yang terletak di bagian kiri dada, di dalamnya terdapat rongga
berisi darah hitam, di situ pula terdapat pusat ruh. Kedua, latîfah,
yaitu sesuatu yang amat halus dan lembut yang bersifat rabbânî rûhânî. Latîfah adalah komponen utama manusia yang
berpotensi mencerap (memiliki daya persepsi), mengetahui dan mengenal segala
hal yang ditujukan kepadanya.[118]
Hati (al-qalb)
menjadi suci tercipta di samping karena kesempurnaan hidup dan keutuhan
cahayanya, juga karena terhindarnya diri dari dosa dan maksiat. Kesuciannya
sangat bergantung pada irâdah Allah, sebab jika Allah tidak menghendaki
membersihkan hati orang-orang yang senang mengumbar kebatilan dan menyimpang
dari kebenaran, tentu hati semacam itu tidak akan pernah mencapai kesuciannya.[119]
Hal ini seperti dijelaskan dalam Hadits Nabi:
اِنَّ قُلُوْبَ بَنِى ادَمَ كُلِّهَا
بَيْنَ اِصْبَعَيْنِ مِنْ اَصَابِعَ الرَّحْمنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ
كَيْفَ يَشَاءُ. ثُمَّ يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
اَللَّهُمَّ مُصَرِّفَ اْلقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا اِلَى طَاعَتِكَ
Sesungguhnya seluruh hati anak Adam
terletak di antara dua jari Tuhan yang Rahman bagaikan satu hati yang Dia
gerakkan sesuai dengan kehendaknya. Lalu Rasulullah berujar: “Ya Allah yang
memalingkan hati, palingkanlah hati kami ke arah ketaatan kepada-Mu”.[120]
2.
Al-Rûh
Kata ini digunakan dalam dua makna: pertama,
sesuatu yang abstrak yang bersemayam dalam rongga “hati biologis”, dan mengalir
melalui urat-urat dan pembuluh-pembuluh, ke seluruh anggota tubuh dengan
membawa limpahan cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran,
dan penciuman ke dalam seluruh anggota tubuh. Makna ini mirip dengan bukhar (uap
atau gas) lembut yang dimatangkan oleh kehangatan hati, seperti yang dimaksud
oleh ilmu medis. Kedua, latîfah, yang memiliki makna dan fungsi sebagaimana
hati pada bahasan sebelumnya. Pengertian ruh ini membuat kebanyakan akal dan
pemahaman manusia tidak berdaya dalam menangkap hakikatnya. [121]
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ
الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu
(wahai Muhammad) tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu urusan Tuhanku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”[122]
3.
Al-Nafs
Kata ini
digunakan dalam dua makna: pertama, emosi dan hasrat manusia yang
berkonotasi negatif. Kedua, latîfah, seperti pada bahasan
sebelumnya, yang membentuk diri manusia secara hakiki.[123]
Ada 7 tingkatan
nafsu, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi, yaitu[124]:
a.
Al-Nafs
al-Ammârah (nafsu yang memerintah), yaitu nafsu
yang cenderung pada tabiat tubuh yang bersifat alamiah, memerintah kepada
kelezatan dan hasrat seksual (syahwat) yang terlarang dalam syara’, dan
mendorong hati pada aspek-aspek yang rendah. Nafsu pada tingkatan ini merupakan
tempat berlindung segala kejahatan dan sumber akhlak tercela.
b.
Al-Nafs
al-Lawwâmah (nafsu yang mencela), yaitu nafsu
yang menerima pencerahan hati, sesekali mengikuti kekuatan berpikir dan
sesekali berbuat durhaka lalu menyesal dan mencela nafsunya sendiri. Nafsu
dalam tingkatan ini merupakan sumber penyesalan sekaligus tempat bermula
keinginan (hawa), kekeliruan dan kerakusan (hirs).
c.
Al-Nafs
al-Mutma’innah (nafsu yang tenteram), yaitu
nafsu yang menerima pencerahan hati sehingga darinya tenggelam sifat-sifat
tercela dan merasa tenteram terhadap berbagai kesempurnaan.
d.
Al-Nafs al-Mulhimah (nafsu yang terilhami), yaitu nafsu yang diilhami
Allah dengan ilmu, rendah hati (tawadu’), merasa cukup dengan
rizki yang hanya sedikit (qanâ’ah), dan dermawan (sakhâwah). Nafsu dalam tingkatan ini menjadi tempat memancar kesabaran,
kesanggupan memikul beban derita, dan rasa syukur.
e.
Al-Nafs
al-Râdiyah (nafsu
yang ridha), yaitu nafsu yang ridha kepada Allah. Nafsu dalam tingkatan ini berada dalam kondisi
berserah dan merasa lezat dengan kondisi tergila-gila (hiyârah).
f.
Al-Nafs
al-Mardhiyah (nafsu yang diridhai), yaitu nafsu
yang diridhai oleh Allah. Padanya
tampak jejak keridhaan-Nya, seperti keramat, keikhlasan, dan zikir. Nafsu dalam tingkatan ini menginjak pengenalan pertama pada Allah (ma’rifatullâh).
g.
Al-Nafs al-Kâmilah (nafsu yang sempurna), yaitu nafsu dengan segala
kesempurnaannya yang menjadi tabiat dan wataknya. Nafsu pada tingkatan ini
meningkat naik pada kesempurnaan dan kedudukannya berada pada posisi penampakan
nama-nama (asmâ’) dan sifat-sifat Allah.
4.
Al-‘Aql
Kata ini
digunakan dalam dua makna: pertama, pengetahuan tentang hakikat segala
sesuatu yang bertempat di dalam hati. Kedua, latîfah, seperti
pada bahasan sebelumnya, yang bersifat rabbânî rûhânî.[125]
Dalam
al-Quran, kata ‘aql tidak pernah digunakan dalam bentuk kata benda (isim),
semuanya diungkap menggunakan kata kerja (fi’il). Hal ini menunjukkan
bahwa ‘aql bukanlah suatu substansi (jauhar) yang bereksistensi,
melainkan aktifitas dari suatu substansi. Substansi yang melakukan aktifitas berpikir
tersebut adalah qalb.[126]
Akal
dibagi menjadi tiga: (1) Akal Azîzî, berguna membedakan berbagai benda
material; (2) Akal Kasabî, berguna melakukan usaha empiris; dan (3) Akal Ata’î,
merupakan tempat hidayah Allah yang transenden.[127]
5.
Hubungan al-Qalb, al-Ruh, al-Nafs, dan
al-‘Aql
Jika
dalam psikoanalisa terdapat konsep mengenai id (nafsu), ego
(akal), dan superego (hati), maka dalam Islam terdapat unsur ruhaniah
yang disebut ruh. Ruh bekerja
secara mutlak dan tidak kenal kompromi sehingga terjaga dari noda. Ketika hati jatuh dalam tarikan nafsu, ruh tetap bertahan dan
mencela kelemahan hati. Ia mengawasi gerak-gerik hati dengan menyalurkan Nur
Ilahi. Perasaan berdosa adalah hukuman yang ditimpakan ruh terhadap hati yang
mengikuti nafsu.[128]
Ruh
merupakan benteng terakhir guna memperkuat pertahanan hati yang senantiasa
mendapat serangan dari nafsu. Ia berada di atas hati. Sedangkan Nur Ilahi yang ditangkap
ruh berubah menjadi getaran-getaran suara (khawâtir) sehingga sering disebut “suara hati”
atau “suara batin”. Dalam al-Qur’an, hal ini dijelaskan dalam ayat berikut:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ....
Bila
hati secara konstan bertindak sesuai dengan kehendak-kehendak ruh, berarti hati
tersebut telah sampai kepada derajat kesempurnaan, dan di situlah terbuka tabir
rahasia ketuhanan (kashf) dan akhirnya ia makrifat kepada-Nya.[130]
Ruh
sebagai tempat Nur Ilahi disalurkan kepada hati menjadi dasar atau sumber moral
yang sebenarnya. Ia merupakan tempat yang dapat dipercaya guna meneruskan
perintah-perintah Tuhan. Ruh memantulkan cahaya Tuhan ke alam kemanusiaan melalui
hati untuk diteruskan ke akal. Bila akal yang disinari oleh hati berisi
unsur-unsur nafsu, maka sinar itu dipantulkan kembali. Tetapi bila akal berisi
unsur-unsur yang bersesuaian dengan hati, maka akal menghisapnya.[131]
G.
Tarekat: Jalan Sufi Menuju Kebahagiaan
Kaum sufi yang bertujuan mencari Tuhan
menyebut dirinya sebagai pengembara (sâlik). Ia melakukan pengembaraan (sulûk)
dengan perlahan-lahan melalui tahapan-tahapan (maqâmât) tertentu setelah
melewati jalan (tarîqah) guna mencapai tujuan untuk bersatu
dengan kenyataan (fanâ’ fi al-Haq). Masing-masing sufi dalam pengembaraannya bisa
jadi menemukan “peta perjalanan ruhani” yang tidak sama seperti sufi
sebelumnya.[132]
Dalam khazanah tasawuf, pencarian atas hakikat (haqîqah)
diibaratkan dengan pengembaraan (suluk) seorang sâlik dalam
mencari mutiara haqîqah di lautan syari’at (sharî’ah).
Untuk mendapatkan mutiara yang terpendam di dasar lautan syariat tersebut,
dibutuhkan perahu atau jalan (tarîqah, tarekat) dengan penunjuk
jalan atau nahkoda seorang guru (shaykh). Seorang shaykh penunjuk jalan
(murshîd) adalah pemandu jalan yang aman bagi seorang murîd (orang
yang berkehendak) dalam melakukan perjalanan spiritual menuju Allah. Pentingnya
murshid bagi seorang murîd ditunjukkan oleh al-Qur’an sebagai
berikut:
.... مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ
تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
…. Barangsiapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa
yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang
dapat memberi petunjuk (murshid) kepadanya.[133]
Ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang tidak
memiliki guru murshid yang dapat membimbingnya pada Allah, maka Allah
tidak hendak memberinya petunjuk, bahkan ia akan tersesat. Dengan kata lain,
orang yang menempuh perjalanan menuju Allah tanpa adanya pembimbing spiritual
akan tersesat, sebab murshid adalah orang yang pernah sampai (wusûl)
kepada Allah, sehingga mengetahui jalan (tarîqah) yang benar.
Para murshid memiliki jalan yang
tidak sama dalam upaya wusûl kepada Allah. Mereka memiliki sistem
dan metode yang beragam antara murshid satu dengan lainnya. Di kemudian
hari, sistem dan metode tersebut berkembang menjadi organisasi tasawuf yang
disebut tarekat. Berdirinya tarekat tidak dapat dilepaskan dari metode para
pendirinya dalam perjalanannya yang telah sampai kepada Allah.
Tarekat adalah kelompok-kelompok pengikut
ajaran tasawuf yang menekankan praktik-praktik ibadah dan zikir secara kolektif
yang diikat oleh aturan-aturan tertentu, di mana aktifitasnya bersifat duniawi
dan ukhrawi. Dengan kata lain, ia dapat dipahami sebagai suatu hasil pengalaman
dari seorang sufi yang diikuti oleh para murid, menurut aturan/cara tertentu
yang bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi
berupa tata cara zikir, riyâdah, doa-doa yang telah diamalkan
dan menurutnya –sang sufi- telah berhasil mendekatkan diri sang sufi
kepada Tuhan, inilah yang disusun sedemikian rupa menjadi aturan/tata cara
yang baku, yang juga harus diikuti oleh murid-murid tarekat.[134]
Pada mulanya tarekat hanya berarti jalan
menuju Tuhan yang ditempuh seorang sufi secara individual. Akan tetapi,
kemudian sufi-sufi besar mengajarkan tarekatnya kepada murid baik secara
individual maupun secara berkelompok. Dengan demikian tarekat pun berarti jalan
menuju Tuhan di bawah bimbingan guru. Selanjutnya mereka melakukan latihan
bersama di bawah bimbingan guru. Inilah asal pengertian tarekat sebagai nama
sebuah organisasi sufi. Mulai di
abad ke-12 Masehi, tarekat menjadi kegiatan yang sifatnya kelembagaan atau
organisasi sehingga di kalangan umat Islam muncul penerapan jenis aliran tarekat
yang masing-masing mempunyai latar belakang, sejarah, dan cara sendiri-sendiri.
Seperti tarekat Qâdiriyah, Naqshabandiyah, Rifâ’iyah, Ahmadiyah, Shâdhiliyah
dan lain-lain.[135]
Tata cara pelaksanaan tarekat antara lain
:
1.
Dengan Zikir, yaitu ingat yang terus menerus
kepada Allah dalam hati secara menyebutkan namanya dengan liasan, zikir ini
berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak
menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
2.
Ratib, yaitu mengucapkan lafal “La Illaha Illallah”
dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
3.
Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan
syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumental)
seperti memukul rebana.
4.
Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi
wirid-wirid dan bacaan tertentu untuk menimbulkan kehidmatan.
5.
Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu
melakukan zikir tertentu. Untuk mencapai tujuan tarekat sebagaimana disebutkan
di atas, perlu mengadakan latihan batin, riyâdah dan mujâhadah
(perjuangan kerohanian). Perjuangan seperti itu dinamakan pula sulûk dan
yang mengerjakannya di sebut sâlik.[136]
Di antara berbagai macam tarekat yang ada,
di Indonesia terdapat Tarekat Qâdiriyah wa Naqshabandiyah (TQN). TQN merupakan
tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa. TQN yang ada di Indonesia didirikan
oleh sufi dan shaykh besar Masjid al-Harâm, yaitu Ahmad Khâtib
Sambas ibn Abd Ghaffâr al-Sambasî al-Jawî. Ia wafat di Mekah pada tahun 1878 M.
Ia adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya
di Mekah.
Tarekat ini merupakan penggabungan dari
dua tarekat besar yaitu Tarekat Qâdiriyah dan Tarekat Naqshabandiyah.
Penggabungan kedua tarekat ini dimodifikasi sedemikan rupa, sehingga terbentuk
sebuah tarekat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tarekat induknya. Jadi TQN
yang ada di Indonesia merupakan tarekat yang mandiri yang di dalamnya terdapat
unsur-unsur Qâdiriyah dan Naqshabandiyah.[137]
(Imran,
1980 : 72).
Tarekat Qâdiriyah didirikan oleh Shaykh
Abd al-Qâdir al-Jaylanî (W. 561/1166 M). Shaykh Abd al-Qâdir al-Jaylanî selalu
menyeru kepada murid-muridnya agar bekerja keras dalam kehidupan sebagai bekal
untuk memperkuat ibadah yang dihasilkan dari hasil keringat sendiri. Ia juga
melarang kepada muridnya menggantungkan hidup kepada masyarakat. Al-Jaylanî
juga mengingatkan kepada pengikut tarekat agar tetap perpegang pada Sunah Rasulullah
dan syari’at agama Islam. Ia juga mengingatkan bahwa setan banyak menyesatkan
ahli tarekat dengan menggodanya agar meninggalkan syari’at karena sudah melaksanakan
tarekatnya.
Tarekat Qâdiriyah terus meluas jaringannya
hampir ke seluruh negeri Islam termasuk Indonesia. Bahkan manâqib-nya
(sejarah hidupnya), kini senantiasa mewarnai prosesi ritual Islam di daerah Jawa,
setidak-tidaknya nama pendiri tarekat ini selalu disebut dalam prosesi ritual.
Ini menunjukan betapa lestarinya ajaran yang dikembangkan oleh sebuah institusi
tarekat.
Sementara itu, Tarekat Naqshabandiyah
didirikan oleh Muhammad ibn Muhammad Bahâ’uddîn al-Naqshabandî
yang hidup antara tahun 717-791 H / 1317-1389 M. Ia dilahirkan di desa yang
bernama Qasrul ‘Ârifin yang terletak beberapa kilometer dari kota
Bukhara, Rusia.
Kedua tarekat tersebut kemudian
dimodifikasi oleh Shaykh Khâtib Sambas. Sebagai seorang yang alim dan makrifat
kepada Allah, Shaykh Khâtib Sambas memiliki otoritas untuk membuat modifikasi
tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qâdiriyah memang
ada kebebasan untuk memodifikasi bagi yang telah mencapai derajat murshid.
Dalam Tarekat Qâdiriyah apabila seorang
murid telah mencapai derajat Shaykh seperti gurunya, ia tidak diharuskan untuk
selalu mengikuti tarekat gurunya. Seorang shaykh Tarekat Qâdiriyah berhak untuk
tetap mengikuti tarekat guru sebelumnya atau memodifikasi tarekat yang lain ke
dalam tarekatnya. Hal ini karena ada petuah dari Shaykh Abdul Qadir al-Jaylanî
bahwa murid yang telah mencapai derajat gurunya, maka ia jadi mandiri sebagai Shaykh
dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.
Shaykh Khâtib Sambas sangat berjasa dalam
menyebarkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Mekah ia juga
menjadi guru sebagian ulama Indonesia modern dan mendapatkan ijazah.
Sekembalinya ke Indonesia ia menjadi guru tarekat dan mengajarkannya sehingga
tarekat ini tersebar luas di seluruh Indonesia, di antaranya oleh Shaykh Nawawî
al-Bantânî (wafat 1887 M), Shaykhanâ Khalîl Bangkalan (wafat 1918 M), Shaykh Mahfûz
Termas Pacitan (wafat 1923 M), dan Hadratus Shaykh Hashîm Ash’arî
pendiri NU di Indonesia (wafat 1947 M). Semuanya merupakan murid Shaykh Khâtib
Sambas.
Pada masanya telah ada pusat penyebaran
Tarekat Naqshabandiyah di Mekah dan Madinah sehingga sangat memungkinkan Shaykh
Khâtib Sambas mendapat baiat tarekat Naqshabandiyah dari kemurshidan tersebut.
Kemudian ia menggabungkan inti kedua ajaran tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qâdiriyah
dan Tarekat Naqshabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya terutama yang
berasal dari Indonesia. Penamaan Tarekat Qâdiriyah wa Naqshabandiyah tidak
lepas dari sikap tawadu’ dan takzim Shaykh Khâtib Sambas kepada
pendiri kedua tarekat tersebut sehingga beliau tidak menisbatkan nama
tarekatnya pada dirinya sendiri. Padahal kalau melihat modifikasi ajarannya dan
tata cara ritual tarekatnya itu, lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khâtibiyah
atau Tarekat Sambasiyah, karena memang tarekatnya merupakan buah dari
ijtihadnya.
TQN yang terdapat di Indonesia bukan hanya
merupakan suatu penggabungan dari dua tarekat yang berbeda yang diamalkan
bersama-sama. Tarekat ini menjadi sebuah tarekat yang baru dan berdiri-sendiri,
yang di dalamnya unsur-unsur pilihan dari Qâdiriyah dan Naqshabandiyah telah
dipadukan menjadi sesuatu yang baru. Penggabungan inti dari kedua ajaran ini
atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu
bersikap saling melengkapi terutama dalam hal jenis zikir dan metodenya.
Tarekat Qâdiriyah menekankan ajarannya pada zikir jahr nafî ithbât yaitu
melafalkan kalimat “Lâ Ilâha Illallâh” dengan suara keras, sedangkan Tarekat Naqshabandiyah
menekankan pada zikir sirrî ism dhat yaitu melafalkan kalimat Allah
dalam hati.
Penyebaran TQN diperkirakan sejak paruh
kedua abad ke-19, yaitu semenjak tibanya kembali murid-murid Shaykh Khâtib
Sambas ke tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Shaykh Khâtib Sambas,
tarekat ini disebarkan oleh kedua orang muridnya yaitu Shaykh Nûruddîn yang
berasal dari Filipina dan Shaykh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas.
Karena penyebaran tidak melalui lembaga formal seperti pesantren maka tarekat
hanya tersebar dikalangan orang awam dan tidak mendapatkan perkembangan yang
berarti.
Lain halnya di pulau Jawa, tarekat ini
disebarkan melalui pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para
pengikutnya sehingga mengalami kemajuan yang pesat. Penyebaran TQN di Jawa
dilakukan oleh 3 (tiga) murid Shaykh Khâtib Sambas, yaitu Shaykh Abd al-Karîm
Banten, Shaykh Talhâh Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullâh
Madura. Shaykh Abd al-Karîm Banten merupakan murid kesayangan Shaykh Ahmad
Khâtib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah TQN di Banten, tahun
1876 M diangkat oleh Shaykh Khâtib Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan
sebagai murshid utama tarekat ini yang berkedudukan di Mekah.[138]
Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi TQN di Indonesia menelusuri
jalur spiritualnya (silsilah) kepada ulama asal Banten tersebut.
Khalifah dari Kyai Talhâh Cirebon
yang paling penting adalah Abdullâh Mubârak, belakangan dikenal sebagai Abah
Sepuh. Abdullâh melakukan baiat ulang dengan Abd al-Karîm Banten di Mekah. Pada
dekade berikutnya Abah Sepuh membaiat putranya Ahmad Sohibul
Wafâ Tâjul Ârifîn yang lebih masyhur dengan panggilan Abah Anom.
Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini, TQN di
kemurshidan Suryalaya berkembang pesat. Dengan menggunakan metode riyâdah
dalam tarekat ini, Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama
bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan
obat-obat terlarang, seperti, morfin, heroin dan sebagainya.
Sampai
sekarang di Indonesia ada 3 (tiga) pondok pesantren yang menjadi pusat
penyebaran Tarekat Qâdiriyah wa Naqshabandiyah, yaitu: (1) Pondok Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya Jawa Barat; (2) Pondok Pesantren Mranggen, Demak Jawa
Tengah; dan (3) Pondok Pesantren Rejoso, Jombang Jawa Timur.
[1]Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif
Islam, (Jakarta:
Kencana, 2008), 23.
[2]Djamaludin Ancok, Psikologi Islam: Solusi Islam atas
Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 3-4.
[3]Rif’at Syauqi Nawawi, et.al., Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 120.
[4]Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju
Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), 9.
[5]Abdul
Mudjib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press,
2000), 15.
[6]A. Khudori Soleh, “M. ‘Abîd al-Jabirî:
Model Epistemologi Islam”, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Jendela, 2003), 233.
[7]A. Khudori Soleh, M. ‘Abîd al-Jabirî …,
241.
[8]Abdullah Hadziq, “Psikologi Sufistik:
Solusi Pengembangan Pendidikan Multikultural”, Teologia, 19(2), Juli
2008, 441-443.
[9]Abdullah Hadziq, Psikologi Sufistik …,
441.
[10]Abdullah Hadziq, Psikologi Sufistik …,
442.
[11]Abdullah Hadziq, Psikologi Sufistik …,
442.
[12]Abû Nasr al-Sarrâj
al-Tûsî, Al-Luma’, Edisi Abd al-Halîm Mahmûd (Misr:
Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 1960), 422.
[13]Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian
(Jakarta: CV. Rajawali, 1987), 4-5.
[14]Baca uraian lebih lengkap dalam Al-Ghazâlî, Keajaiban-Keajaiban
Hati, Alih Bahasa Muhammad Al Baqir, (Bandung:
Karisma, 2000), 96-106.
[15]Abdullah Hadziq, Psikologi Sufistik …, 443.
[16]A. Khudori Soleh, M. ‘Abîd al-Jabirî …, 241-244.
[17]Qs. Hûd: 105-108.
[20]‘Alî ibn ‘Uthmân al-Jullâbî al-Hujwirî, Kashf
al-Mahjûb: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, Alih Bahasa
Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1993), 345.
[21]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn Bayna Manazil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, Juz I,
(al-Qâhirah: Mu’assasah al-Mukhtâr, 2001), 117.
[22]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, 155.
[23]Qs. al-Shams (91): 9-10
[24]‘Alî ibn ‘Uthmân al-Jullâbî al-Hujwirî, Kashf
al-Mahjûb: Risalah Persia ..., 345.
[25]Moh. Saifulloh al Aziz Senali, Risalah
Memahami Ilmu Tashawwuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), 92-93 dan Cf. Muhammad
Amîn al-Kurdî, Tanwîr al-Qulûb: Jalan ke Surga, Pengembaraan Spiritual
Menuju Pencerahan Qalbu, Alih Bahasa M. Yaniyullah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2005), 232-234.
[27]Qs. al-Nahl (16): 90
[28]‘Alî ibn ‘Uthmân al-Jullâbî al-Hujwirî, Kashf al-Mahjûb:
Menyelami Samudera Tasawuf, Alih Bahasa Ahmad Afandi, (Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2003), 213.
[30]Seperti dikutip Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya: Mengurai Maqâmât dan Ahwâl dalam
Tradisi Sufi, (Jakarta: Prenada, 2005), 31.
[31]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 65.
[32]Qs. Ibrâhîm (14): 14
[33]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 68-81.
[34]Al-Qushayrî, Risâlah
al-Qushayrîyah: Induk Ilmu Tasawuf, Alih Bahasa Muhammad Luqman Hakim,
(Surabaya: Risalah Gusti, 2001), 276.
[35]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 68.
[36]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 68.
[37]Al-Ghazâlî, Kitâb Arba’în fî Usûl
al-Dîn: 40 Prinsip Agama (Jalan Mudah Menggapai Hidayah), Alih Bahasa
Rojaya, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2007), 174.
[38]Al-Ghazâlî, Minhâj al-‘Âbidîn: Menuju
Jalan Menuju Surga, Alih Bahasa M. Adib Bisri, (Jakarta: Pustaka Amani,
1986), 39-42.
[39]Moh. Saifulloh al Aziz Senali, Risalah
Memahami Ilmu Tashawwuf, 111.
[40]Ibn ‘Atâ’illâh al-Sakandarî, Al-Hikam
al-Atâ’iyah, Edisi Ibn ‘Abbâd al-Nafazî al-Rundî, (al-Qâhirah:
Markaz al-Ahrâm, 1988), 55 & 205.
[43]Yahyâ ibn Mu’âdh al-Râzî, Jawâhir
al-Tasawuf, (al-Qâhirah: Maktabah al-Adab, 2002), 80-81.
[44]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 52.
[45]Qs. Yûsuf (12): 20
[47]Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya
dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), 58.
[48]Dalam keterangan selanjutnya, disebutkan
bahwa Abû Sa’îd al-Kharrâj menilai bahwa sesudah Rasulullah, belum ada sahabat
yang sampai pada derajat zuhud seperti ini, melainkan Abû Bakr al-Siddîq.
(Moh. Saifulloh al Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf, 132).
[49]Al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, (al-Qâhirah:
Markaz al-Ahrâm, 1988), 349-350.
[50]Qs. al-Hadîd (57): 23
[51]A. Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 16.
[52]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 63.
[53]Qs. Fâtir (35): 15.
[54]Simuh, Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam, 62.
[55]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 74-75.
[57]A. Rivay Siregar, Tasawuf:
Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 119.
[58]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, 555.
[59]Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep
Etika Religius dalam al-Qur’an, Alih Bahasa Agus Fahri Husein, et. al.,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 122.
[60]Qs. Ibrâhim (14): 21
[61]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 76-77.
[62]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, 556.
[63]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 73.
[64]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 78-79.
[65]Qs. Ibrâhîm (14): 12
[66]Qs. al-Mâ’idah (5): 11
[67]Qs. al-Talâq (65): 3
[68]Simuh, Tasawuf dan
Perkembangannya dalam Islam, 66.
[69]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 78.
[70]Allah berfirman, “Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun
ridha atas-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” [Qs. al-Mâ’idah (5): 119].
[71]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 80.
[72]A. Rivay Siregar, Tasawuf:
Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 122.
[73]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 80-81.
[74]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 82-104.
[75]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 83.
[76]Qs. al-Ahzâb (33): 52
[77]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 66.
[78]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 82-83.
[79]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, 482.
[80]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 86-87.
[81]Qs. al-Baqarah (2): 186
[82]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 84.
[83]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 84-85.
[84]Al-Ghazâlî, Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn, 362.
[85]Qs. al-Mâ’idah (5): 54
[86]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 86.
[87]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 96.
[89]Qs. Fâtir (35): 28
[91]Al-Qushayrî seperti dikutip
Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 100.
[92]Qs. al-Baqarah (2): 218
[93]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, 458.
[94]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, 458.
[95]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 91.
[96]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 103-104.
[97]Hadits shahih riwayat al-Nasâ’î
dan al-Hâkim. (Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî, Al-Luma’, 94).
[98]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 94.
[99]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, Juz 2, 261.
[100]Seperti dikutip Media Zainul
Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya …, 106.
[101]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 96.
[102]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 98.
[103]Qs. al-Ra’d (13): 28
[104]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, Juz 2, 216.
[105]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, Juz 2, 216.
[106]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 101.
[107]Qs. Qaf (50): 37
[108]Ibn Qayyim al-Jawziyah, Madârij
al-Sâlikîn …, Juz 2, 403-406.
[109]Abû Nasr al-Sarrâj al-Tûsî,
Al-Luma’, 101.
[110]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 116.
[111]Qs. al-Takatsur (102): 5
[112]Media Zainul Bahri, Menembus
Tirai Kesendirian-Nya …, 8.
[113]Qs. al-Nûr (24): 35
[114]Qs. al-A’râf (7): 143
[115]Qs. al-Saffât (37): 96
[116]Qs. al-Anfâl (8): 17
[117]Al-Ghazâlî, Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn, 245.
[118]Al-Ghazâlî, Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn, 246.
[119]Abdul Hadi bin Hasan Wahbi, Menuju Kesucian Hati, Alih Bahasa
Saifuddin Zuhri, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 9.
[120]HR. Ahmad dan Muslim, seperti dikutip Abdul Hadi bin Hasan
Wahbi, Menuju Kesucian Hati, 64-65.
[121]Al-Ghazâlî, Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn, 246-247.
[122]Qs. al-Isrâ’ (17): 85
[123]Al-Ghazâlî, Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn, 247.
[125]Al-Ghazâlî, Ihyâ’
‘Ulûm al-Dîn, 248.
[126]Makhrus, “Berpikir dengan
Jantung: (Studi terhadap Relasi ‘Aql dan Qalb dalam al-Qur’an)”, Skripsi,
Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 2009, 155.
[127]Paryana Suryadipura, Alam
Pikiran, (Bandung: Sumur Bandung, 1963), 154.
[128]Mudlor Ahmad, Etika dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.), 49.
[129]Qs. al-Shûrâ (42): 52.
[130]Mudlor Ahmad, Etika dalam Islam, 51.
[131]Mudlor Ahmad, Etika dalam Islam, 62.
[132]Reynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam, Alih Bahasa Tim
Penerjemah Bumi Aksara, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2000), 22.
[133]Qs. al-Kahf (18): 17.
[134]M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta;
Teras, 2008), 230.
[135]Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani,
1993), 74.
[137]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), 89.
[138]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren
..., 89.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar