MENYINGKAP TABIR KEKUASAAN
(Refleksi Pilkada Magetan 2013)
Dari
manakah datangnya kekuasaan? Terminologi Barat menyebutkan kekuasaan itu datang
dari dua hulu: Tuhan dan rakyat. Kekuasaan
yang datang dari Tuhan, terwujud dalam bentuk konsep dan praktik monarki mulai
dari abad pertengahan. Sedang kekuasaan yang berasal dari rakyat muncul setelah
tumbuh apa yang disebut demokrasi perwakilan.
Kekuasaan yang pertama, memperoleh kontrol – sebagai
pengawas jalannya kekuasaan – dari gereja. Sedang pada yang kedua, kontrol
terhadap pemerintah dilakukan parlemen.
Dari dua sumber kekuasaan itu, berkembanglah berbagai
bentuk pemerintahan. Zaman monarki abad pertengahan berkembang menjadi monarki
konstitusional, karena peranan gereja sebagai pengawas kekuasaan ditolak sesuai
kehendak sejarah. Sedang kekuasaan dari rakyat berkembang dan berubah sesuai
sejarah, peradaban, dan ideologi bangsa-bangsa dunia.
Perubahan atau deviasi kekuasaan ini sepanjang abad, tak
pernah mengubah esensi dan fakta kekuasaan: kelompok minoritas, penguasa,
menguasai mayoritas rakyatnya. Selalu ada kelompok elite, hierarki pilihan,
kekuatan politik, para nomenklatura – yang jumlahnya sedikit – yang menguasai
masyarakat yang lebih besar.
Kepatuhan masyarakat banyak terhadap kekuasaan yang
sesungguhnya abstrak pada dasarnya berlangsung akibat kenyataan psikologis dan
antropologis. Sejak zaman purba dulu, tak pernah ada manusia yang lahir tanpa
didahului kekuasaan. Baik kekuasaan alam, orangtua, lingkungan keluarga, maupun
masyarakat di sekitarnya. Dan seorang manusia lahir, mau tidak mau, wajib
mematuhi aturan-aturan kekuasaan yang sudah berlaku – kendati dalam bentuknya
yang paling primitif.
Kekuasaan dan kepatuhan, adalah satu kesatuan misteri
yang tak bisa dipisahkan. Tak akan ada kekuasaan tanpa adanya kepatuhan. Dan
kepatuhan hanya ada karena ada kekuasaan yang harus dipatuhi.
Lalu dari manakah gerangan datangnya apa yang disebut
“kekuasaan” itu? Bagaimanakah mungkin seseorang bisa memperoleh kekuasaan yang
begitu besar, untuk mengatur hajat hidup orang yang lebih banyak? Adakah
seorang “penguasa” memiliki keunggulan dari manusia lain atau ditakdirkan
berbeda dengan sesamanya? Betulkah seorang pemimpin itu dilahirkan, dan bukan
dibentuk lingkungannya?
Sebagai manusia beragama, kita tentu percaya, manusia
dilahirkan sama dan dinilai sama. Yang membedakan hanyalah lingkungan dan
status keluarga – yang dibuat manusia – tempat dia dilahirkan. Kita juga percaya,
tak ada manusia lahir membawa cincin kekuasaan. Ia telanjang. Dan kekuasaan
berada di luar dirinya.
Dalam kehidupan, kita mengenal apa yang disebut kekuasaan
Ilahi, kekuasaan alam, berikut hukum-hukumnya. Kekuasaan itu, sudah ada sebelum
manusia pertama diciptakan.
Kekuasaan yang sekarang berada dan dimiliki manusia
adalah kekuasaan yang berasal dari akal. Kekuasaan yang dipersiapkan, dicari,
dan direbut dari alam, dari binantang, juga dari manusia sesamanya. Oleh karena
itu, seorang pemimpin, seorang penguasa, pada mulanya adalah pionir, seorang
yang kreatif, dan seorang yang mampu melihat ke depan. Seorang pemimpin,
seorang penguasa, adalah seorang yang berhasil melatih akalnya, melatih
jasmaninya, dan melatih rohaninya supaya lebih unggul dari sesamanya.
Ia juga memiliki bakat. Di sinilah barangkali letak
peranan Ilahi. Ia telah memberikan kelebihan itu, hanya kepada sedikit orang
dan tidak kepada lebih banyak orang dalam suatu kaum. Persiapan
itulah agaknya yang disebut “takdir” itu. Selebihnya adalah upaya manusia.
Sebab kita juga percaya suatu kaum tak akan mungkin dibiarkan hidup dalam rusuh
tanpa aturan dan wenang-wenang. Suatu kaum harus dipimpin, dan pimpinannya
adalah orang yang sudah harus terlatih baik dalam lingkungannya, untuk mengabdi
kepada Ilahi dan kepada masyarakat. Baik itu pemimpin dunia kebenaran maupun
pemimpin dunia kejahatan.
Dengan
demikian, seorang pemimpin yang memperoleh wewenang kekuasaan – yang diperoleh
dengan berbagai cara – dari kaumnya, memiliki tanggung jawab yang juga lebih
dari kaumnya. Ia tak hanya bertanggung jawab atas nasib kaumnya, tapi juga
kepada penciptanya. Oleh sebab itu, kita juga percaya, seorang pemimpin yang
baik, hanya muncul dari kaum, dari masyarakat yang baik. Seorang pemimpin yang
jahat, hanya muncul dari kaum yang jahat, dari masyarakat yang sakit. Dan
seorang pemimpin demokratis pun, hanya bisa muncul dari masyarakat yang sudah
yakin dan percaya kepada demokrasi.
Sejarah
Romawi Kuno telah mencatat rentetan kaisar yang dekaden di tengah rakyat yang dekaden.
Sejarah modern juga telah mencatat manusia-manusia yang bernama Stalin (Uni
Soviet), Hitler (Jerman), Mussolini (Italia), Mao Zedong (China), Idi Amin
(Uganda), Bokassa (Afrika Tengah), Marcos (Filipina), atau Pinochet (Chile).
Kita juga melihat Hirohito (Jepang), Soekarno (Indonesia), Khomeini (Iran),
Khadafi (Libya), Charles de Gaulle (Prancis), Kennedy (AS), Ronald Reagen (AS),
Lee Kuan Yew (Singapura), Zia Ul Haq (Pakistan), Gandhi (India), atau Gorbachev
(Uni Soviet). Setiap nama membawa citranya masing-masing, berikut citra dan
kehendak bangsa yang dipimpinnya. Setiap kepala membawa serta buntutnya.
Doktrin
ini juga membawa konsekuensi berikutnya. Bila kita percaya seorang pemimpin,
seorang yang memperoleh kekuasaan, lahir karena kondisi masyarakatnya, maka
mustahil ada pemimpin yang dibenci oleh kaumnya, oleh masyarakatnya. Oleh
karena itu, setiap kali muncul pemimpin yang melawan kehendak rakyatnya, setiap
kali itu pula terjadi penggulingan kekuasaan, kudeta, revolusi, dengan atau
tanpa darah. Setiap bentuk dan sistem yang ada di dunia, memungkinkan bagi
suatu tindakan “korektif”.
Seorang
diktator, akan digulingkan oleh diktator lain, atau oleh rakyat yang telah
memperoleh seorang pemimpin baru yang mewakili kepentingan dan sikap baru
mereka. Seorang raja lalim di tengah rakyat yang bijak, tak akan berkuasa
terlalu lama. Bahkan seorang presiden di negara yang demokratis pun, akan
dikoreksi, akan diturunkan rakyat melalui pemungutan suara yang bebas. Dengan
demikian, sekarang ini, di seluruh dunia, tak akan ada seorang penguasa pun
yang akan lolos dari “koreksi” rakyatnya, dari koreksi kaumnya, atau
lingkungannya. Ini juga berarti bila ada seorang pemimpin yang mendapat kecaman
– bahkan dari mayoritas – akan tindak-tanduk dan gaya kekuasaannya, tapi sang
pemimpin tetap berada di puncak kekuasaannya, itu juga menandakan pada dasarnya
masyarakat masih menghendaki jenis pemimpin seperti itu, atau mereka masih
harus dipimpin secara seperti pemimpin yang dikecamnya. Atau mungkin jenis
pemimpin lain belum lahir, karena masyarakat belum siap untuk menerima – dan
juga melahirkan – jenis pemimpin baru.
Di
Magetan ini, menjelang Pilkada ini, sebagian kita tentu menyimpan segudang
harapan, mungkinkah sejuta persoalan rakyat ini dapat diselesaikan dengan
jargon-jargon pembangunan? Tiap kandidat bertarung citra bak dewa penyelamat,
menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran, sementara rakyat semakin tidak peduli
dengan hingar-bingar politik berebut kekuasaan para borjuis. Mereka semakin
sadar hanya menjadi komoditas politik, dan bakal dilupakan secepatnya segera setelah
pesta hajatan selesai. Inilah politik kekuasaan dan sejarah pun akan
merekamnya.
Lalu
dari manakah sesungguhnya datangnya kekuasaan ini? Di zaman modern ini kita
mungkin bisa menjawabnya begini: dari Ilahi turun ke birokrasi.
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar