abiquinsa: Dalil Tahlilan, Slametan, dan Sejenisnya (Intisari Pengajian Lintang Songo Aswaja NU Center Magetan)

Dalil Tahlilan, Slametan, dan Sejenisnya (Intisari Pengajian Lintang Songo Aswaja NU Center Magetan)



INTISARI PENGAJIAN LINTANG SONGO
ASWAJA NU CENTER MAGETAN
Ahad, 16 Juni 2013

“DALIL TAHLILAN, SLAMETAN, DAN SEJENISNYA”

1.       Akhir-akhir ini, tradisi dan amaliyah NU sering dihujat. Slametan, tahlilan, mujahadah, istighosah, dan sebagainya dianggap bid’ah, sebab tidak ada tuntunannya dari al-Qur’an maupun Sunnah. Tuduhan tersebut jelas tidak benar, sebab semua amalan yang ada dalam acara tahlilan tersebut sangatlah dianjurkan oleh Rasulullah.
2.       Dalam tahlilan dan semacamnya, setidaknya terdapat 4 sunnah sekaligus, yaitu:
a.       Sedekah. Tuan rumah mengundang para tetangga dan kerabat untuk berdoa dan menjamu mereka dengan makan bersama, bahkan membawakan makanan (berkat) untuk keluarga yang di rumah. Rasulullah SAW bersabda:

·         “Makan satu orang itu cukup untuk dua orang. Makanan dua orang itu cukup untuk empat orang. Makanan empat orang itu cukup untuk delapan orang.” (HR Muslim No. 2059)
Dalam Fathul Bari 9/446 Ibnu Hajar menulis, pada awal hadits tersebut dinyatakan, “Makanlah bersama-sama dan janganlah sendiri-sendiri karena sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang.” Hadits ini menunjukkan kelebihan tersebut adalah disebabkan keberkahan yang ada dalam makan bersama. Semakin banyak jumlah orang yang turut makan maka keberkahan semakin bertambah.”
Di samping itu, bukankah memberi jamuan makan terhadap tamu termasuk cara menghormati mereka? Nabi mengajarkan:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormati tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b.      Majlis Dzikir. Dalam acara tahlilan, yang dibaca adalah kalimah-kalimah thayyibah yang jelas merupakan ajaran Rasulullah. Dengan dzikir berjama’ah tersebut, imam dzikir mengajarkan bacaan-bacaan dzikir kepada jama’ah, sehingga diharapkan dapat membimbing jama’ah untuk dapat khusyuk. Sebab terkadang seseorang tidak fokus jika berdzikir sendirian. Rasulullah bersabda:
·         “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat. Dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim No. 4868)
·         “Apabila kalian melewati taman-taman surga, maka beristirahatlah kalian (padanya). “Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan taman-taman surga itu? “Beliau menjawab: “Halaqoh-halaqoh (majlis-majlis) dzikir. Apabila mereka mendatangi suatu halaqoh dzikir, maka mereka (para malaikat) mengerumuninya (bergabung dengan mereka).” (HR. Tirmidzi dan Baihaqi)
c.       Majlis Ilmu. Sebelum acara tahlilan dimulai, imam tahlil biasanya memberi tausiah, wejangan, nasihat, dan ilmu-ilmu agama kepada jama’ah untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan.  Rasulullah bersabda:
·         “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla membanggakan kalian (yang berada di majelis ilmu) di hadapan para malaikat.” (HR. Muslim)
·         “Barangsiapa yang pergi ke masjid, tidaklah diinginkannya (untuk pergi ke masjid) kecuali untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarkan kebaikan. Maka baginya pahala seperti orang yang melakukan haji dengan sempurna.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 8/94 No. 7473)
d.      Media Silaturrahmi. Tahlilan merupakan sarana bagi masyarakat untuk bersilaturrahmi dan menebar kasih sayang, sehingga kerukunan dapat terjaga. Rasulullah bersabda:
·         “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturrahmi.” (Muttafaqun ‘alaih)
·         “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahmi.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
3.       Di samping 4 manfaat (fadha’il al-diniyah) tersebut, tradisi tahlilan juga memiliki kontribusi yang tidak kecil dalam peningkatan ekonomi masyarakat. Dengan banyaknya masyarakat mengadakan acara tahlilan, pasar menjadi ramai, daya beli meningkat, dan ekonomi akan tumbuh. Sebab tidak hanya sekali masyarakat mengadakan slametan, bahkan sejak manusia belum lahir (4 bulan/ngapati atau 7 bulan/mitoni), saat kelahiran, khitan, menikah, meninggal, bahkan setelah meninggal (7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari), selalu diadakan slametan atau tahlilan.
Ø  Itulah yang disebut tradisi atau ‘urf (kebiasaan) baik dalam masyarakat yang perlu dilestarikan (al-muhafazhoh ‘ala al-qadim al-shalih).
Tidak semua tradisi di masyarakat itu baik, sebagaimana tidak semua tradisi itu buruk. Maka orang yang bijaksana adalah mereka yang mampu mengambil ikan di air yang keruh, mengambil yang baik dan melestarikannya, serta membuang yang buruk dan menggantinya dengan yang baik. Bukankah mentradisikan kebaikan adalah kebaikan juga?
Jika dalam ritual 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari yang dilakukan umat Hindu adalah dalam rangka menghormati roh-roh leluhur dalam keyakinan animisme-dinamisme, maka para ulama yang penuh hikmah mengganti muatan acara tersebut dengan mendoakan mereka, beristighfar, dan memohonkan ampunan untuk  mereka dan diri sendiri.
Ø  Inilah yang disebut dalam kaidah Ushul Fiqih, “Ma La Yudraku Kulluhu La Yutraku Kullhu” (apa yang tidak bisa diambil semuanya, jangan ditinggalkannya semuanya)”.
Al-Qur’an sendiri mengajarkan doa berikut:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ...
“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan…” (Qs. Nuh: 28)
4.       Sekelompok orang menuduh bahwa tahlilan merupakan tradisi yang bersumber dari agama Hindu. Sebab kebiasaan mengadakan peringatan doa 7 hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari mirip atau sama dengan ajaran Hindu. Pendapat tersebut tidak logis dan tidak dapat diterima.
Ø  Sebab menghukumi sesuatu tidak bisa dengan dasar bahwa sesuatu itu sama atau mirip dengan ajaran agama lain.
Jika mengikuti logika di atas, maka dapat dikatakan bahwa Pengajian Ahad Pagi adalah bid’ah sebab sama dengan Ibadah Minggu yang dilakukan umat Kristiani. Kita juga tidak boleh menyebut hari Sabtu, sebab Sabtu atau Sabat adalah harinya umat Yahudi, bahkan Sunday (Minggu) adalah hari penyembahan Dewa Matahari oleh keyakinan Yunani (termasuk Monday: Dewi Bulan, dan seterusnya). Minggu sendiri berasal dari bahasa Portugal, Dominggus, yang berarti “Hari Tuhan”, sesuai keyakinan Nasrani. Sedangkan umat Islam menyebut “Ahad” sebagai hari pertama.
Tentu saja metode pengambilan hukum dengan membid’ahkan sesuatu hanya karena memiliki kesamaan dengan agama lain seperti ini sangat lemah dan tidak dapat diterima. Bahkan, bukankah gerakan shalat umat Islam mirip dengan gerakan ibadah Kristen Ortodoks/Koptik, yang juga rukuk dan sujud?
Dalam suatu hadits diceritakan, ketika mengetahui bahwa umat Yahudi sangat suka berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) untuk mengenang selamatnya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, Rasulullah berkata: “Saya lebih layak dengan Nabi Musa dibandingkan kalian.” Maka beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa ‘Asyura. (HR. Bukhari No. 2204 dan Muslim No. 1130)
5.       Sekelompok orang beranggapan bahwa orang yang sedang mendapat kesusahan ditinggal mati anggota keluarganya, tidak sepantasnya mendapatkan beban tambahan dengan menyediakan aneka makanan dalam acara tahlilan. Menurut mereka, acara tahlilan yang menghabiskan banyak biaya akan menambah beban para ahli waris. Para tetanggalah yang justru meringankan beban mereka.
Sepintas, pandangan seperti ini mengandung empati yang tinggi terhadap orang yang kesusahan dan sepertinya memang seperti itulah yang seharusnya. Tetapi mari kita perhatikan tuntunan Allah dalam al-Qur’an, bagaimana seharusnya sikap manusia yang bertakwa ketika mendapatkan kesusahan.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (۱۳۳) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (۱۳٤)
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. Ali Imran: 133-134)
Ayat di atas menjelaskan bahwa salah satu ciri orang bertakwa adalah mereka yang bersedia menafkahkan (bersedekah) dengan hartanya saat berada dalam keadaan lapang maupun sempit, mudah maupun sulit, senang maupun susah. Bersedekah saat mendapatkan kelebihan harta itu baik, tetapi menjadi nilai lebih ketika tetap bersedekah meskipun dirinya sendiri sedang kekurangan. Oleh karenanya, di akhir ayat 134 ini, Allah menyebut derajat seperti ini sebagai muhsin, tingkatan tertinggi setelah muslim dan mukmin.
Di samping itu, jika kebetulan orang yang meninggal masih memiliki hutang puasa, shalat, dan sebagainya, bukankah memberi makanan (dengan menjamu makan atau memberi berkat) dapat diniati untuk membayarkan fidyah si mayit? Wallahu A’lam.

Share This Article


1 komentar:

  1. Para ulama ushul fiqh umumnya membagi adat (al-urf) secara garis besar menjadi dua, yaitu al-'urf al-shahih (kebiasaan atau tradisi yang baik) dan al-'urf al-fasad (tradisi yang buruk). Insyaallah tradisi tahlilan dan slametan masuk dalam al-'urf al-shahih. Wallahu a'lam.

    BalasHapus