RESUME MATERI PENGAJIAN LINTANG SONGO
ASWAJA NU CENTER MAGETAN
Oleh: KH. Nur Muhammad Kholili – Pagak
Malang
Sabtu, 18 Mei 2013
PENGANTAR
1.
Menurut Lembaga Survei
Internasional, 20-30 tahun lagi, ada dua ormas yang hanya tinggal namanya,
sebab amaliyahnya tidak dilandasi dengan pemahaman yang mantap. Inilah
pentingnya penyelenggaraan Pengajian Lintang Songo.
2.
Pengajian Lintang Songo
mengajak nahdliyyin untuk memahami dasar dan dalil amaliyah nahdliyah, seperti
tahlilan, slametan, maulidan, manaqiban, dan sebagainya, sehingga didapatkan
pemahaman dan kemantapan hati untuk menjaga dan mempertahankan aqidah
Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyyah.
3.
Dalam kisah Ashabul Kahfi,
anjing saja karena mengikuti ulama akan masuk surga, apalagi manusia. KH. Hasyim
Asy’ari susah payah memelopori, kita harus berjuang untuk meneruskan dan
mempertahankannya ajarannya. (Download)
MATERI KAJIAN
Mari kita belajar dari seorang
tokoh besar kalangan zahid, yaitu Imam Hatim al-Asham. Nama lengkapnya adalah
Abu Abdirrahman Hatim ibn Alwan al-Asham (w. 237 H/751 M). Menurut Syaikh Abu
Ali ad-Daqaq, Hatim dijuluki “al-Asham” (yang tuli), bukan karena beliau tuli,
tapi karena beliau pernah berpura-pura tuli demi menjaga kehormatan seseorang.
Alkisah, seorang wanita tengah
bertanya kepadanya. Tapi di tengah perbincangan itu dia kentut. Tentu dia
sangat malu. Hatim tahu akan hal itu, dan sadar bila wanita itu akan sangat
malu kalau dia mengetahuinya. Ia mencoba menyembunyikan hal itu dengan
pura-pura tidak mendengarnya. Berikut kisah dialog Hatim al-Asham dengan
gurunya, Syaqiq al-Balkhi.
Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada
muridnya, Hatim al-Asham: “Berapa lama kamu nyantri kepadaku?” Hatim menjawab:
“Sudah sejak 33 tahun.” Syaqiq bertanya lagi: “Apa yang kamu pelajari dariku
selama itu?” Hatim menjawab: “Ada delapan perkara.” Syaqiq berkata: “Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un. Aku habiskan umurku bersamamu selama itu,
dan kamu tidak belajar kecuali delapan perkara?!” Hatim menjawab: “Guru, aku
tidak belajar selainnya. Sungguh aku tidak bohong.” Syaqiq kemudian berkata
lagi: “Coba jelaskan kepadaku apa yang sudah kamu pelajari!” Hatim menjawab:
Pertama, saya
memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyukai kekasihnya
hingga ke kuburannya. Tapi ketika dia sudah sampai di kuburnya, kekasihnya
justru berpaling darinya. Maka saya kemudian menjadikan amal kebaikan sebagai
kekasih saya, yang apabila saya meninggal dan masuk ke liang kubur, dia akan
ikut bersama saya.
a.
Jangan salah meletakkan
cinta. Jadikan cinta Allah dan cinta Rasulullah sebagai prioritas. Jangan
sampai cinta pada anak istri mengalahkan cinta Allah dan Rasulullah.
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. (Qs. Ali Imran:
31)
b.
Meskipun kita tidak bisa
mencintai Rasulullah sebesar para sahabat, kita harus tetap berusaha
mencurahkan cinta itu sebesar-besarnya pada beliau. Abu Bakar rela kakinya
digigit ular demi melindungi Rasulullah ketika berada di Gua Tsur.
Qais mematahkan giginya sendiri ketika tahu gigi Rasulullah patah
terkena pedang.
c.
Cara mencintai Rasulullah
adalah dengan melaksanakan ajarannya. Kita sudah tahu ajaran-ajarannya dan
kemuliaan akhlaknya. Shalat itu wajib, maka kerjakanlah; Ghibah (ngrasani)
itu haram, maka tinggalkanlah; dst.
d.
Yang terpenting bukan
sekadar tahu, tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai
“gur pinter dongeng, nulis, lan moco”, tetapi tanpa pengamalan secara
nyata.
Kedua, saya memperhatikan
firman Allah SWT:
وَأَمَّا
مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى فَإِنَّ الجَنَّةَ
هِيَ المَأْوَى
Dan adapun orang yang takut pada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah tempat tinggal(nya). (Qs. an-Nazi’at: 40-41)
Maka saya ketahui bahwa firman
Allah-lah yang benar. Karena itu saya meneguhkan diri saya dalam menolak hawa
nafsu, hingga saya mampu menetapi ketaatan kepada Allah SWT.
a.
Rumah manusia di dunia
hanyalah sementara. Rumah sesungguhnya adalah rumah di akhirat. Siapkan diri
menempati rumah di akhirat dengan amal saleh, sehingga rumah yang kita tempati
adalah surga, bukan rumah neraka.
b.
Nikmat Allah sangat banyak,
gunakan untuk beribadah. Syukuri seluruh organ tubuh untuk beribadah dan amal
saleh.
c.
Seluruh manusia dikejar
oleh kematian, dan cukuplah kematian sebagai mau’idhoh (nasihat). Siap atau
tidak, dekat atau lambat, kapanpun dan di manapun, kematian akan menimpa semua
orang. Mumpung masih ada kesempatan bertaubat dan memperbaiki diri, gunakan
kesempatan itu sesegara mungkin.
Ketiga, saya
memperhatikan manusia, dan saya amati masing-masing memiliki sesuatu yang
berharga, yang dia menjaganya agar barang tersebut tidak hilang. Kemudian saya
membaca firman Allah SWT:
مَا
عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ
Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang
ada di sisi Allah kekal. (Qs. an-Nahl: 96)
Dari situ, apabila saya memiliki
sesuatu yang berharga, maka segera saja saya serahkan kepada Allah, agar
milikku terjaga bersama-Nya tidak hilang.
Keempat, saya
memperhatikan manusia dan saya ketahui masing-masing mereka membanggakan harta,
kemuliaan leluhur, pangkat dan nasabnya. Kemudian saya membaca firman Allah SWT:
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian) (Qs.
al-Hujurat: 13)
Maka saya takwa, hingga
menjadikan saya mulia di sisi Allah SWT.
Kelima, saya
memperhatikan manusia, dan (saya tahu) mereka mencela dan mencaci antara satu
dengan yang lainnya. Saya tahu masalah utamanya di sini adalah sifat iri hati.
Maka saya kemudian membaca firman Allah SWT dalam Qs. az-Zukhruf ayat 32:
نَحْنُ
قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا
Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di
antara mereka dalam kehidupan dunia)
Maka saya kemudian menanggalkan
sifat iri hati dan menghindar dari manusia, karena saya tahu bahwa pembagian
rizki itu benar-benar dari Allah SWT, yang menjadikanku tidak patut memusuhi
dan iri kepada orang lain.
a.
Jika ada orang mukmin
berselisih, hal tersebut disebabkan adanya sifat iri, hasud, dan dengki. Rasa
iri berada di dalam hati; hasud adalah iri hati yang terucap; dengki adalah
sifat tidak senang melihat orang lain
mendapatkan nikmat/kebaikan.
b.
Penyakit orang alim adalah
hasud; penyakit orang kaya adalah bakhil dan takabur; penyakit orang miskin
adalah banyak mengeluh. Orang alim sering terjebak untuk saling menonjolkan
ilmunya, maka hindarilah debat kusir dan saling ngeyel.
c.
Sesungguhnya seluruh orang
mukmin itu bersaudara.
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Qs. al-Hujurat: 10)
Keenam, saya
memperhatikan manusia, yang mereka saling menganiaya dan memerangi antara satu
dengan lainnya. Kemudian saya melihat firman Allah SWT:
إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا
Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian,
maka anggaplah ia musuh (kalian) (Qs. Fatir: 6)
Maka kemudian saya menghindar
dari memusuhi orang lain, dan sebaliknya saya berusaha fokus dan penuh waspada
dalam menghadapi permusuhan syaitan.
a.
Musuh terbesar manusia
adalah setan, maka jauhilah. Nabi Adam AS senantiasa membaca ta’awudz setiap
melakukan sesuatu, sebab pernah merasakan tipuan dan godaannya. Dengan menjauhi
setan, kita berharap bisa masuk surga.
b.
Empat ukuran kepantasan
masuk surga: (1) Ibadah atau mblarah; (2) Ngaji atau TV; (3) dzikir atau
ghibah (ngrasani); dan (4) amal saleh atau amal salah.
Ketujuh, saya
memperhatikan manusia, maka saya lihat masing-masing menghinakan diri mereka
sendiri dalam mencari rizki. Bahkan ada di antara mereka yang berani menerjang
hal-hal yang tidak halal. Saya kemudian melihat kepada firman Allah:
وَمَا
مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi
ini melainkan Allah-lah yang menanggung rizkinya) [Qs. Hud (11): 6]
Saya kemudian menyadari bahwa
saya adalah salah satu dari binatang yang Allah telah menanggung rizkinya. Maka
saya kemudian menyibukkan dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadaku, dan
sebaliknya saya meninggalkan yang tidak dibagikan kepadaku.
a.
Allah yang menciptakan
makhluk, Allah juga yang bertanggung jawab memberinya rizki. Manusia diberi
tanggung jawab untuk “menerima rizki” semaksimal mungkin. Misalnya, ketika
hujan turun, kita dipersilakan untuk mengambil wadah untuk menampung air.
Terserah kita ingin mengambil baskom, ember, atau gelas. Besar kecilnya wadah,
itulah besar kecilnya usaha kita mencari rizki. Allah telah menyediakan rizki
sebanyak mungkin untuk kita, tergantung seberapa besar kita mengambilnya.
b.
Orang kaya hendaknya
bersyukur, sedangkan orang miskin hendaknya bersabar. Sebab kekayaan tidak
menjamin kebahagiaan. Jangan sampai yang kaya sombong dan bakhil, sementara
yang miskin banyak mengeluh, putus asa, dan tidak ridha atas takdir Allah.
c.
Sehat meski miskin lebih
dipilih daripada kaya tetapi penyakitan, sebab orang yang sakit tidak bisa
menikmati kekayaannya. Misalnya, orang kaya yang stroke, darah tinggi, atau
diabetes memiliki pantangan makanan tertentu, tetapi orang miskin justru bebas
memilih makanan. Di sinilah letak keadilan Allah, dimana Dia meletakkan
kebahagiaan bukan pada kekayaan.
Kedelapan, saya
memperhatikan manusia, dan saya lihat masing-masing mereka menyerahkan diri
kepada makhluk lain seumpamanya: sebagian karena sawah ladangnya, sebagian
karena perniagaannya, sebagian karena hasil karya produksinya, dan sebagian
lain karena kesehatan badannya. Maka saya melihat kepada firman Allah SWT:
وَمَنْ
يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya
Dia akan mencukupi (keperluan)-nya). (Qs. al-Thalaq: 3)
Maka saya kemudian menyerahkan
diri dan mempercayakan semuanya kepada Allah SWT, karena Dia akan mencukupi
segala keperluanku.
Mendengar pernyataan-pernyataan
Hatim, sang guru yaitu Imam Syaqiq al-Balkhi mendoakannya: “Semoga Allah
memberi pertolongan kepadamu.”
Share This Article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar