abiquinsa: Juli 2013

Sejarah, Hukum, dan Praktik Tarawih menurut Paham Aswaja An-Nahdliyah


SEJARAH, HUKUM DAN PRAKTIK TARAWIH
MENURUT PAHAM ASWAJA AN-NAHDLIYAH

MUQADDIMAH
Shalat Tarawih bagi umat Islam Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap muslim pernah menjalankannya. Pada awal Ramadhan, biasanya masjid atau mushala penuh dengan kaum muslimin dan muslimat yang menjalankan shalat jama’ah isya` sekaligus tarawih. Ada yang menjalankan 8 rakaat, dan ada yang 20 rakaat. Yang terakhir ini termasuk ciri orang NU (Nahdliyyin). Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya 3 rakaat, orang NU maupun bukan. 20 rakaat itu serempak dilaksanakan dengan cara dua rakaat salam.
Begitu shalat sunnah rawatib setelah isya` (ba'diyah) usai dikerjakan, bilal mengumumkan tibanya shalat Tarawih dikerjakan, “Marilah shalat Tarawih berjama'ah!” Imam pun maju ke depan, dan sudah dapat ditebak surat yang dibaca setelah al-Fatihah ialah surat at-Takatsur.
Bacaan seperti ini sudah menjadi ciri khusus masjid-masjid atau mushala-mushala NU. Juga sudah dapat ditebak bahwa rakaat kedua setelah al-Fatihah tentu sura Al-Ikhlash. Setelah usai 2 rakaat, ada sela-sela lantunan shalawat yang diserukan “bilal” dan dijawab oleh segenap kaum muslimin.

Kultum Ramadan: Puasa dan Kecerdasan Emosi

KULTUM RAMADAN: PUASA DAN KECERDASAN EMOSI

Seorang psikolog dan peneliti, Daniel Goleman, menemukan sebuah fakta yang mencengangkan. Dalam penelitiannya, ia mengumpulkan anak-anak berusia empat tahun di sebuah Taman Kanak-kanak Stanford. Mereka diminta satu persatu masuk ke dalam sebuah ruangan, dengan sepotong marshmallow yang diletakkan di atas meja di hadapan mereka. “Kalian boleh memakan marshmallow ini jika mau, tetapi kalau kalian tidak memakannya setelah saya kembali lagi ke sini, kalian berhak mendapatkan satu lagi.”
Sekitar empat belas tahun kemudian, sewaktu mereka lulus SMA, anak-anak yang dulu langsung memakan marshmallow, dibandingkan dengan anak-anak yang mampu menahan diri (sehingga mendapatkan dua potong marshmallow), memiliki ketahanan mental yang jauh berbeda. Mereka yang tahan menunggu, cenderung lebih tahan menghadapi stres, tidak mudah tersinggung dan tidak mudah berkelahi. Sedangkan mereka yang dulu langsung melahapnya cenderung kurang tahan uji dalam mengejar cita-cita. Bahkan nilai yang didapat pun lebih rendah dari anak-anak yang dulu bersabar menghadapi marshmallow.
Di saat usia mereka hampir 30 tahun, kondisi keduanya juga berbeda. Mereka yang dulu lulus uji marshmallow, tergolong menjadi pemuda yang sangat cerdas, berminat tinggi, dan lebih mampu berkonsentrasi. Mereka lebih mampu mengembangkan hubungan yang baik dengan orang lain, lebih andal, lebih bertanggungjawab, dan kendali dirinya lebih baik saat menghadapi tekanan. Sebaliknya, mereka yang dulu tidak lulus uji marshmallow cenderung kurang dapat diandalkan, lebih sering kesepian, lebih mudah kehilangan konsentrasi, dan tidak sabar menunda kepuasan dalam mengejar sasaran. Mereka juga tidak luwes, bahkan emosinya sering meledak-ledak dalam menghadapi tekanan.
Inilah manfaat puasa secara psikologis. Orang yang berpuasa sesungguhnya sedang menjalani pelatihan ketahanan emosi. Mereka yang bisa mengendalikan dirinya adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Salah seorang ulama berkata: “Jika manusia yang hidup di dunia tidak tertarik mencintai dunia, di saat banyak orang justru mengejarnya, maka dialah orang yang cerdas.” Hal ini senada dengan hadits Nabi: “Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah)

Kultum Ramadan: Jihadun Nafsi


KULTUM RAMADAN: JIHADUN NAFSI

Pada tahun 2 Hijriyah, terjadi pertempuran sengit di Badar, sebuah lembah pasir yang terletak antara Makkah dan Madinah. Perang ini sangat menentukan masa depan Islam yang baru tumbuh. Umat Islam sudah harus menghadapi tentara kafir yang jumlahnya tiga lipat lebih banyak. Begitu gentingnya perang tersebut hingga Rasulullah saw. berdoa: Ya Allah, jika Engkau biarkan pasukan Islam ini binasa, niscaya tidak ada lagi yang menyembah-Mu di muka bumi ini. (HR. Muslim dan Ahmad). Allah swt. menjawab doa tersebut dan memberikan kemenangan gemilang.
Pada tahun 15 Hijriyah, di bawah komando Sa’ad bin Abi Waqash, pasukan Islam berperang melawan kezaliman Kekaisaran Majusi Persia yang menyembah api di Qadisiyah, Irak. Kekaisaran Persia yang kini merupakan daratan Iran dan Afghanistan ini juga takluk di tangan umat Islam. Padahal sebelum Islam, bersama Romawi, Imperium Persia selama ratusan tahun adalah kekuatan terbesar yang paling disegani di dunia. Toh, berbekal kekuatan tauhid, umat Islam berhasil melumpuhkannya.
Pada tahun 92 Hijriyah, dipimpin panglima Thariq bin Ziyad, pasukan Islam berhasil menyeberangi Eropa. Setibanya di pantai Andalusia (Spanyol, Portugal, Andorra, Gibraltar dan sekitarnya), Thariq membakar seluruh kapal, kemudian membakar semangat pasukannya: “Tidak ada jalan untuk melarikan diri! Laut di belakang kalian, dan musuh di depan kalian. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian sekarang lakukan kecuali bersungguh-sungguh penuh keikhlasan dan kesabaran.” Walhasil, pasukan Islam pun meraih kemenangan.
Yang menakjubkan, semua peristiwa di atas terjadi di bulan Ramadan, saat umat Islam dalam keadaan berpuasa. Semangat dan keyakinan yang sangat tinggi kepada Allah membawa mereka dapat mengatasi semua kesulitan hingga mendapatkan kejayaan. Terbukti, kekuatan iman dapat mengatasi lemahnya fisik dan keterbatasan justru menjadi kekuatan yang mengagumkan.
Di bulan Ramadan ini, kita tidak sedang berperang melawan musuh yang kasat mata. Musuh yang kita hadapi adalah hawa nafsu kita sendiri. Seorang tabi’in, Ibrahim bin Abi ‘Ublah berkata: “Kalian telah pulang dari perang terkecil, lalu perbuatan apa yang kalian perbuat untuk menghadapi perang besar (melawan hawa nafsu)?” (al-Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’).
Perang melawan hawa nafsu, itulah inti dari puasa. Tanpa itu, puasa tidak memiliki pengaruh apapun dalam mengubah perilaku seseorang menjadi lebih baik dan bertakwa. Nabi mengingatkan: “Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, selain lapar dan dahaga.” (HR. Thabrani). Nah!

Kultum: "Kepompong Ramadan"


KULTUM: “KEPOMPONG RAMADAN”

Pernahkah Anda melihat seekor ulat bulu? Bagi kebanyakan orang, ulat bulu memang menjijikkan bahkan menakutkan. Tapi tahukah Anda kalau masa hidup seekor ulat bulu ini ternyata tidak lama. Pada saatnya ia akan mengalami fase dimana ia harus masuk ke dalam kepompong selama beberapa hari. Setelah itu ia pun akan keluar dalam wujud yang lain: ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu yang sangat indah. Jika sudah berbentuk demikian, siapa yang tidak menyukai kupu-kupu dengan sayapnya yang indah?
Jika proses metamorfosa itu diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia, maka terdapat beberapa kesamaan dan pelajaran. Pertama, ulat bulu adalah binatang yang menjijikkan, mirip seperti manusia yang berasal dari air mani. “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” (Qs. al-Mursalat: 20). Ini menunjukkan tidak selayaknya manusia merasa dirinya paling mulia, sehingga muncul sifat ujub, riya’, serta takabur. Orang yang masih membanggakan dirinya sesungguhnya melupakan asal kejadiannya.
Kedua, ulat bulu memasuki kepompong. Apa yang dilakukan ulat bulu di dalam kepompong? Ternyata ia sedang berjuang menahan diri untuk tidak makan dan minum, serta tidak keluar sebelum waktunya. Demikian halnya manusia yang sanggup mengendalikan nafsunya untuk tidak melakukan larangan Allah, akan mencapai derajat yang tinggi di sisi-Nya, yakni predikat takwa.
Memang nafsu memiliki kecenderungan untuk mengajak kepada kejahatan. Tanpa adanya rahmat Allah, ia akan sulit dikendalikan (baca Qs. Yusuf: 53). Ia menjadikan manusia tidak beranjak bermetamorfosa menjadi “kupu-kupu yang indah”, tetapi menjadi “kepompong” yang gagal. Maka beruntunglah orang yang menyucikan nafsunya, dan merugilah orang yang mengotorinya (Qs. al-Syams: 9-10).
Inilah makna yang bisa diambil dari pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadan. Ketika setan biasa mengendalikan nafsu manusia – dalam hadits disebut yajri majraddam, mengalir bersama aliran darah – maka puasa memutus pergerakannya. Secara metafora, Nabi menyebutnya “tughallu fihi al-syayathin”, di bulan Ramadan setan-setan dibelengggu. Siapa yang membelenggu? Tentu saja orang yang berpuasa itu sendiri.
Kepompong Ramadan, dengan demikian, bisa dipahami sebagai momentum manusia menyucikan jiwanya. Ciri kesuksesannya bisa dilihat dari kesucian jiwanya selama dan selepas Ramadan. Ia menjadi lebih sabar, tekun, dan bersungguh-sungguh dalam hidupnya.
Pertanyaannya, sudahkah kita berusaha menyucikan jiwa di bulan yang suci ini? Jangan sampai sindiran Gus Mus dalam syairnya berikut mengarah pada kita: “Ramadan bulan suci katamu. Kau menirukan ucapan Nabi, atau kau sendiri telah merasakan kesuciannya melalui kesucianmu.”